NATA Nasarudin, 37, pria asal Jepara, Jawa Tengah, mengaku tidak memerlukan modal besar untuk menjadi seorang pengusaha kecil yang cukup sukses di Ibu Kota.
Bermodal keahlian dalam seni ukir mengantarkan Nata bukan hanya untuk bertahan hidup di kota besar, tapi juga menghidupi orang lain dengan keuntungan yang diperolehnya.
Nata menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta sekira tahun 1993. Lulusan sebuah SMK bidang seni ukir di Jepara ini mulai bekerja di daerah Bogor sebagai seorang desain interior. Namun, dia merasa ruang lingkup pekerjaannya tidak cocok dan membuatnya terbatas dalam berkreasi.
Selain itu, imbalan yang diterimanya juga dirasa sangat minim. “Waktu itu saya kerjanya hanya menggambar untuk interior dan dibayar cuma Rp400 ribu per bulan,” ucap Nata saat ditemui di galerinya beberapa waktu lalu.
Berbekal ilmu dan pengetahuannya di bidang seni ukir dan patung, Nata mencoba peruntungan di kerasnya Ibu Kota. Berbekal keahliannya, Nata mencoba peruntungan sebagai pekerja seni di sebuah galeri di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Nata menceritakan, berprofesi sebagai pekerja seni memang terlihat lebih santai.
“Kerja di bidang seni memang menghasilkan untung yang besar, tapi tidak bisa dipastikan karena keinginannya hanya untuk berkarya,” kata Nata.
Bahkan, dia bisa meraup keuntungan puluhan juta dari hasil karya seni yang dihasilkannya. Nata pernah satu ketika meraup keuntungan hingga Rp10 juta dari hasil karyanya yang dibeli pecinta seni di kawasan Ancol.
Dia menyadari, dengan kondisi saat ini, tidak realistis jika dirinya bertahan sebagai pekerja seni yang hanya mengandalkan orangorang yang menggemari karya seni untuk mendatangkan keuntungan baginya. Dia pun hanya tujuh bulan menekuni profesi pekerja seni di Pasar Festival Ancol.
Namun, keinginannya yang kuat untuk tetap mengandalkan seni ukir sebagai basis mendatangkan keuntungan disambut seorang konsultan yang memiliki modal cukup besar. “Tahun 1996 saya diberi kepercayaan mengelola sebuah galeri seni di kawasan Ragunan dengan modal dari seorang konsultan. Saya diminta mengelola galeri sambil menghasilkan karya seni yang bisa dijual di sana,” katanya.
Tetapi, di galeri tersebut dia hanya bekerja empat bulan. Nata mengundurkan diri setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Tapi, kejadian itu bukan lantaran tindakannya yang tidak disenangi oleh pemilik galeri.
“Kejadian itu karena teman saya sesama pekerja seni dulu waktu di Ancol. Jadi, saya memilih mengundurkan diri,” kenangnya.
Galeri furnitur berukuran tidak lebih dari 200 meter persegi yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Kota Tangerang Selatan, menjadi saksi sekaligus tonggak awal perjuangan Nata. Sekira tahun 1997–1998, Nata mulai merintis usahanya sendiri yang didasarkan atas hobi dan keahliannya di bidang seni ukir.
Dia memilih usaha bidang produksi furnitur lantaran tidak jauh berbeda dengan hobinya di bidang seni ukir. Disinggung mengenai modal awal mendirikan usaha furniturnya, Nata hanya tersenyum. “Modal saya hanya keahlian. Tanpa keahlian, modal sebesar apa pun tidak akan bisa,” ujarnya singkat.
Tapi, dia menyebutkan harus merogoh uang sekira Rp8 juta untuk mengontrak sebuah rumah di Jalan Siliwangi itu yang akan dipergunakan untuk merintis usahanya. Uang tersebut dikumpulkan dari hasil bekerja sebagai pekerja seni di Ancol.
“Kalau usaha furnitur, begitu ada pesanan, uangnya langsung cepat dicairkan. Kalau sebagai pekerja seni, justru kebalikannya,” katanya sambil tertawa.
Nata menuturkan, kurun waktu tahun 1999–2004 merupakan tahun keemasan bagi usaha yang dirintisnya. Alasannya, pada kurun waktu lima tahun tersebut banyak orderan furnitur menghampiri usahanya. “Banyak keuntungan yang bisa didapat saat itu. Justru saat krisis moneter banyak orang asing yang pesan dan harga jualnya bisa mendatangkan untung 50 persen,” ujarnya.
Saat itu, lanjut dia, hanya dengan modal kecil, dia bisa meraup keuntungan yang besar. Dengan bahan baku hanya Rp75 ribu, Nata bisa menjual barang furniturnya seharga Rp350 ribu. Bahkan, pernah suatu ketika Nata mengerjakan proyek dalam jumlah besar senilai lebih dari Rp60 juta. Dari sana dia bisa meraup keuntungan di atas Rp10 juta. Dia juga menyadari, usaha furnitur yang dijalaninya tidak selalu mulus.
Sebab, saat ini banyak pengusaha furnitur dengan kualitas yang sama namun lebih berhasil. Nata menyadari, dengan banyaknya pengusaha yang bergerak di bidang yang sama, persaingan semakin ketat. Bahkan, banyak pula pengusaha furnitur yang sudah go internasional.
Ketika disinggung mengenai rencana jangka panjangnya, Nata belum terpikir untuk mengekspor barang-barang furnitur yang diproduksinya. “Banyak yang ekspor tapi tanpa perhitungan. Hasilnya, dengan perjalanan yang panjang, banyak produk yang justru rusak dan akhirnya jadi gulung tikar,” paparnya.
Kini pengusaha muda beromzet puluhan juta ini tetap mengedepankan kemampuannya dalam bidang seni ukir demi melanjutkan usahanya. Nata menuturkan, meski usahanya mengalami kondisi pasang surut, dengan keyakinan yang kuat, dia mampu bertahan di tengah gelombang pengusaha furnitur yang berskala lebih besar. Nata mengaku, kecintaannya terhadap dunia seni, sesungguhnya bisa menghantarkan dia ke Bali.
Sebab, di sana karya seni sangat bernilai tinggi dan banyak diburu. Tentunya, hal itu berbanding lurus dengan keuntungan yang cukup besar. Namun, dia berpikir tidak perlu ke Bali untuk tetap mempertahankan kecintaannya terhadap karya seni.
“Asalkan kita punya niat besar, kemampuan kita bisa dikembangkan untuk tetap menghasilkan keuntungan,” kata pria rendah hati ini.
Kini, dia memiliki tiga galeri yang berada tidak terlalu jauh dari galeri pertamanya. Dia galeri tersebut kini dikelola oleh adik-adiknya yang sebelumnya ikut berjuang bersama dia membesarkan usaha furnitur yang dirintisnya. Sekali lagi, karya seni menghasilkan keuntungan bagi Nata.(Wisnoe Moerti/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment