Wednesday, February 29, 2012

Modal Awal Patungan dengan Teman, Ashari Sukses Kembangkan Beanstocks

Berawal dari kebiasaan hang out bersama teman, Ashari Yusuf berhasil mengembangkan Beanstocks dari Batam sebagai kedai waralaba yang mengadopsi konsep Western coffee shop & Asian coffee shop dengan lebih dari 40 bahan dasar minuman kopi. Ingin Mencapai jantung Kota mede, Milan.

Ngumpul dengan teman atau nongkrong di café sambil minum kopi atau istilah kerennya hang out bagi sebagian orang bisa jadi buang waktu sekaligus buang uang. Tapi, aktivitas seperti ini sudah menjadi gaya hidup perkotaan bagi kalangan muda, sehingga, pelakunya memiliki kepuasan sendiri. Apalagi nongkrong dilakukan bersama “the genk” alias teman-teman akrab. Wow… sudah pasti sangat menyenangkan.

Ashari Yusuf, mungkin bisa disebut salah satu kalangan muda di Batam yang paling suka hang out. Tempat favorit Ashari Yusuf adalah “kedai” kopi di Hotel Nagoya, Batam. Ashari yang saat itu (2002) masih menggeluti bisnis jual beli mobil (show room) dan juga berprofesi sebagai konsultan manajemen di Batam, menjadikan hang out sebagai rutinitasnya bersama kawan-kawannya.

Tapi sayang, pemilik hotel menutup kedai kopi kesayangan itu. Ashari harus mencari tempat baru. Ketika ingin mencari tempat baru itu, Ashari terpikirkan, kenapa tidak membuat tempat hang out sendiri saja. Hasil diskusi dengan temannya itu, ternyata diantara temannya itu ada yang punya mall dan bersedia memberikannya satu space untuk Ashari.

Awalnya sih, Ashari mengaku bingung, mau diapain lokasi itu. Karena secara kebetulan, tempat nongkrongnya sudah berubah, maka diapun kepikiran untuk membuat warung kopi untuk tempat dia nongkrong bersama genk-nya. “Mulanya bingung mau di buat apa lokasi itu, namun beberapa saat kemudian terbersit niat  kenapa tidak buat warung kopi aja. Toh kami sudah kehilangan warung kopi langganan,” katanya.

Maka dari situlah berawal ide kafe kopi ini, lanjut Ashari menjelaskan. “Mulanya hanya sekedar tempat nongkrong buat kalangan sendiri, tidak bermasud untuk dikembangkan jadi mesin duit,” tambahnya.

Dia pun kemudian mendirikan coffee shop Beanstocks. Karena awalnya hanya sebagai tempat singgah bersama-sama temannya, modalnya pun di-support dari teman-teman nongkrongnya. Waktu itu, kata Ashari, terkumpul senilai Rp 150 juta. Setidaknya, kedai ini bisa dinikmati sendiri sebagai tempat nongkrong sendiri. “Kondisinya lumayan enak, karena teman-teman sangat men-support sebagai pembeli setia,” katanya sambil tertawa.

Mungkin kedengarannya tidak terlalu serius, tapi coba lihat bagaimana perjalanan Beanstocks hingga bertahan dan mampu dikembangkan sebagai usaha waralaba. Beanstocks sendiri diambil dari kata yang berarti sari kopi.

2005, Ashari meninggalkan bisnis lamanya. Dia mulai fokus ke Beanstock. “Sejak 2005 tepatnya 5 bulan sebelum saya menikah, saya memutuskan untuk menggeluti 100% usaha ini dan saya meninggalkan usaha saya show room mobil & konsultan manajemen,” katanya.

Ashari kemudian mengembangkan Beanstocks dengan konsep campuran western dan asian. Yaitu western Coffe shop dan asian coffee shop. Tidak hanya sampai disitu, konsep ini kemudian dikembangkan dengan campuran nuansa tempo doloe dan masa kini. Tempo masa kini diwakili dengan western coffe yang menyediakan lebih dari 40 jenis minuman dari bahan kopi. Sedangkan tempo doloe diwakili dengan konsep kedai yang bernuansa oriental. “Sehingga merupakan capuran masa lalu dan masa sekarang,” kata Ashari Yusuf.

Ibaratnya, Ashari sudah nyemplung dan terlanjur basah, dia tidak ingin naik ke daratan hanya mengalami kedinginan. Dari hanya sekedar iseng, ternyata Ashari mulai tertantang. Apalagi, seminggu setelah ia membuka kedai, muncul Starbucks di kotanya itu. Diapun mulai konsentrasi penuh untuk mengembangkan Beanstocks.

Seperti apa perjalanannya? Pahit, kata Ashari mengenang masa awal mengembangkan Beanstock. Ternyata, tempat yang diperoleh dari sang teman itu tidak cocok. Sementara, dia melihat ada semangat dari team-nya untuk mengembangkan kedainya. Lagipula, banyak rekan-rekannya di Batam yang sudah terlanjur mengenalnya sebagai anak muda pengusaha café kopi.

Menyerahkah Ashari? Tidak. Baginya, ini adalah bisnis. Artinya, sebuah usaha sudah pasti mengalami banyak kendala dan kepahitannya.  Dia pun kemudian menanamkan keyakinan pada dirinya bahwa apa yang dilakukan saat itu adalah masa menanam, bukan memanen. Satu-satunya solusi saat itu adalah  bagaimana bisa bertahan dan tidak tutup.

“Saya cuma berprinsip apa dan bagaimanapun keadaannya saya harus tetap berusaha sekuat kemampuan yang saya miliki agar papan tulisan yang bergantung di pintu masuk kafe tertulis “OPEN”. Apapun yang terjadi, tulisan  itu harus tetap saya pertahankan. Karena saya tidak akan pernah meninggalkan usaha saya dalam keadaan mati,” tandasnya.

Ashari mengaku, uang yang sudah dikeluarkan tidak sedikit. Dia sudah menghabiskan dana untuk bisnisnya itu mencapai 1000 dolar Singapura. Dia kemudian mempertebal keyakinannya bahwa semakin pahit perjalanan yang harus dia tempuh dalam membesarkan bisnisnya, maka suatu saat semakin manis kenangannya. Prinsip seperti itulah yang membuatnya bisa terus bertahan.

Dia juga mengaku, dukungan teman-teman yang sudah menjadi pelanggan tetap, team di usahanya, terutama sang istri membuatnya bertahan untuk tetap mengembangkan usaha itu. “Mereka terus support saya baik dalam kondisi susah maupun nyaman,” katanya.

Ashari mengaku, sebelumnya tidak punya pengalaman di bisnis coffee shop. Bisnis inipun di-creat hanya untuk menyalurkan hobi nongkrongnya. Namun, kecintaannya pada suasana hang out mendorongnya terus belajar mengenai bisnis kafe kopi. Baginya, sekalian saja menciptakan tempat nongkrong buat customernya, sekaligus membantu karyawan dan menjadikannya sebagai tempat usaha yang bisa melahirkan profit.

Dari situlah, Ashari kemudian belajar dengan mengikuti berbagai seminar, pameran dan training, baik di dalam maupun di luar negeri. “Sejak  2002 saya terus belajar tentang bisnis kafe kopi dengan mengikuti pameran-pameran, seminar-seminar dan training baik di dalam maupun di luar negeri,” katanya.

Dia pun kemudian bertekad, Beanstock bisa menjadi sebuah merek yang bisa bersaing tidak hanya dengan merek-merek lokal, tetapi juga dengan merek-merek multinasional. Tidak hanya itu, dia juga bertekad, Beanstock tidak hanya unggul di Batam, tetapi bisa mendekati konsumennya di luar Batam.

Bahkan, Ashari punya mimpi yang besar terhadap mereknya ini. Suatu saat, katanya, dia ingin Beanstock bisa ada di jantung kota Milan (Itali). Bagi sebagian orang, mungkin harapan Ashari ini sebagai impian yang terlalu tinggi. Tapi bagi Ashari, impiannya itu sebagai klimaks dari harapannya terhadap Beanstock.

Menurutnya, selama ada usaha dan kesiapan baik moril maupun material, impian itu bisa terwujud. Milan, baginya, merupakan barometer mode dunia dan trend setter coffee shop dunia. “Ini soal waktu saja,” tegasnya.

Namun, sebelum sampai ke sana, Ashari berniat ingin mendirikan Indonesia Coffee Institute dahulu. “Dan saya rasa tidak terlalu sulit, ini hanya soal waktu saja,” tegasnya lagi.

Pria kelahiran Pane, Sumatera Utara, 21 Oktober 1974 ini sebenarnya memiliki beberapa merek coffee shop lain yang didirikan setelah Beanstocks. Dia memiliki tekad kuat terhadap Beanstock.

Meski sempat berdarah-darah dalam mengembangkan Beanstock, nyatanya dia keluar sebagai pebisnis coffee shop yang berhasil dari Batam. Keberhasilan itu tidak lepas dari upayanya yang tidak pernah berhenti berpromosi dan menyediakan produk yang berkualitas. Beanstock, kata Ashari menggunakan bahan baku mulai dari susu, kopi, coklat, syrup yang semuanya import.

Beanstock yang diwaralabakan sejak 2007 lalu, kini sudah memiliki 7 gerai. Omzet masing-masing gerainya berkisar antara Rp 50-160 juta perbulan. Bagi Ashari, perjalanan mengembangkan Beanstock ini bisa digambarkan seperti membaca buku dengan 21 bab. Dia baru mencapai bab kedua. “Bagi saya ini belum sukses. Ibarat membaca sebuah buku yang berisi 21 bab, perjalanan usaha ini baru bab ke-2,  masih banyak bab-bab lain yg berisi madu dan asam,” katanya.

(Zaziri)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=62

Modal Awalnya Pinjam Orang Tua, Lewat Deboliva Kini Omzetnya Ratusan Juta/Bulan

Beda, menjadi kata kunci bagi sukses Deboliva yang dikembangkan dari sebuah stand di pusat jajan di Surabaya. Kini menjadi sebuah konsep bisnis ice cream shop yang menawarkan kenyamanan dan keramahan bagi pelanggannya.

Fujasera, salah satu pusat jajan di Surabaya, Jawa Timur telah mehirkan beberapa merek franchise terkemuka. Anda mungkin tahu, Bakso Malang Kota Cak Eko, yang cabangnya sudah tesebar di berbagai daerah termasuk di Jakarta, lahir dari pusat jajanan di Fujasera, Surabaya.

Deboliva, mungkin nama ini tidak setenar Bakso Malang Kota Cak Eko, merek ini pun lahir dari sebuah counter di Pujasera. Dari segi nama, boleh saja tidak setenar merek lain yang lahir di Surabaya, tapi dari sisi konsep, Deboliva merupakan salah satu unit bisnis yang sangat luar biasa.

Dari modal sebesar Rp 30 juta hasil pinjaman orang tua, Andre Soenjoto mencoba membuka usaha baru pada akhir 2000. Usaha yang dipilihnya berasal dari keahlian keluarganya meracik produk ice cream.

Usaha ini memang berasal dari sebuah counter yang relative kecil dengan 4 karyawan yang dibagi untuk dua shift. Omzetnya saat itu berkisar antara Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per hari.

Perlahan tapi pasti, Andre, sang creator melengkapi bisnisnya dengan konsep yang modern. Jika Anda masuk ke website-nya, www.deboliva.com, Anda akan melihat keseriusan Andre menjalankan bisnis ini dengan konsep bisnis yang luar biasa. Maklum saja, Deboliva dikembangkan menjadi bisnis waralaba sejak pertengahan tahun lalu.

Surabaya sebagai tempat kelahiran Deboliva adalah kebetulan. Kebetulan karena Andre berasal dari Surabaya. Lagipula menurutnya, lebih mudah memahami karakter orang Surabaya. Pantas saja, jika bisnis ini bisa berkembang, karena Andre mengerti konsumennya. “Saya asli orang Surabaya, menurut saya lebih mudah untuk memahami karakter orang Surabaya,” kata Andre Soenjoto.

Pada awal berdiri, konsepnya tidak seciamik sekarang. Secara jujur, Andre mengakui perubahan konsep Deboliva terjadi setelah dia melihat coffee shop Starbucks. Dari sana dia kemudian ingin mengembangkannya menjadi ice cream café.

Konsep interior dikembangkan untuk memberikan suasana nyaman. Pelayanan ditingkatkan dengan keramahan. Karena, Andre menginginkan konsumennya di gerainya menjadi tempat khusus makan ice cream yang nyaman bagi para pelanggannya sekaligus tempat nongkrong. “Tempat nongkrong di Surabaya sangat sedikit sekali pada waktu itu,” kata Andre bercerita.

Bagaimana dengan produknya? Produk ice cream dikembangkan dari keahlian orang tua Andre yang biasa membuat ice cream. Meski buatan rumah, produk ice cream De Boliva dibuat khusus. Yaitu ice cream low fat. Produk ini sengaja dibuat untuk memberikan diferensiasi terhadap produk-produk ice cream yang sudah berkembang di Surabaya.

Saat itu, kata Andre, sebagian orang belum terbiasa dengan low fat ice cream karena konsumen sudah terbiasa ditawarkan ice cream yang umumnya sangat creamy dan full of fat.

Untuk sesuatu yang baru seperti biasa tidak mudah diterima. Andre sudah memperkirakan tantangan seperti itu sebelum menjadikannya sebagai keunikan ice cream Deboliva.

Andre juga mengakui, banyak kalangan yang menyarankan agar dia menawarkan ice cream yang umum sudah dikonsumsi konsumen di Surabaya. “Banyak yang memberi masukan bahwa ice cream itu harus seperti ice cream yang ada waktu itu,” kenangnya.

Saran banyak orang ditanggapi dengan empati. Tapi Andre percaya, suatu saat orang akan lebih melirik produknya yang low fat. Saat itu, Andre hanya berpikir, hanya butuh sedikit waktu untuk mengedukasi konsumen agar bisa menerima produknya.

Keyakinan Andre itu didasari bahwa pada dasarnya setiap orang akan memilih produk yang lebih sehat. Lagipula saat itu, konsumen sudah mulai percaya bahwa ice cream bisa membuat gemuk. “Saya berusaha untuk tetap percaya diri bahwa tujuan dari saya membuat Low Fat, untuk kepentingan kesehatan. Bilamana ada orang yang menjaga berat badannya, mereka tidak perlu kuatir dalam mengkonsumsi ice cream Deboliva,” ungkapnya.

Tidak hanya berhenti di situ, Andre optimis, suatu saat diferensiasi Deboliva akan menjadi kekuatan. Apalagi, dia sudah menyiapkan berbagai konsep marketing untuk mengedukasi konsumen terhadap produknya dan merek Deboliva. “Dan saya percaya bahwa konsep pemasaran ice cream yang berbeda ini akan menarik konsumen,” katanya ketika mengenang masa awal perubahan konsep Deboliva.

Boleh jadi Andre optimis usahanya itu bisa berkembang. Setelah tiga bulan pertama diluncurkan, data omset meningkat dari bulan ke bulan. Sehingga, perubahan konsep membuatnya lebih optimis Deboliva bisa berkembang sebagai ice cream shop modern. “Bilamana kita percaya pada produk kita sendiri, kita harus berani memperjuangkan kelebihan produk kita tanpa harus dilebih-lebihkan karena memiliki dasar pemahaman yang kuat,” tegasnya.

Kini, Andre konsentrasi mengembangkan bisnisnya ini secara waralaba sejak pertengahan 2008 lalu. Dari sisi persyaratan bisnis, Deboliva sudah memenuhi kriteria bisnis warlaba karena telah bertahan lebih dari tiga tahun den telah membuktikan diri sebagai bisnis yang memberikan keuntungan.

Memang sih, belum begitu lama bisnis ini dikembangkan dengan konsep waralaba. Konsep waralaba ini dipilih menurut Andre untuk mempercepat penyebaran. Saat ini, Deboliva sudah memiliki tiga gerai. Omzetnya bervariasi antara Rp 50 juta hingga 150 juta per bulan.

Andre sangat teliti dalam mengembangkan Deboliva. Baginya perubahan tidak bisa ditolak selama mendukung perkembangan bisnis. Namun dia mengingatkan, perubahan harus tetap berpijak pada kekuatan fokus pada bisnis dengan konsep dasar sebagai ice cream shop yang menjadi tempat nongkrong para konsumen. “Fokus kepada satu pekerjaan dan ditekuni sampai benar-benar mahir dalam bidangnya, serta tidak mudah menyerah, selalu berinovasi & memperbaiki yang kurang,” katanya.

Deboliva juga, kata Andre dikembangkan dengan sbuah konsitensi pada cita rasa. Menurutnya, konsumen harus merasakan cita rasa yang sama setiap kali menkonsumsi Deboliva. “Konsistensi yang selalu di terapkan dalam produk yang kita jual. Tidak bisa, kalau rasa produk hari ini lebih enak dari yang kemarin. Konsumen sangat peka bila mutu/rasa dari produk kita berbeda,” katanya.

Deboliva awalnya ingin difranchisekan pada 2005, namun baru bisa terpenuhi tahun lalu. Kini, dengan tiga outlet, Deboliva dikembangkan dengan 70 karyawan. Sukses Deboliva sebenarnya berada di sikap Andre yang selalu tenang menghadapi berbagai tantangan. Baginya, berpikir mencari soluasi adalah langkah tepat setiap kali menghadapi kendala. “Kita harus selalu menjadi problem solver. Karena bisnis selalu banyak tantangannya, dimana setiap rintangan harus di cari jalan keluarnya,” katanya.

(Zaziri)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=64

Cikal Bakalnya dari Gerobak Keliling, Kini Berkembang Puluhan Gerai

Daerah menyimpan rahasia sukses bagi yang jeli melihat peluang. Ketika orang ramai menyerbu kota, Dobbi memulai dari daerah yang tingkat persaingannya masih rendah. Di Jogja, Irawan membidani Dobbi hingga meluncur ke berbagai daerah.

Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup lebih baik. Tinggal kita mau menjalani atau tidak, kata Irawan Kusumo Winarto. Kata-kata Irawan itu bukan isapan jempol semata. Wirausahawan muda bisnis franchise Kediri, Jawa Timur, 19 Februari 1976 ini sudah membuktikan melalui perjalanan usaha Dobbi.
Dari kota pelajar, Jogjakarta, Irawan membangun resto Dobbi menjadi sebuah resto cepat saji hingga memiliki 45 gerai yang tersebar di berbgai daerah termasuk Jakarta. Hebatnya, 43 outlet dimiliki oleh franchiseenya. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk bisnis yang memulai dari daerah.

Sebelum bergerak di usaha resto cepat saji di bawah bendera PT Dobbi Mulia Sejahtera, Irawan sudah mulai berbisnis rumah pemotongan ayam pada 1998. Kemudian, Irawan mengembangkannya ke chicken processing pada 2002. Bahkan, bisnis Irawan juga tidak hanya bergerak di restoran, tapi juga ke hotel.

Tapi, asal tahu saja, resto cepat saji dengan merek Dobbi tidak dimulai dengan start yang memadai. Artinya, dari sebuah proses panjang dari bawah. Tahun 2000, tutur Irawan, dia melihat banyaknya sisa ayam dari proses pemotongan yang tidak digunakan alias disia-siakan. “Kemudian dari situ ada ide untuk menyajikan menu dari makanan ayam goreng,” katanya menjelaskan.

Bisnis ayam goreng pun dimulai. Irawan tidak melakukannya dengan membuat gerai. Justru konsep dagangnya adalah mendekati konsumen. Yaitu dijual dengan keliling menggunakan gerobak. “Awalnya dijual dengan keliling gerobak, kemudian berkembang menjadi restaurant,” katanya menjelaskan cikal bakal resto cepat saji Dobbi.

Dobbi, bukanlah merek pertama yang digunakan untuk resto cepat saji. Irawan menggunakan merek Samirono Fried Chiken yang diambil dari nama tempat di Jogja. Awalnya menggunakan Merek samirono Fried Chicken (MS Group) Karena lokasinya berdekatan dengan Wilayah Samirono, kemudian berubah menjadi Dobbi Burger dan Fried Chicken dengan slogan Dobel Jempol lezatnya,” tutur Irawan.

Resto dipilih sebagai unit usaha dari sebelumnya dagang keliling menurut Irawan karena ingin memaksimalkan pendapatan usaha sekaligus membuka lapangan kerja. Keunikan dari resto ini adalah citarasa yang khas tanpa menambahkan MSG serta pengolahannya dengan bumbu rempah-rempah pilihan. Usaha resto pertama kali dibuka di Condong Catur Sleman, Yogyakarta, dengan team yang hanya terdiri dari 5 orang saja.

Bagi Irawan, daerah seperti Jogja sebenarnya memiliki potensi yang besar bagi usaha resto ayam goreng. Sebab, dilihat dari usaha ini, sudah banyak yang digeluti masyarakat. Tetapi, mereka tidak melakukannya dengan konsep yang baik. “Kami melihat peluang di daerah lebih terbuka sebab banyak sekali penjual ayam goreng yang ada tapi belum terkonsep, ini membuat kami yakin dengan konsep yang  baik di daerah pasarnya sangat terbuka,” tukasnya.

Kini, usaha resto Dobbi sudah bisa merambah daerah luar Jawa. Merek ini bahkan sudah sampai ke Kalimantan dan Sulawesi. Ke depan, Irawan punya konsentrasi untuk mengembangkannya ke wilayah Sumatera dan Irian Jaya atau Papua.

Seperti usaha pada umumnya, Dobbi tidak besar begitu saja. Kendala yang dihadapi diantaranya, kesulitan standarisasi produk contoh adanya ayam sisa. Setelah produk, kendala lain berada di SDM. Lalu, system dan kinerja yang harus mendukung upaya branding Dobbi.

Kendala itu, bagi Irawan tidak bisa dihindari dan dijadikan sebagai sebuah proses perjalan Dobbi. “Dengan banyak belajar, membaca, mendengar & melakukan kami berusaha mengatasi kendala tersebut. Untuk masalah sisa ayam hal ini membuat timbulnya ide untuk menjadikan ayam goreng menjadi Dobbi Burger & Fried Chicken,” katanya.
Irawan Kusumo Winarto menjadi orang di balik sukses perjalana Dobbi. Dia sangat beruntung, usaha yang dimulai dari bawah ini disokong penuh oleh keluarga. Dia pun berterima kasih kepada dua pendiri lainnya, yaitu Sigit Wahyudi & Rio Prambudi dan back up Team Dobbi awal yang terdiri dari 5 Orang. “mereka ini menjalankan manajemen Dobbi dari awal dengan kejujuran, Berani Mencoba & Bertanggung Jawab,” katanya lagi.

Seperti usaha pada umumnya, kendala luar banyak meyertai perjalanan bisnis ini. Misalnya, isu flu burung sempat juga membuat konsumen menahan diri untuk mengkonsumsi ayam. Namun, kendala ini tidak bersifat abadi.

Namun sesungguhnya, kata Irawan, restoram, seperti apapun kondisinya adalah jenis usaha yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena menyediakan kebutuhan pokok. Dengan harga yang terjangkau bagi konsumen dan bahan baku yang berasal dari lokal, Dobbi mampu bersaing dengan merek-merek ternama di Indonesia.

Kini, Dobbi sudah memiliki 43 gerai yang tersebar di berbagai daerah. Irawan sadar, bahwa usaha yang diwaralabakan sejak 2005 ini memiliki ketergantungan pada komitmen investornya (franchisee). Karena itu, sedari awal dia sangat selektif memilih calon franchiseenya. “Kita harus memilih calon pembeli   Franchise secara selektif artinya orang yang akan membeli franchise diharuskan ikut memantau outletnya. Serta yang tidak kalah penting pemilihan daerah-daerah potensial, kalau kita yakin di daerah bisa sukses kenapa harus bertahan di kota besar, yang mana di daerah ceruk pasarnya masih terbuka lebar dimana kompetitor jarang bermain di sini,” ungkapnya.

Dengan cabang yang sudah cukup banyak, Irawan dengan rendah hati menjelaskan bahwa sukses tidak berhenti saat ini. Baginya, Dobbi masih punya peluang untuk sukses lebih jauh. Namun, dia bersyukur, perkembangan Dobbi hingga saat ini masih terus menanjak naik untuk mencapai sukses yang lebih besar.
(Zaziri)

sumber:http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=65

Pernah Dicibir Waktu Merintis Usaha, Kini Usahanya Melesat dengan Puluhan Gerai

Gus Minging tahu, seharusnya bisnis jasa terapi kesehatan mulai dari kota, karena pasien terbanyak ada di kota besar. Namun, Solo membuktikan bisnis ini bisa dimulai dari daerah.

Terapi kesehatan yang menggunakan metodologi dari luar negeri umumnya dikembangkan sebagai bisnis di kota besar. Maklum saja, di kota besarlah konsumen terbesarnya berada. Kenapa? Karena kebutuhan terhadap jasa terapi kesehatan, terutama jurus refleksi sangat dibutuhkan oleh konsumen yang menghadapi tingkat kehidupan dan persaingan yang tinggi.

Nakamura The Healing Touch justru memulai dari kota Solo. Gus Minging, sang penggagas jasa terapi kesehatan blak-blakan memberi alasan, modal yang dimilikinya tidak terlalu besar. Karena itulah dia memulainya dari kota kelahirannya, Solo.

Meski begitu, Gus Minging percaya bahwa keterbatasan bukan hambatan untuk mengembangkan bisnis. Selain itu, memulai dari daerah juga bukan sesuatu yang harus ditakutkan. Karena, selama dilakukan dengan konsep yang benar dan tahapan yang baik, bisnis daerah bisa mengepung kota.

Dari keterbatasan itulah, Gus Minging justru memiliki ambisi untuk bisa menaklukkan pasar di kota besar. Bahkan, dari keterbatasan itu dia melihat ada kelebihan yang bisa dimunculkan untuk memperkuat usahanya. Menurutnya, daerah memiliki sumber tenaga kerja dan biaya operasional yang relative lebih murah. Kemudian, tenaga kerja relative lebih mudah dibentuk, karena mereka masih fresh. Tingkat persaingan pun masih rendah dan mudah untuk menjadi yang terbaik di daerah. “Orang bilang, untuk memulai di Solo itu pasti sulit. Saya ingin membuktikannya. Saya percaya, kalo bisnis ini bisa sukses di Solo, pasti akan sukses di tingkat nasional. Itu yang memotivasi saya untuk membuktikannya,” katanya sungguh-sungguh.

Nakamura The Healing Touch bergerak di bidang terapi kesehatan komplementary dengan jurus refleksi, acupressure dan chiropractic ala Jepang. “Pasien diterapi secara manual dengan tangan tanpa alat Bantu yang bertujuan untuk pencegahan, perawatan dan pencegahan penyakit. Tamu dengan kondisi sehatpun akan merasa lebih sehat,” kata Gus Minging menjelaskan metodenya.

Terapi yang dikembangkan Nakamura mengadopsi metodologi dari Jepang. Ilmu ini dipelajari langsung oleh Gus Minging di Jepang dari seorang sensei bernama Miyata. Sedangkan tenaga terapis di Nakamura dididik langsung oleh Gus Minging. Mereka semuanya berlatar belakang fisioterapis. Mereka inilah yang menjadi tim training dan quality control.

Gus Minging mempelajari ilmu ini ketika mendampingi sang istri nelajar di Negara Sakura tersebut. Di Jepang, Gus Minging sempat mengisi waktu dengan bekerja kasar. Saking capeknya, Gus Minging mengalami kecapekan yang luar biasa. Suatu ketika, istrinya mengenalkanya kepada temannya bernama Masumoto, seorang anggota Kagoshima Ki No Kai. Dari teman sang istri ini, Gus Minging belajar terapi penyembuhan diri, dengan melakukan gerakan penyegaran diri.

Ketika ikut berlatih, dia berkenalan dengan Sensei Miyata. Sang Sensei menariknya ke belakang ruang latihan dan menunjukkan kitab rahasianya, Jen Shin Chosei. Gus Minging setuju belajar ilmu yang ditunjukkan sang sensei.

SIngkat cerita, dia sukses mempelajari semua isi buku itu. Sang sensei kemudian memberinya nasehat sebelum pulang ke Indonesia. Sensei memintanya untuk menjadi terapis nomor satu di Indonesia dan mengembangkan ilmu itu untuk membantu banyak orang. “Sebelum pulang Miyata sensei minta saya buat janji seperti seorang samurai bahwa di Indonesia saya harus menjadi terapis no 1 di Indonesia dan mengembangkan ilmu ini demi kebaikan dan kesehatan umat manusia,” kisahnya.

Jangan dulu bayangkan Gus Minging memulai dari sebuah gerai yang bagus. Dia justru memulai dengan pijat keliling. Sambil naik sepeda, Gus Minging menawarkan jasanya door to door. Pekerjaan menjadi tukang pijat keliling itu dilakukan di Jakarta.

Banyak kawan-kawannya yang mencibir Gus Minging. “Lulusan psikologi koq jadi tukang pijit,” begitu antara lain cemoohan rekan-rekannya. Tapi, bagi Gus Minging, kerja pijat keliling hanya sebagai latihan ilmu saja.

Pekerjaan itu kemudian dieruskan di kampung halamannya di Solo. Bekas kamar tidur waktu kecil di rumahnya disulap menjadi ruang praktek. Sambutan customer ternyata cukup meriah. Diapun mulai menurunkan ke 5 murid pertamnya yang seluruhnya berlatar belakang fisioterapis.

Praktis, Gus Minging boleh dibilang memulainya hanya bermodalkan keberanian. Setelah sambutan pasiennya cukup banyak, dia membongkar celengan dan meminjam ruko dari orang tuanya. Tempat di-set untuk ruangan praktek dengan modal hanya Rp 20 juta. Nakamura hanya memulai dengan 5 terapis dan 1 kasir.

Nakamura diambil dari nama dua temannya di Jepang ketika ikut istri studi di sana. Dua nama itu disebut Gus Minging sangat berjasa kepadanya. Nakamura Momoe adalah kakak seperguruannya yang banyak memberinya bimbingan dalam belajar terapi di Jepang. Sedangkan Nakamura Otosan adalah ayah angkatnya semasa dia di Jepang. “Nama Nakamura untuk mengenang jasa mereka dan nama ini mudah diingat untuk orang Indonesia,” katanya.

Gus Minging, ketika memulai usaha itu banyak diragukan oleh lingkungannya. Tidak sedikit yang menyebarkan fitnah bahwa tempat usahanya bakal menjadi tempat mesum. Padahal, terapi yang dia terapkan tidak membuka baju pasien. Seiring berjalan waktu, banyak fasien yang mendapatkan benefit dari terapinya, sehingga masyarakat mulai mempercayai jasa yang ditawarkannya.

Gus Minging kemudian melihat bisnisnya itu sebenarnya bisa berkembang. Dia pun menjalankan bisnis dengan kejujuran dan kepercayaan, bukan atas dasar coba-coba. Dari situlah dia berniat, dari Desa Nakamura ingin merangsek ke kota.

Dia juga percaya, bisnis jasa terapi ini memiliki potensi pasar yang besar. Masyarakat, katanya membutuhkan terapi sentuhan dan manual yang mampu menghilangkan berbagai keluhan mereka. Kelahira Solo, 1973 itu percaya, jika jasa yang diberikannya bisa dipercaya, maka bisa menjadi sumber income baginya. “Saat ini, orang mengalami stress karena tingkat kehidupan yang memaksa mereka. Sehingga mereka butuh tempat untuk "escape" dan me"charge" baterei fisik dan jiwa mereka,” katanya.

Kunci sukses usaha Nakamura yang didirikan pada 2004 itu tidak lepas dari peran media massa setempat. Wartawan diberikan pengalaman terapi dan juga menjadi berita bagi mereka. Sehingga, masyarakat ikut mengenal terapi Nakamura.

2006, Nakamura difranchisekan. Ada pengalaman unik dengan usaha ini di franchiseenya. Suatu saat, tutur Gus Minging, dia mendapatkan franchisee. Tetapi, setelah tiga hari operasi, seluruh karyawannya tidak mau lagi bekerja pada sang franchisee. Dia sempat terganggu hingga tiga bulan dengan pengalaman itu, karena sang franchisee menggugatnya. Usut punya usut, ternyata figure sang franchisee menyeramkan. Dari pengalaman itu, Gus Minging mulai selektif memilih franchisee.

Kini Nakamura memiliki 21 gerai, 9 milik franchisee. Masing-masing outlet memiliki omzet rata-rata 30-65 juta per bulan.

(Zaziri)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=68

Raul Hadin: Keyakinan Modal Awalnya Membangun British Five

Ada orang mengatakan jangan pernah melewatkan kesempatan. Tapi dimata founder franchise pendidikan bahasa inggris British Five Raul Haidin, hal itu tidak sepenuhnya benar. Tidak sedikit mereka yang mengambil kesempatan juga mengalami kegagalan. “Karena tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa pengalaman,” kata Raul menjelaskan alasannya. Untuk itu, Raul memilih bekerja dulu guna menambah pengalamannya sebelum terjun berwirausaha.

Keinginan memiliki lembaga pendidikan sendiri telah ada dalam diri Raul sejak kuliah. Demi mewujudkan mimpinya, ia bekerja di berbagai lembaga pendidikan, khususnya bahasa inggris. Ketika dibangku kuliah pun, Raul mereguk pengalaman bekerja di beberapa perusahaan. “Prinsip saya, mumpung masih muda harus kerja keras,” ujar kelahiran Denpasar, 3 Maret 1979 ini.

Dimata Raul, untuk sukses menjadi pengusaha diperlukan dua hal, bekerja ekstra keras dan pintar. Dapat bekerja dengan pintar merupakan hasil dari kemampuan dan pengalaman menekuni bidang bisnis yang digeluti. Sedangkan keras, berarti mampu menghadapi hambatan yang muncul. “Jangan sampai kegagalan membuat loyo. Harus tetap semangat dan konsisten,” tegas peraih MBA dari Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) ini.

Raul membangun British Five pada 2003 setelah terjadi konflik ditempatnya terakhir bekerja. Kala itu, dia sudah malas melamar bekerja di tempat lain dan akhirnya memutuskan membangun usaha sendiri. Seperti umumnya pengusaha yang merintis bisnisnya, diawal Raul juga merasakan berat. “Apa yang sudah direncanakan seringkali berbeda 180o dengan yang terjadi di lapangan,” ungkapnya. Tapi Raul tetap percaya dengan kemampuan yang dimilikinya.

“Kita harus yakin pada kemampuan diri sendiri,” ujar Raul. Hal itu berguna untuk mengantisipasi kemerosotan spirit pada saat gagal, terutama menyikapi masukan negatif dari orang lain.

(MIF-Ade Ahyad)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=364

Philip Soeharto: Pernah Jadi Sales door to door, Kini Punya Restoran

Dalam menjalani kehidupan, banyak hal yang terjadi. Dari mulai mimpi yang mejadi kenyataan sampai kejadian yang tidak sesuai dengan harapan kita sebelumnya. Reaksinya pun berbeda-beda untuk setiap individu, intinya adalah bagaimana kita bisa menyikapinya dengan terus mengevaluasi entah itu sesuai dengan harapan ataupun sebaliknya.
Hal itu pulalah yang menjadi filosofi hidup seorang Philip Wong S Soeharto, owner Chicken in Red. Jalannya mendirikan sebuah bisnis tidaklah mudah, mulai dari menjadi salles alat-alat memasak dengan cara door to door sampai menjadi pemilik dari beberapa unit bisnis yang kini mulai ia rasakan hasilnya. Lalu apa kunci rahasia kesuksesannya? “Intinya, dalam menjalani apapun kita harus berserah diri kepada yang memberikan kita hidup, tapi harus diingat, berserah bukan berarti harus menyerah, tapi dengan terus berusaha,” ungkapnya berapi-api.
Pria berkacamata ini telah membuktikan ucapannya, meski awalnya ia harus berdarah-darah dalam berusaha mengejar kesuksesan tapi kini ia bisa menikmati jerih payahnya itu. Buat ayah dari dua orang putera ini kehidupan ini seperti air yang mengalir, cukup jalani saja semuanya namun jangan sampai terbawa arus.
kini kelahiran Banyuwangi 06 Desember ini tercatat telah memiliki beberapa unit bisnis restoran yang dikelolanya sendiri. Philip pun punya keahlian lain selain ahli dibidang kuliner yakni desainer. Semua bisnis yang dimiliki konsepnya didesain oleh dia sendiri dari mulai nilai estetika outlet sampai dengan seragam para pegawainya. “Selalu belajar hal yang baru, itu merupakan keuntungan yang bisa kita andalkan nanti,” pungkasnya.
(MIF-Syaiful Anwar)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=365

Paksi Dewandaru: Menjadi Wirausaha Terinspirasi dari Tukang Bakso

Ada dua hal yang membuat Paksi Dewandaru, pemilik Monsterjelly, Jejamur resto, D’mushroom, PLEKERS (pentol colek enak rasanya), Terang bulan Manchester dan Bebek Ngimul ini terjun sebagai pengusaha. Pertama adalah karena fakta banyaknya pengangguran di Indonesia yang membuatnya berpikir jika menjadi seorang entrepreneur maka bisa memfasilitasi para pengangguran di Indonesia.

Alasan kedua yang sangat sederhana, yaitu dari tukang bakso yang biasa berjualan di kampusnya ITS Surabaya. Saat itu pria kelahiran Pamekasan 25 tahun silam ini menyaksikan sendiri bagaimana si tukang bakso tersebut hanya dengan satu gerobak saudah mampu menghidupi keluarganya. Dari situ kemudian Paksi berangan-angan seandainya ia memiliki 10 gerai bakso, penghasilannya akan sama, atau bahkan lebih banyak daripada teman-temannya yang bekerja menjadi engineer di perusahaan multinasional.

Tak heran, ketika benar-benar telah menjadi wirausaha, Paksi sangat serius dalam mengembangkan bisnisnya. Tidak tanggung-tanggung, untuk menambah pengetahuan serta kemampuan manajemennya, saat ini Paksi tengah menyelesaikan kuliahnya di Jonkoping Intenasional Business School Swedia. ”Saya kuliah sembari mengurusi bisnis saya di kampung,’ ujar suami Diana Rahmawati ini.

Paksi yang mengaku sempat merasa kesulitan ketika pertama kali mengawali semua semua bisnisnya itu meyakini bahwa suatu saat akan menggapai mimpi-mimpinya. Kuncinya menikmati semua proses yang dilalui. ”Dan saya menikmati setiap proses yang saya lalui untuk mencapainya,” kata Paksi lagi.

Ada beberapa trik yang kerap dilakukan ayah satu orang anak ini ketika sedang menghadapi masalah dalam bisnisnya. Pertama, dia bersikap tenang dan mencoba untuk menganalisa permasalahan. ”Bagi saya sulit untuk mengatasi masalah kita panik apalagi stress,’ tuturnya. Kemudian memilah-milah masalah menjadi kecil. Menurutnya, dengan memisahkan masalah menjadi bagian yang lebih kecil, maka permasalahan menjadi lebih mudah dipecahkan. Dan yang terakhir adalah baru mengambil keputusan dan solusi terbaik dari semua kemungkinan yang ada.

Dengan berpedoman pada tiga trik tersebut, Paksi mampu mengawal bisnisnya maju dan sukses hingga ia bisa membiayai kuliah masternya di MM UGM Yogyakarta dan berangkat untuk belajar di Jonkoping International Bussines Scholl Swedia bersama istri dan anaknya. (Fahmi&Rahmat HM)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=370

Rakhma Sinseria: Dari Gerobak Pinggir Jalan, Kini Menjadi Coffe Shop dengan Puluhan Outlet

Sejak berdirinya pada tahun 2006, Odi Anindito berhasil menjadikan Coffee Toffe miliknya terus berkembang pesat. Semua itu tak lepas dari peran sang istri Rakhma Sinseria. Sebesar apakah perannya dalam membesarkan Coffee Toffee bersama sang suami?

Ungkapan klise, dibalik suksesnya lelaki selalu ada peran wanita hebat di sampingnya, sepertinya memang banyak terbukti. Odi Anindito founder dan owner Coffee Toffee adalah salah satu contoh nyata dari ungkapan itu. Perjuangannya dalam membesarkan Coffee Toffee tak lepas dari sosok Rakhma Sinseria, istri tercintanya.

Coffee Toffee memulai kegiatan bisnisnya pada tahun 2006. Usaha ini adalah menjual minuman berbahan dasar kopi, coklat, dan teh. Odi menjelaskan, dengan biji kopi kualitas terbaik di kelasnya, biji kopi yang digunakan oleh Coffee Toffee adalah campuran antara biji kopi Java-Mocha dan Toraja Kalosi yang sudah terkenal akan kekuatan rasa dan aromanya, Coffee Toffee memberikan sebuah cara baru untuk menikmati secangkir kopi favorit Anda.

Setelah mengalami berbagai kondisi pasang surut, Coffee Toffee yang mengawali bisnisnya dengan menggunakan booth/gerobak di tepi jalan kini telah merubah bentuk menjadi coffee shop. Sebuah tempat dimana orang dapat dengan tenang menghabiskan waktu bersama teman, keluarga atau kolega dengan ditemani secangkir kopi pilihan.

Kini Coffee Toffee telah memiliki 70 outlet, 65 milik mitra dan 5 milik sendiri yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan dua kantor cabang di Surabaya dan Jakarta, Odi menargetkan akan menambah 60 outlet baru ke depannya. Dalam membesarkan Coffee Toffee, Odi tidak hanya sendiri. Bersama sang istri, Rakhma Sinseria, berdua mereka bahu membahu mengembangkan bisnis ini sehingga menjadi salah satu pemain yang diperhitungkan di kancah dunia bisnis Indonesia.

Sama seperti suaminya, ide awal Rakhma Sinseria, tertarik untuk mengembangkan Coffee Toffee adalah karena hobinya yang suka menikmati kopi. Sejak kuliah Ria, panggilan akrabnya, sudah menyukai minuman kopi walaupun hanya dari kopi sachet yang diseduh air panas. Kemudian pada saat bekerja, ia semakin menyukai kopi, dari yang tadinya kopi sachet, meningkat menjadi kopi murni. Ia  suka membeli minuman kopi di mall, karena menurutnya  memang enak dan bikin ketagihan.

”Cuman sayangnya, saya merasa harganya mahal sekali, jadi saya tidak sering-sering nongkrong di coffee shop mall. Suatu hari terlintas di kepala saya, kayaknya enak ya kalau bisa punya kayak gini,” tutur Ria.

Sejak saat itulah Ria dan pacar (yang sekarang menjadi suami) sepakat memulai usaha dengan mencoba-coba resep minuman kopi hingga akhirnya mendirikan Coffee Toffee. Selain itu, setelah mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar no.4 di dunia, Ria, bersama suami akhirnya sepakat untuk serius menggarap peluang bisnis ini. Dan hasilnya, Coffee Toffee tercatat sebagai pioneer dalam bisnis Take Away Coffee asli Indonesia.

Wanita cantik kelahiran Malang ini mengakui kalau aktifitasnya dengan turut andil dalam bisnis bersama suami sama sekali tidak mengganggu waktunya. Justru dengan membantu suami dalam mengembangkan Coffee Toffee membuat dirinya merasa semakin dekat dengan keluarga.

“Selama berbisnis, saya merasakan banyak sukanya daripada dukanya. Toh, kalau ada duka saya yakin bisa menghalaunya. Hikmah terbesar sejak saya memulai usaha sendiri adalah bisa lebih dekat dan membagi waktu dengan keluarga,” kata Ria

Untuk memperluas jaringan, Ria aktif mengikuti berbagai komunitas bisnis. Menurutnya mengikuti komunitas yang punya ketertarikan sama, yaitu bisnis, merupakan hal yang sangat penting. Ria sangat yakin dengan punya banyak teman akan lebih baik daripada hanya punya sedikit teman. Dengan mengikuti komunitas kita akan bertemu dengan banyak teman baru yang punya minat sama di bidang bisnis sehingga bisa saling sahre dan menjalin networking. Beberapa komunitas bisnis yang kini diikutinya adalah Women Entrepreneur Club, Tangan Di Atas, dan Wanita Wirausaha.

Terjunnya, Ria ke dunia wirausaha memang tidak main-main. Ia selalu optimal dan serius namun tetap enjoy menjalani usahanya. Keseriusannya dalam menggeluti bisnis bersama sang suami terbukti dengan berbagai prestasi yang ia dapatkan. Beberapa prestasi yang pernah ia raih seperti Pemenang 1 Wanita Wirausaha Femina-BNI tahun 2010, The Best in Business Concept Indonesia Franchise Start Up Award tahun 2010 versi majalah Info Franchise, Nominee Indonesia Franchise Start Up Award tahun 2009 versi majalah Info Franchise, dan lain-lain.

Ria punya harapan yang sangat besar untuk terus mengembangkan Coffee Toffee bersama suaminya. Wanita lulusan Universitas Brawijaya Malang ini telah merangcang sejumlah rencana dan target ke depan guna mencapai impian menjadi pemain kuat di tingkat nasional. Dan melihat besarnya peluang yang ada di depan mata, maka bukan tidak mungkin menjadi pemain di pasar regional dan global juga bisa tercapai. Didukung oleh kerjasama tim, konsep yang kuat dan kemampuan mengelola bisnis yang mumpuni bersama suaminya, membuat impian Ria akan segera menjadi kenyataan.

Rahmat HM
Coffee Toffee Indonesia
Jl. Dharmahusada 181 Surabaya
Telp : 031 592 9500 / Fax : 031 594 1921
Email : riacoffeetoffee@gmail.com
Website : www.coffeetoffee.co.id

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=379

Citra Hafiz: Dari Dawet Cah Mbanjar Hasilkan Omzet Ratusan Juta/Bulan

Berwirausaha ternyata menjadi pilihan hidup yang tepat untuk Citra Hafiz. Beralih profesi dari seorang penyiar, Ia kini sukses membangun Es Dawet Cah Mbanjar dengan omzet ratusan juta tiap bulan.

Awalnya banyak orang yang meremehkan usaha yang dijalani Citra Hafiz. Pandangan mereka yang masih konvensional waktu itu menganggap sepele kalau usahanya ini tidak akan berhasil. Bahkan pada saat Es Dawet Cah Mbanjar yang dijalani Citra mengalami kesulitan modal untuk mengembangkan sayap, tak ada satupun familinya yang mau membantu. Berkali-kali pengajuan hutang kepada orang tua, saudara, dan teman-temannya ditolak.

Saat itu, Citra dan suami hanya memiliki sebuah mobil pick Up yang juga masih dalam proses angsuran. “Untuk memperoleh tambahan modal, saya dan suami terpaksa menjaminkan mobil itu,” kenang Citra

Dan siapa sangka Es Dawet Cah Mbanjar yang dibangun Citra bersama suaminya Hafiz Khairul Rijal kini bisa berkembang sangat besar. Omzetnya mencapai ratusan juta tiap bulan. Jumlah gerainya (mitra) sampai saat ini berjumlah 275 outlet yang tersebar di Medan, Sumatera Utara, Banda Aceh, Nias, Jakarta, Surabaya, Palembang, Padang, Palu dan Makassar. Penjualannya tidak hanya tersebar di Indonesia, bahkan merambah hingga ke pasar di Singapura. Dalam waktu dekat, Citra akan berangkat ke Thailand untuk mempromosikan Es Dawet Cah Mbanjar. Padahal sebelumnya mereka seperti penjual es dawet lainnya, keliling pakai gerobak.

Citra kini bisa tersenyum lebar dengan kesuksesan yang diraihnya dari bisnis es dawet. Usahanya yang tekun dan gigih bersama suaminya tidak sia-sia. Meski sempat susah dan jatuh bangun, sukses pelan-pelan mereka raih. Di tahun 2008 mereka memenangkan juara pertama Wirausaha Muda Mandiri tingkat Sumatera Utara dan menjadi Finalis di Jakarta. Tak hanya itu, Citra dan suaminya juga meraih juara satu Bank Sumut Award 2008 untuk kategori UKM. Citra juga pernah mendapat undangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Di Negeri Singa Putih itu pula ia diberikan kesempatan untuk mengisi acara Asia Pasific Food Festival..

Dari penyiar jadi tukang es dawet

Citra Hafiz, mengawali karirnya sebagai penyiar radio Most FM dan TVRI Medan. Hari-harinya dihabiskan untuk cuap-cuap dan kadang jadi MC dalam acara-acara tertentu. Citra mengaku begitu mencintai dunianya ini. Ketika menikah dengan suaminya, Hafiz Khairul Rijal pada tahun 2007, Citra mulai membuka usaha Djawara Fizta Group. Sayangnya sang suami keberatan jika Citra harus membagi konsentrasi antara menyiar atau berbisnis. Prinsipnya jelas, tak ada hasil maksimal jika bekerja di dua bidang. Harus memilih dan konsentrasi, itulah falsafah yang diberikan sang suami tercinta.

“Karena hidup adalah sebuah pilihan, akhirnya saya rela meninggalkan dunia siaran dan jurnalis demi berwiraswasta. Sejak saat itu saya dan suami konsentrasi membesarkan usaha Es Dawet Cah Mbanjar dan Bakso Mas Karyo,” ungkap Citra mengenang masa lalunya.

Citra mengatakan kalau dirinya tertarik mengembangkan bisnis es dawet ini karena senang minum jenis minuman yang sama tapi beda nama di Medan. Penjual minuman yang menggunakan gerobak ini banyak dijumpai di pinggir-pinggir jalan kota Medan. Kadang di emperan toko, tidak sedikit juga di bawah pohon rindang dan di persimpangan jalan. Sambil minum, Citra suka bertanya- tanya kepada penjual untuk mengorek informasi seputar minuman tersebut.
Sayangnya para penjual itu masih memakai sistem tradisional dan tenaga kerja langsung dari Jawa Tengah. Oleh karena itu Citra menemukan ide untuk membuat es dawet lebih tersistem dengan menggunakan sistem kemitraan. Setelah mendapatkan resep dari bos utama penjual minuman es itu, Citra dan suaminya mulai meracik es dawet khas mereka.
Kini Citra sudah bisa menikmati asyiknya berkecimpung di dunia usaha. “Di sini aku bisa bebas mengatur semuanya baik soal waktu maupun finansial,” katanya. Untuk merawat kedua buah hatinya Citra tidak perlu menyewa baby sitter. Waktunya sangat tak terbatas untuk tetap bersama keluarga dan anak-anaknya.Ke depan Citra sangat berharap bisa menciptakan World Class Company dari Es Dawet Cah Mbanjar yang dibangunnya.

(Rahmat HM)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=380

Mahasiswa Ini Sukses Berbisnis Kuliner Aqiqah Beromset Ratusan Juta

Jakarta - Untuk menjadi pengusaha sukses di bidang kuliner ternyata tidak harus bisa atau jago masak. Contohnya yang dialami oleh Andi Nata yang merupakan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), berhasil mengembangkan bisnis masakan aqiqah.

Aqiqah merupakan menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran seseorang anak sebagai tanda syukur bagi kaum muslim.

Andi Nata yang mengambil Jurusan Teknik Mesin, seperti tidak cocok dengan bisnis yang ia tekuni. Bisnis Aqiqah yang ia kembangkan menyediakan masakan yang identik dengan sate dan gulai kambing.

"Jujur, saya tidak bisa masak, apalagi mengolah masakan sate atau gulai kambing. Tapi hasil masakan saya sudah masuk ke Hotel Four Seasons dan tiga hotel bintang empat lainnya di Jakarta," ujar Andi yang ditemui detikFinance beberapa waktu lalu.

Lalu, apa yang membuatnya sukses mengelola bisnis Aqiqah hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan?

Menurutnya menekuni bisnis kuliner tidak selalu bisa masak. Berkaca pada kemampuannya yang sama sekali tidak bisa masak namun ingin punya bisnis kuliner, dirinya harus 'berkelana' mencari juru masak handal.

"Saya punya niat besar untuk buka bisnis aqiqah, namun tidak bisa masak, untuk mewujudkan keinginan saya, maka ide saya tidak lain mencari juru masak andal. Namun pencarian tersebut tidaklah mudah, cukup banyak juru masak yang menolak khususnya dalam memberikan resep rahasianya," ungkap Andi.

Ia mengakui sangat susah mencari juru masak yang enak dan mau diajak kerjasama. Tak habis akal Andi pun melancarkan berbagai trik, salah satunya bersilaturahmi atau mengunjungi orang-orang yang ia 'incar'.

"Ya, dengan niat bersilaturahmi orang tak akan mungkin mengusir saya, walaupun kenal saja tidak. Sambil main ke rumah juru masak yang saya incar, hampir tiap hari tidak lupa membawa jajanan, seperti coklat, biskuit, dan lain-lain untuk anaknya, ya istilahnya nyogok," tuturnya.

Akhirnya, hampir 2 (dua) minggu silaturahmi sambil mengungkapkan keinginan tulusnya, akhirnya si juru masak yang ia incar hatinya pun luluh. "Dia mau jalin kerjasama, hingga sampai saat ini," ucapnya.

Apa yang membuat usaha aqiqah yang diberi nama Raja Aqiqah. Klaim Andi tidak lain karena kualitas bahan utama dan cita rasa masakannya yang jauh dibandingkan yang lain.

"Bahan bakunya bukan kambing seperti pada umumnya, tapi daging domba yang merupakan perkawinan domba Afrikan F1 dengan domba Jawa Barat. Hasilnya dagingnya empuk dan tidak amis, apalagi yang paling utama tidak mengandung kolestrol," ungkap

Keunggulan tersebut membuat pelanggannya senang, dan menjadikan rekomendasi para calon pelanggannya yang lain. "Tidak kurang dalam sehari 2-5 domba yang disembelih atau rata-rata 100 domba tiap bulan," ungkapnya lagi.

Lantas apa yang membuat Andi, melihat peluang usaha aqiqah ini, sementara dirinya merupakan mahasiswa jurusan mesin?

"Keluarga saya punya peternakan domba, pelanggan yang beli domba kami rata-rata digunakan untuk acara aqiqah, dari situ timbul pemikiran kenapa tidak saya buka usaha aqiqah juga, ternak sendiri, jual sendiri sampai buat sendiri (masakan aqiqah)," ucapnya.

Perhitungan bisnis Andi sederhana, dalam sebulan tidak kurang ada 1.000 acara aqiqah hanya di Jakarta saja."Kalau saya ambil pasar 2% saja, sudah besar sekali," ucap pria kelahiran 5 Januari 1989 ini.

"Bahkan saat ini, peternakannya tidak mampu memenuhi permintaan pesanan. Untuk memenuhi permintaan, saya membina sekitar 10 kelompok peternak domba yang tersebar di Cirebon, Depok, dan di daerah Jawa barat lainnya," kata Andi.

Andi pun tidak menutup peluang pihak lain untuk menjalin kerjasama. Ia mengaku kini omzet bisnisnya bisa mencapai Rp 400 juta per bulan "Simpel saja kerjasamanya, kita bagi hasil 50:50 dari keuntungan bersih," pungkasnya.

Anda berminat?

Raja Aqiqah Farm Maju Bersama
www.aqiqahjakarta.org

Andi Nata

Alamat: Depok Maharaja, New Sadewa Blok P12A No.15A
(hen/hen)(Rista Rama Dhany)

sumber: http://finance.detik.com/read/2012/02/20/104521/1846427/480/mahasiswa-ini-sukses-berbisnis-kuliner-aqiqah-beromset-ratusan-juta

Monday, February 27, 2012

Ika Sufariyanti: Lewat Vannara Raup Omzet Ratusan Juta

Dalam berbisnis terkadang muncul masalah, kendala, dan masa-masa sulit yang membuat pelaku bisnis pusing tujuh keliling. Tapi tidak bagi Ika Sufaryanti, pendiri Vannara, yang selalu menghadapi setiap problem bisnisnya dengan enjoy dan having fun.
Orang yang menjalani pekerjaan karena suka pasti akan berbeda dengan yang menjalaninya karena terpaksa. Orang yang melandasi pekerjaannya dari rasa suka akan menuai sukses lebih besar dan lebih cepat. Tapi orang yang menjalani pekerjaan karena terpaksa atau sekedar menjalani tuntutan hidup, akan meraih tangga kesuksesan lebih lama atau bahkan mengalami kegagalan.
Sepertinya halnya yang terjadi pada sosok wanita bernama Ika Sufariyanti. Istri dari Ferry Andriyanto ini telah mengalami berbagai pengalaman asam, asin bahkan pahit dalam membangun bisnisnya. Berbagai masalah, tantangan, dan kendala ia alami. Namun Ika justru merasa senang saat harus memikirkan solusi dari semua problem terjadi. Semua masalah yang datang pada bisnis yang ia jalani dianggap sebagai wujud keriusan dirinya dalam berbisnis.
“I’m just wanna having fun in this business. Enjoying every single second,” kata Ika. Hidup ini terlalu pendek untuk tidak menikmati hal-hal yang tidak menyenangkan. Langkah demi langkah, jalan buntu yang akhirnya membuat dirinya harus memutar balik beberapa kali, hingga ke jalan bercabang yang membuat kalut karena tidak tahu harus memilih arah yang mana, semua ia lakukan dengan senang hati.
“Semua hal itu saya jadikan hiburan, yang merupakan salah satu keseruan yang sangat saya nikmati dalam dunia ini. Ketika ada permasalahan besar, proses mendapatkan masalah, memikirkan solusinya, menemukan halangan di plan A dan akhirnya menemukan solusi yang tepat, sangat saya nikmati,” tutur Ika.
Berjuang Membangun Vannara
Tepatnya pada tanggal 28 Februari 2009, Ika meresmikan berdirinya Vannara. Vannara merupakan merek terdaftar sebuah busana muslim. Saat ini Vannara memproduksi berbagai busana muslim berbahan dasar kaos yang nyaman dan cocok untuk daerah tropis.  Sesuai dengan tagline Vannara “the Colors of simplicity”, Vannara hadir dengan desain yang simpel dan dinamis dalam ragam warna warni yang sederhana.
“Kami menggunakan bahan cotton combed 100% cotton kualitas eksport yang nyaman, dan tidak menonjolkan lekuk tubuh sehingga sopan untuk dikenakan,” jelas Ika.
Berkat kegigihan Ika dengan dibantu suaminya, Vannara pun berkembang luar biasa. Omzet Vannara tiap bulannya berkisar antara Rp 100 hingga 200 juta dengan jumlah agen di seluruh Indonesia kurang lebih 50 orang. Ke depannya, Vannara akan memaksimalkan pasar dalam negeri dengan membuka outlet Vannara di beberapa kota besar yang akan dikelola oleh mitra usaha serta fokus menggarap pasar luar negeri. Tahun ini Vannara akan mulai merambah pasar Malaysia.
Vannara mempunyai visi untuk menjadikan dirinya sebagai perusahaan garment kelas dunia yang mampu menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam produksi busana muslim. Misinya adalah menjadi perusahaan garment dunia terbaik yang mampu menjadi trendsetter dan dapat memenuhi kebutuhan sandang seluruh kalangan dari bayi hingga dewasa dengan produk yang berkualitas, harga terjangkau dan pelayanan yang memuaskan.
Sebelum mendirikan Vannara, Ika merupakan agen distributor busana muslim anak. Dari sana Ika belajar banyak mengenai sistem keagenan dan menggunakannya untuk membantu penjualan produk Vannara. Setelah menggunakan sistem keagenan, Ika mengatakan, omzetnya makin bertambah dan Vannara makin berkembang cepat ke seluruh pelosok wilayah Tanah Air.
“Vannara masih merangkak berusaha menggapai kursi untuk naik setingkat lebih tinggi. Masih banyak cadangan energi untuk membuatnya berlari, semoga Allah masih memberi kesempatan hidup lebih lama lagi agar saya mampu berkarya dan bermanfaat bagi banyak orang,” harap Ika.
Ika sangat bersyukur kepada Allah SWT atas segala kemudahan yang Dia berikan dalam perjuangannya membangun Vannara. Ika sangat yakin Allah akan senantiasa bersama dirinya, menuntun setiap langkah dan usaha yang ia lakukan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Yang Maha Menguasai alam ini tak pernah sedetikpun hilang.
“So, untuk semua yang ingin memulai bisnis, JANGAN RAGU. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Gali potensi diri untuk menjadi lebih berkualitas dari hari ke hari. Sama-sama belajar menciptakan lapangan pekerjaan, yuk...” ajak Ika penuh semangat.
(Rahmat HM)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=381

Jackie Ambadar: Bermodal Satu Mesin Jahit, Kini Produk Le Monde Menembus Berbagai Negara

Jackie Ambadar adalah sosok pengusaha wanita yang sukses dalam menjalankan bisnis. Lewat kejelian bersama adik-adiknya membaca peluang Le Monde berhasil menjadi merek perlengkapan bayi yang disegani di dalam dan luar negeri. Meski begitu ia mengaku belum puas lantaran perjalanan masih panjang.

Sebagai seorang  pengusaha wanita sukses nama Jackie Ambadar sudah tak asing lagi.  Maklum saja, ibu dua anak kelahiran 15 September 1951 ini karena keberhasilan-keberhasilannya dalam dunia usaha sempat beberapa kali memperoleh penghargaan  antara lain sebagai satu-satunya finalist perempuan Entrepreneurs of The Year  yang diberikan oleh Ernest & Young  pada tahun 2004 dan Best of Entrepreneurs 50 pada tahun 2005 yang diberikan oleh Majalah Swa.

Nama Jackie begitu ia biasa disapa dikenal sebagai pengusaha sukses tidak bisa dipisahkan dengan Le Monde, bisnis perlengkapan bayi yang ia rintis bersama adik-adiknya sejak 1982. Jackie merintis bisnis perlengkapan bayi berawal dari kegalauannya yang besar terhadap minimnya  produk-produk perlengkapan bayi di pasar, padahal  produk itu sangatlah dibutuhkan oleh ibu-ibu yang baru melahirkan. Alhasil, dari kegalauan itu, muncul ide briliantnya untuk membuat dan memasarkan produk-produk perlengkapan bayi “Kami melihat bisnis ini awalnya dari kebutuhan dimana pasar saat itu belum ada. Kala itu kami melihat ini peluang usaha yang menyenangkan,” tuturnya.

Akhirnya, bermodalkan satu mesin jahit  alumnus FISIP UI tahun 1982 ini  memantapkan langkah menekuni bisnis perlengkapan bayi yang diberi label Le Monde, yang dalam bahasa Perancis berarti DUNIA. Meski begitu, awalnya Le Monde belum memiliki outlet alias hanya memproduksi saja. Outlet pertama baru dibuka tahun 1984. . “Le Monde pertama produksi tahun 1982 dan pertama buka outlet, dengan nama Le Monde Baby’s World pada tahun 1984,” ujarnya

Asal tahu saja, wanita yang bernama lengkap Zakiah Faried Abdullah ini sebelum berkiprah di Le Monde lama menggeluti bidang marketing terutama marketing research. Dibawah bendera PT Surindo Utama yang didirikannya sejak 1980 dan tetap eksis hingga sekarang, Surindo adalah usaha jasa nasional  yang pertama yang menekuni dunia marketing research.

Jeli Menangkap Peluang

Langkah Jackie untuk menggeluti bisnis perlengkapan bayi terbukti tepat. Karena kejelian menangkap peluang, wanita yang hobi berkebun ini lewat tangan dinginnya berhasil membawa nama Le Monde menjadi merek perlengkapan bayi yang disegani tidak hanya di pasar dalam negeri tetapi juga luar negeri.

Untuk pasar dalam negeri, Le Monde saat ini bisa dibilang penguasa pasar untuk keperluan bayi. Tercatat Le Monde sejak awal tersebar beberapa departement store terkemuka, atau kelas menengah atas diseluruh Indonesia. Demikian pula untuk pasar luar negeri atau ekspor. Sejak tahun 1986, Le Monde sudah mengekspor produknya ke beberapa negara di Asia, Australia dan Eropa.

Hebatnya lagi karena sudah mengglobal, pada tahun 2005 Le Monde lalu pernah menyabet pernghargaan sebagai Best Asean Infant Wear 2005. “Itu adalah bukti bahwa produk Le Monde sudah diakui kualitasnya dalam skala internasional,” ujarnya bangga.

Meski bisnis Le Monde  sekarang ini sudah menjadi pemimpin pasar, apalagi setelah difranchisekan sejak 2002 lalu dan kini total sudah ada 11 cabang dengan 7 diantaranya milik franchisee,  wanita yang juga memiliki hobi menulis ini mengaku belum puas. “Perjalanan masih panjang,” ujarnya. Ia ingin Le Monde menjadi merek global. Dan untuk lebih menancapkan kukunya di pasar luar negeri sekaligus mewujudkan visinya  itu,  Jackie pun mulai berancang-ancang membuka franchise di luar negeri.

“Saya kepingin menjual franchise ke luar negeri. Kebetulan sekarang masih dalam tahap negosiasi. Saya pinginnya sih ke Malaysia dulu sebagai salah satu negara terdekat,”tandasnya

Tidak gampang

Untuk menjadi merek global yang mendunia tidaklah gampang. Menurut  Jackie, untuk bisa mendunia modal utamanya adalah kualitas.  Makanya menurut Jackie untuk produk-produk Le Monde sangat mengutamakan masalah quality control. Apalagi produknya sangat berkaitan dengan bayi yang notabene harus memiliki kualitas bagus. “Perlengkapan bayi itu harus betul-betul terbaik karena namanya bayi itu sangat sensitif terhadap apapun,” terangnya.

Jackie mengakui, sebagai pioneer 12 tahun pertama Le Monde sangat leluasa bermain di pasar perlengkapan bayi karena relatif tidak ada pesaing. Namun menginjak tahun ke-13 persaingan mulai agak sengit lantaran mulai bermunculan merek-merek baru baik lokal maupun dari luar. Tidak hanya itu saja, persaingan yang tidak sehat pun mulai bermunculan. “Desain kami sering ditiru dan dijiplak dengan produk yang sama,namun kualitas jauh dibawah standard” kesalnya.

Meski kesal dengan persaingan yang tidak etis tersebut, namun Jackie tak patah semangat untuk terus membesarkan Le Monde. Selain aktif mematenkan produk-produknya ke instansi yang terkait, ia juga terus menunjukkan komitmennya dalam bisnis dengan selalu fokus dan inovatif melihat kebutuhan konsumen, serta terus memberikan layanan terbaik kepada konsumennya. “Yang penting tetap komit, fokus dan selalu ada produk-produk baru, berinovasi melihat kebutuhan konsumen serta selalu memberikan layanan yang terbaik kepada konsumen,”tutur Jackie menjelaskan kiat-kiatnya membesarkan Le Monde.

Concern terhadap wirausaha

Meski sudah sukses sebagai pengusaha, kepedulian Jackie  terhadap masalah sosial, khususnya dunia wirausaha di Indonesia tetap tinggi. Buktinya ia tidak pelit dalam membagi ilmu serta ide-ide wirausaha kepada masyarakat luas.  Ditengah kesibukannya mengelola berbagai perusahaan serta yayasan sosialnya ia masih menyempatkan diri menjadi dosen tamu dibeberapa universitas, serta menulis beberapa buku yang berkaitan dengan wirausaha.

Kepeduliannya terhadap wirausaha lantaran Jackie  sangat prihatin dengan tingginya pengangguran di Indonesia. Menurutnya, dengan tingginya angka pengangguran sudah saatnya merubah paradigma mencari kerja  menjadi menciptakan pekerjaan.

Karena hal itu juga, wanita yang hobi fotografi dan pernah bercita-cita menjadi wartawan ini mengaku bangga dengan perkembangan bisnis franchise saat ini. Menurutnya franchise adalah sebagai salah satu peluang usaha  untuk orang lain. “Ibaratnya, franchise itu sebagai sebuah jembatan, dari kebanyakan orang Indonesia yang mencari rasa aman (security seeker) menjadi pencari kesempatan atau peluang (opportunity seeker)” katanya.

Meski demikian, kata Jackie perkembangan franchise yang pesat harus juga disikapi dengan kehati-hatian. Jangan sampai salah persepsi dalam memandang bisnis franchise hanya sekedar untuk mencari uang dari franchisee. Karena bila sampai itu terjadi maka pertumbuhannya hanyalah seperti fatamorgana. Artinya, pertumbuhannya wah dan cepat sekali padahal pengelolaan manajemennya tidak begitu kuat. “Itu sangat berbahaya sekali,” tandasnya.

Wanita yang memiliki filosofi bisnis yang mengalir seperti air yang banyak manfaat untuk orang banyak ini, juga berpandangan if be the Best is possible, be better is not good enough, if be  the Excellent is achievable, be the BEST  is far than enough !. Namun,Jackie berharap pertumbuhan franchise tidak seperti fatamorgana. Franchise harus bisa membuka wirausaha-wirauaha baru yang sukses sehingga mampu mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
(Majid)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=382

Heera Syahir: Sosok Dibalik Kesuksesan Bisnis Suplemen Herbal Arofah

Heera kini sedang menggodok sistem dan manajemen kemitraan untuk membesarkan Arofah yng kini sudah mempunyai 15 agen di seluruh Indonesia. Seperti apa pernak-pernik Arofah di belantara bisnis herbal Tanah Air?

Awalnya, Arofah merupakan perluasan usaha dari Bursa Sajadah tahun 2009 lalu. “Pengembangan tersebut kami lakukan pada 2008,” kata Heera Syahir Karim Vasandani, Owner Arofah, anak perusahaan dari Bursa Sajadah.

Expect the unexpected. Itulah salah satu prinsip hidup yang ia pegang dan menjadi landasan Heera dalam merefleksikan hidup sebagai entrepreneur. Baginya, semua orang harus selalu sia dan siaga dihadapkan dalam berbagai kondisi, baik itu disukai atau pun tidak. Termasuk pilihannya membesut bisnis kemitraan setelah sekian lama beroperasi dengan sistem keagenan yang lebih fleksibel namun perkembanganya tidak terlampau massif. Nah, untuk mempercepat proses pemasaran dan meningkatkan brand awareness, rencana mem-BO-kan Arofah menjadi salah satu agenda mendesak untuk segera direalisasikan.

Heera merupakan anak dari  pendiri PT Aarti Jaya, perusahaan yang bergerak di bidang garmen, oleh-oleh, serta perlengkapan haji. Perusahaan ini dirintis Syahir Karim Vasandani, ayahanda Heraa pada 1989. Dimulai dari sebuah usaha sampingan, usaha tersebut terus berkembang. Hingga kini, perusahaan itu memiliki lima gerai di beberapa kota di Indonesia dengan nama Bursa Sajadah.

Sejak beroperasi sebagai unit bisnis mandiri, menurut Heera, Arofah tercatat sebagai divisi bisnis di Bursa Sajadah yang mencatat omset tertinggi mengungguli Divisi Sajadah. “Arofah berada di peringkat pertama,” katanya. Saat ini sistem kemitraan yang dijalankan Heera adalah keagenan. Untuk menjadi agen dari Arofah, peminat tidak direpotkan dengan proses registrasi yang repot. Cukup membeli 1 dus dengan isi 12 botol plus diskon 25%.

Go Business Opportunity

Heera berharap, jika tidak ada aral melintang, Mei 2011 ini, Arofah akan berubah dari sistem keagenannya menuju sistem Business Opportunity atau kemitraan yang menawarkan peluang usaha. Kini ia tengah menggodok sistem, konsep serta added value bermitra dengan Arofah. “Dengan nominal tertentu, mitra akan akan mendapatkan berbagai produk,’ katanya.

Saat ini, Heera mempunyai beberapa agen yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara, jumlahnya mencapai 10 – 15 agen. Heera selalu memantau produktifitas para agennya dalam berbelanja. Tapi, menurutnya, sejauh ini produktifitas agen-agen Arofah cukup baik. “Dalam sebulan mereka beli produk sampai 40 kardus,” katanya. Hal itu dipicu oleh kualitas dari produk yang ditawarkan. “Bagi saya, kualitas adalah nomor satu,” katanya.

Srategi pemasaran lainnya yang dikembangkan Heera menyasar ke ranah dunia maya. “Saya juga membuka online store,” kata pemilik website www.arofahstore.com ini. Karena tren online shoping sedang menunjukkan peningkatan grafik yang positif dan cukup memberikan kontribusi lumayan bagi kelangsungan bisnisnya.

Dari segi market, Heera mengaku, produknya memang menyasar kalangan middle up. Karena itu pula, ia konsen memperbaiki brand awareness dari sisi dan pelayanan sistem keagenan atau kemitraannya. Selain itu, ia juga menangani keagenan baju ihrom yang inline dengan bisnisnya Bursa Sajadah.

Bagi pebisnis wanita seperti dirinya, soal membagi waktu antara bisnis dan rumah tangga memang tak jauh berbeda dengan para ibu yang berprofesi sebagai pengusaha. Heera mengatakan, ia bersyukur dirinya bisa bekerja dari rumah, dan semua urusan bisnis pun ia selesaikan di rumah. “Praktis, saya leluasa memantau anak-anak di rumah,” katanya.

Jika ada acara yang mengharuskan dirinya untuk ikut dan hadir, Heera tak segan membawa buah hatinya untuk ikut serta. “Soal waktu saya cukup fleksibel,” ujarnya.

Heera pun merasakan banyak benefit yang bisa ia dapatkan terkait keikutsertaannya di komunitas pengusaha wanita. Salah satunya adalah dengan manfaat silaturahmi dan mempunyai motto silaturahmi membuka pintu rezeki. Bagi Heera, ada sarana untuk berbagi, curhat, dan saling sharing informasi baik bisnis maupun hal lain. “Kami merasakan antara satu dan yang lain bisa saling berkontribusi,” katanya.
(Mahmud Yunus )

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=383

 

Nilam Sari: Ketekunan Berbuah Kesuksesan Piramizza

“Mengelola bisnis itu seperti menaiki anak tangga, step by step, setahap demi setahap dan tidak langsung instant,” kata Nilam Sari.

Kemandirian. Kata itu yang membuat Nilam Sari menyukai dunia bisnis. Terlahir sebagai anak tunggal, Nilam  terbiasa hidup dengan hidup mandiri, sehingga tidak merasa canggung untuk melakukan semua pekerjaan sendiri.

Orang tuanya juga mengharuskan dia bisa hidup mandiri. Sehingga sejak remaja, kelahiran Surabaya 25 November 28 tahun silam itu menyimpan mimpi untuk menjadi entreprenenur. Dua tahun lalu, mimpinya itu diwujudkan dengan mendirikan usaha Piramizza. “Dan Alhamdulillah, perlahan tapi pasti, hasil jerih payah saya mulai terlihat.  Masyarakat mulai bisa menerima Piramizza sebagai fastfood yang sesuai dengan selera mereka, sebaliknya dari sisi investasi, Piramizza mulai digemari oleh masyarakat sebagai usaha waralaba yang menguntungkan dan menjanjikan,” tuturnya.

Nilam memahami, membangun bisnis tidak seperti sulap bim salabim jadi dan kemudian besar. Menurutnya, membangun usaha harus melangkah setapak demi setapak sebagai sebuah proses pematangan diri dan juga sekaligus pemantapan usaha. Dengan demikian, bisnis bisa lebih kuat dan berkembang lebih baik.

Bisnisnya itu memang relatif baru. Namun, perkembangan Piramizza yang cukup pesat mengantarkan Nilam Sari sebagai pemenang Woman  Entreprenenur Franchise Award yang diselenggarakan oleh Majalah Info Franchise dan Asosiasi Franchise Indonesia tahun lalu. “Penghargaan ini merupakan modal awal saya untuk menggandeng Piramizza melangkah ke jenjang yang lebih tinggi lagi dengan kualitas usaha yang lebih baik,” katanya.

Nilam mengakui, usaha yang dibangunnya itu masih terbilang baru, namun selama dua  tahun mengelola usaha ini, dia telah banyak mengalami banyak hal, diantaranya, kekurangan modal. Menurutnya, Tidak mudah untuk membangun usaha di tengah terpaan badai krisis ekonomi global, tapi semua kendala itu nyatanya dapat juga dia atasi, karena adanya dukungan dari management yang solid.

Dia mengakui, sebagai wanita yang dididik ala budaya timur yang menganut garis patrilineal, banyak hambatan psikologis untuk bisa memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan sebagai entreprenenur. Orang tua, katanya, cenderung membatasi kebebasan anak-anak wanita mereka secara berlebihan.

Namun begitu, dari dalam dirinya, wanita sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa untuk bisa sukses menjadi pengusaha. “Perempuan yang ingin berhasil menjadi entrepreneur, maka dia harus memiliki karakter yang tegas, secara mentalitas harus tahan banting, dan harus ulet, tidak mudah menyerah atau putus asa,” katanya.

Nilam menceritakan, usaha Piramizza ini  berawal dari kegemarannya mengkonsumsi pizza. Namun dia mengaku kesulitan menikmati pizza dalam kondisi “mobile”. Lalu saat melihat anaknya makan cone ice cream dengan nikmatnya, maka dari situlah akhirnya timbul ide untuk menggabungkan konsep pizza dengan cone ice cream, sehingga dia mendirikan Piramizza.

Ternyata, katanya, Piramizza bukan hanya digemari oleh anak-anak, remaja bahkan orang dewasa juga menyukai Piramizza sebagai fastfood yang mudah dibawa kemana-mana karena dikemas dengan bentuk yang unik serta rasa yang bervariasi.

Kesabaran, dan ketekunan serta kekuatan hati membuat Nilam Sari menjadi salah satu wanita muda  pebisnis yang handal dengan prestasinya mengembangkan merek Piramizza.
(Fahmi)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=384

Diah Yusuf: Pernah Mencoba Beberapa Usaha, Sebelum Akhirnya Berkibar Lewat Qimos Perfume

Owner Qimos Parfume ini mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk jadi mentor bisnis bagi anak-anaknya agak kelak menjadi entrepreneur.
Setelah menjalani beragam bisnis, Diah kini mendapatkan  passionya di bisnis parfume dengan brand Qimos. Perjalananya menemukan bisnis ini cukup berliku. Berawal menjalani bisnis salon, chemical, hingga fashion, Ibu dua anak ini cukup piawai dan mengerti berbagai seluk beluk bisnis. setelah melihat kapasitas dan kompetensinya, akhirnya Diah mengerti bahwa parfume merupakan bisnis yang inline dengan dirinya.

QimosPerfume, kini diproyeksikan sebagai holding brand yang membawahi berbagai brand baru demi memanjakan konsumen. Spirit inovasi menjadi trade mark dari bisnis yang dibesutnya beberapa tahunnya silam. Sebab, kata Alumni STIAMI ini, yanpa inovasi, mustahil produknya bisa bersaing dengan berbagai brand ternama lainnya. “Misinya saya agar produk ini bisa bersaing di negeri sendiri,” katanya.

Menurut Diah, D’Lyfra Eau de Perfume, d|Scent Perfum Oil dan Esemka Motion adalah brand-brand yang dimunculkan dengan 15-20 varian fragrance untuk setiap brand tersebut. “Ke depan, saya akan konsisten berinovasi dengan mengeluarkan 5 varian setiap 3 bulan,” katanya. Selain itu, dirinya juga akan bekerjasama dengan butik atau mitra yang mempunyai lini bisnis butik. “Kalau butik orang datang pasti looking around memilih pakaian, beda dengan salon,” katanya. Saat ini, sistem bisnis yang gunakan untuk memasarkan produknya adalah sistem keagenan.

Target pengembangan bisnis Qimos Perfume tahun 2011 adalah memperbanyak agen dan mitra di daerah di seluruh Indonesia. Selain itu, ia akan bekerjasama dengan berbagai butik yang ada untuk dijadikan sebagai reseller atau channel distribusinya. Sampai saat ini, Qimos Perfume sudah mempunyai 100 agen. Adapun harga produknya per pcs untuk ukuran 30 ml Rp 55 ribu, dan 55 ml Rp 122. Untuk  parfume oil dibandrol seharga Rp 35 ribu. Kini, ia juga mengeluarkan varian baru yang didedikasikan sebagai program CSR Qimos Perfume yang menyasar anak-anak SMK. “Harganya Rp 7500,” kata pemilik website www.qimosperfume.com ini. Ke depan, ia ingin konsisten pada inovasi dan branding, agar customer semakin mengenal dan tahu bahwa ada perfume lokal yang kualitasnya tak kalah dengan produk luar.
Di tengah maraknya gaung entrepreneurship saat ini, kesibukannya bertambah dengan menjadi pembina dan pembicara di berbagai forum kewirausahaan. Selain itu, ia juga aktif di berbagai komunitas bisnis, membina mahasiswa dan siswa SMK. “Perkembangannya bagus, kesadaran berwirasuaha mulai tumbuh, didukung dengan environmentnya. Jadi, kalau tidak mulai dari sekarang, pasti rugi,” katanya.

Sebagai pelaku bisnis, Diah merasakan semakin terpacu untuk lebih membuat Qimos Perfume bisa semakin berkembang. “Saya akan terus belajar dan belajar lagi,” katanya. Terkait dengan itu, ia pun mengajak  kepada para wanita untuk berwirausaha. Sebab, katanya, berwirausaha menjadi salah satu cara terbaik untuk aktualisasi diri. “Apalagi bagi wanita, sebagai mahluk yang multitasking, menjalankan bisnis sendiri  merupakan solusi untuk selalu dekat dengan anak-anak atau keluarga,” katanya.

Ia berprinsip, ibu merupakan guru yang paling baik bagi anak-anaknya. Sedangkan sekolah adalah lingkungan baru bagi mereka, butuh adaptasi dan proses yang tidak sebentar. “Setelah pulang sekolah anak pasti ingin cerita perihal apa ayang dia temui di sekolah, kalau ibunya tidak ada di rumah, anak jadi kecewa, dan harus menunggu ibunya pulang dari kantor, dan sesuatu yang terpendam itu menjadi kurang bagus bagi psikologi perkembangan anak-anaknya,” katanya.
Bagi Diah, dengan kodrat yang diberikan Tuhan, selayaknya harus dimaksimalkan. Membagi waktu antara bisnis dan keluarga memang tidak mudah. Namkun, ketika dipelajari pasti nanti akan ketemu juga polanya.
Karena itu, efek positif dari berkomunitas adalah membuat usahanya bisa semakin  baik dan membesar. Fungsi komunitas baginya bisa untuk motivasi, energizer, dan memperluas networking. “Berdasarkan pengalaman fungsi komunitas sangat penting bagi bisnis kita,” katanya.
Selain itu, dalam komunitas bisnis, Diah merasa semakin mendapat ‘gizi’ untuk terus mengembangkan bisnisnya. “Kita adakan gathering,  hadirkan role model, dan bisa sharing kepada kita apa kiat suksesnya,” ujarnya. Dari situ, akan terbentuk forum kerjasama business to business antar sesama anggota. Uniknya, jika kaum ibu berwirausaha, pasti tidak akan melupakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.

“Ia bisa memastikan bahwa masakan di rumah sudah oke, PR anaknya terbawa di hari itu, dan bisa berperan sebagai mentor bagi anaknya agar kelak menjadi entrepreneur,” katanya. Sebab, jika entrepreneurship sudah dikenalkan sedini mungkin, efeknya akan semakin positif bagi tumbuh kembang buah hatinya. “Karena itu, saya meng-encourage ibu-ibu untuk jadi mentor bagi anak-anaknya,” katanya.

(Mahmud Yunus)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=385

Saturday, February 25, 2012

Selvi Nurlia: Wanita Tegar Dibalik Kek Pisang Villa Oleh-oleh Khas Batam

Wanita punya banyak talenta untuk dikembangkan, termasuk berwirausaha. Nah, kisah sukses Selvi membangun oleh-oleh khas Batam, Kek Pisang Villa cukup menginspirasi wanita Indonesia untuk berwirausaha. Seperti apa kiatnya?
Sukses memang tak bisa diraih hanya dalam semalam, sekejap, atau bahkan instan. Success is a journey. Sebuah perjalanan yang kadang mendaki, dan tak jarang terpeleset, atau bahkan jatuh. Sekali lagi, itu merupakan proses mewujudkan impian atau cita-cita.
Tak salah bila Bung Karno-Presiden RI pertama- mengatakan gantungkan cita-citamu setinggi langit. Dalam bercita-cita, memang  tak ada salahnya menggantung di atas sana. Namun, kaki harus tetap berpijak di bumi. Realistis dan sesuai dengan kemampuan. Tetapi harus optimal, fight, dan fokus. Hal itulah yang dilakukan Selvi Nurlia, istri dari Deni Delyandri, Owner dan Founder dari Kek Pisang Villa, yang sukses mem-branding kue pisang ini sebagai oleh-oleh khas Batam. Dirinya sudah akrab dengan kondisi jatuh bangun membangun usaha seperti berjualan krupuk, klepon, sarapan pagi, Rumah Makan Padang, Event Organizer, dan Kek Pisang villa. “Setelah mencoba beragam model usaha, akhirnya kami fokus di sini,” katanya.
Ketika mulai berbisnis Kek Pisang Villa, dengan sistem kemitraan  cukup efektif. Namun, setelah berjalan 1 tahun, pasarnya down.  Selvi mengatakan, dirinya sempat menggadaikan mobil untuk sewa tempat dan bayar karyawan. Ilham datang dari salah seorang pelanggan Kek Pisang Villa yang ingin membawa produk Selvi sebagai oleh-oleh dari Batam. Kebetulan, waktu itu memang belum ada oleh-oleh khas Batam. “Nah, setelah memposisikan kue kita sebagai oleh-oleh khas Batam,  salesnya naik lagi,” ujar Ibu dari 2 orang putri dan 1 putra ini.
Setelah itu, strategi pemasaran Kek Pisang Villa menitikberatkan pada branding via billboard, dan spanduk. Agaknya, strategi ini cukup pas diterapkan. Terbukti, Selvi menegaskan, salesnya naik dan kegairahan pasarnya kembali dirasakan. Saat ini, pasar Kek Pisang Villa di Batam baru 60%. “Mayoritas pelanggan kami merupakan turis domestik, itu terlihat dari tingkat okupansi hotel yang selalu ramai jika ada event yang dihelat di Batam,” katanya. Ia menegaskan, kendalanya, masyarakat asli Batam belum banyak yang aware dengan produknya. Ibarat sumur, jika tingkat kedalamnya mencapai 10 meter, pasar Kek Pisang Villa baru 5 meter. “Pasar kami masih dalam sekali,” katanya.


Berbagi Waktu Antara Bisnis dan Rumah Tangga

Membagi waktu antara bisnis dan rumah tangga bukan hal yang mudah. Sebagai mahluk yang multitasking, itu bisa dilakukan wanita. “Saya terbiasa melakukannya, sambil BBM, buat susu, dan memikirkan bagaimana meningkatkan target pemasaran,” kata peraih Ernst and Young  Entrepreneurial Winning Women, Class of Winner 2010 ini.
Ia berprinsip, apapun yang kita lakukan, jika sesuai dengan hati, pasti enjoy dan ada hasilnya positif. Apalagi ketika sistem sudah berjalan, tanpa kehadiran dirinya, bisnisnya jalan.
Kuncinya, menurut Selvi, untuk tetap menjaga intensitas dengan ketiga buah hati dan suaminya, seorang wirausaha wanita (womenpreneur) harus pintar-pintar membagi waktu. Yang penting, bukan kuantitas tetapi kualitasnya.
Sebenarnya, ia berpendapat,  wanita punya banyak waktu untuk berbisnis. “Ketika menikah, bukan akhir dari segala-galanya, ia harus tetap punya pendapatan sendiri tanpa keluar rumah,” ujarnya. Hal bisa dilakukan dengan memaksimalkan lap top di rumah dan membuka online shop atau apa pun. “Saya memutuskan untuk wirasuaha ketika tidak kerja lagi,” katanya. Sebab, kalau gagal, suami masih bisa memback up.
Selvi mendorong generasi muda, terutama wanita, untuk memaksimalkan waktu dengan berwirausaha. Namun, pesannya, harus  fokus dan fight. “Kalau orang fokus dan fight umumnya berhasil, jangan coba lirik sana sini,” katanya, apalagi ketika tahun kedua dan ketiga, jangan sekali-kali meninggalkan core bisnis yang kita jalani. Hal itu bisa dilakukan ketika sistemnya sudah bagus dan dikendalikan orang yang tepat.
Apalagi, dimata Selvi, wanita punya talenta tersendiri, ketika pergi arisan dia bisa tetap membawa dagangan, atau apa yang bisa dijual. “Asal tetap positive thinking, jangan takut ditiru, sebab semuanya punya kelebihan masing-masing, apa kelebihan kita, itu yang mesti ditonjolkan,” katanya. Kini, ia mematok target akan berekspansi ke luar Batam dengan brand lain. “Bukan Kek Pisang Villa tentunya,” kata wanita Batam yang cukup aktif menjadi penyebar virus entrepreneurship ini.
(Mahmud Yunus)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_tokoh&id=386

Sunday, February 19, 2012

Marwan, Bermodal Awal Rp 2 Juta, Sekarang Omzet Capai Rp 11 Juta Sebulan

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR  - Sungguh cita-cita mulia. Kalimat ini mungkin tidak berlebihan jika diberikan pada Marwan Karuntak. Pasalnya, di tengah-tengah kesibukannya bergelut dengan tugas-tugas kuliah, dia masih menyempatkan diri untuk medirikan sebuah usaha.

Ingin berbagi dengan anak-anak yatim dan miskin. Setidaknya, itulah yang menjadi alasan utama pria kelahiran 1 Oktober 1986 ini dalam merintis usahanya.

Tidak butuh waktu yang lama untuk berpikir. Melihat prospeknya bagus, akhirnya usaha peternakan ayam kampung dan itik dipilihnya. "Prospek untuk ayam kampung pedaging itu bagus. Apalagi dari segi kesehatan," katanya kepada Tribun, Jumat (6/1/2011).

Marwan, begitu sapaan pria yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Makassar (UNM) ini, melakoni usahanya sejak Januari 2011.

Dia memberi nama usahanya sesuai dengan niat awalnya membantu anak yatim dan miskin. Adalah Yatama Ternak. Nama ini diambil dari singkatan Yatim dan Masakin yang berarti anak yatim dan miskin.

Bermodalkan Rp 2 juta dari kerja sampingannya mengajar privat Fisika dan Mengaji ditambah beasiswa dari universitas tempat dia mengenyam pendidikan, dia lantas membeli anak itik dan anak ayam kampung DOC untuk dipelihara. Memaksimalkan lahan bantuan keluarga di kawasan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulsel, diapun membuat kandang untuk menampung ternaknya yang kala itu berjumlah masinng-masing 500 ekor.

Empat bulan kemudian, dia sudah berhasil memetik keuntungan dari hasil penjualan ayam dan telur itik. "Kalau ayam kampung pedaging itu sudah bisa dipanen 3-3,5 bulan. Sementara itik yang sudah bertelur bisa terus menghasilkan hingga 3,5 tahun. Setelah tidak produktif lagi (tidak menghasilkan telur), masih bisa jadi uang karena dagingnya bisa dijual," katanya.

Untuk jualan, pria yang tercatat sebagai Finalis Mahasiswa dari Program Penghargaan Wirausaha Muda Mandiri 2011 ini, mendistribusikan ayamnya ke sejumlah rumah makan di Makassar. Sementara untuk penjualan telur, dia memanfaatkan sejumlah agen telur.

Dengan mempekerjakan seorang karyawan yang juga teman sejawatnya, kini dia bisa mengantongi omzet penjualan rata-rata Rp 11 juta sebulan.(Hasriyani Latif)

sumber: http://www.tribunnews.com/2012/01/06/modal-rp-2-juta-sekarang-omzet-capai-rp-11-juta-sebulan

Dani, Pengusaha Muda yang Sukses Dengan Mesin Penggulung Tali Rafia

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Dengan  berbekal ijazah SMA serta pengalaman kalah dalam persaingan usaha plastik, Dani Buldani (32) menjelma menjadi pengusaha muda. Ia membuat mesin penggulung tali rafia dan ternyata diminati banyak orang serta membuka peluang usaha yang menjanjikan.

"Awalnya saya merambah bisnis plastik dengan membeli mesin pencincang plastik, pemanas, dan pencetak. Namun, saat itu saya kalah dalam persaingan mendapatkan bahan baku. Barulah saya putar haluan dengan menciptakan mesin-mesin penggulung rafia itu, kemudian menjualnya," kata Dani saat ditemui di kantornya di Cicalengka, Senin (9/1/2012).

Mesin penggulung rafia buatannya ini dihargai Rp 5,5 juta. Menurut Dani, peluang bisnis talia rafia ini sangat menjanjikan, terlebih di luar Jawa. Apalagi, jika industri skala menengah itu didukung dengan distribusi pemasaran yang gencar. Modal awal pun bisa diraih kembali dengan cepat.

"Saat ini saya kebanjiran pemesanan mesin penggulung tali rafia, khususnya dari luar Pulau Jawa, karena peluang bisnis ini di sana sangat menjanjikan. Hal itu juga karena pelaku bisnis tersebut masih jarang. Makanya, dalam sebulan ini, pemesanan mesin gulung tali rafia untuk luar Jawa sangat tinggi," ujarnya.

Langkah pertama untuk menjalankan bisnis gulung rafia ini, yakni cukup membeli plastik yang sudah dicetak berupa lembaran-lembaran yang digulung dari pabrik pengolahan plastik.

"Plastiknya bisa dibeli di sejumlah pabrik plastik, seperti di Majalaya, Leuwigajah, Cimahi, dan Pasir Koja. Bentuknya per bal. Dari 1 bal itu ada yang 20 hingga 30 kilo. Setelah bal-an itu diperoleh, kita langsung bisa menggulungnya dengan mesin penggulung, kemudian menjualnya ke pasaran," tuturnya.

Adapun pasar untuk di pulau Jawa ini persaingannya cukup tinggi karena pelaku usaha ini cukup banyak. "Setiap gulungan tali rafia, margin keuntungan yang bisa didapat mencapai Rp 4.000-Rp 5.000 per kilo. Jika dalam sehari bisa menggulung tali rafia 500 kg, keuntungannya silakan hitung margin keuntungan dikali 500 kg. Dan satu hal yang penting, usaha ini harus didukung dengan tenaga marketing yang andal," ujarnya.

Dengan keuntungan yang bisa didapat dengan menggunakan mesin penggulung ini, dalam jangka waktu paling lama tiga bulan, modal alat produksi bisa kembali. "Makanya saya yakin, mesin penggulung ini akan membuka peluang usaha baru yang menjanjikan," ujarnya.

Adapun mengenai keuntungan yang diperoleh dengan menjual mesin penggulung ini, ia mengaku bisa memperoleh 25 persen dari penjualan. "Pengiriman mesin penggulung dalam sebulan mencapai 15 buah mesin dengan harga mesin per buah mencapai Rp 5,5 juta. Keuntungan bersihnya 25 persen dari jumlah pengiriman," ujarnya.

Ia juga mengaku, setiap kali menjual mesin ini, ada perasaan bangga. Pasalnya, dengan satu unit mesin terjual, telah lahir satu orang calon pengusaha besar. "Dengan satu mesin ini, saya yakin, jika manajemennya andal serta target pasarnya sudah tercapai, satu mesin ini bisa membuat seseorang jadi pengusaha besar," ujarnya.

Selain itu, ia juga mengatakan, meski hanya sebuah tali plastik, keberadaannya sangat dibutuhkan banyak orang. Karena itu, ia berkali-kali mengatakan, usaha penggulungan tali rafia ini akan sangat menjanjikan.(Mega Nugraha)

sumber: http://www.tribunnews.com/2012/01/10/dani-sukses-dengan-penggulung-tali-rafianya

 

Azri, Mantan Karyawan yang Bisnis Sepatu "Kotama"nya Tembus Pasar Internasional

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN- Menjajal bisnis pembuatan sepatu buatan tangan sangat mustahil dilakukan saat ini, apalagi di tengah gempuran produk-produk sepatu impor dari Cina menjadikan bisnis sepatu lokal kian terpuruk. Tapi jangan salah, pengusaha asal Medan Azri Smak menepis hal tersebut, ia optimis usaha sepatu handmade mampu menjadi yang terbaik di Indonesia maupun di pasar dunia.Meniru sistem pembuatan sepatu dari Amerika dan Eropa, Sepatu produksi Azri yang dibrand Kotama kini melejit hingga pasar internasional. Produksi sepatu kulit yang sudah ditekuninya sejak puluhan tahun ini sudah beredar di Malaysia, Amerika hingga Dubai."Usaha ini dijalankan bagaimana menjadi raja di negeri sendiri," ujarnya saat ditemui Tribun Medan, di tokonya Jl AR Hami No 112/206C, Kamis (26/1/2012).

Azri yang dibantu sebanyak 22 orang yang sebagian besar di bagian produksi ini, menciptakan sepatu pria dan wanita premium nan eksklusif. Azri bersikukuh produksi sepatunya merupakan kualitas nomor satu. Diakuinya memang sepatu buatan Cina banyak di pasaran namun kualitas dan desainnya kurang.

Untuk itu, dia bertekad sepatu Kotama mampu menjadi sepatu terbaik di Indonesia, apalagi, orang nomor satu di Medan dan Sumut sudah memiliki sepatu miliknya.

"Wali Kota Medan Rahudman pernah membeli sebanyak 10 pasang sepatu, Gubernur Sumut non aktif Syamsul Arifin, Plh Gubernur sumut Gatot Pujo Nugroho juga membeli sepatu Kotama, hingga Wakapolri yang sekarang juga," sebutnya.

Sederet perusahaan juga memberlakukan sepatu Kotama untuk pegawainya seperti Pelindo selama 10 tahun dan PDAM Tirtanadi 20 tahun. Untuk memulai usaha sebagai perajin sepatu kulit, Azri menceritakan awalnya bermodal nekat.

"Modal awal dari hasil pesangon dari berhenti bekerja ke Bandung Cibaduyut, tapi saya tidak mendapatkan apa-apa, kemudian saya berkeinginan untuk membuka usaha dengan modal pinjam kesana-kesini," ungkapnya menceritakan awal dibangunnya usaha Kotama.

Azri memulai usaha dengan total modal Rp 78 juta, usaha dimulai dengan merekrut beberapa orang yang profesional untuk pembuatan sepatu kulit. Untuk bahan yang digunakan Azri menggunakan bahan kulit asli yang diambil dari Jakarta. Segmen yang dibidik adalah sepatu kantoran dengan pelanggan seperti PNS, guru, pegawai swasta hingga mahasiswa yang ingin mengikuti sidang atau seminar.

"Memilih usaha sepatu, karena tinggal di lingkungan perajin sepatu, melihat suksesnya tetangga yang membuat usaha dan besar. Kalau mau menikmati hidup menjadi pegawai bukan tujuan, saat itu saya berfikir merintis usaha. Yang diperlukan sabar dan tekun," jelasnya seraya menyebutkan jumlah model yang dimiliki saat ini mencapai 80 model.

"Kalau dari model biasanya dapat dari internet dan coba mengikuti tren yang ada, biasanya pakai sistem ATM yaitu Amati Tiru dan Modifikasi," selorohnya.

Dengan modal Rp 78 juta dulu, kini omzetnya bisa menembus ratusan juta rupiah. Bukan hanya itu ia kini dapat membeli sebuah ruko dan menyekolahkan anaknya hingga kuliah. "Dulu awal usaha saya dari nol dengan menyewa ruko di daerah Sambu selama 13 tahun," ujarnya.

Setiap bulan, kini Azri dengan sepatu Kotama mampu memproduksi sebanyak 1.000 pasang sepatu. "Bagi konsumen yang ingin memiliki sepatu Kotama dapat diakses di website maupun katalog yang ada," ujarnya berpromosi.

Pengusaha perajin sepatu kulit Kotama Azri Smak mengemukakan, peluang usaha untuk bisnis sepatu kulit kini masih terbuka lebar, apalagi untuk ekspor ke luar negeri. Yang jadi catatan produk yang dihadirkan dapat bersaing dengan produk luar negeri dan jaminan kualitas.

Kotama yang diproduksinya, kata Azri kini menggunakan istilah sistem lingkaran obat nyamuk.

"2012 ini kami akan mencari mitra di setiap provinsi sebagai distributor dalam memasarkan produk Kotama," katanya. Distributor yang dimaksud sebagai ganti produk Kotama tidak dipasarkan di toko-toko.

"Kami tidak menjual produk Kotama di toko-toko, biasanya mereka membeli langsung ke toko kami atau melalui katalog dan website," sebutnya.

Jaringan distributor tersebut, dapat menjaring konsumen yang ingin membeli produk Kotama, apalagi dia menargetkan nantinya sepatu akan terjual di seluruh Indonesia.

Saat ini, distributor sudah ada di Aceh dan Pekanbaru. "Nantinya juga ongkos kirim akan lebih murah dibandingkan produk lainnya," katanya seraya mengatakan, Kotama juga menggunakan sistem delivery order untuk sekitar kota Medan, artinya sepatu yang dipesan mampu diantar ke konsumen dengan sarana lima unit mobil.

"Bukan hanya itu, bagi anggota koperasi ada kemudahan membayar murah, dimana sepatu dapat dibayar secara cicil," kata Azri.

Untuk pangsa pasar di Malaysia, diakui Azri ada partner yang tertarik menjual produk Kotama.

Harga jual untuk sepasang sepatu yang dijual Azri untuk pria dibandrol muulai Rp 350 sampai Rp 400 ribu. "Perbandingan harga tersebut di toko Rp 500 sampai Rp 700 ribu tapi kualitas kita lebih baik," katanya. Sementara untuk sepatu wanita dibandrol Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu dan tersedia dengan berbagai ukuran.

Bagi distributor akan diberikan diskon 30 persen dengan pembelian minimal 20 pasang. "Kami juga memberikan garansi selama tiga bulan untuk sepatu Kotama, tetapi sepatu Kotama dapat dipakai tahunan," pungkasnya.(Mauliana Noor)

sumber: http://www.tribunnews.com/2012/01/27/modal-rp-78-juta-sepatu-kotama-tembus-pasar-internasional

Saturday, February 18, 2012

Rangga, Pengusaha Muda yang Menggapai Sukses dengan Menulis Dream Book. Pernah Diusir dari Kontrakan, Kini Untung Rp 2,8 M Per Bulan

Menjadi pengusaha beromzet miliaran rupiah tak harus menunggu tua. Rangga Umara membuktikannya. Lelaki 31 tahun itu kini bisa mengantongi Rp 2,8 miliar per bulan dari bisnis makanan. Mantan karyawan sebuah developer itu meraih sukses dengan menuliskan keinginannya dalam Dream Book.

Sebuah mobil Toyota Fortuner hitam berpelat nomor B 17 ELA berhenti di pelataran parkir gerai Pecel Lele Lela di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur, Kamis lalu (2/6). Fortuner tersebut terasa istimewa dengan nomor polisi spesial. Rangga Umara, bos Pecel Lele Lela, keluar dari mobil itu. "Hampir semua mobil saya, huruf belakangnya ELA. Kan sesuai sama jualannya, Lela," ujar Rangga, lantas tersenyum.

Pengusaha muda itu sehari-hari selalu tampil segar dan wet look. Rambutnya ditata bergaya spike. Dia mengenakan kemeja dengan satu kancing teratas tidak dikancingkan dan celana jins. Jenggotnya pun rapi.

"Penampilan juga harus diperhitungkan. Masak, mentang-mentang pengusaha, terus penampilannya acak-acakan. Kita harus memantaskan diri kita juga," kata dia, lantas tersenyum.

Pecel Lela merupakan usaha yang dikembangkan oleh Rangga sejak 2007. Saat ini dia sudah memiliki 32 cabang di Bandung dan Jakarta. Dia menarget, sebelum bulan puasa, delapan cabang lagi akan berdiri. Omzetnya kini mencapai Rp 2,8 miliar per bulan. "Total akan ada 40 cabang sebelum masuk Ramadan," tutur dia.

Nama Lela bukan nama kakek, orang tua, atau saudara Rangga. Lela adalah akronim dari lebih laku atau lebih laris. "Itu bisa menjadi doa juga, kan," ucap dia.

Rangga memulai usaha tersebut saat masih berusia 27 tahun. Saat itu dia menggeluti bisnis tersebut sebagai sampingan. Sebab, dia sudah punya pekerjaan rutin di bagian marketing communication sebuah developer apartemen. Karena masih sampingan, usaha tersebut tidak terlalu optimal. Namun, ayah Razan Muhammad Ichsan, 4, dan Ghanny Adzra Umara, 2, itu tetap mempunyai impian bahwa suatu saat dirinya akan berfokus di usaha tersebut.

Keinginan Rangga terjawab. Developer tempatnya bekerja seret order. Sejumlah karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Rangga termasuk karyawan yang berada dalam daftar PHK. "Sebelum di-PHK, mending saya keluar," ungkap dia.

Rangga akhirnya keluar. Padahal, saat itu dia sudah punya tanggungan. Yakni, istri dan anak pertamanya. Namun, dia tetap nekat membuka usaha. Sebab, menurut dia, usaha adalah satu-satunya jalan untuk menjadi kaya. Jadi karyawan apa pun, ungkap dia, tidak bisa menjadikan seseorang kaya.

Masa-masa awal membuka usaha adalah "masa-masa berdarah" bagi Rangga. Sebab, saat itu dia belum benar-benar memahami bisnis. Semuanya dilakukan dengan belajar seadanya. Mulai mendatangkan koki, menggambar logo Pecel Lele Lela, hingga mengelola keuangan.

Pada masa-masa awal, satu gerai Pecel Lele Lela menghasilkan keuntungan bersih sampai Rp 3 juta. Namun, karena banyaknya pengeluaran kecil, keuntungan itu tak terasa. Keuangan keluarga justru minus. Sampai-sampai Rangga bersama istri, Siti Umairah, dan anaknya diusir keluar kontrakan karena tidak kuat bayar.

"Saat itu saya pulang ke rumah kontrakan malam-malam. Ternyata, di luar sudah banyak barang. Di situ ada tulisan dari istri, katanya dia diusir dari kontrakan. Dia mengungsi ke rumah mertua bersama anak saya," ucap dia.

Kejadian tersebut betul-betul memukul Rangga. Sampai-sampai mertua menegur karena Rangga dianggap tidak mampu membahagiakan anaknya. "Saya mengevaluasi total semua usaha saya," tegas lulusan STMIK Bandung tersebut.

Sejak saat itu, Rangga mengubah persepsinya. Sebelumnya, dia selalu mengesampingkan urusan keluarga dengan alasan bisnis. Bukan hanya urusan membayar uang kontrakan, tapi juga perhatian dan waktu. Logika yang dia pakai saat itu terbalik. "Keluarga tetap yang pertama, setelah itu baru bisnis. Kalau kita sukses mengelola keluarga, bisnis akan ngikut," ucap dia.

Setelah itu, Rangga membenahi semua manajemen rumah makannya. Apalagi, saat itu dia bertemu dengan salah seorang teman lama yang bekerja di sebuah waralaba internasional bidang ayam goreng. Dia memberikan banyak saran kepada Rangga. "Dulu tidak ada biaya konsultasi. Dia cuma saya kasih uang transpor," ungkap dia.

Rangga kemudian belajar tentang banyak hal dari rekannya itu. Secara perlahan, bisnisnya mulai tumbuh. Dia juga memberikan waktu lebih untuk keluarga. Saat keuntungan satu cabang belum optimal, dia memberanikan diri membuka gerai-gerai lain.

"Kalau satu cabang belum untung, jangan takut buka cabang lain. Satu cabang tidak untung, itu bisa disebabkan lokasi, orang-orang di cabang tersebut, dan lain sebagainya. Bisa jadi cabang yang rugi akan ditopang cabang lain," beber dia.

Usaha Rangga mengalami titik balik. Sukses membenahi manajemen, keuntungan-keuntungan mulai diraup. Menurut Rangga, kunci membuka usaha adalah manajemen efektif. Banyak warung atau rumah makan yang kelihatannya ramai, tapi ternyata keuntungannya sedikit, bahkan "uangnya tidak kelihatan". Mereka yang mengurusi manajemen harus orang yang paham tentang manajemen rumah makan.

Karena itu, Rangga merekrut sejumlah pegawai waralaba rumah makan untuk mengelola cabang-cabangnya. Dari 32 cabang yang dia miliki, 50 persen kepala cabang dijabat eks manajer waralaba terkenal tersebut. General manager operasional dan direktur operasional juga didatangkan dari waralaba itu. Memang ongkosnya lebih mahal. "Tapi, berbanding lurus dengan efisiensinya," papar dia.

Rangga menuturkan, salah satu kuncinya adalah dream book. Itu adalah buku yang berisi tulisan tentang impian-impian yang dia raih. Di buku tersebut, dia tuliskan obsesi, ambisi, sampai capaian-capaian yang ingin diraih. "Saya menulis sejak kuliah," ungkap dia.

Di buku itu, dia sebutkan apa pun keinginannya. Mulai ingin seperti apa usahanya di masa depan hingga target keuntungan. Dream book tersebut tidak kaku dipraktikkan, bahkan bisa selalu direvisi atau di-update sesuai dengan kondisi terkini. Yang penting, dream book harus konkret dan logis. "Jangan
konyol-konyolan. Misalnya, ingin mobil Mercy, tapi tidak ditulis caranya bagaimana. Ingin usaha kayak apa atau income berapa," ucap dia.

Rangga mengatakan, menulis dream book memang tampak sepele. Namun, itu justru sangat efektif untuk membentuk semangat dan menarik sinyal-sinyal positif di sekitarnya agar impiannya tercapai. "Dalam penelitian selama sepuluh tahun di Harvard University, mereka yang menulis keinginan dalam buku memiliki penghasilan sepuluh kali lebih besar daripada yang tidak," terang dia.

Selain itu, imbuh Rangga, menulis keinginan memengaruhi otak bawah sadar untuk mewujudkannya. Syaratnya, tulisan tersebut harus tulisan tangan. Bukan ketikan di komputer atau laptop, kemudian dicetak. "Diketik boleh, tapi setelah itu harus ditulis ulang," tegas dia. (c11/nw) (AGUNG PUTU ISKANDAR)

sumber: http://www.jpnn.com/m/news.php?id=94019

Dulu Jadi TKI di Arab Saudi, Kini Trisno Yuwono Punya Tujuh Minimarket. Dari Gaji Penjaga Toko yang Berbuah Omzet Rp 35 M Per Tahun

Bagi Trisno Yuwono, menjadi TKI ke luar negeri cukup sembilan tahun. Selama itu dia rajin menabung dan hasilnya dipakai untuk membuka usaha di tanah air. Trisno yang dulu berstatus TKI, kini menjadi bos yang punya tujuh toko swalayan.

SEKILAS wajah Trisno Yuwono mirip dengan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Abraham Samad. Wajah bundar, dagu dipenuhi jenggot tipis, berbadan tegap, dan raut wajah sedikit khas Timur Tengah. Gaya bicaranya pun terdengar mantap.

Didampingi sang istri, Eva Karisma Dewi, pria kelahiran Blitar, 12 Agustus 1970, itu kemarin (27/12) menerima penghargaan International Migrant Worker"s Award (IMWA) 2011 dan uang tunai Rp 5 juta. Penghargaan yang dipelopori UKM Center Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) itu diberikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar.

Penghargaan yang diterima bapak tiga anak itu berawal dari kerja kerasnya menjadi TKI di Arab Saudi dalam rentang waktu 1991 hingga 2000. Dalam kurun waktu itu, Trisno tidak terhitung bolak-balik Indonesia-Arab Saudi.

Yang membuat para dewan juri kepincut terhadap sosok Trisno adalah keuletannya merintis bisnis dari hasil bekerja menjadi TKI di Arab Saudi. Kini dia memiliki tujuh unit swalayan atau minimarket. Tujuh toko swalayan itu tersebar di Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur.

Toko swalayan milik Trisno yang diberi nama Sari-Sari itu menjadi saingan minimarket-minimarket populer lainnya. "Tantangannya lebih besar membuat swalayan sendiri daripada ikut jaringan minimarket waralaba," tandasnya. Alasan lain, Trisno bukan tipe orang yang mudah diatur. Saat ini omzet dari tujuh unit swalayan tersebut mencapai Rp 35 miliar per tahun.

Jalan hidup Trisno hingga sukses menjadi bos toko swalayan itu dimulai ketika dia menyatakan keluar dari bangku kuliah. Saat itu dia belum genap satu semester menuntut ilmu di STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Blitar, Jawa Timur.

Alasan dia putus kuliah ada dua. Pertama, kondisi keuangan keluarga sangat pas-pasan. "Daripada nanti putus di tengah jalan, lebih baik putus di awal," ceritanya.

Alasan kedua lebih mengejutkan. Dia memutuskan keluar dari STKIP Blitar karena jika lulus nanti paling hanya bisa menjadi guru. Saat itu alumnus SMKN (dulu STMN) Blitar ini mengatakan, rata-rata guru di kampungnya hidup sederhana. Sebab, gaji menjadi guru waktu itu jauh dari layak.

Setelah keluar dari kampus, Trisno sempat bingung mau berbuat apa. Dia akhirnya bertekad menjadi TKI ke luar negeri. Namun, ada sedikit kendala. Dia tidak memiliki modal untuk berangkat. Akhirnya, Trisno menjual sepeda motornya seharga Rp 1,5 juta. Dengan uang itu, dia mendaftar menjadi TKI melalui biro jasa penyalur tenaga kerja ke luar negeri.

Tahun 1991 merupakan awal kiprah Trisno menjadi TKI. Dengan berbekal ijazah STM, di Arab Saudi Trisno bekerja sebagai sopir di rumah seorang wakil amir atau di Indonesia seperti wakil gubernur. Awal-awal bekerja sebagai sopir, Trisno mendapatkan gaji 800 riyal atau sekitar Rp 1,9 juta (1 riyal = Rp 2.421). "Saya merasakan saat itu gaji yang saya terima sudah cukup besar," tutur Trisno.

Dia mengaku semakin berbangga hati dan berjanji lebih giat bekerja. Bukan bermaksud pamer, seluruh gaji pertamanya dia kirim ke orang tuanya di kampung.

Meski bergaji cukup tinggi, belum satu tahun Trisno sudah tidak betah bekerja di rumah majikannya. "Saya merasa tidak ada kecocokan saja," ucapnya tanpa merinci bentuk ketidakcocokan itu.

Setelah mengumpulkan keberanian, Trisno meminta majikannya berkenan memulangkannya ke tanah air. Namun, permintaan Trisno ditolak. Sang majikan memberikan kebebasan jika Trisno ingin keluar.

Tetapi, dia harus membeli tiket pesawat sendiri. Dengan sikap majikan seperti itu, akhirnya Trisno keluar. Tetapi, karena uang tabungan belum banyak, dan sayang jika digunakan untuk membeli tiket pesawat Saudi-Indonesia, dia tidak jadi pulang. Trisno lebih memilih pindah pekerjaan dari sopir menjadi penjaga toko keramik impor.

Keputusan Trisno pindah kerja menjadi penjaga toko itu berbuah manis. Trisno menerima gaji 1.350 riyal per bulan. Dengan peningkatan gaji ini, Trisno semakin rajin menabung. Memasuki 1993 Trisno pulang, kemudian mempersunting Eva, yang tidak lain pujaan hatinya ketika duduk di bangku SMKN Blitar.

Sejak 1993 hingga 2000, Trisno mengaku sering bolak-balik Indonesia-Saudi. Dia juga mengaku sempat memboyong keluarganya tinggal di Saudi. Pada suatu malam, ketika tertidur di ruko keramik milik majikannya, Trisno bermimpi. "Saya mimpi menjadi pemilik toko seperti majikan saya," kenang Trisno.

Ketika terjaga, dia langsung yakin bahwa mimpi tadi adalah ilham yang diberikan Allah. Dia juga yakin bahwa mimpi tadi adalah jalan Allah untuk mengubah nasibnya dari TKI menjadi pemilik toko. Akhirnya, berbekal tabungannya, pada 1998 Trisno membeli sebidang tanah di Kademangan, Blitar, Jawa Timur. Setahun kemudian, di atas sebidang tanah itu Trisno membangun fondasi toko berukuran 8 x 14 meter.

Pada 2000 Trisno pulang dan bertekad mengakhiri pekerjaannya sebagai TKI. Bermodal uang sisa tabungan sekitar Rp 50 juta, Trisno mendirikan sebuah toko swalayan. Toko pertamanya diresmikan pada Juni 2000.

Awal-awal membuka toko swalayan, Trisno dan Eva bekerja bahu-membahu. Trisno menugasi istrinya menjadi semacam "agen intelijen?. Tugasnya menggali informasi tentang harga-harga barang kebutuhan pokok serta barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sikat gigi, dan sampo di beberapa pasar tradisional. Data yang dikumpulkan Eva dijadikan acuan bagi Trisno untuk menentukan harga jual barang di tokonya.

Tugas lain yang diemban Eva adalah mencari dan merangkul sales atau pemasok barang kebutuhan sehari-hari. Trisno mengatakan, pada awal membuka toko swalayan tanpa menggandeng jaringan waralaba dirinya cukup sulit mendapatkan kepercayaan dari pemasok.

Namun, berbekal keuletan dan trik meyakinkan orang, beberapa pemasok bersedia menaruh barangnya di swalayan Sari-Sari milik Trisno. Pada hari perdana, Trisno mengatakan omzet tokonya mencapai Rp 2 juta. Apakah itu sudah cukup besar" "Saya saat itu menargetkan omzet Rp 1 juta pada hari pertama," jawabnya agak diplomatis.

Tantangan berikutnya, muncul persaingan dengan merek waralaba minimarket atau toko swalayan lain. Namun, menurut Trisno, yang terjadi saat itu bukan persaingan. Sebaliknya, berkembangnya minimarket waralaba malah membuat omzet penjualan Trisno terkatrol naik.

Setelah satu unit toko swalayannya bisa berdiri kuat, Trisno mulai berekspansi dengan membuka toko swalayan baru. Unit swalayan kedua itu diresmikan sekitar satu setengah sampai dua tahun setelah peresmian toko swalayan pertama. Begitu seterusnya hingga kini dia memiliki tujuh toko swalayan. "Toko swalayan ketujuh saya resmikan Juli 2010 lalu," jelasnya.

Dengan semakin berkembangnya usaha toko swalayan tersebut, Trisno sudah tidak lagi merengek-rengek kepada pemasok untuk bersedia menitipkan barangnya. Sebaliknya, sekarang sejumlah pemasok malah merengek-rengek ke Trisno supaya mau menerima barang mereka. "Saya sekarang benar-benar menyeleksi pemasok yang menawarkan barang," ucap Trisno.

Dia mengatakan, seleksi ketat itu untuk menjaga kualitas barang yang akan dijual. Dia juga menyimpan rahasia lain yang tidak boleh dikorankan, sehingga tetap hidup di tengah gempuran minimarket lain.

Selain itu, dengan tujuh unit swalayan, Trisno saat ini mempekerjakan 50 orang. Trisno cukup sportif dengan memberikan gaji kepada karyawan sesuai UMR (upah minimum regional) di setiap daerah. Beberapa orang yang sudah lama bekerja dan menjadi pegawai kepercayaan digaji Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per bulan.

Dengan capaian tersebut, Trisno sangat senang jika akhirnya bisa menulari kawan-kawan yang kini masih menjadi TKI atau sudah berstatus purna TKI. Dia berpesan, alangkah bijaksana jika uang hasil bekerja sebagai TKI dijadikan modal usaha sehingga bisa mandiri. Selama ini dia masih sering mendengar gaji para TKI habis untuk membayar utang. (c2/kum) (M. Hilmi Setiawan)

sumber: http://www.jpnn.com/m/news.php?id=112531