Sunday, January 22, 2012

Emily, Dara Peretas Ekspor Beras Organik Bersertifikat

KOMPAS.com - Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.

”Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada Minggu (30/8) melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia.

Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia.

Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.

Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Mulai dari nol

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan mantan Gubernur Jabar itu.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya.

”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.

Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Perbedaan

Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar. Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.

Sambil merintis jalan, Emily belajar bahasa Indonesia. Tak jarang, budaya lugas dan cara mengatasi masalah yang tidak bertele-tele seperti yang kerap dia lakukan selama tinggal di luar negeri terbentur budaya petani yang kerap bersikap pasrah.

Ketika ada persoalan menyangkut hama penyakit, misalnya, Emily langsung bertanya mengapa bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Pada awalnya petani takut-takut menjawabnya karena mengira Emily marah. Lama-kelamaan mereka bisa memahami cara kerja dia. Apalagi, ketika Emily kerap mengajak petani lesehan membicarakan masalah bersama-sama.

”Aku minta para petani memanggilku Emily saja, jangan panggil ibu karena kami mitra,” ungkap Emily yang tak suka disebut pengusaha.

Dia mengaku tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai pengekspor beras organik. Dia optimistis beras organik dari Indonesia bisa bersaing di pasaran internasional. Buktinya, tambah Emily, dalam waktu dekat ini sudah ada permintaan untuk mengekspor 19 ton beras organik ke Malaysia. (Hermas E Prabowo)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/09/04/09093388/Emily.Dara.Peretas.Ekspor.Beras.Organik

Reza, Lewat Bisnis Tutup Klosetnya Kuasai 18 Negara

Tahun 1998 lalu, Fernanda Reza Muhammad terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan kontraktor asing tempatnya bekerja karena terkena krisis moneter.

Karena itu, Reza memutar otak untuk mencari mata pencaharian baru. Ahirnya, dengan modal Rp 40 juta, dia mendirikan Deco Resion (DR), dan mulai memproduksi penutup kloset berbahan resin yang bening, sehingga di dalamnya bisa diberi hiasan kerang. Sebagai tempat kerja, Reza menggunakan tempat kosnya di Surabaya untuk memproduksi tutup kloset. "Saya hanya ingin mendirikan suatu perusahaan yang unik dan belum digeluti banyak orang," kata Reza.

Setelah itu, Reza menghubungi pabrikan perlengkapan kamar mandi terkemuka di Australia, Loo with a View melalui internet. Dia berhasil memikat Loo dengan menawarkan harga murah 50 dollar Australia. Sedangkan produk serupa di  Australia mencapai 225 dollar Australia.

Enam hari kemudian, Loo mengirim tenaga kontrol kualitas ke DR sekaligus mengajarkan proses pembuatan tutup kloset dari bahan resin. Tidak hanya itu, Loo juga memesan satu kontainer (isi 900-1.000  buah tutup kloset). Penjualannya ke pasar ekspor khususnya Australia dan Inggris mendapat respon positif dan terus meningkat.

Sukses Reza menarik distributor asal Singapura, In Trade Consultacy (ITC) yang menawarkan kerjasama, Reza dan DR-nya memproduksi, sedangkan pemasarannya diurus ITC. Dibawah bendera baru, yakni ITC Asia Pasific, produksi perusahaan meningkat tajam menjadi dua kontainer per  bulan dan tenaga kerjanya 50 orang.

Negara jajahannnya pun semakin luas merambah hingga 18 negara didunia, termasuk negara-negara kaya Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Bahrain dengan nilai 140 ribu per bulan. "Saat itu kami mengalami masa-masa keemasan," ujar pria usia 37 tahun ini.

Namun tahun 2003 pasar ITC menyusut karena terimbas dampak bom WTC dan bom bali I. Reza terpaksa melakukan efisiensi besarr-besaran, mengurangi kapasitas beberapa line produknya, dan mengurangi tenaga kerjanya hingga tinggal 10 orang. "Saat itu benar-benar masa sulit bagi saya. Namun, saya mencoba bangkit, pokoknya harus survive," kata alumni S2 Universitas Erlangga ini.

Reza harus berjuang keras untuk meraih masa kejayaannya kembali. Dia rajin mengikuti pameran internasional, melakukan personal selling, mengunjungi klien di negara tujuan, dan menggencarkan public relations. "Setidaknya saya tetap survive hingga kini. Dalam sebulan saya bisa menyelesaikan order 3 kontainer," ujar Reza.

Namun, bukan berarti semua kendala telah sirna. Reza mengaku, saat ini harga bahan baku terus melonjak dan keinginan pasar selalu berubah. Selain itu, pemadaman listrik yang dilakukan PLN akhir-akhir ini membuatnya terpaksa menelan kerugian. Pasalnya, ujar Reza, ketika produksi sedang berjalan tiba-tiba listrik mati sehingga menggagalkan proses produksi.

"Saya pernah diklaim konsumen gara-gara terlambat menyelesaikan order gara-gara listrik di tempat produksi mati tiga kali dalam satu minggu. Ya, sebaiknya pemerintah memperhatikan hal ini," kata Reza.

Kedepan, Reza ingin mengembangkan pemasaran produknya ke dalam negeri untuk menambah jaringan pemasaran. Menurut Reza, era sekarang bukan siapa yang besar yang bisa menguasai pasar, melainkan siapa yang cepat yang bisa menguasai pasar.

==================================================
Promosia Indonesia
Jl Dukuh Kupang X/6 Surabaya 60225
031-5687116/0811-325329

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2008/09/23/08182640/Reza.Tutup.Kloset.Kuasai.18.Negara

 

Dagadu, Merayu Lewat Kaus, Omzet Pun Miliaran

KATA-kata ternyata bukan cuma ampuh merayu pasangan agar luluh hatinya. Namun, kata-kata pun lumayan sedap dipandang. Buktinya, kaus oblong yang cuma menampilkan kata-kata bukannya gambar laku keras.

Berkat menjual kata-kata pada kaus oblong, beberapa kelompok anak muda yang melakoni bisnis ini bisa menggaet fulus jutaan rupiah per hari. Saban hari, Dagadu, produsen kaus asal Yogyakarta menggaet pemasukan rata-rata Rp 5,5 juta per hari. Dalam satu bulan, Dagadu bisa meraup omset sekitar Rp 1 miliar. Jika memasuki masa liburan sekolah, Lebaran, dan akhir tahun, pemasukan bisa lebih banyak lagi.

"Pada hari-hari biasa kami bisa menjual 2.000-3.000 oblong setiap bulan. Belum merchandise lainnya. Saat musim liburan seperti Lebaran atau Tahun Baru, penjualan kami bisa menyentuh 5.000 potong," kata salah seorang pendiri Dagadu Djokdja, Ahmad Nur Arief.

Semula, Dagadu Djokdja berawal dari keisengan 25 mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ditawari membuka kios kaki lima di Malioboro Mall pada 1994. Untuk itu, mereka berpatungan sampai akhirnya terkumpul Rp 4 juta yang kemudian dijadikan modal awal.

Dengan modal itu, mereka memproduksi cinderamata kaus oblong khas Yogyakarta. Oblong dengan desain kreatif dan penuh plesetan. "Waktu itu oblong adalah favorit kami semasa masih mahasiswa. Jadi kalau tidak diapresiasikan masyarakat, bisa kami pakai sendiri. Masalah penamaan juga hanya spontan saja," tutur Arief yang juga sebagai Managing Director Daagadu Djokdja ini.

Pada 19 Januari 1994, mereka membuka 'dasaran' di lower ground Malioboro Mall. Saat itu dijadikan sebagai hari lahir Dagadu. Untuk menunjukkan lokalitas asal cinderamata, mereka kemudian menambahkan kata 'Djokdja' dengan ejaan lama. Kreativitas plesetan mereka ternyata meledak. Kini, 14 tahun sudah mereka sukses memplesetkan Yogyakarta.

Produk mereka pun tak hanya oblong, tapi juga beragam merchandise seperti pin, topi, dompet, mug, kunci, stiker, sweater, dan banyak lagi. Dengan konsep menjadi cinderamata alternatif, Dagadu Djokdja telah menjadi oleh-oleh khas Yogyakarta. Gerai mereka pun berkembang menjadi tiga, Posyandu (Pos Pelayanan Dagadu) di Malioboro Mall, UGD (Unit Gawat Dagadu) di Pakuningratan, dan DPRD (Djawatan Pelajanan Resmi Dagadu) di Ambarukmo Plaza. Selain itu juga ada gerai maya yang disebut pesawat atau Pesanan Lewat Kawat dan melayani pembelian secara online.

Arief mengaku sempat direpotkan dengan bermunculannya produk-produk imitasi yang bertebaran di setiap sudut kota. Padahal, pihaknya telah mengurus perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan mendaftarkan beberapa merek dagangnya. Untuk mengatasinya, Dagadu berulang kali melancarkan kampanye ke masyarakat agar tidak memakai produk bajakan. "Kami terus malakukan sosialisasi tentang Marilah PD (Percaya Diri) dengan ciptaan kita sendiri dan marilah kita malu memakai ciptaan orang lain. Tapi terus terang beberapa teman-teman agak pesimis dengan hal itu," kata Arief.

Selain itu, Dagadu mengganti desainnya secara berkala. Dalam seminggu ada empat desain baru yang diluncurkan dan dalam setahun terdapat puluhan desain baru. Desain yang ditampilkan selalu memerhatikan situasi dan kondisi yang ada dalam masyarakat. "Singkatnya sesuai zaman agar masyarakat tidak bosan," kata Arief.

Menurut Arief, peluang dalam bisnis ini masih terbuka lebar. Modalnya tidak mahal dan dapat menghasilkan pemasukan berlipat. Yang penting adalah kreatif agar tetap eksis.

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2008/09/29/07234579/Dagadu.Merayu.Lewat.Kaus.Omzet.Pun.Miliaran

Modal 1 Juta, Sutarpi Raup Omzet Puluhan Juta dari Tas Berbahan Lidi

KOMPAS.com -  Dari masa ke masa, tas menjadi perlengkapan tak terpisahkan bagi kaum hawa. Dalam setiap aktivitasnya, perempuan selalu menenteng barang satu ini. Jangan heran jika produsen tas juga rajin menggelontorkan model baru ke pasar.

Bahkan, untuk membuat produk ini berbeda, tak jarang produsen melakukan pelbagai inovasi. Salah satunya, membuat tas dari bahan sapu lidi. Salah satu produsennya adalah Sutarpi.

Ide membuat tas drai lidi ini terbersit dui benak Sutarpi  saat ia mencari bahan baku tas yang lebih murah. “Ketika krisis, saya mencari ide mendapatkan bahan baku tas yang murah,” tutur perempuan yang telah menggeluti usaha produksi tas sejak 1994 ini.

Bermodalkan duit Rp 1 juta buat membeli batang-batang lidi, sejak awal 2008, perempuan berusia 35 tahun ini mulai menjalankan produksi tas berbahan baku lidi.

Dibantu empat orang karyawan, Sutarpi merangkai batang-batang lidi menjadi sebuah tas. Tentu, batang lidi itu sebelumnya telah diwarnai agar lebih menarik.

Di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, Sutarpi mulai memperkenalkan tas lidi buatannya itu ke masyarakat.Meski terbilang barang baru, ternyata banyak yang kecantol dengan tas lidi Sutarpi.

Dalam waktu singkat, ia bisa meraup omzet Rp 300.000 sehari dari jualan tas lidi. “Ini kan jenis baru. Jadi, banyak orang suka dengan tas lidi saya,” katanya.

Permintaan yang terus meningkat memaksa Sutarpi menambah jumlah karyawannya menjadi enam orang. Bahkan, ia kadang harus menambah jumlahnya menjadi 10 orang, jika ada pesanan dalam jumlah besar.

Sejauh ini, Sutarpi relatif tidak menemui kesulitan soal pasokan bahan baku. Sebab, selain harga lidi relatif murah, barangnya juga mudah didapat. “Saya membelinya di pasar,” ujarnya.

Pembeli dari India

Setiap hari, Sutarpi mampu memproduksi 10 model tas dengan jumlah total 100 unit.  Namun, jika ia kebetulan sedang membuat model agak susah, produksinya hanya 50 tas per hari. Harga tas bervariasi, mulai Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per unit, tergantung model dan kualitas.

Sutarpi mengaku bisa meraup omzet sampai Rp 750.000 per hari. “Marjin masing-masing tas mulai dari Rp 2.000 sampai Rp 5.000,” ungkapnya.

Selama ini, pembeli tas lidi Sutarpi tak terbatas pada masyarakat Yogyakarta. Ada beberapa pelanggan dari Jakarta, Medan, bahkan India. “Pembeli dari India rutin memesan setiap tiga bulan sekali,” katanya bangga.

Bicara soal pemasaran, Sutarpi menggunakan dua cara: tradisional dan modern. Cara tradisional adalah dengan menjajakan sendiri barang dagangannya hingga menitip ke kios. Sedangkan cara modern, ia memasarkan produknya lewat dunia maya. “Tapi, selama ini, promosi lewat internet masih belum maksimal,” akunya.

Bagi Anda yang tertarik mencoba bisnis tas lidi ini, ada beberapa tip menarik dari Sutarpi.

Pertama, siapkan modal minimal Rp 1 juta buat membeli bahan baku lidi. “Perkiraan saya, uang segitu mampu  memproduksi hingga 50 tas lidi per hari,” ujar Sutarpi.

Kedua, cari pekerja yang ulet dan mahir merangkai lidi menjadi tas nan apik. Maklum, membuat tas ini cukup sulit.

Ketiga, Anda harus jeli melihat selera pasar yang mudah berubah. “Makanya, sekarang saya memadukan bahan lidi dengan aksesori akar wangi, enceng gondok, dan bahan lainnya,” papar Sutarpi. (Dessy Rosalina/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/06/24/09371398/Merangkai.Laba.dari.Tas.Lidi

Heru, Kreasi Miniatur Kendaraannya Hasilkan Puluhan Juta Rupiah

Jangan membuang potongan kayu bekas yang berserakan di sekitar Anda. Alih-alih menjadi sampah, potongan kayu tersebut bisa menghasilkan fulus cukup lumayan.

Heru Harmanta, pemilik Agung Handicraft, telah membuktikannya. Bermula dari  upaya mengutak-atik potongan kayu yang berserakan di rumahnya, is kini dikenal sebagai pembuat miniatur kendaraan seperti mobil dan motor yang memiliki nilai jual tinggi.

Bermodal awal sekitar Rp 2 juta, kini lelaki berusia 39 tahun ini mampu meraup omzet puluhan juta per bulan dari bisnis ini. Maklum, meski terlihat sepele dan gampang dibuat, ternyata cukup banyak orang menggemari miniatur kendaraan bikinan Heru.

Ketika memulai usahanya, Heru hanya dibantu dua orang karyawan untuk membuat miniatur tersebut. Setiap bulan, ia cuma mampu memproduksi sekitar 100 miniatur.

Lantaran produksinya masih terbatas, Heru hanya menawarkan produknya ke kawasan wisata terdekat, yakni Malioboro dan Candi Prambanan. "Awalnya, banyak orang masih menganggap aneh, tapi akhirnya mereka suka juga," katanya. Dari hasil jualan miniatur ini, Heru meraup omzet sekitar Rp 2 juta. "Saya baru balik modal dalam delapan bulan," ujarnya.

Tapi, itu cerita lalu. Saat ini, bisnis Heru terus merangkak naik. Sekarang, omzetnya sudah mencapai Rp 35 juta sampai Rp 60 juta per bulan. Jumlah karyawannya telah bertambah menjadi 15 orang. Kapasitas produksinya kini telah meningkat menjadi sekitar 1.000 miniatur per bulan, bahkan bisa lebih besar lagi. "Memang, belakangan ada penurunan 20% karena krisis global," kata Heru.

Heru mengaku mengambil marjin yang lumayan besar dari usaha ini. "Harga jual miniatur ini sekitar enam kali lipat dari harga bahan baku. Kalau dihitung, marjinnya bisa sampai 200 persen," beber Heru. Adapun bahan bakunya adalah kayu sono keling, mahoni, dan jati. Lantaran cuma sisa potongan kayu, harganya terbilang murah.

Untuk memasarkan produk ini, Heru sering mengikuti pameran dan bekerjasama dengan dinas pariwisata dan industri setempat untuk mendapatkan pasar potensial. Ia mengaku, sulit mencari pasar jika bergerilya sendiri. "Sebelumnya, saya sempat memasarkan ke toko toko besar. Tapi, hasilnya tak seberapa karena tak ada lonjakan permintaan," ujarnya.

Kreatif bikin model

Agar pasarnya semakin luas, Heru juga berjuaIan lewat internet. Berkat rajin ikut pameran dan berjualan di dunia maya, Heru sudah mengekspor produknya ke Eropa, Australia, Amerika Serikat, Asia, dan Timur Tengah. "Pengunjung di pameran internasional terlihat antusias membeli produk saya," ujarnya sumringah.

Kini, Heru memiliki kurang lebih 115 model miniatur kendaraan aneka ukuran. Harganya mulai dari Rp 3.000  sampai Rp 300.000 per unit. Sejauh ini, model ,yang paling diminati pembeli adalah motor Harley Davidson.

Jika ingin menggeluti bisnis ini, pria yang sempat mengecap bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini punya saran. "Modal awal menekuni bisnis ini sekitar Rp 2 juta," ujarnya. Menurutnya, uang sebesar itu cukup untuk membuat 200 unit miniatur.

Modal lain yang tak kulah penting adalah kreativitas membuat model, dan jeli mencari celah pasar. Maklum, saat ini pesaing di bisnis ini lumayan banyak. "Ada sekitar 21 pemain. Kebanyakan bekas karyawan saya," imbuhnya. (Kontan/Dessy Rosalina)

=================================================================================

Agung Handicraft
Desa Klurak Baru Bokoharjo, Prambanah Sleman, Yogyakarta
Telp. (0274) 496668


sumber: file:///home/fatah/Downloads/wrsha/Laba.Besar.dari.Miniatur.Kendaraan.html

Didin, Bermodal 2 Juta, Sukses Raup Omzet 40 Juta dari Boneka Maskot

Kini bisnis boneka tidak melulu membidik pasar anak-anak. Orang dewasa mulai tertarik pada boneka. Bahkan, boneka sekarang bisa menjadi pemanis di ruang-ruang kantor, entah berupa maskot perusahaan atau sekadar aksesori.

Peluang ini memberi inspirasi bisnis pada Didin Saepudin. Ia mulai menggarap bisnis boneka maskot perusahaan sejak tahun 2004. Awalnya, dari hanya menjajakan boneka di pasar, ia bertekad membuat segmentasi khusus: menyasar perusahaan-perusahaan. Caranya, dengan membuat boneka maskot perusahaan.

Didin mengakui, pemain bisnis boneka sudah berjubel. Makanya, ia membidik segmen spesifik, yakni khusus boneka maskot perusahaan.

Kala itu, dengan modal cuma Rp 2 juta, Didin hanya mampu memproduksi sekitar 100 boneka maskot per bulan. Meski produksi masih sedikit, keuntungannya lumayan buat mengembalikan modal awal dalam tempo cepat.

Lambat laun, boneka maskot Didin mulai terdengar di telinga banyak orang. Pelanggan pun berdatangan. Demi menyanggupi tingginya permintaan, Didin menambah jumlah pekerja dari satu orang menjadi 10 orang seperti sekarang.

Butuh pekerja terampil

Saat ini, bermarkas di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur, Didin menggulirkan roda bisnisnya. Beberapa perusahaan beken pernah menjadi kliennya, seperti Hotel Aryaduta, Singapore Airlines, Hotel Milenium, PT Telkom, Bank Kaltim, dan banyak lainnya.

Untuk menggaet lebih banyak pelanggan, Didin tidak cuma memakai media internet sebagai ajang promosi. "Saya juga tawarkan lewat obrolan teman dan langsung ke perusahaan," imbuhnya.

Boneka maskot  perusahaan buatan Didin tersebar ke beberapa kota, seperti Jakarta, Medan, Kalimantan, Semarang, Batam, dan Bali. Ia memproduksi minimal 4.000 boneka per bulan. Didin membanderol harga boneka bikinannya berkisar Rp 7.500 sampai Rp 25.000 per buah, tergantung ukuran, bahan, bordir, dan permintaan klien.

Dengan mematok harga segitu, Didin mengaku bisa mendulang omzet sekitar Rp 40 juta per bulan. Laba bersihnya terbilang lumayan, yakni 20 persen-30 persen dari pendapatan kotor tersebut.

Tergiur mendengar omzet besar bisnis boneka maskot perusahaan? Didin bisa menunjukkan jalannya kalau Anda berminat bermain di bisnis ini. Yang diperlukan adalah tenaga pekerja yang terampil. "Karena membut boneka itu susah, harus punya pekerja terlatih," ujar Didin.

Bila dihitung-hitung, unttuk memulai bisnis boneka maskot perusahaan, Anda harus merogoh kocek sebesar Rp 25 juta sebagai modal awal. Selain bermodal duit, Anda juga harus pintar memasarkan produk Anda, dan bisa menunjukkan hal berbeda dari pesaing lain.

Bingung dengan proses produksinya? Begini ringkasnya. Pertama-tama klien memberikan desain boneka maskot perusahaan yang mereka inginkan. Kemudian, Anda sebagai produsen akan membuat contoh maskot yang sudah jadi.

Setelah contoh maskot disetujui, proses produksi mulai dari menjahit sampai membordir bisa segera berjalan. Selama ini, Didin menggunakan bahan baku buat boneka maskot seperti nilek, velboa, dan raspur. Bagaimana, Anda berminat? (Dessy Rosalina/Kontan)

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/02/26/11191213/Bidik.Boneka.Maskot.Omzet.Rp.40.Juta

Santoso, Meraup Laba dari Persilangan Itik dan Entok

Selingkuh ternyata bukan cuma monopoli manusia. Bebek betina dan entok jantan biasa melakukannya. Malah, perselingkuhan bebek dan entok ini sudah menelurkan anak bernama tiktok. Bagi Santoso, peternak bebek asal Depok, Jawa Barat, tiktok adalah sumber rezeki. "Saya mengawinkan itik betina dengan entok jantan. Orang lain biasanya melakukan kebalikannya," ujarnya.

Tubuh tiktok jauh lebih bongsor ketimbang bebek. Soal rasa, daging tiktok tak kalah dengan daging bebek. Kini Santoso benar-benar menikmati laba gurih dari berjualan daging tiktok.

Pria yang berternak unggas sejak 1985 menjelaskan bahwa berternak tiktok lebih murah ketimbang berternak bebek. Maklum, tubuh tiktok lebih cepat besar ketimbang bebek. Dengan begitu, ongkos merawat tiktok juga lebih sedikit.

Untuk membesarkan tiktok hingga mencapai berat 2 kg, Santosa mengaku hanya membutuhkan waktu satu setengah sampai dua bulan. "Kalau bebek biasa, setidaknya membutuhkan waktu empat hingga lima bulan," ujarnya.

Soal makanan, tiktok juga terbilang tidak rewel. Hewan ternak ini doyan makan apa saja, mulai dari dedak hingga limbah dapur. Cuma, Santoso memiliki ramuan khusus untuk makanan tiktok. Ada dua jenis bahan baku makanan tiktok ini. Pertama adalah dedak dan limbah roti. Harga dedak itu di pasar sekitar Rp 2.000 per kg. Sementara itu, untuk limbah roti, harga per kilogram Rp 5.000.

Sebagai gambaran, untuk membesarkan satu tiktok hingga layak dipotong butuh waktu sekitar dua bulan. Selama itu, satu tiktok bisa menghabiskan pakan sekitar 6 kg bahan campuran dedak dan roti. Saat ini Santosa memelihara setidaknya 500-600 tiktok. "Tiap bulan, saya menghabiskan 1,8 ton pakan," ujarnya.

Santosa mengaku tidak sulit mendapatkan bahan makanan bebek. Bahan ini tersedia di banyak toko penjual makanan ternak. Santoso juga mengatakan bahwa modal berbisnis ini tidaklah terlalu banyak. "Waktu tahun 1985 modal saya hanya Rp 1 juta," ujarnya.

Untuk mendapatkan tiktok tergolong mudah. Santoso mengungkapkan, hampir setiap hari ia mengawinkan beberapa pasang itik dan entok. Dari hasil persilangan itu Santoso bisa mendapatkan 30-50 butir telur.

Ia selanjutnya memasukkan telur dalam inkubasi sebagai media penetasan. Lama penetasan sebulan. Setelah menetas, bayi tiktok siap dibesarkan dan siap dipotong setelah berumur dua bulan.

Telur agak sensitif

Cuma, Santoso mewanti-wanti. Proses penetasan merupakan bagian yang sangat menentukan. Proses melakukan inkubasi, misalnya, harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, telur-telur ini agak sensitif. "Bisa-bisa tidak jadi bebek atau pertumbuhannya lambat," ujar Santosa.

Untuk pemilihan induk yang akan dikawinkan, Santoso mempunyai itik sebanyak 300 ekor dan entok sebanyak 20 ekor. "Saya harus menyiapkan induk sebanyak itu. Kalau kurang, saya akan membeli itik atau entok lagi," ujarnya.

Saat ini Santoso bisa menghasilkan 100 ekor tiktok dewasa setiap hari. Cuma, ia belum bisa melayani pesanan tiktok dari restoran lain. Maklum, seluruh tiktok itu masih menjadi sumber pasokan bagi restoran miliknya. Di restoran ia menjual per ekor tiktok seharga Rp 60.000. "Saya mengambil untung Rp 10.000 per ekor," ujarnya.

Santosa mengaku memprioritaskan hasil silangan tiktok untuk memasok kebutuhan restorannya. Padahal, menurutnya, permintaan dari luar hasil ternak silangannya ini lumayan besar. "Saya sering didatangi restoran yang meminta saya memasok bebek ke mereka," ujarnya.

Kalau dijual di pasar, harga tiktok bisa seharga Rp 40.000-Rp 50.000 per ekor. Sayang, Santosa enggan blak-blakan soal berapa keuntungan bersih yang diraupnya dari bisnis anak persilangan itik dan entok itu.

Santoso mengklaim, protein daging tiktok lebih tinggi ketimbang bebek, sedangkan kolesterol tiktok lebih rendah dibandingkan dengan bebek biasa. "Saya sudah mengetes di laboratorium IPB dan ada sertifikatnya," ujarnya.

Santoso mengatakan, bisnis ternak bebek silangan ini masih mempunyai prospek bagus. Selain bisa menghasilkan puluhan juta per bulan, memelihara tiktok juga semudah memelihara bebek. Tiktok termasuk unggas yang bandel dan tahan banting. Tiktok juga relatif tahan terhadap virus flu burung. "Tinggal sediakan lahan saja, bebek itu akan hidup sendiri," ujarnya. (Lamgiat Siringoringo)

===============================

Peternakan Tiktok
Jalan KH M Usman Nomor 81A
Beji, Depok, Jawa Barat
Telepon: 0813-10792633

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2008/07/23/08550748/Menggiring.Laba.dari.Hasil.Selingkuh

Rosita, Dari Tanpa Modal, Sekarang Punya Ratusan Karyawan

Apakah Anda pernah mencoba kue wafel yang terbuat dari bahan dasar sukun? Atau bahkan mi yang dibuat dari singkong? Rasanya tidak kalah nikmat dibandingkan bila dibuat dari tepung terigu. Bahkan, yang ini lebih banyak mengandung serat ,vitamin, dan gizi karena dibuat dari buah.

Dibalik resep unik ini, penggagasnya adalah Rosita Doddy (55), pemilik katering Pangan Selaras. Bahkan, masakan buatannya ini digandrungi ibu-ibu pejabat. "Biasanya mereka pesan untuk arisan atau acara-acara lainnya," kata Rosita.

Padahal, usaha yang dirintis sejak tahun 1982 ini hanya berawal dari sekedar hobi dan tanpa modal. Semula, Rosita yang hobi masak ini kerap mendapat pesanan dari tetangganya. Biasanya, konsumen Rosita memberi uang terlebih dahulu saat memesan masakan.

Oleh Rosita, uang tersebut digunakan untuk belanja bahan baku, sedangkan keuntungan yang didapat disisihkan untuk membeli peralatan, seperti cetakan kue dan oven. "Lama-lama ngumpul banyak dan bisa mencoba beragam resep. Jadi, lebih banyak kreasi, banyak yang pesan," kata Rosita.

Kala itu, cara pemasarannya juga hanya dari mulut ke mulut. Semakin lama, usaha Rosita kian berkembang. Rosita yang lulusan Teknik Sipil Institute Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya, ini, lantas bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Jasa Boga (APJI).

Dengan mengikuti organisasi, Rosita mengaku, banyak memperoleh wawasan mengenai cara pemasaran. Konsumennya kian bertambah dan perusahaannya mulai dikenal berbagai pihak, termasuk sejumlah departemen pemerintah.

Rosita juga diserahi tugas untuk program ketahanan pangan. Tugasnya adalah membuat beragam masakan dengan bahan dasar selain tepung terigu. Dia juga dituntut agar penampilan hasil masakannya menarik saat dihidangkan. Alhasil, Rosita kerap melakukan berbagai eksperimen untuk mengetahui karakter tepung.

Bila tepung terigu memiliki glutan yang membuat adonan menjadi berkembang, sejumlah tepung dari bahan dasar buah tidak memilikinya sehingga susah mengembang. "Jadi, harus diakali bagaimana agar tetap mengembang. Sedikit ada campurannya," tutur Rosita.

Selain itu, Pangan Selaras juga menyediakan makanan tradisional, seperti aneka bubur, kue lupis, dan serabi. Rosita juga menjual hasil masakannya di kafe yang dirintisnya, yakni Kafe Indosat, Jalan Medan Merdeka, Jakarta.

Untuk mi bendo misalnya dijual dengan harga sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 per porsi, sedangkan untuk wafel dijual dengan harga sekitar Rp 10.000 per bungkus berisi delapan buah. Sayangnya, untuk masalah omzet Rosita enggan mengatakannya secara gamblang. "Yang penting bisa bayar karyawan sekitar 100-200 orang dan bisa bayar pajak," ujar Rosita.

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/02/09/09030573/Dari.Tanpa.Modal.Sekarang.Punya.Ratusan.Karyawan

Berani Berkreasi, Omzet Ade Capai Puluhan Juta

Anda pasti setuju, kekayaan budaya dan adat istiadat Indonesia sangat bejibun. Sebagai bukti, lihat saja hasil kesenian dan kerajinan yang sangat beragam, mulai wayang kulit, topeng, batik, ukiran, patung hingga gerabah.

Tapi, tak sedikit berbagai hasil karya seni tersebut belum bisa dikreasikan secara optimal, sehingga nilai jualnya masih rendah. Namun, di tangan Ade Kresna Suwandi, berbagai produk kerajinan lokal, seperti wayang dan topeng khas daerah, mampu dikreasikan menjadi barang kerajinan tangan bernilai jual tinggi. Mari simak perjalanan Ade merintis bisnisnya.

Bermodal Rp 50 juta, pada tahun 2000, Ade memulai usaha menciptakan aneka produk kerajinan seperti wayang, topeng, dan cermin menjadi lebih eksklusif. Dia menamakan usahanya Asta Kriya. "Saya ingin menciptakan produk lokal yang berkelas," katanya.

Dalam kreasinya, Ade menambahkan berbagai polesan dan aksesori, sehingga bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Misalnya, dia mengecat kembali produknya, membuatkan tempat dudukan, menaruhnya dalam pigura, hingga membuat kotak kemasan batik sebagai pembungkus.

Sebetulnya, dia cuma mengkreasikan kembali aneka kerajinan itu. Sebab, dia mendatangkan aneka produk setengah jadi dari para pengrajin di Jogjakarta dan Bali dalam bentuk setengah jadi. Setelah memoles, baru kemudian dia menjualnya ke pasar.

Ketika mengawali usaha, Ade baru mampu menghasilkan sekitar 20 produk dalam sebulan. Ia juga belum begitu banyak memodifikasi bahan baku setengah jadi, sehingga harga jual produk yang berukuran kecil pun, masih sekitar Rp 100.000 sampai Rp 300.000 per buah. "Tapi untuk produk wayang yang ukurannya cukup besar dengan pigura, bisa dihargai sekitar Rp 2,5 juta waktu itu," katanya.

Ia lantas memasarkan produknya melalui berbagai pameran. Tak lupa juga berpromosi ke perkantoran-perkantoran. Sebab, suvenir etnik yang ia hasilkan sebagian diantaranya untuk keperluan barang-barang di kantor, seperti tempat kartu nama, tempat pulpen, dan juga tempat tisu. "Pada awalnya omzet masih sekitar 10 juta," kata Ade.

Seiring berjalannya waktu, bisnisnya semakin berkembang. Dia makin memahami, semakin kental nuansa etnik dalam produknya, peminat pun makin besar. Harga jual pun kian meningkat. Untuk wayang ukuran kecil, misalnya, sekarang ia jual berkisar Rp 200.000 hingga Rp 700.000 per unit. Topeng ukuran kecil ia jual dari harga Rp 200.000 hingga Rp 1 juta.

Agar pasar kian besar, Ade juga tak lupa memakai internet untuk promosi. Cara ini ternyata tak sia-sia. Pesanan ekspor dari luar negeri pun kerap datang, seperti dari Filipina dan Spanyol, meski nilainya masih belum terlalu besar. "Biasanya sekali pengiriman ke luar negeri sekitar Rp 25 juta," kata Ade. (Kontan)

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/02/06/08444920/Berani.Berkreasi.Omzet.Bisa.Mencapai.Puluhan.Juta

Nur dari Melukis Kaca, Raup 40 Juta

KOMPAS.com — Menyulap kaca menjadi produk bernilai ekonomi tinggi memang membutuhkan keterampilan lebih. Umumnya, keterampilan ini menyangkut teknik melukis di wahana kaca. Hasilnya, bentuk unik dan menarik.

Salah satu yang menggeluti bisnis ini adalah Dheamy Nur Alam. Mengusung nama Vai Glass Painting, ia sudah 12 tahun melakoni bisnis ini. Berkat keterampilannya itu, ia bisa mengubah kaca menjadi barang bernilai jutaan rupiah. "Sebenarnya, ini bisnis kakak saya yang sudah lama ditinggalkan, tapi saya hidupkan lagi," katanya merendah.

Bisnis melukis kaca memang cukup menjanjikan. Selain karena pemainnya masih sedikit, peminat lukisan kaca juga terus bertambah. Umumnya, orang memanfaatkan lukisan kaca untuk hiasan desain interior. Kaca yang menjadi media lukis beragam, seperti kaca meja, partisi lemari, jendela, dan cermin.

Harganya juga tidak murah. Banderol kaca yang telah diberi sentuhan seni saat ini rata-rata antara Rp 500.000 sampai Rp 5 juta sekeping. "Tergantung dimensi dan kerumitan motif," ujar Dreamy.

Dheamy membeberkan, dari sedikit pemain di bisnis ini, beberapa di antaranya berada di Cirebon. Namun, Dheamy mengklaim lukisan kacanya punya kelebihan tersendiri dibanding buatan orang lain. "Punya saya beda. Sebab, saya melukis dari sisi depan bukan dari sisi belakang," ucapnya.

Dheamy merintis usahanya tahun 1996 dengan modal Rp 500.000. Modal segini habis untuk membeli cat, kaca, dan perlengkapan melukis.

Meski modal awalnya cuma seuprit, toh, Dheamy sukses menekuni bisnis ini. Buktinya, ia terus menambah jumlah karyawannya. Awalnya, ia hanya bekerja sendirian. "Sekarang, saya sudah memiliki lima karyawan di bidang desain motif," katanya.

Omzetnya Rp 40 juta

Dheamy juga berhasil meraup omzet tebal dari bisnis lukisan kaca untuk hiasan desain interior ini. Dalam sebuIan, ia mengantongi omzet mencapai Rp 40 juta. "Saya mengambil margin penjualan hampir 100 persen," ungkapnya.

Toh, bagi Dheamy, pendapatan segitu masih terbilang kecil. "Sebenarnya, saya bisa mendapat omzet lebih besar lagi jika mampu menjual lebih banyak. Tapi, saya terkendala pemasaran yang tidak maksimal," jelasnya.

Selama ini, Dheamy hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. "Dengan cara seperti ini, Saya sudah dapat konsumen lumayan banyak. Apalagi kalau dipasarkan profesional," katanya.

Selain pemasaran, kata Dhemy, kunci sukses bisnis ini adalah keunikan motif dan desain lukisan. Ini tergantung teknik melukis di atas kaca. Perlu trik khusus agar hasilnya maksimal dan cat yang telah digoreskan pada kaca tidak meleleh atau luntur.

Dheamy mengaku punya trik khusus. "Saya memakai cat lokal, tapi sudah saya ramu ulang. Meski tergores kuku sekalipun, catnya tidak copot," ujarnya bangga.

Melukis di atas kaca memang tidak bisa menggunakan cat seperti melukis pada kanvas. "Jenis cat kaca ini lebih mahal," ujar Dheamy. Meski begitu, ia tak perlu merogoh kocek dalam-dalam saat menggeluti usahanya ini. "Biaya produksinya dari uang muka klien," bebernya.

Kendati usaha bidang perlu bakat seni, bukan berarti bidang ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang piawai melukis. "Semua pasti bisa menggeluti usaha ini. Yang penting, ada ketekunan bisa mendesain motif," Dheamy meyakinkan. (Kontan/Dessy Flosalina)

Vai Glass Painting
JL. Sunan Sedayu No. Rawamangun/ UKM Lt II Blok DC-004. Telp. (021) 5755775


sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/03/19/14055118/Goresan.Rezeki.dari.Melukis.Kaca

Hendro, Bisnis Makanan "Ndeso" Instan, Omzet Rp 10 Juta

KOMPAS.COM Di tangan Hendro Widodo, makanan orang susah seperti tiwul dan gatot bisa menjadi produk bisnis menguntungkan. Ia mengemas makanan berbahan dasar singkong ini dalam bentuk instan. Sejauh ini, pengusaha yang menggarap bisnis ini masih sedikit. Omzetnya bisa mencapai Rp 10 juta per bulan.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang mengenal tiwul dan gatot sebagai makanan orang susah. Jika beras mahal atau sawah mengalami kekeringan, orang desa mengonsumsi makanan olahan dari ketela kering (gaplek) yang dihaluskan ini. Kita masih bisa menjumpai makanan ini di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Blitar di Jawa Timur.

Tapi, jangan salah, di tangan Hendro Widodo, tiwul dan gatot yang merupakan makanan ndeso itu bisa menjadi komoditas yang menghasilkan uang. Hendro yang berasal dari Serengat, Blitar, tahu betul kebiasaan masyarakat daerahnya mengonsumsi tiwul dan gatot. Agar lebih menarik, pada tahun 2003 ia mulai memproduksi tiwul dan gatot dalam kemasan, atau ia biasa menyebutnya tiwul dan gatot instan. "Modal awal saya cukup besar, yakni Rp 25 juta," katanya. Pada awal 2004, Hendro mulai memberi merek dua produknya Titan dan Gatan.

Proses menjadikan tiwul dan gatot instan cukup panjang. Hendro kerap mengganti resep agar semakin sempurna. "Komplain dari konsumen adalah masukan berarti buat saya," katanya.

Ia tak berhenti melakukan uji coba. Awalnya, ia mengetes resep di laboratorium Universitas Airlangga, Surabaya. Belakangan, ia mengetes resep terbaru di laboratorium Universitas Blitar. Dan akhirnya, Hendro mengaku kini sudah menemukan resep yang tepat.

Meski pelbagai uji coba sudah lewat, Hendro tetap menyimpan rapat-rapat resep tiwul dan gatot instannya. Saat produksi, Hendro sendiri yang meracik menu. Adapun lima karyawannya hanya meneruskan proses produksi berikutnya. Menurut Hendro, semua proses produksi dilakukan dengan cara sederhana. "Termasuk pengeringan yang masih memakai panas matahari. Saya belum punya dana untuk membeli oven," akunya.

Hendro menjual tiwul dan gatot instan dalam dua bentuk: kemasan dan curah. Ia membanderol kemasan seberat 250 gram dengan harga Rp 5.000. Adapun harga tiwul dan gatot instan curah lebih murah, yakni Rp 10.000 per kilogram (kg). "Tapi, saya menjual 80 persen produk dalam kemasan," ungkap pria 24 tahun ini.

Hendro menyediakan tiwul instan dalam dua rasa, manis dan tawar. Lulusan SMK Jurusan Otomotif ini menegaskan, tiwul tawar bisa sebagai pengganti nasi. "Juga cocok untuk pengidap diabetes dan diet," katanya.

Cara penyajian kedua makanan ini murah. Kita tinggal merendam tiwul ukuran 250 gram dengan sekitar 150 cc air. Setelah dua menit, kukus tiwul selama 20 menit. Setelah mekar, paling enak tiwul dicampur taburan parutan kelapa yang sudah dibubuhi garam, keju, atau meses.

Penyajian gatot sama dengan tiwul. Hanya, waktu merendamnya lebih lama, minimal delapan jam. Makin lama justru lebih baik karena gatot bisa lebih kenyal.

Lewat 27 agen, produk Hendro kini sudah tersebar di beberapa daerah seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Batam, Manado, dan Banjarmasin. "Permintaan paling bagus justru di Manado," katanya. Selain lewat agen, Hendro juga menitipkan produknya di beberapa outlet di Jawa Timur dengan sistem konsinyasi atau bagi hasil.

Dalam sebulan, Hendro bisa memproduksi dua ton tiwul dan sekitar 600 kg sampai 800 kg gatot. Selama ini, ia tak mengalami kesulitan soal pasokan bahan baku. Sebab, daerahnya sangat kaya dengan singkong. Setiap bulan, Hendro mampu meraup omzet penjualan sampai Rp 10 juta. Laba bersihnya sekitar 30 persen. (Anastasia Lilin Yuliantina/Kontan)

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/03/20/09285117/Bisnis.Makanan.Ndeso.Instan.Omzet.Rp.10.Juta

Friday, January 20, 2012

Himawati, Raup Puluhan Juta dari Bumbu Pecel Kemasan

KOMPAS.com Sebagian orang mengenal dan menyukai menu pecel. Makanan khas daerah ini berisi ramuan aneka sayuran yang disiram bumbu kacang. Kenikmatan rasa pecel sangat tergantung pada bumbu olahannya.

Bumbu pecel tak hanya disukai di dalam negeri. Bumbu pecel yang sudah dikemas ternyata juga menyebar ke berbagai negara lain, contohnya Hongkong, Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Belanda.

Salah satu produsen bumbu pecel kemasan adalah Himawati. Wanita 35 tahun ini sudah menggeluti pembuatan bumbu pecel sejak dua tahun lalu di bawah bendera UD TYM. Walau baru seumur jagung, kelezatan bumbu pecel Himawati ini sudah terkenal sampai ke luar negeri, khususnya para pelanggannya di Hongkong. Tak heran jika dalam sebulan, mantan pedagang pakaian anak ini mampu meraup omzet Rp 21 juta.

Awalnya, Himawati mengaku iseng menjual bumbu pecel di sekitar rumahnya. "Resepnya warisan keluarga," ujarnya. Tak disangka, banyak yang menyukai bumbu pecel ini. "Itu sebabnya, saya pakai nama merek Cap Jempol sebab rasanya memang jempolan," ujarnya.

Dari hari ke hari, permintaan bumbu pecel buatan Himawati terus naik. Bahkan, produksi bumbu pecelnya pernah mencapai 35 kilogram per hari. Sayang, belakangan ini, produksi bumbu pecel Cap Jempol terus turun hingga tinggal sekitar 20 kilogram per hari.

"Untuk menjaga citarasa, saya selalu memasarkan hasil produk dalam keadaan segar, tak seberapa lama setelah dipesan. Makanya, saya tak mau masuk ke jaringan ritel modern," ujarny, berbagi rahasia.

Himawati menjual bumbu pecel Cap Jempol Rp 35.000 per kg atau Rp 3.500 per ons. "Dari tiap ons, saya hanya mendapat untung Rp 400," lanjut pengusaha asli Surabaya ini. Namun, karena permintaannya banyak, keuntungan kecil tersebut bisa menjadi besar juga.

Menurut Himawati, produknya terbilang mahal untuk rata-rata harga bumbu pecel di Surabaya. Sebab, ia lebih mementingkan kualitas produk yang terbuat dari hampir 100 persen kacang. "Kalau yang lainnya bisa murah karena dicampur singkong. Sementara, saya benar-benar pakai kacang kualitas nomor satu sehingga produk saya tahan sampai enam bulan," ujarnya.

Tak hanya produk bumbu pecel Cap Jempol yang diminati pembeli luar negeri. Bumbu pecel Karangsari dari Blitar ternyata lebih dahsyat. Sekarang, bumbu pecel ini menembus pasar Belanda, AS, Australia, Hongkong, Arab Saudi, dan sebagainya.

Bumbu pecel Karangsari sudah bertahan selama 30 tahun. "Rasa bumbu pecel Karangsari lezat, makanya banyak yang cocok," ajar Sutanto, pemilik Gracia Trading, pemasar resmi bumbu pecel Karangsari di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Dalam sebulan, Gracia Trading bisa memasok lima ton bumbu pecel Karangsari untuk wilayah Jabodetabek. Omzet rata-rata Sutanto, yang juga mapan sebagai pengusaha toko besi ini, sekitar Rp 100 juta per bulan. "Itu baru untuk pasar tradisional. Kalau sudah masuk pasar modern, ada jalur distribusi sendiri. Kebetulan, saya tidak memegang pemasarannya," lanjut Sutanto yang juga masih kerabat dekat pendiri bumbu pecel Karangsari.

Harga sebungkus bumbu pecel Karangsari ukuran dua ons Rp 4.000. Sementara, harga perkilogram Rp 20.000. "Khusus eceran, ukuran dua ons harganya Rp 7.000," lanjut Sutanto. Dari harga tersebut sebagai pemasar resmi, ia menangguk margin laba sampai 20 persen per bungkus. (Aprillia Ika/Kontan)

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/03/24/09411759/Dari.Pecel.Hasilkan.Duit.Ratusan.Juta

Kadek Eka, Mendunia Lewat Lulur Wangi

Berani mengambil jalur yang berbeda, Kadek Eka Citrawati (31) harus berpeluh membangun bisnis produk perawatan tubuhnya dari nol. Namun, kerja keras perempuan kelahiran 18 Agustus 1977 ini berbuah manis.

Awal mula membangun Bali Alus?
Orangtua saya di kampung adalah petani. Setiap bulan mereka mengirim rempah-rempah hasil kebun ke berbagai tempat. Bukan cuma Indonesia, tapi juga ke luar negeri seperti India dan Thailand. Ada cengkeh, jahe, temulawak, dan masih banyak lagi. Katanya sih untuk bahan baku kosmetika dan berbagai produk perawatan tubuh.

Lalu?
Dari sini timbul rasa penasaran saya. Kok, kenapa bahan asli Indonesia dipakai untuk produk merek luar yang berarti akan ditempeli brand asing pula? Kenapa bukan kita sendiri saja yang olah bahan-bahan mentah ini hingga jadi produk perawatan tubuh dengan label asli anak Indonesia. Kan, lebih baik dan lebih besar pula nilainya.
Dari sini saya lalu mencoba-coba membuat sendiri beberapa jenis produk perawatan tubuh. Awalnya belum saya kasih nama atau label. Setelah benar-benar fokus di usaha ini, setelah lulus kuliah tahun 2008, baru saya namai Bali Alus.

Apa jenis produk pertama yang Anda buat?
Lulur scrub. Baru kemudian minyak esensial, sabun, dan produk-produk lainnya. Karena waktu memulai saya masih kuliah, jadi hanya sempat mengerjakan di sela-sela waktu luang. Namanya juga coba-coba, lebih banyak gagal daripada berhasilnya.

Apalagi, saya melakukan semuanya sendiri, mulai dari riset, mencari bahan, meramu, eksperimen, sampai tes produk. Makanya butuh waktu lama, bertahun-tahun, baru saya bisa membuat produk yang layak pakai.

Yang juga bikin lama, saya berkeras semua bahan serba tradisional dan asli. Saya ingin produk saya alami dan natural. Misalnya membuat sabun, saya benar-benar dari minyak kelapa murni tanpa campuran bahan kimia sedikit pun.

Berapa lama Anda harus bereksperimen hingga menemukan formula ramuan yang pas hingga bisa menghasilkan produk jadi?
Lama ya, dari saya mulai kuliah hingga lulus. Makan waktunya juga karena saya enggak cuma eksperimen bikin lulur scrub saja, tapi juga produk-produk lain. Saya pikir sekalian saja. Biar nanti jadinya juga serentak, dan saya bisa mulai memasarkan dengan serius.

Kabarnya, latar belakang Anda tidak ada hubungannya dengan produk kecantikan ya?
Betul, tidak ada sama sekali. Saya ini seorang arsitek (Kadek lulusan arsitektur Univesitas Udayana, Bali). Semuanya hanya berbekal rasa suka, rasa penasaran, ditambah keinginan kuat saja.

Jadi saya cuma mengandalkan kekuatan sendiri dan belajar otodidak dalam semua hal. Internet dan buku-buku adalah alat utama saya mencari ilmu tentang pembuatan produk perawatan tubuh.

Sama sekali tanpa bantuan tenaga ahli?
Awalnya, saya benar-benar sendiri dan tanpa bantuan satu pun tenaga ahli. Paling saya diskusi dan tukar pikiran dengan kakak-kakak saya yang berdomisili di luar negeri (Kadek bungsu dari 5 bersaudara). Basic-nya dari kecil saya sering memerhatikan orangtua dan nenek saya membuat ramuan lulur tradisional Bali yang disebut boreh.

Dulu, nenek membuat boreh dari campuran beras, jahe, cengkeh, diulek hingga menjadi pasta. Ini menginspirasi saya. Dengan bahan yang sama, tapi dimodifikasi dengan bengkuang, jadilah lulur scrub ala Bali Alus yang bisa memutihkan kulit. Jadi mulanya saya murni otodidak.

Tapi, setelah lulus kuliah dan fokus dengan Bali Alus, saya mulai mencari pengetahuan tambahan dengan belajar pada ahlinya. Saya sampai mendatangkan tenaga ahli dari Belanda. Beliau saya kontak lewat internet. Jauh-jauh datang ke Bali hanya untuk mengajari saya.

Produk seperti apa sih yang sebenarnya ingin Anda buat hingga mau repot-repot begitu?
Karena niat saya muncul dari melihat produk perawatan tubuh luar yang modern, maka dari awal saya sudah bertekad ingin membuat produk dengan konsep modern, tapi tetap terbuat dari bahan-bahan tradisional. Misalnya, aromaterapi untuk pengharum mobil, itu kan sesuatu yang moderen, tapi saya menggunakan rempah-rempah tradisional sebagai bahan dasarnya.

Saya juga berusaha semaksimal mungkin agar produk saya memenuhi standar kualitas produk kecantikan luar yang sudah mendunia. Tujuannya tentu supaya orang luar juga mau pakai produk saya. Target saya bukan cuma pasar Indonesia.

Anda begitu optimis. Apa pasar untuk produk perawatan tubuh memang menjanjikan?
Menurut saya, pasar untuk produk yang berhubungan dengan kecantikan selalu menjanjikan. Karena di belahan dunia mana pun, kaum perempuannya selalu butuh merawat kecantikannya. Bahkan, sekarang sasaran produk kecantikan termasuk di dalamnya produk perawatan tubuh bukan cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Karena laki-laki jaman sekarang kan banyak yang sadar penampilan.

Saya juga optimis mengembangkan usaha ini karena melihat sekitar saya. Di Bali ada banyak sekali hotel dan tempat peristirahatan yang menyediakan fasilitas spa dan perawatan tubuh. Jadi, enggak usah jauh-jauh dulu, cukup menawarkan produk saya ke berbagai hotel dan spa yang ada di Bali.

Itu yang Anda lakukan dalam memperkenalkan produk Anda pertama kali?
Ya. Saya sadar, kalau langsung dijual, siapa yang mau beli? Selain itu, dana dan tenaga yang saya miliki sangat terbatas. Saya harus memilih, mau fokus pada pembuatan dan pengembangan produk atau pemasaran dan pengembangan brand.

Saya memilih yang pertama. Makanya saya pilih model pemasaran yang simpel. Saya datangi hotel-hotel, salon, serta spa di seputar Bali, saya tawarkan mereka untuk memakai produk lulur scrub saya. Tentu saja gratis. Ini saya maksudkan juga sebagai uji coba, apakah konsumen menyukai produk saya.

Bagaimana sambutan awal?
Sangat bagus. Hampir semua hotel dan spa yang saya berikan sampel produk mengaku konsumennya puas. Tapi sambutan memuaskan ini enggak langsung bisa dirasakan begitu sampel saya bagikan lho. Butuh waktu sampai mereka berani mencoba memakai produk saya. Harus saya rayu dulu. Ini wajar, kulit manusia kan sensitif. Salah-salah, produk baru bisa membuat iritasi atau alergi.

Selanjutnya?
Selanjutnya hotel-hotel tersebut mau terus memakai produk saya. Tapi satu kekurangannya, mereka mau pakai produk kami, tapi tanpa label Bali Alus. Rata-rata Hotel kan menempelkan label mereka sendiri di semua produk yang disediakannya. Dan seiring berjalannya waktu, hotel-hotel itu tidak lagi membeli langsung pada saya. Melainkan lewat supplier.

Maksudnya?
Jadi, setelah jenis produk yang saya buat makin banyak, saya makin tidak punya waktu untuk mengurus pemasaran. Dan setelah nama Bali Alus mulai dikenal, banyak orang yang menawarkan ingin memasarkan produk saya. Saya pikir ini juga ide yang baik. Sekalian bagi-bagi rezeki juga kan.

Akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi melakukan penjualan langsung. Karena itu saya juga tidak mau membuka toko, outlet, atau gerai. Semua produk Bali Alus hanya tersedia di workshop saya. Supplier yang mengambil atau membelinya dari saya, selanjutnya mereka menjual produk saya ke konsumen.

Yang unik, saya tidak mengikat para supplier ini dengan harga khusus. Mereka bebas menjual produk dengan harga berapa saja. Tapi tentu supplier yang memberi harga termurah akan lebih laku jualannya, kan. Jadi biar mereka bersaing secara sehat.

Berarti Anda tidak menjual produk Bali Alus secara eceran?
Meski sebenarnya tidak melayani penjualan ritel atau eceran, tapi saya bukan orang yang kaku. Banyak orang dari luar kota yang mendengar tentang Bali Alus menyempatkan datang ke workshop saya. Karena mereka sudah jauh-jauh datang, saya selalu membolehkan mereka beli eceran. Kan mereka rata-rata cuma untuk konsumsi pribadi.

Yang menyenangkan, biasanya setelah pulang ke kota masing-masing dan mencoba produk saya, mereka akhirnya tertarik untuk memasarkan Bali Alus di kotanya. Jadilah sekarang agen-agen Bali Alus sudah tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia. Akhirnya tanpa sengaja saya menemukan cara membesarkan brand saya secara gratis.

Yang unik juga, karena Bali banyak didatangi turis, produk saya pun sampai ke luar negeri. Sama dengan turis Indonesia, mula-mula mereka beli untuk konsumsi sendiri. Setelah pulang ke negaranya, ada yang memesan untuk dijual lagi. Yang saya tahu Bali Alus sudah sampai di Korea, India, Singapura, dan Malaysia.

Ada cara lain mengenalkan Bali Alus pada khalayak? Lewat iklan mungkin?
Kalau iklan belum. Seperti saya bilang tadi, saya lebih memilih fokus pada produksi. Pengenalan produk, selain lewat agen yang tersebar di berbagai kota, juga lewat ajang pameran. Sejak 3 tahun lalu saya rajin mengikuti berbagai pameran, terutama di Jakarta dan Bali. Khusus untuk pameran, saya menjual ritel.

Anda jalan sendiri?
Enggak kok. Banyak yang membantu. Kebetulan, sejak awal saya bergabung dengan koperasi. Oleh koperasi saya dibantu modal dan mendapat banyak pengarahan. Koperasi juga yang mengenalkan saya dengan ajang pameran. Selain koperasi, yang juga banyak membantu saya adalah Dewan Kerajinan Nasional Daerah atau Dekranasda, dan Disperindag.

Ngomong-ngomong, berapa sih modal yang Anda keluarkan saat pertama kali merintis Bali Alus?
Untuk modal awal saya menghabiskan sekitar Rp 100 juta. Setengahnya dari kocek pribadi, setengahnya lagi dari bantuan koperasi.

Saat ini, produk Bali Alus mencakup apa saja?
Banyak ya. Ada puluhan, mulai dari lulur scrub, lulur bubuk, body lotion, masker, sabun batang, sabun sirih untuk vagina, sabun transparan, massage oil, bath foam, garam mineral, ratus, herbal rempah, masker rambut, sampo, kompres mata, dan masih banyak lagi.

Apa kendala yang masih Anda temui?
Sampai saat ini, saya masih fokus dengan pengembangan produk. Masalah yang sering saya temui adalah bagaimana membuat produk yang tahan lama, tapi tanpa proses dan zat kimia.

Ya, gara-gara ingin produk Bali Alus benar-benar alami, jadilah saya menggunakan semua bahan baku asli tumbuh-tumbuhan, bukan sintetis. Akhirnya, produk Bali Alus enggak bisa awet dalam jangka waktu panjang. Setelah berbagai cara saya lakukan, dioven berulang kali, maksimal produk Bali Alus bisa disimpan 8 bulan.

Mengapa harus bahan baku asli?
Sebab dibandingkan dengan essens, bahan baku asli khasiatnya pada kulit akan terasa berbeda sekali.

Berarti Anda menggaransi Bali Alus bebas bahan kimia?
Ya, saya jamin. Tentu terkecuali untuk jenis produk tertentu yang harus menggunakan alkohol. Bahkan, untuk menjaga keaslian dan kemurnian bahan baku, sebagian besar saya tanam dan budidayakan sendiri. Memang repot, tapi saya puas.

Hanya lavender yang saya tidak bisa tanam sendiri. Sudah pernah saya coba, tapi gagal. Jadi satu-satunya produk yang saya tidak bisa jamin keasliannya adalah produk dengan wangi lavender. Karena untuk lavender saya gunakan minyak atau esens lavender yang saya impor dari luar.
Kalau yang lain, apakah itu avocado, jasmin, chocolate, atau stroberi, semua saya suling sendiri minyaknya dari buah asli. Lihat lulur-scrub stroberi ini, kelihatan kan, aslinya. (Kadek membuka kemasan dan menunjukkan lulur-scrub buatannya).

Buah stroberi enggak bisa halus meski sudah digiling. Tetap kasar karena ada biji-bijinya. Selain itu, dari wanginya juga kita bisa tahu tingkat keaslian bahan baku. (Memang, lulur scrub stroberi buatan Kadek begitu terasa wangi stroberinya hingga mampu menerbitkan air liur. Begitu pula dengan lulur scrub cokelatnya).
Satu yang saya utamakan, higienitas. Karena produk saya menggunakan bahan asli, sangat rentan jika ada sedikit saja kotoran atau mikroba yang masuk ke adonan atau ramuan. (Di workshop-nya, Kadek dan seluruh karyawannya wajib memakai masker penutup mulut dan hidung sepanjang hari)

Sekarang Anda dibantu berapa karyawan?
Saya bereksperimen sendiri selama 4 tahun lebih. Tahun 2001, saya mulai punya karyawan. Awalnya hanya 2 orang. Yang satu untuk bantu mengaduk adonan, satunya lagi untuk mengurus packaging. Sekarang, karyawan saya ada 30 orang di bagian produksi, 3 orang untuk melayani tamu dan agen yang datang ke workshop.

Apa sih obsesi Anda?
Ingin mengembangkan Bali Alus hingga bisa mendunia. Saya bermimpi suatu hari nama Bali Alus bisa dikenal seperti Body Shop dan teman-teman.

Terakhir, bagaimana dukungan suami dan anak-anak?
Oh, suami dan anak-anak saya sangat mendukung. Mereka mengerti kesibukan saya. Suami, Putu Kater ST, banyak membantu saya, terutama mengelola keuangan. Anak-anak, Putu Kay Kiandra (3,5) dan Kadek Kesahwa Keano (1,5), sering saya bawa ke workshop, terutama hari Sabtu. Biar mereka lihat bagaimana Mamanya bekerja. (Anastasia Sibarani/Nova)

 

Bali Alus
Jl Bung Tomo V/No 1 Denpasar
HP 08155735795
Telp 62-361-8568768


sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/01/20/1016204/Kadek.Eka.Mendunia.Lewat.Lulur.Wangi

Yusuf Zainal, Raja Kerupuk dari Indramayu yang Punya 40 Karyawan

KOMPAS.com — Jangan anggap enteng profesi perajin kerupuk. Kisah sukses Yusuf Zainal Abidin membuktikan bahwa keuntungan dari bisnis kerupuk tak seenteng produk kerupuk. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, pengusaha kerupuk asal Indramayu ini mampu menangguk omzet ratusan juta rupiah setiap bulan.

Hidup adalah ibadah. Ungkapan ini sering keluar dari mulut orang yang sudah sukses dan tinggal mengenyam hasil jerih payahnya selama ini. Kalimat itu pula yang terucap dari bibir Yusuf Zainal Abidin, ketika ditanya apa kunci sukses berbisnis.

Pria berusia 41 tahun ini punya keyakinan bahwa dengan usaha yang disokong doa, niscaya usaha apa pun akan menuai hasil memuaskan. Keyakinan ini mengantarkan Yusuf menjadi seorang perajin kerupuk cukup mentereng di Indramayu, Jawa Barat.

Memakai merek usaha Rajawali, Yusuf membuat aneka rasa kerupuk, seperti rasa udang, ikan, bawang, jengkol, cumi-cumi, dan rasa pedas. Ia secara rutin memasok ke beberapa distributor di Tangerang, Bogor, Cilegon, Sukabumi, Cianjur, Karawang, Purwakarta, dan Jakarta.

Saat ini, Yusuf mempekerjakan sekitar 40 karyawan. Tiap hari, ia mampu memproduksi hingga 2,2 ton kerupuk atau senilai Rp 13,2 juta.

Bayangkan, betapa besar omzet suami Umiyati ini per bulan. Omzet ini bisa melonjak sampai tiga kali lipat saat menjelang bulan puasa. "Saga mengambil margin 20 persen," ungkapnya.

Usaha kerupuk yang berawal dari dapur rumah Yusuf ini telah menjelma menjadi pabrik produksi seluas hampir satu hektar. Kini, Yusuf sudah menggunakan peralatan modern seperti ketel uap untuk merebus dari mengolah kerupuk. Yusuf membeli ketel uap itu tahun 2006 dengan harga Rp 60 juta.

Investasi Yusuf dalam peralatan sebentar lagi semakin lengkap dengan pengadaan oven raksasa. Kata Yusuf, harga alat ini sekitar Rp 20 juta per unit. Masih ada aset lain seperti mobil angkut. Saat ini, ia memiliki mobil Mitsubishi T120 buat mendistribusikan hasil produksinya.

Layaknya pepatah padi yang semakin tua dan berisi justru semakin menunduk, begitu pula karakter Yusuf. Meski sudah sukses, ia enggan disebut pengusaha sukses. "Saya belum layak disebut pengusaha sukses," ungkapnya merendah.

Pria yang hobi membaca Al Quran dan jalan-jalan ini memposisikan dirinya tak lebih sekadar mendapat limpahan rahmat dari Yang Maha Esa. Namun, di balik kenikmatan itu, alumni Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Indramayu ini sempat memendam kekecewaan mendalam.

Yusuf tak pernah menduga bakal menjadi pengusaha kerupuk sukses seperti sekarang. Sejak duduk di bangku sekolah, ia ingin menjadi seorang akuntan. Tapi, nasib menentukan lain. la memendam keinginannya karena harus membantu orangtua merintis usaha pembuatan kerupuk. Tapi, inilah pintu awalnya menjadi pengusaha sukses.

Yusuf tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha kerupuk. Sejak kecil, ia memendam keinginan menjadi seorang akuntan. Untuk mewujudkan impiannya itu, ia ingin melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Kalaupun tidak diterima masuk STAN, Yusuf berharap diterima menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi lain. "Saya tetap akan mengambil fakultas ekonomi. Sejak kecil saya suka pelajaran ekonomi," tuturnya.

Namun, Yusuf terpaksa mengubur keinginannya itu dalam-dalam. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) tahun 1987, ia dihadapkan pada pilihan sulit. Orangtuanya yang baru dua tahun merintis usaha pembuatan kerupuk membutuhkan tenaganya. Terpaksa, ia ikut membantu orangtua membuat kerupuk.

Apalagi, Yusuf merupakan anak tertua di keluarganya. "Akhirnya, saya memilih membantu orangtua daripada meneruskan sekolah," ujarnya. Yusuf terlibat di usaha pembuatan kerupuk, Kerupuk Kencana, milik orangtuanya hingga tahun 1999. Setelah itu, ia memutuskan membuka usaha sendiri.

Yakin dengan tekadnya, Yusuf tak ragu menguras seluruh tabungannya sebesar Rp 5 juta sebagai modal awal.

Di awal merintis usaha, Yusuf masih bergantung pada orangtua. la membeli bahan baku kerupuk dari orangtua. Setelah diolah, kerupuk itu dijual lagi ke orangtuanya.

Kondisi ini berlangsung sampai tahun 2001. "Lama-lama, saya tak puas dengan cara seperti itu," ujar Yusuf. la bertekad mandiri. Tapi, mengawali usaha secara mandiri bukan perkara mudah. Yusuf menemui kendala dalam memasarkan kerupuknya. "Pasar Indramayu sudah dipenuhi para produsen kerupuk," ujarnya.

Yusuf melirik konsumen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. la menawarkan kerupuk ke beberapa agen. Sebagai pemikat, ia membolehkan mereka mengambil barang dan membayar belakangan.

Upayanya ini mendatangkan hasil. Banyak agen melirik kerupuknya. Tapi, sistem ini tak luput dari kelemahan. Tahun 2001, seorang agen melarikan tagihan senilai Rp 20 juta. Tak lama kemudian, agen di Bogor juga mangkir bayar utang Rp 48 juta. "Tahun 2001 adalah tahun yang apes buat saya," tuturnya.

Pengalaman adalah guru terbaik. Yusuf Zainal Abidin meresapi betul pepatah ini. Sempat kena tipu hingga rugi puluhan juta, ia menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran. Kini, usaha Yusuf terbilang maju. Selain mengirim ke sejumlah kota di Indonesia, kerupuk buatannya juga terbang hingga ke luar negeri. Salah satunya ke Arab Saudi.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Yusuf Zainal Abidin merasakan betul pepatah lama ini. Sebelum sukses seperti sekarang, is menanggung rugi puluhan juta rupiah karena agennya membawa kabur uang setoran.

Yusuf menganggap semua pengalaman pahit itu sebagai berkah. Justru dari pengalaman itu, ia belajar banyak hal. "Saya justru bisa menghargai apa yang saya dapat berkat pengalaman buruk itu," katanya.

Berkat ketelatenannya mendekati para agen, usaha Yusuf tak sia-sia. Kerupuk Rajawalinya semakin dikenal dan digemari. Saat ini, ia mempunyai 11 agen besar yang siap menebar krupuknya di beberapa daerah. "Kuncinya tahan banting dan jangan gampang putus asa," katanya.

Tahun ini, Yusuf sedang berkonsentrasi menggenjot penjualan di Jakarta. Maklum, di pasar ini, ia baru menguasai 20 persen pasar. Di luar Jakarta, ia sudah masuk pasar Kalimantan Barat sejak 2008. Sekali kirim, ia bisa mengirim 3,5 kuintal krupuk.

Yusuf juga menggarap pasar Sumatera. Sejak Februari lalu, agen penjualnya mampu menjual 7,2 kuintal kerupuk di sana. Pengirimannya tiga minggu sekali. "Agen di Bangka Belitung jugs siap minta kiriman," imbuh suami Umiyati ini.

Pesanan tak hanya datang dari dalam negeri. Baru-baru ini, seorang pengusaha Arab Saudi memintanya mengirimkan kerupuk bawang dan udang. Jumlahnya tak main-main. "Minimal satu kontainer alias 15 ton," katanya.

Saat ini, usaha Yusuf menghadapi dua kendala utama: keterbatasan lahan untuk menjemur kerupuk dan cuaca tak menentu di musim hujan.

Sementara ini memang ada solusi, yakni memakai ketel uap atau proses pengeringan lewat oven. Namun, tetap saja, hasilnya tak sebagus pengeringan dengan cahaya matahari. "Kerupuk tak akan melar bagus," dalihnya.

Terlepas dari masalah itu, Yusuf menakar, tak ada masalah lain yang berarti, termasuk soal pendanaan. Maklum, sejak merek kerupuknya terkenal, Yusuf tak susah mencari sumber pendanaan. "Ada beberapa bank yang justru menawari pinjaman kredit," katanya.

Namun, Yusuf belum mau mengajukan kredit. Dana yang ia peroleh sebagai mitra binaan PT Pertamina masih cukup menopang bisnisnya. (Anastasia Lilin Yuliantina/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/03/31/12075835/Yusuf.Zainal.Raja.Kerupuk.dari.Indramayu.3.

Joko Sriyanto, Dulu Kuli Bangunan Kini Jadi Juragan Batako yang Beromzet Miliaran

Joko Sriyanto benar-benar beruntung. Keputusannya menekuni bisnis membuat batako telah mengubah hidupnya. Kini, ia menjadi seorang pengusaha sukses dengan omzet miliaran rupiah per tahun. Namun, sebelum sukses menjadi juragan batako, Joko pernah mengalami lika-liku hidup, termasuk menjadi kuli bangunan.

Menjadi pengusaha sukses adalah impian banyak orang. Namun, tak banyak orang yang berani mencapainya tanpa modal yang memadai. Banyak orang beranggapan, untuk menjadi pengusaha sukses harus punya modal besar. Namun, Joko Sriyanto telah mematahkan anggapan itu.

Bagi Joko, modal paling penting adalah kemauan dan keberanian menghadapi risiko. Kedengaran klise, tapi Joko rnembuktikan itulah yang membuatnya berhasil menjadi pengusaha batako dengan omzet miliaran.

Lelaki yang tahun ini berusia 40 tahun cuma lulusan STM. Tapi, kini ia telah menjadi pengusaha sukses yang bisa mengurus bisnis atau sekadar jalan-jalan dengan mengendarai Mercedes-Benz bernomor J 0 KO. "Kemarin saya juga barusan naik haji," tuturnya. Joko yang dulu hidup di rumah berukuran 2 x 6 meter selama 10 tahun, kini tinggal di rumah megah yang berdiri di atas tanah seluas 6.000 m2.

Ya, Joko yang dulunya hidup pas-pasan dan sempat menjadi kuli bangunan kini telah mejadi juragan batako besar dari Sleman. Lewat UD Marga Jaya yang dia dirikan tahun 1999, Joko kini meraup omzet Rp 2 miliar setahun.

Sejumlah perusahaan kontraktor perumahan swasta di Semarang, Tegal, Yogyakarta, dan Solo kini tercatat sebagai pelanggan tetap Joko. Selain itu, Joko juga memiliki 14 truk pengangkut batako dan memiliki sekitar 120 pekerja.

Menurut Joko, semua kesuksesan itu adalah buah kerja keras dan keberuntungan. Ia mengaku tak punya warisan, kecerdasannya pun biasa saja. Semasa sekolah ia bukanlah murid pintar. "Nilai saya jelek terus," tuturnya tersipu.

Joko mengenal usaha batako secara tak sengaja. Pada 1987, Joko muda  bekerja di sebuah bengkel mobil di Jakarta. Setelah beberapa bulan bekerja, ia tak kunjung mendapat upah.

Menyadari diperlakukan semena-mena oleh majikannya, Joko pun minggat. Ia menerima pekerjaan serabutan sekadar untuk bertahan hidup. Apalagi, ia butuh duit buat biaya pulang kampung.

Peluang kerja yang terbuka baginya saat itu adalah menjadi kuli bangunan. "Saya butuh duit, jadi saya terima pekerjaan kasar itu," kenang Joko. Tapi, siapa sangka justru dari pekerjaan kasar itulah pintu keberuntungan Joko mulai terbuka

Joko membangun bisnisnya dengan modal hanya Rp 350.000, hasil sumbangan pernikahannya. Meski tidak pernah mengecap sekolah hingga perguruan tinggi, Joko selalu memunculkan ide kreatif. Salah satunya adalah menguji batako buatannya ke laboratorium UGM untuk mendapatkan sertifikat.

Selepas empat bulan bekerja sebagai kuli bangunan, Joko pun memutuskan pulang ke kampung halamannya di Sleman. Di sana ia bekerja di usaha bangunan milik sang kakak.

Didorong keinginan kuat untuk mandiri, Joko memutuskan membuka usaha sendiri. Dengan modal awal sebesar Rp 350.000 dari hasil dari sumbangan pernikahannya, suami Istuti Ening Setiawati ini memutuskan membuka bisnis sendiri.

Joko menggunakan modal sebesar itu untuk membeli 100 sak semen yang bisa menghasilkan 400 bis beton. "Untuk cetakan, saya pinjam dari kakak," ujarnya sembari tersenyum. Dari penjualan 400 batako, Joko berhasil mendapatkan Rp 1,2 juta. Uang tersebut langsung ia putar kembali untuk membeli semen dan pasir yang merupakan bahan baku bis beton.

Setiap hari bis beton bikinan Joko selalu habis dibeli pelanggan. Hal ini karena kualitas bis beton bikinan Joko bagus. "Bahkan belum sempat kering, orang sudah antre beli bis beton," ujarnya sembari terkekeh.

Selain karena kualitasnya yang bagus, pelanggan menyukai bis beton buatan Joko, terutama karena Joko bersedia memberikan utangan bagi pembelinya.

Tanggapan pasar yang begitu hangat memacu Joko makin serius mengembangkan usahanya. la merekrut sejumlah orang di desanya untuk membantu proses produksi. Karena usahanya belum stabil, ia menambah pekerjanya secara bertahap.

Produk Joko pun terus berkembang, tidak lagi hanya bis beton. "Saya juga memproduksi tegel dan batako," ujar Joko.

Ekspansi produk Joko ini juga sukses. Pesanan tegel miliknya mengalir kencang. Maklum saja, waktu itu di Sleman sedang gencar-gencarnya orang melakukan pembangunan proyek rumah sederhana. Kini, selain bis beton, tegel, dan batako, Joko juga memproduksi paving block dan semen curah.

Tak banyak yang tahu, usaha Joko membangun bisnisnya hanya berdasarkan pengalaman, bukan berdasarkan ilmu sekolah. Meski begitu, Joko cukup cerdas dengan menguji kualitas produknya ke laboratorium di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Alasannya simpel saja, biasanya orang akan lebih percaya kalau sebuah produk memiliki sertifikat.

Dalam perjalanan membangun usahanya hingga sukses seperti sekarang, Joko mengalami jatuh bangun. la pernah rugi gara-gara ada pelanggan yang mangkir membayar utang Rp 240 juta. Usahanya pun sempat hancur akibat gempa bumi tiga tahun silam. Tapi, ia bisa bangkit karena menerapkan prinsip menabung dan hidup sederhana.

Sukses Joko bukannya tanpa kendala. Setelah usaha bis beton berkembang, ia juga menggarap tegel. Tapi, belakangan, permintaan tegel atau ubin terus menurun. "Waktu itu orang lebih memilih memakal keramik ketimbang ubin buat membangun rumah," tutur lelaki kelahiran Klaten ini.

Otak Joko berputar cepat mencari ide lain. Ia lantas mengutak-atik lima mesin pembuat tegelnya. Ia berusaha mengubah spesifikasi dan fungsi alat itu menjadi mesin pembuat batako. Alhasil, bisnis Joko tertolong oleh produksi batako.

Namun Kemurahan hati Joko memperbolehkan pelanggannya membayar dengan mencicil berbuah pahit. Beberapa pelanggan sempat mangkir membayar utang. Pada tahun 2006, ia menelan kerugian sampai Rp 240 juta gara-gara seorang pelanggannya mangkir. Saat menagih utang, Joko malah mendapat ancaman. "Banyak preman datang ke rumah, Saya jadi takut," kenang getir.

Gempa Yogyakarta tiga tahun silam juga memorakporandakan usaha Joko. "Pas gempa, batako saya hancur dan menimpa mesin," tutur Joko. Kerugiannya mencapai Rp 100 juta.

Meski begitu, Joko tidak menyerah. la terus belajar dari kegagalannya. Selain itu, Joko bisa bertahan berkat kebiasaannya menabung. Pada 1995, Joko membeli motor dengan angsuran Rp 250.000 per bulan. Dua tahun kemudian, saat kreditnya lunas, ia menjual kembali motornya. "Saya butuh duit buat membayar uang muka mesin genteng," ungkap Joko.

Meski kondisi ekonomi sudah berkembang, Joko tak lantas berubah. la tetap memakai celana pendek dan kaos saat menjalankan usaha. Gara-gara cara berpakaian yang sederhana itu, ia pernah dipandang sebelah mata oleh bank. Sebab, wajah dan cara berpakaiannya tak mencerminkan tanda kemakmuran.

Cara hidup sederhana Joko itu tak lepas dari cita-citanya semasa kecil. Waktu itu ia ingin menjadi guru yang hidup sederhana. Tapi, selulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), lamarannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Solo ditolak. "Tinggi badan saya tak cukup," katanya.

