Saturday, December 29, 2012

Teddy, Pengusaha Muda Sukses Pionir Industri Bihun Jagung

KOMPAS.com - Bihun jagung,
mungkin,  hanya produk
sederhana. Namun, ternyata,
pengolah produk ini mampu
meraih sukses besar. Adalah
Teddy Tjokrosaputro tokoh
yang berhasil mengenalkan
produk olahan sederhana ini ke
khalayak di Tanah Air.
Jatuh tak jauh dari pohonnya.

Demikian pula dengan kisah
perjalanan bisnis Teddy
Tjokrosaputro, Direktur Utama
PT Subafood Pangan Jaya. Kakek
dan neneknya adalah pengusaha
batik ternama bermerek Batik
Keris. Sebagai generasi ketiga,
ia memilih tidak melanjutkan
usaha tekstil meski tetap
mewarisi darah bisnis dari
kakek dan neneknya. Teddy
lebih memilih menggeluti bisnis
makanan ketimbang batik.

Melalui PT Subafood Pangan
Jaya, ia berhasil menjadi
produsen bihun jagung yang
sukses. “Produk bihun jagung
ini merupakan yang pertama di
Indonesia, bahkan di dunia.
Boleh dibilang, kami pionir di
bisnis ini,” katanya. Tak heran
bila Subafood berhasil meraih
beberapa penghargaan berkat
inovasi produk pangan ini.

Bukan itu saja, setiap tahun,
kapasitas produksi sekaligus
penjualan bihun jagung selalu
naik 100 persen. Saat ini,
kapasitas produksi Subafood
sebanyak 1.200 ton per bulan
atau sekitar 14.400 ton per
tahun. Adapun market share
bihun jagung Subafood sudah
20 persen. “Dengan harga
eceran tertinggi (HET) rata-rata
Rp 11.000 per kilogram, bihun
jagung kami bisa menembus
pasar dan diminati,” kata Teddy.
Bihun ini pun sudah
didistribusikan ke 25 provinsi
dengan lebih dari 30.000 gerai.

Uniknya, Teddy justru
mengawali karier bisnisnya
bidang properti, bukan
makanan. Setelah menyelesaikan
pendidikan di University of
Southern California, Los
Angeles, Amerika Serikat, tahun
1995, dia pulang ke Indonesia
dan membantu orang tuanya
mengurus bisnis keluarga di
bidang properti. “Saya belajar
menjalankan bisnis melalui
perusahaan keluarga sekitar dua
hingga tiga tahun,” kata suami
Shelly Verywan ini.

Saat krisis moneter 1997–1998,
perusahaan keluarga Teddy
terpukul. “Waktu itu, hampir
semua bisnis gulung tikar,
termasuk bisnis properti,”
katanya. Meski begitu, ia tidak
kapok menjajal bisnis properti.

Sekitar tahun 1999, lelaki
kelahiran Solo, Jawa Tengah, 18
Agustus 1974 ini kembali
merintis usaha di bidang
properti. Kali ini, dia
menjalankan usaha secara
pribadi. Dengan mengibarkan
bendera PT Andalan
Propertindo, Teddy menggarap
sebuah proyek trade center di
Solo, Jawa Tengah. “Isi trade
center ini rata-rata pedagang
batik. Usaha ini masih berjalan
hingga sekarang,” kata bapak
dua anak ini.

Ternyata, Teddy tidak puas
hanya memiliki bisnis di bidang
properti. Tahun 2004, ia
merambah bisnis makanan
dengan mendirikan PT Subafood
Pangan Jaya. Pilihannya jatuh
pada usaha pengolahan jagung.
“Saya memilih jagung karena
merupakan tanaman pangan
kedua setelah beras. Itu saja.
Namun, saya juga berpikir,
jagung ini cocoknya diolah jadi
apa. Tidak mungkin, kan, kita
jualan jagung bakar,” jelasnya.

Lantas, Teddy mengumpulkan
tim untuk memikirkan olahan
jagung yang bisa disukai
masyarakat. Akhirnya, tercetus
ide untuk mengolah pati jagung
menjadi bihun. “Masyarakat kita
sudah dekat dengan olahan
pangan jenis mi ini. Nah,
dengan bihun jagung ini, kami
pikir bisa terserap masyarakat
dengan mudah,” katanya.
Selama setahun, Teddy bersama
tim melakukan penelitian.

Butuh edukasi

Akhirnya berdirilah pabrik
olahan jagung di daerah
Tangerang, Banten, pada bulan
Juni 2005. Tahun 2006,
Subafood mulai memproduksi
bihun jagung dengan kapasitas
100 ton per bulan. “Tidak
semulus yang dibayangkan.

Kami cukup bekerja keras untuk
melakukan edukasi ke
masyarakat. Maklum, waktu itu,
kan, belum ada produk bihun
jagung di pasaran. Yang ada
bihun beras,” jelasnya. Seiring
dengan pengenalan masyarakat
terhadap produk, kapasitas dan
penyerapan bihun jagung
Subafood terus meningkat
setiap tahun.

Teddy bilang, sejauh ini,
usahanya itu banyak mengalami
kendala. “Harga jagung cukup
fluktuatif,” katanya. Bila harga
sedang tinggi, tentu kondisi ini
menyusahkan lantaran bihun
jagung merupakan produk yang
membidik semua kalangan.
Harga jualnya tidak mungkin
tinggi. Terkadang, Subafood
juga mengalami kendala
pasokan bahan baku yang
kurang rutin. Tapi, Teddy
bilang, persoalan itu masih bisa
dihadapi.

Dalam perjalanannya, Teddy
tidak hanya mengandalkan
bihun jagung. Dia mulai
melakukan inovasi produk.
Antara lain dengan
memunculkan produk bihun
jagung instan aneka rasa,
sorgum, mi kering, dan
makaroni jagung. Selain itu, ia
juga mulai memproduksi olahan
di luar bahan baku jagung,
seperti terasi dan merica
bubuk.

Bihun jagung yang diproduksi
Subafood juga mengundang
banyak pengekor. “Bila tahun
2006 hanya ada dua produsen
bihun jagung, sekarang sudah
ada 23 produsen,” jelas Teddy.
Teddy pun tak tinggal diam. Dia
terus melakukan ekspansi.

Selain memunculkan produk
baru, Subafood juga
memperluas pasar. Mulai tahun
2010, Subafood mengekspor
aneka produk olahan dari
jagung ke Belanda, Malaysia,
dan terakhir ke Brunei
Darussalam. (Fransiska
Firlana/ Kontan )

sumber: bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/14/15184382/teddy..cucu.pengusaha.batik.yang.sukses.di.bihun.jagung

Friday, December 28, 2012

Suryadi, Mantan Penjaga Toko yang Sukses di Bisnis Pakaian Dalam 'Wacoal'

KOMPAS.com - Jalan Suryadi Sasmita menuju sukses terbilang panjang. Maklumlah, resep sukses Suryadi terbilang sederhana: kerja, kerja, dan kerja. Ketekunan Suryadi selama puluhan tahun tidak sia- sia jika melihat popularitas merek pakaian dalam Wacoal. Di balik nama besar pakaian dalam wanita ini ada kerja keras Suryadi Sasmita. Memulai usaha dari nol, Suryadi kini menikmati penjualan Wacoal yang selalu naik 30 persen per tahun. Wacoal kini memiliki lebih dari 50 gerai. Angka itu belum termasuk ratusan gerai Wacoal yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan. “Kalau soal aset, sudah tentu bertambah bila dibandingkan dengan awal menjalankan usaha,” kata Suryadi, yang menyandang status sebagai Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal. Ayah dari tiga orang ini kini memiliki sepuluh perusahaan di bidang garmen. Namun, kesuksesan itu tidak datang dengan mudah. Maklum, pria kelahiran Jakarta 12 April 1948 ini berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Suryadi menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus mengurus kelima adiknya. Faktor itulah yang menuntutnya untuk bekerja keras. Bersama sang ayah, dia membuka usaha konveksi tas. Sayang, usaha itu harus gulung tikar karena bangkrut. Lulus SMA, Suryadi bekerja di toko tekstil di Pasar Pagi, Jakarta, sebagai penjaga toko. Untuk mendapatkan penghasilan lebih, ia bekerja hingga dua sif. Sikap kerja kerasnya ini menarik perhatian bosnya. Suryadi pun dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara. Sambil kuliah, ia tetap bekerja. Bahkan lebih keras bekerja, akibatnya dia tidak berkonsentrasi untuk kuliah. Baru enam bulan duduk di bangku kuliah, Suryadi memilih keluar dan fokus bekerja. Maklum, ia harus membantu menghidupi keluarganya. Dari hasil bekerja di toko, Suryadi mampu membeli toko kecil di daerah Jembatan Lima. Toko itu dikelola oleh anggota keluarganya, sementara Suryadi tetap bekerja di Pasar Pagi. Setelah empat tahun bekerja sebagai penjaga toko, Suryadi pindah jalur menjadi karyawan di pabrik perusahaan tekstil asal Jepang, C. Itoh. Di perusahaan tekstil kelas dunia itulah, Suryadi mengawali karier sebagai pengantar dokumen. “Saya merasa gaji saya terlalu besar kalau hanya bekerja sebagai pengantar dokumen. Saya pun memberanikan diri menghadap ke pimpinan perusahaan dan meminta pekerjaan saya ditambahi. Saya minta diizinkan berjualan benang,” tutur dia. Permintaan Suryadi dipenuhi sang atasan. Ia pun merangkap tugas. Dari pagi hingga sore, ia menjadi pengantar dokumen. Begitu matahari beranjak ke barat hingga malam hari, Suryadi menjadi salesman . “Target penjualan setahun bisa saya penuhi dalam setengah tahun. Saya pun diangkat menjadi salesman ,” tutur dia. Bersamaan dengan karier yang melesat, jaringan Suryadi kian luas. Sekitar tahun 1976, Suryadi mampu mendirikan perusahaan trading bernama Moritex Trading Company. Tahun berikutnya, ia membuka usaha rajut (knitting ) bernama Moritex Knitting. “Keduanya saya kelola bersamaan dan hanya saya cek di sore hari. Selama pagi hingga sore, saya masih bekerja sebagai sales representative di C. Itoh,” kenang dia. Menjalin pertemanan Baru setelah delapan tahun bekerja di C.Itoh, Suryadi mundur dan fokus ke perusahaannya. “Tiba-tiba, ada pelanggan saya yang menawarkan usaha lain. Pada 1980, dia menawarkan lisensi Wacoal yang diperolehnya,” ujar Suryadi. Menjadi salesman merupakan kesempatan Suryadi membuka jaringan yang seluas-luasnya. “Prinsip saya, sales itu jangan hanya berdagang yang ada di kepala. Tapi, bagaimana memberikan informasi produk yang benar ke calon klien dan membangun pertemanan. Kalau mereka merasa puas, pasti akan pesan,” kata dia. Dari jaringan itu, Suryadi dipercaya seorang pelanggannya untuk mengelola perusahaan pakaian dalam wanita asal Jepang bermerek Wacoal. “Dia menilai saya pekerja keras, jadi dia percaya jika saya yang pegang lisensi Wacoal,” ucapnya. Ia pun menutup usaha trading dan knitting, serta fokus mengelola Wacoal. “Ternyata tidak mudah. Dalam lima tahun pertama, saya rugi,” kenangnya. Hal itu dikarenakan sulitnya memasarkan produk pakaian dalam yang harganya jauh lebih mahal daripada harga produk sejenis yang sudah ada. Apalagi, saat itu, belum banyak department store. Suryadi pun mengerahkan keluarga dan jaringannya untuk mempromosikan Wacoal. Nama Wacoal perlahan terdengar. Di tahun ke enam, Wacoal akhirnya meraup untung. “Sepuluh tahun pertama, kami harus kerja keras memperkenalkan Wacoal. Hingga akhirnya di sepuluh tahun kedua, Wacoal mampu dipasarkan secara nasional,” terang Suryadi. Memasuki dekade ketiga atau sekitar tahun 2000, Wacoal buatan Indonesia masuk ke pasar luar negeri. Dari pabrik seluas 2,7 ha, produk Wacoal kini mengalir ke sembilan negara. Masing-masing Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, Hong Kong, Taiwan, Jepang, China, dan Amerika Serikat. (Fransiska Firlana/ Kontan ) Editor: Erlangga Djumena sumber: bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/19/16262998/Suryadi.Mantan.Penjaga.Toko.yang.Sukses.di.Bra

Thursday, December 27, 2012

Kodir, Profil Pengusaha Sukses dari Usaha Cemilan Konghui yang Beromzet3 Jt/Hari

KOMPAS.com - Kalau Aceng
yang ini bukan nama Bupati
Garut yang sedang bermasalah.

Aceng yang ini adalah profil
pekerja keras yang berjuang
dari bawah dan akhirnya sukses
dalam wirausaha di bisnis ubi
kayu atau singkong.

Aceng Kodir menganggap
singkong adalah jalan hidupnya.
Jika dahulu singkong hanya
dikenal sebagai makanan orang
kampung, tidak demikian saat
ini. Beragam makanan olahan
berbahan dasar singkong justru
disukai orang kota yang
modern.

Seperti makanan olahan
berbahan singkong yang
diciptakan Aceng Kodir, warga
Gang Pancatengah I, Batujajar
Kabupaten Bandung Barat.

Makanan olahan yang dia namai
crispy singkong dan crispy
konghui itu laku keras di
pasaran. Bahkan, pria 42 tahun
itu mampu meraup omzet tak
kurang dari Rp 3 juta per hari
dari penjualan kedua jenis
makanan tersebut.
Crispy singkong dan crispy
konghui buatan Aceng
merupakan makanan ringan.

Crispy singkong berbahan dasar
singkong, sementara crispy
konghui merupakan perpaduan
antara singkong dan hui (ubi,
dalam bahasa Indonesia). Ubi
yang dipilih adalah ubi
berwarna ungu.

Ditemui dalam acara UKM di
Kampus Unpad, Jalan Dipati
Ukur, Bandung, pekan lalu,
Aceng menuturkan jika
bisnisnya sudah dimulai sejak
tiga tahun lalu.

Ketika itu, dia merasa prihatin
terhadap petani singkong yang
ada di sekitar tempat
tinggalnya. Meski bertahun-
tahun menanam singkong,
petani tidak pernah menikmati
hasilnya lantaran harga jual
singkong sangat murah, tak
lebih dari Rp 400 per kilogram.
"Saya berpikir bagaimana agar
petani singkong tidak terpuruk,
dan yang paling penting adalah
agar mereka tetap semangat
menanam singkong karena
singkongnya terjual dengan
harga wajar," ujar Aceng.

Aceng pun memutar otak.
Tercetuslah ide membuat
singkong crispy. Dengan modal
Rp 200.000, ia membeli
beberapa kilogram singkong
dari tetangga. Tak ketinggalan,
bahan untuk singkong crispy
pun dibelinya, termasuk minyak
goreng. Sementara alat untuk
mengepres adonan singkong
agar benar-benar tipis,
digunakan alat pembuatan
molen.

Aceng mengaku, ketika pertama
kali membuat crispy singkong,
dia tidak langsung menjualnya.
Dia tawarkan produk buatannya
itu kepada tetangga, dan
belakangan ke Ketua RT, RW,
Kepala Desa, Camat, sampai
Bupati. Dari situlah, produknya
dikenal dan disukai banyak
orang. Akhirnya Aceng pun
menjual crispy singkong
buatannya.

Setelah crispy singkong banyak
yang minat, Aceng membuat
crispy konghui. Penganan
tersebut terbuat dari singkong
dan ubi ungu. Ubi didapatnya
dari daerah Jawa Timur, namun
belakangan dirinya
membudidayakan ubi ungu di
kampungnya.

Kedua makanan ringan buatan
Aceng diterima pasar dengan
baik. Bahkan pasarnya adalah
wisatawan dalam maupun luar
negeri. Kedua camilan itu pun
dijual di Kartikasari dan Circle
K. Sebungkus crispy singkong
dijual Rp 19.000, sedangkan
crispy konghui dibanderol Rp
20.000. Satu bungkus isi bersih
250 gram.

Sehari, Aceng bisa membuat
250 bungkus crispy singkong
dan crispy konghui. Dia
menjualnya Rp 12.500 per
bungkus ke reseller, atau jika
dihitung omzetnya Rp 3 juta
per hari.

Untuk peralatan, Aceng
mengaku tidak kesulitan.
Demikian pula bahan baku dan
tenaga perajin. Areal
perkebunan singkong terhampar
luas di daerahnya. Aceng
membeli singkong dari petani
Rp 1.000 per kilogram.
Sementara sejumlah tetangga
menjadi pekerja pembuatan
crispy singkong dan konghui
buatannya, di rumah produksi
bernama Rumah Crispy. ( Ida
Romlah/Tribun Jabar)

sumber: m.kompas.com/news/read/2012/12/21/14580183/Singkong.Crispy.Aceng.Beromzet.Rp.3.Juta.Per.hari--bisniskeuangan