Wednesday, February 29, 2012

Modal Awalnya Pinjam Orang Tua, Lewat Deboliva Kini Omzetnya Ratusan Juta/Bulan

Beda, menjadi kata kunci bagi sukses Deboliva yang dikembangkan dari sebuah stand di pusat jajan di Surabaya. Kini menjadi sebuah konsep bisnis ice cream shop yang menawarkan kenyamanan dan keramahan bagi pelanggannya.

Fujasera, salah satu pusat jajan di Surabaya, Jawa Timur telah mehirkan beberapa merek franchise terkemuka. Anda mungkin tahu, Bakso Malang Kota Cak Eko, yang cabangnya sudah tesebar di berbagai daerah termasuk di Jakarta, lahir dari pusat jajanan di Fujasera, Surabaya.

Deboliva, mungkin nama ini tidak setenar Bakso Malang Kota Cak Eko, merek ini pun lahir dari sebuah counter di Pujasera. Dari segi nama, boleh saja tidak setenar merek lain yang lahir di Surabaya, tapi dari sisi konsep, Deboliva merupakan salah satu unit bisnis yang sangat luar biasa.

Dari modal sebesar Rp 30 juta hasil pinjaman orang tua, Andre Soenjoto mencoba membuka usaha baru pada akhir 2000. Usaha yang dipilihnya berasal dari keahlian keluarganya meracik produk ice cream.

Usaha ini memang berasal dari sebuah counter yang relative kecil dengan 4 karyawan yang dibagi untuk dua shift. Omzetnya saat itu berkisar antara Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per hari.

Perlahan tapi pasti, Andre, sang creator melengkapi bisnisnya dengan konsep yang modern. Jika Anda masuk ke website-nya, www.deboliva.com, Anda akan melihat keseriusan Andre menjalankan bisnis ini dengan konsep bisnis yang luar biasa. Maklum saja, Deboliva dikembangkan menjadi bisnis waralaba sejak pertengahan tahun lalu.

Surabaya sebagai tempat kelahiran Deboliva adalah kebetulan. Kebetulan karena Andre berasal dari Surabaya. Lagipula menurutnya, lebih mudah memahami karakter orang Surabaya. Pantas saja, jika bisnis ini bisa berkembang, karena Andre mengerti konsumennya. “Saya asli orang Surabaya, menurut saya lebih mudah untuk memahami karakter orang Surabaya,” kata Andre Soenjoto.

Pada awal berdiri, konsepnya tidak seciamik sekarang. Secara jujur, Andre mengakui perubahan konsep Deboliva terjadi setelah dia melihat coffee shop Starbucks. Dari sana dia kemudian ingin mengembangkannya menjadi ice cream café.

Konsep interior dikembangkan untuk memberikan suasana nyaman. Pelayanan ditingkatkan dengan keramahan. Karena, Andre menginginkan konsumennya di gerainya menjadi tempat khusus makan ice cream yang nyaman bagi para pelanggannya sekaligus tempat nongkrong. “Tempat nongkrong di Surabaya sangat sedikit sekali pada waktu itu,” kata Andre bercerita.

Bagaimana dengan produknya? Produk ice cream dikembangkan dari keahlian orang tua Andre yang biasa membuat ice cream. Meski buatan rumah, produk ice cream De Boliva dibuat khusus. Yaitu ice cream low fat. Produk ini sengaja dibuat untuk memberikan diferensiasi terhadap produk-produk ice cream yang sudah berkembang di Surabaya.

Saat itu, kata Andre, sebagian orang belum terbiasa dengan low fat ice cream karena konsumen sudah terbiasa ditawarkan ice cream yang umumnya sangat creamy dan full of fat.

Untuk sesuatu yang baru seperti biasa tidak mudah diterima. Andre sudah memperkirakan tantangan seperti itu sebelum menjadikannya sebagai keunikan ice cream Deboliva.

Andre juga mengakui, banyak kalangan yang menyarankan agar dia menawarkan ice cream yang umum sudah dikonsumsi konsumen di Surabaya. “Banyak yang memberi masukan bahwa ice cream itu harus seperti ice cream yang ada waktu itu,” kenangnya.