Meski sukses seperti sekarang, Joko mengaku tak langsung jumawa. la tetap menghargai orang lain. "Saya banyak mengambil pekerja lulusan SD," kata bapak tiga anak dari satu istri ini. (Dessy Rosalina/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/02/27/09220197/Joko.Sriyanto.Kuli.Bangunan.Jadi.Juragan.Batako.3.

Bim-bim, Modal Goni dan Ranting, Omzet Rp 20 juta

Galeri daur ulang, Bogor Kreatif, milik Nurdin atau yang akrab dipanggil Bim-bim saat ini semakin berkembang pesat. Bim-bim mengaku usaha yang beromzet Rp 20 juta per bulan ini laku keras sampai ia kewalahan memenuhi pesanan lokal.

Sebelumnya, Bim-bim tidak mempuyai bayangan akan berwirausaha di bidang daur ulang. Setelah lulus STM jurusan listrik tahun 1996, Bim-bim bekerja di Pepsi bagian kelistrikan panel elektrik. Namun, pekerjaan tersebut hanya bertahan selama enam bulan, dan setelah itu Bim-bim menganggur karena kontraknya tidak diperpanjang.

"Saya sempat nongkrong, sana-sini sambil cari kerja. Dalam hati memang ada niat untuk wirausaha," terang Bim-bim. Namun saat itu dirinya belum mengetahui ingin usaha apa. Setelah beberapa lama menganggur, Bim-bim berkenalan dengan SUHUF, yaitu komunitas mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang mempunyai kegiatan membuat barang-barang daur ulang.

Terinspirasi dari kegiatan SUHUF itulah Bim-bim mencari bahan yang bisa ia gunakan unutk membuat barang dari bahan daur ulang. "Saya tidak mengeluarkan uang untuk modal awal. Waktu itu di depan rumah saya ada pohon mangga, lalu saya ambil rantingya dan ditambah-tambah dengan kardus dan karung goni dari warung nenek, maka jadi bingkai foto," kenang pria asal Bandung ini.

Dengan bermodal beberapa bingkai foto tersebut, Bim-bim mencoba peruntungannya sebagai pedagang kaki lima di alun-alun Bandung, pelataran Jogya Kepatihan.

Hari pertama penjualannya barang-barang Bim-bim laku keras, uang hasil penjualan awal ia putar kembali. "Saya masih mungutin ranting, tapi saya juga mengambil kertas-kertas daur ulang dari mahasiwa SUHUF," terangnya.

Setelah setahun menjadi pedagang kaki lima, Bim-bim mendapat pelatihan bagi para seniman jalanan dari Pemda Bandung dan ITB. Dari pelatihan tersebut, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru untuk mengembangkan usahanya.

Awal tahun 1999, dengan membawa hasil karyanya, Bim-bim hijrah ke Jakarta. "Di Jakarta saya menggelar barang dagangan di pelataran Aldiron. Ternyata barang-barang produksi Bim-bim diminta oleh orang Malaysia. Ia pun memberi modal sebesar Rp 500.000 kepada Bim-bim untuk membuatkan sampel barang lain.

Bim-bim pun membuatkan box file, diary, dan memo yang semuanya berasal dari bahan-bahan daur ulang. Tak disangka warga Malaysia itu pun puas dengan hasil karyanya dan kembali memesan sampai 1.500 buah per itemnya. " Dia bahkan memberikan harga lebih dari yang saya minta," kata Bim-bim.

Dari proyek besar pertamanya itu, ia meraup laba hingga Rp 40.000.000. Dengan uang tersebut pria beranak satu ini mengajak beberapa pedagang lain untuk memasarkan produknya. Produk daur ulamg Bim-bim pun sempat masuk di beberapa pertokoan di Jakarta.

Sempat merugi

Layaknya hidup, Bim-bim pun pernah merasakan surutnya usaha yang ia jalankan. Barang-barangnya dibawa pergi oleh pedagang, toko yang menjual barangnya tidak bisa ditagih.

Keadaan Bim-bim pun semakin berat karena ia juga mengalami kerugian. Proses pengiriman barang ke Malaysia ternyata memakan biaya cukup besar. "Setelah orang Malaysia itu kembali ke negaranya, saya mengirimkan pesanan lewat paket. Tapi karena tidak tahu jalur-jalurnya, saya jadi merugi," ujar Bim-bim. Kerugian yang dialami Bim-bim mencapai Rp. 15.000.000. "Itu adalah masa-masa tersulit saya. Barang dibawa kabur, uang enggak bisa keluar, ditambah merugi karena ongkos ekspor," kata Bim-bim sambil menerawang.

Di saat sulit seperti itu Bim-bim yang merupakan Slanker pergi ke Gang Potlot, tempat markas band tersebut. Di sana seorang Slankers mengajaknya ke Bogor dan memulai usahanya lagi dari awal. "Lalu pikiran saya terbuka, dulu saya mulai juga tanpa modal. Jadinya yah.. seperti awal lagi, hanya dengan modal barang yang tersisa," ujarnya.

Dewi fortuna rupanya masih menaungi Bim-bim, usaha yang ia mulai lagi dari awal ternyata mendapat sambutan baik dari warga Bogor. "Barang-barang saya diminati karena di Bogor saat itu masih jarang. Saya juga mulai ikut pameran-pameran," terangnya

Di Bogorlah usaha Bim-bim mulai bangkit. Pada 13 September 2001 Bimbim mendirikan Bogor Kreatif, nama yang terinspirasi dari sebuah perhelatan seni di Kota Bogor. Dan, tahun 2004, setelah lolos survei dan administrasi, ia resmi menjadi mitra binaan PT Telkom dan mendapat pinjaman modal sebesar Rp 10 juta tanpa agunan.


Ikut komunitas

Pemasaran adalah hal yang sangat penting dalam suatu usaha, dan Bim-bim pun sangat menyadari hal itu. Bim-bim rajin mengikuti pameran-pameran dan memasok produknya ke toko. Untuk memperluas areal pemasaran barangnya, Bim-bim mengikuti beberapa komunitas, salah satunya adalah komunitas sepeda ontel. "Hanya dengan modal sepeda ontel yang paling harganya satu juta, tiap bulan saya dapat pesanan," terang Bim-bim.

Dulunya Bim-bim pernah mencoba memasarkan lewat internet. Namun karena ia merasa awam dengan dunia pemasaran on-line, cara pemasaran tersebut tidak ia lanjutkan. "Saya awam untuk masalah pembayaran online seperti itu, lebih enak lewat mulut ke mulut," ujar Bim-bim

Untuk ke depannya, Bim-bim ingin bergabung dengan komunitas Harley Davidson. "Kan yang ikut komunitas itu pasti orang yang berduit. Jaringan saya akan bertambah dan pesanan akan bertambah pula," ujar Bim-bim sambil tertawa.

Produk-produk Bimbim tidak hanya beredar di Bogor, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, tetapi juga di Malaysia dan Singapura. Untuk pemasaran produk ke luar negeri, ia mengawalinya dengan mengikuti pameran yang disponsori Dinas Kepariwisataan Indonesia. Walaupun menemukan kendala berupa mahalnya ongkos kirim saat melakukan ekspor, Bimbim kini tengah berkonsentrasi merambah pasar Iran. Kendala tersebut dapat dihadapi melalui kesepakatan dengan pihak buyer bahwa keseluruhan ongkos kirim akan menjadi tanggungan buyer.

================================================================

Bogor Kreatif
Jl Ciwaringin, Gang Melati No 28 Bogor

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/03/16/10015087/Bim-bim.Modal.Goni.dan.Ranting.Omzet.Rp.20.juta

Tegep, Tegap dengan "Boots"nya yang Beromzet Ratusan Juta

KOMPAS.com - Sepatu boot atau bot buatan Tegep Oktaviansyah diproduksi di tengah krisis moneter 1997. Bot dari Bandung, Jawa Barat, itu tidak tergoyahkan ketika badai krisis ekonomi datang lagi belakangan ini. Sepatunya dikenakan artis, pejabat, hingga ekspatriat. Rini Kustiasih

Hobi yang ditekuni sungguh-sungguh akan mendatangkan rezeki. Setidaknya itu pengalaman Tegep Oktaviansyah, pemilik dan pendiri sepatu bot merek Tegep Boots ini.

Kejeliannya melihat peluang dan keinginan kuat untuk menciptakan produk yang berbeda membuat Tegep Boots dikenakan artis, pejabat, sampai ekspatriat asal Amerika Serikat, Jerman, dan Australia. Omzet produksinya dalam satu bulan mencapai Rp 100 juta-Rp 200 juta.

Kisah sukses itu bermula dari hobi Tegep mengenakan sepatu bot sejak SMA pada era 1990-an. Untuk mendapatkan sepatu bot, kala itu bukanlah hal yang mudah dan murah. Harga bot yang berkisar Rp 400.000, untuk ukuran Tegep, tergolong mahal. Namun, demi memenuhi hasratnya, Tegep yang kuliah di Jurusan Desain Produk di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, mencoba membuat bot sendiri.

”Saya belajar dari nol, mulai dari melihat pengerjaan oleh perajin hingga membaca buku tentang pembuatan sepatu bot yang baik,” katanya.

Tegep mempelajari anatomi kaki agar sepatu buatannya nyaman dipakai. Pada 1997 dia menggandeng seorang rekan untuk membuat sepatu bot bermerek Kanselir. Desain Kanselir masih sebatas model sepatu para koboi dan bot yang dipopulerkan oleh personel The Beatles.

”Desainnya masih sepatu bot klasik, dengan bentuk jungle, seperti yang sering dipakai koboi atau pengendara motor besar,” ujar Tegep.

Dia sendiri adalah penggemar motor besar dan anggota komunitas bikers Brotherhood. Anggota komunitas itu adalah pasar awal sepatu bot buatan Tegep dan merupakan pelanggan setianya.

Lolos dari krisis

Badai krisis pada pertengahan 1997 memukul usaha Tegep dan rekannya. Harga bahan baku sepatu bot dari kulit naik tiga kali lipat.

Kongsi usaha itu pun buyar karena perbedaan prinsip. Maka, Tegep memulai lagi usahanya dengan empat pekerja. Krisis ia lawan dengan peningkatan kualitas material dan desain.

”Saya tidak mau menurunkan kualitas produk. Itu akan membuat kepercayaan pelanggan hilang,” ujar Tegep beralasan.

”Saya belajar membuat desain baru dengan material yang baru pula. Saya sering terinspirasi oleh katalog-katalog sepatu dan tertantang mengembangkan desainnya,” tambahnya.

Desain sepatu bot Tegep didominasi motif etnis, seperti Dayak (Kalimantan), Mauri (Selandia Baru), dan Aztec (Indian). Warna-warnanya pun dikombinasikan secara ekstrem.

”Kalau bisa saya bikin perpaduan warna yang ’gila’, beda, dan tak terpikirkan sebelumnya,” ungkapnya. Salah satu desain Tegep bahkan disimpan di museum sepatu dan kulit di Jerman.

Desain menarik itu dia terapkan pada material berkualitas dari kulit binatang, seperti ular, biawak, buaya, kelinci, sapi, bahkan ikan pari. Kiat itu mampu menarik hati pelanggan. Di tengah krisis, sepatu buatan Tegep tetap dicari meski harganya tinggi.

”Saya juga mendapat berkah saat krisis, yakni dengan makin banyaknya pembeli beralih pada produk lokal. Bot buatan saya mulai dilirik, sebab harga buatan luar negeri tak lagi terjangkau,” ujarnya.

Hal lain yang membuat Tegep bertahan ialah pasar yang jelas dan tersegmentasi. Sejak awal dia menyasar kalangan menengah ke atas dengan jenis produk tunggal, yakni sepatu bot. Bagi laki-laki kelahiran Tasikmalaya itu, berebut kue besar dengan bagian yang kecil tidaklah menyenangkan. Ia lebih menikmati kue kecil dengan bagian yang besar.

Melihat peluang

Jeli melihat peluang, Tegep ingin menguatkan posisi di pasar dengan merek yang mewakili produknya. Seorang dosen menyarankan produknya dinamai dengan nama dia sendiri.

”Nama Tegep kan jarang dan unik, jadi kenapa tidak kamu namai saja dengan namamu sendiri,” ucap Tegep menirukan perkataan dosennya.

Untuk mengenalkan sepatu botnya, Tegep membawa produk itu ke mana-mana dan mengikuti berbagai macam pameran. Omongan dari mulut ke mulut dalam komunitas bikers membuat bot buatannya makin dikenal. Tegep pun tak ragu memberikan sepatunya agar dipakai manggung oleh artis atau komunitas band sebagai cara berpromosi.

Kini, dengan kisaran harga Rp 1 juta-Rp 12 juta, pelanggannya menyebar dari artis hingga pejabat negara. Sebut saja Andy ”/rif”, Prabowo Subianto, Fahmi Idris, dan pesanan perwira Polda Metro Jaya. Baru-baru ini, anak Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pun memesan sepatu sneaker dari kulit ular di Tegep Boots.

Tegep juga melayani pesanan sejumlah butik di Jakarta, Bandung, Bali, Makassar, dan Australia. Pelanggannya dari dalam dan luar negeri. Tegep juga menyuplai sepatu bot untuk toko koboi milik Tantowi Yahya di Jakarta.

Menurut dia, menjaga kepercayaan pelanggan adalah kunci suksesnya. ”Membeli sepatu sama halnya dengan memilih tukang cukur. Sekali merasa cocok dan puas dengan pelayanannya, Anda akan terus kembali. Ini soal kepercayaan,” katanya.

Setiap kaki pelanggan diukur dan digambar. Pemilihan warna dan desain pun diserahkan kepada pemesan. ”Setiap sepatu adalah pilihan personal. Ia harus dibentuk dan diperlakukan berbeda-beda,” ujarnya.

Tegep melayani keluhan pelanggan yang sepatunya tak nyaman. Selalu ada garansi perbaikan sepatu untuk setiap pembelian.

Dalam tiga tahun terakhir, bersama desainer Mardiana Ika dan Iva Latifah, Tegep merambah dunia fashion. Sepatunya dipakai model dunia dalam Bali Fashion Weeks dan Hongkong Fashion Weeks (2007 dan 2008). Pada bagian bawah sepatunya tercetak: Handicrafted with pride in Bandung (dibuat dengan rasa bangga di Bandung).

Tegep sadar masih ada ratusan perajin sepatu di Bandung yang tak bernasib sebaik dirinya. Dia pun aktif menjadi pembicara dalam semiloka dan pelatihan bagi perajin sepatu Cibaduyut di Bandung. Kegiatan itu dimotori Departemen Perindustrian serta Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM.

Tegep yang sempat menjadi instruktur tenaga kerja ILO-PBB (2001-2004) ini juga menampung mahasiswa dan siswa kejuruan untuk magang di tempat kerja sekaligus tokonya di Jalan Pelajar Pejuang 104, Bandung. Dia menyupervisi langsung 24 tenaga kerja.

”Saya tak khawatir ilmu saya dibajak dan produk saya dikalahkan para anak didik. Bagi saya, berbagi ilmu adalah kewajiban. Kalau memang sudah rezeki kita, tak akan ke mana-mana,” tuturnya. (Rini Kustiasih)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/03/31/1411280/Tegep.Tetap.Tegap.dengan.Boots.

Monique, Lewat Kaus "Parental" Raup Puluhan Juta Rupiah

KOMPAS.com — Ibu satu anak berusia 30 tahun ini mendirikan Parental Advisory Baby Clothing, sebuah distro baju anak. Desainnya tak biasa. Misalnya, t-shirt bertuliskan: Kill Sinetron-Kids Against Television, Where’s My Fuckin’ Milk, atau gambar gajah dan tulisan: It’s an elephant not a penis. Menyeramkan? Ya. Tapi, Monique punya misi lain di balik desain yang ia gagas.

Kapan bikin Parental Advisory Baby Clothing (PABC)?
Sekitar akhir 2006. Ide awalnya sih karena saya enggak menemukan distro anak yang sesuai selera. Tahun-tahun itu di Bandung banyak distro buka, tapi 90 persen cuma menjual produk untuk remaja dan dewasa, enggak ada produk buat anak. Saya juga enggak begitu tertarik dengan baju anak yang kebanyakan ada.
Nah, kebetulan waktu itu saya baru saja melahirkan. Akhirnya terpikir membuat baju anak. Itu pun tadinya cuma buat anak sendiri atau buat anak teman-teman.

Punya latar belakang desain?
Enggak. Saya lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran, Bandung. Jadi, saya masuk bisnis pakaian ini ya ibaratnya terjun bebas saja. Selain karena soal selera, saya juga melihat ada peluang di situ. Ya sudah, jalan deh.

Kenapa memilih nama PABC?
Karena dari awal, idenya ingin membuat baju anak yang agak nyeleneh. Selain itu, ada misi yang ingin saya sampaikan. Kalau melihat desain atau kata-katanya, baju-baju PABC kata orang terlalu kasar untuk anak-anak. Padahal, justru sebetulnya saya ingin supaya orangtua yang membeli baju buat anaknya bisa menjelaskan maksudnya ke anak. Anak dapat bimbingan (parental advisory). Jadi, bukan hanya bikin tanpa ada makna apa-apa di balik desain. Rata-rata, desain atau kata-kata PABC ada sejarahnya.

Misalnya?
Contohnya t-shirt bertuliskan Kill Sinetron; Kids Against Television. Itu karena menurut saya, anak sekarang enggak bisa hidup tanpa televisi. Sementara acara buat anak-anak di televisi kita sekarang ini kayaknya enggak ada edukasinya, enggak ada yang pas. Baru sekarang ada "Si Bolang" atau "Laptop Si Unyil"  lumayanlah. Sebelum-sebelumnya kan sinetron melulu. Hampir di semua stasiun televisi ada sinetron, dari pagi sampai malam. Jadi, kapan jam-jam anak bisa nonton?
Celakanya kalau orang tua juga suka sinetron. Supaya anaknya diam, anak diajak nongkrong di depan televisi, nonton sinetron. Yang ada anak mengikuti adegan di sinetron. Orang marah-marah, memaki-maki enggak jelas. Itu kan membunuh karakter anak.

Contoh lain?
Ada t-shirt tulisannya Where’s My Fuckin’ Milk? Lumayan laku. Penjualannya bagus terus meski sudah beberapa produksi ulang (repeat). Misi tulisan di desain itu adalah supaya ibu-ibu muda mau memberi ASI eksklusif minimal 6 bulan ke anaknya. Syukur-syukur 2 tahun. Soalnya ada kecenderungan, orang sekarang lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hak anak. Nah, minum ASI itu hak anak. Ada kekhawatiran yang enggak perlu, seperti, “Aduh kalau saya nyusuin, bentuk badan jadi berubah”, “Saya enggak punya waktu nyusuin karena harus kerja,” dan sebagainya yang buat saya sangat tidak masuk akal.

Anda sendiri memberi ASI ke putri Anda?
Saya termasuk yang kurang beruntung enggak bisa memberi ASI eksklusif ke anak saya, Magia Calluella Chaszta Az-Zurra (2,8). Waktu itu habis melahirkan, saya harus menjalani operasi, masuk ICU 2 hari. Jadi, enggak bisa langsung kasih ASI. Setelah operasi, ASI jadi terhambat. Saya sudah coba bermacam cara, tapi enggak bisa keluar juga. Saya menyesal sekali. Bukan mau irit, tapi karena itu hak anak. Kalau saya bisa membayar, berapa pun saya akan bayar supaya saya bisa kasih ASI eksklusif ke anak saya. Tapi mungkin saya memang tidak beruntung, ya. Jadi, tolong kalau bisa memberi ASI esklusif, kasihlah anak ASI eksklusif. Kalau bisa yang alami, kenapa harus kasih susu pabrikan?

Efektif enggak pesan-pesan itu disampaikan lewat desain t-shirt?
Cukup efektif karena desain sangat berbicara. Desain Kill Sinetron tadi misalnya, ternyata banyak orang tua yang memang enggak setuju dengan acara-acara yang ada di televisi.

Orang yang enggak mengerti bisa-bisa berkomentar, “Kok kalimatnya seperti itu?”
Makanya ada product knowledge. Jadi kalau ada konsumen, kami jelaskan satu-satu maksud kalimatnya apa. Pernah ada yang berkomentar, “Gila, ini apa-apaan sih maksudnya? Ya saya sih mencoba berpikir positif saja, menerima itu sebagai masukan. Tapi, rata-rata konsumen yang beli di sini adalah pelanggan tetap yang sudah enggak kaget lagi. Ada sih satu-dua orang yang bilang, “Oh, ternyata ada desain begini buat anak?” Ya kami jelaskan saja. Jadi, kami enggak sekadar jual tanpa makna atau misi.

Pendekatan ke pelanggan personal sekali, ya
Betul. Kami ajak pembeli ngobrol dan memberi pengertian. Tapi sejauh ini enggak ada yang komplain sampai ngotot yang gimana gitu. Kami malah banyak melakukan kerjasama, misalnya jadi sponsor acara anak-anak. Jadi, enggak cuma sekadar jualan.

Sekilas seperti kaus dewasa yang dipakai anak, ya?
Bisa jadi ada yang melihat begitu. Tapi anak sekarang lebih kritis, lho. Banyak pelanggan yang datang anaknya memilih sendiri. Karena saya punya anak, jadi saya tahu juga. Dan memang orang tua harus menjelaskan.

Siapa sih yang membuat desain dan kalimat-kalimatnya?
Saya dibantu teman saya, Phaerly. Karena saya enggak punya latar belakang desain, biasanya kalau ada ide di benak langsung eksekusinya saya serahkan ke dia. Saya bikin gambar gunung aja pakai penggaris ha-ha-ha. Paling kalau ada yang kurang saya kasih masukan.

Sekarang sudah ada berapa desain?
Lebih dari 60 desain. Mayoritas warnanya memang hitam, putih, dan abu-abu. Kami sengaja pilih warna-warna tua karena baju anak-anak sekarang kan kebanyakan warna-warna pastel. Kami ingin beda. Dan ternyata banyak yang bilang justru lebih menarik. Karena itu tadi, warna mainstream-nya kan warna-warna pastel yang colourfull. Kami juga pikirkan bahan dan sablon seperti apa yang yang nyaman buat anak-anak.
Model kausnya juga panjang. Kebanyakan baju anak kan pendek di bagian torsonya. Nah, saya sengaja modifikasi. Saya masih ingat kultur orang Timur, kalau bajunya pendek pusarnya jadi kelihatan. Saya lihat masih banyak kok orangtua yang enggak kepingin pusar anaknya kelihatan. Model memanjang kayaknya juga lebih enak daripada ngatung.

Selain kaus, apalagi yang dijual PABC?
Macam-macam, dari diapers bag, tas anak, topi, jaket, celana, sepatu, sandal. Pasarnya lumayan bagus kok. Omzet per bulan kalau sedang ramai bisa Rp 70 juta. Meskipun sekarang sudah mulai banyak brand lain. Di Bandung aja ada sekitar 5 brand yang konsepnya mirip-mirip PABC. Cuma enggak tahu ya, mungkin orang tahu PABC lebih awal, jadi mereka biasanya membandingkan sama produk-produk PABC. Tapi banyak saingan justru bagus karena kami jadi harus berpikir, bikin saya terpacu.

Rencana bisnis ke depannya seperti apa?
Yang jelas saya mau ekspansi. Banyak sih yang minta atau menawarkan kerja sama, cuma belum ada yang menawarkan display sendiri. PABC ini kan baju anak, kalau display-nya disatukan sama baju dewasa, susah. Enggak kelihatan. Apalagi warna-warna kami warna dewasa.

Soal anak, pola pendidikan seperti apa sih yang Anda terapkan?
Saya dan suami sangat terbuka ke anak. Hal-hal yang masih tabu buat sebagian orang, saya sampaikan ke anak. Contohnya pendidikan seks, sudah saya kenalkan ke Magia sejak dini. Jadi, ia sudah tahu lho, proses kelahiran dia, dia keluar dari mana, dia punya vagina, menstruasi itu apa, dan sebagainya. Tapi tentu disesuaikan dengan perkembangannya. Hal-hal kecil seperti ini menurut saya justru jadi starting point yang harus disampaikan sejak dini.

Sambil bisnis, enggak repot punya anak balita ?
Saya selalu mengajari Magia untuk mandiri. Jadi, saya hampir enggak pernah merasakan repotnya punya anak balita. Saya enggak pernah gendong dia, tidur sendiri, saya tinggal pergi juga enggak rewel. Paling-paling dia nanya, “Ibu mau ke mana? Oh, mau nyari duit ya? Buat beli susu ya?” Dari lahir sampai sekarang enggak pernah pakai pembantu atau baby sitter. Semua saya kerjakan sendiri. Dia juga enggak pernah nonton televisi, kecuali acara musik. Kalau musik, 2-3 jam dia betah. Kalau pas kebetulan lihat adegan sinetron, dia malah suka nanya, “Kenapa sih orangnya marah-marah? Memang siapa yang nakal, kok dimarahin?”

Masih suka masak buat suami dan anak?
Oh masih. Suami saya, Mulki Fajar, seorang konsultan IT, jadi kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Eh, memasak itu ternyata menyenangkan lho, bisa menghilangkan stres ha-ha. (Hasto Prianggoro/Nova)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/20/08461183/Monique.Kocke.Lewat.Kaus.Parental.Raup.Puluhan.Juta.Rupiah

A Pramono, Dari Office Boy Jadi Miliarder

KOMPAS.com - Kisah perjalanan hidup A Pramono (34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi office boy  di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?

"Kalau cerita saya dibikin sinetron mungkin akan menarik," kata pria pemilik usaha Ayam Bakar Mas Mono ini ketika bercakap cakap dengan Warta Kota di salah satu kedainya di Jalan Tebet Raya No 57, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Namun, ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.

"Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur," ujar Pramono.

Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.

Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.

"Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood," tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.

Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.

Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.

"Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di bank," ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.

Senang belajar

Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.

Pramono benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.

Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.

"Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari," ujarnya.

Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.

"Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt," tegas Pramono.

Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. "Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya," kata Pramono. (hes/Warta Kota)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/14/08441260/A.Pramono.Dari.Office.Boy.Jadi.Miliarder