Saran banyak orang ditanggapi dengan empati. Tapi Andre percaya, suatu saat orang akan lebih melirik produknya yang low fat. Saat itu, Andre hanya berpikir, hanya butuh sedikit waktu untuk mengedukasi konsumen agar bisa menerima produknya.

Keyakinan Andre itu didasari bahwa pada dasarnya setiap orang akan memilih produk yang lebih sehat. Lagipula saat itu, konsumen sudah mulai percaya bahwa ice cream bisa membuat gemuk. “Saya berusaha untuk tetap percaya diri bahwa tujuan dari saya membuat Low Fat, untuk kepentingan kesehatan. Bilamana ada orang yang menjaga berat badannya, mereka tidak perlu kuatir dalam mengkonsumsi ice cream Deboliva,” ungkapnya.

Tidak hanya berhenti di situ, Andre optimis, suatu saat diferensiasi Deboliva akan menjadi kekuatan. Apalagi, dia sudah menyiapkan berbagai konsep marketing untuk mengedukasi konsumen terhadap produknya dan merek Deboliva. “Dan saya percaya bahwa konsep pemasaran ice cream yang berbeda ini akan menarik konsumen,” katanya ketika mengenang masa awal perubahan konsep Deboliva.

Boleh jadi Andre optimis usahanya itu bisa berkembang. Setelah tiga bulan pertama diluncurkan, data omset meningkat dari bulan ke bulan. Sehingga, perubahan konsep membuatnya lebih optimis Deboliva bisa berkembang sebagai ice cream shop modern. “Bilamana kita percaya pada produk kita sendiri, kita harus berani memperjuangkan kelebihan produk kita tanpa harus dilebih-lebihkan karena memiliki dasar pemahaman yang kuat,” tegasnya.

Kini, Andre konsentrasi mengembangkan bisnisnya ini secara waralaba sejak pertengahan 2008 lalu. Dari sisi persyaratan bisnis, Deboliva sudah memenuhi kriteria bisnis warlaba karena telah bertahan lebih dari tiga tahun den telah membuktikan diri sebagai bisnis yang memberikan keuntungan.

Memang sih, belum begitu lama bisnis ini dikembangkan dengan konsep waralaba. Konsep waralaba ini dipilih menurut Andre untuk mempercepat penyebaran. Saat ini, Deboliva sudah memiliki tiga gerai. Omzetnya bervariasi antara Rp 50 juta hingga 150 juta per bulan.

Andre sangat teliti dalam mengembangkan Deboliva. Baginya perubahan tidak bisa ditolak selama mendukung perkembangan bisnis. Namun dia mengingatkan, perubahan harus tetap berpijak pada kekuatan fokus pada bisnis dengan konsep dasar sebagai ice cream shop yang menjadi tempat nongkrong para konsumen. “Fokus kepada satu pekerjaan dan ditekuni sampai benar-benar mahir dalam bidangnya, serta tidak mudah menyerah, selalu berinovasi & memperbaiki yang kurang,” katanya.

Deboliva juga, kata Andre dikembangkan dengan sbuah konsitensi pada cita rasa. Menurutnya, konsumen harus merasakan cita rasa yang sama setiap kali menkonsumsi Deboliva. “Konsistensi yang selalu di terapkan dalam produk yang kita jual. Tidak bisa, kalau rasa produk hari ini lebih enak dari yang kemarin. Konsumen sangat peka bila mutu/rasa dari produk kita berbeda,” katanya.

Deboliva awalnya ingin difranchisekan pada 2005, namun baru bisa terpenuhi tahun lalu. Kini, dengan tiga outlet, Deboliva dikembangkan dengan 70 karyawan. Sukses Deboliva sebenarnya berada di sikap Andre yang selalu tenang menghadapi berbagai tantangan. Baginya, berpikir mencari soluasi adalah langkah tepat setiap kali menghadapi kendala. “Kita harus selalu menjadi problem solver. Karena bisnis selalu banyak tantangannya, dimana setiap rintangan harus di cari jalan keluarnya,” katanya.

(Zaziri)

sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=64

No comments: