Berawal dari kebiasaan hang out bersama teman, Ashari Yusuf berhasil mengembangkan Beanstocks dari Batam sebagai kedai waralaba yang mengadopsi konsep Western coffee shop & Asian coffee shop dengan lebih dari 40 bahan dasar minuman kopi. Ingin Mencapai jantung Kota mede, Milan.
Ngumpul dengan teman atau nongkrong di café sambil minum kopi atau istilah kerennya hang out bagi sebagian orang bisa jadi buang waktu sekaligus buang uang. Tapi, aktivitas seperti ini sudah menjadi gaya hidup perkotaan bagi kalangan muda, sehingga, pelakunya memiliki kepuasan sendiri. Apalagi nongkrong dilakukan bersama “the genk” alias teman-teman akrab. Wow… sudah pasti sangat menyenangkan.
Ashari Yusuf, mungkin bisa disebut salah satu kalangan muda di Batam yang paling suka hang out. Tempat favorit Ashari Yusuf adalah “kedai” kopi di Hotel Nagoya, Batam. Ashari yang saat itu (2002) masih menggeluti bisnis jual beli mobil (show room) dan juga berprofesi sebagai konsultan manajemen di Batam, menjadikan hang out sebagai rutinitasnya bersama kawan-kawannya.
Tapi sayang, pemilik hotel menutup kedai kopi kesayangan itu. Ashari harus mencari tempat baru. Ketika ingin mencari tempat baru itu, Ashari terpikirkan, kenapa tidak membuat tempat hang out sendiri saja. Hasil diskusi dengan temannya itu, ternyata diantara temannya itu ada yang punya mall dan bersedia memberikannya satu space untuk Ashari.
Awalnya sih, Ashari mengaku bingung, mau diapain lokasi itu. Karena secara kebetulan, tempat nongkrongnya sudah berubah, maka diapun kepikiran untuk membuat warung kopi untuk tempat dia nongkrong bersama genk-nya. “Mulanya bingung mau di buat apa lokasi itu, namun beberapa saat kemudian terbersit niat kenapa tidak buat warung kopi aja. Toh kami sudah kehilangan warung kopi langganan,” katanya.
Maka dari situlah berawal ide kafe kopi ini, lanjut Ashari menjelaskan. “Mulanya hanya sekedar tempat nongkrong buat kalangan sendiri, tidak bermasud untuk dikembangkan jadi mesin duit,” tambahnya.
Dia pun kemudian mendirikan coffee shop Beanstocks. Karena awalnya hanya sebagai tempat singgah bersama-sama temannya, modalnya pun di-support dari teman-teman nongkrongnya. Waktu itu, kata Ashari, terkumpul senilai Rp 150 juta. Setidaknya, kedai ini bisa dinikmati sendiri sebagai tempat nongkrong sendiri. “Kondisinya lumayan enak, karena teman-teman sangat men-support sebagai pembeli setia,” katanya sambil tertawa.
Mungkin kedengarannya tidak terlalu serius, tapi coba lihat bagaimana perjalanan Beanstocks hingga bertahan dan mampu dikembangkan sebagai usaha waralaba. Beanstocks sendiri diambil dari kata yang berarti sari kopi.
2005, Ashari meninggalkan bisnis lamanya. Dia mulai fokus ke Beanstock. “Sejak 2005 tepatnya 5 bulan sebelum saya menikah, saya memutuskan untuk menggeluti 100% usaha ini dan saya meninggalkan usaha saya show room mobil & konsultan manajemen,” katanya.
Ashari kemudian mengembangkan Beanstocks dengan konsep campuran western dan asian. Yaitu western Coffe shop dan asian coffee shop. Tidak hanya sampai disitu, konsep ini kemudian dikembangkan dengan campuran nuansa tempo doloe dan masa kini. Tempo masa kini diwakili dengan western coffe yang menyediakan lebih dari 40 jenis minuman dari bahan kopi. Sedangkan tempo doloe diwakili dengan konsep kedai yang bernuansa oriental. “Sehingga merupakan capuran masa lalu dan masa sekarang,” kata Ashari Yusuf.
Ibaratnya, Ashari sudah nyemplung dan terlanjur basah, dia tidak ingin naik ke daratan hanya mengalami kedinginan. Dari hanya sekedar iseng, ternyata Ashari mulai tertantang. Apalagi, seminggu setelah ia membuka kedai, muncul Starbucks di kotanya itu. Diapun mulai konsentrasi penuh untuk mengembangkan Beanstocks.
Seperti apa perjalanannya? Pahit, kata Ashari mengenang masa awal mengembangkan Beanstock. Ternyata, tempat yang diperoleh dari sang teman itu tidak cocok. Sementara, dia melihat ada semangat dari team-nya untuk mengembangkan kedainya. Lagipula, banyak rekan-rekannya di Batam yang sudah terlanjur mengenalnya sebagai anak muda pengusaha café kopi.
Menyerahkah Ashari? Tidak. Baginya, ini adalah bisnis. Artinya, sebuah usaha sudah pasti mengalami banyak kendala dan kepahitannya. Dia pun kemudian menanamkan keyakinan pada dirinya bahwa apa yang dilakukan saat itu adalah masa menanam, bukan memanen. Satu-satunya solusi saat itu adalah bagaimana bisa bertahan dan tidak tutup.
“Saya cuma berprinsip apa dan bagaimanapun keadaannya saya harus tetap berusaha sekuat kemampuan yang saya miliki agar papan tulisan yang bergantung di pintu masuk kafe tertulis “OPEN”. Apapun yang terjadi, tulisan itu harus tetap saya pertahankan. Karena saya tidak akan pernah meninggalkan usaha saya dalam keadaan mati,” tandasnya.
Ashari mengaku, uang yang sudah dikeluarkan tidak sedikit. Dia sudah menghabiskan dana untuk bisnisnya itu mencapai 1000 dolar Singapura. Dia kemudian mempertebal keyakinannya bahwa semakin pahit perjalanan yang harus dia tempuh dalam membesarkan bisnisnya, maka suatu saat semakin manis kenangannya. Prinsip seperti itulah yang membuatnya bisa terus bertahan.
Dia juga mengaku, dukungan teman-teman yang sudah menjadi pelanggan tetap, team di usahanya, terutama sang istri membuatnya bertahan untuk tetap mengembangkan usaha itu. “Mereka terus support saya baik dalam kondisi susah maupun nyaman,” katanya.
Ashari mengaku, sebelumnya tidak punya pengalaman di bisnis coffee shop. Bisnis inipun di-creat hanya untuk menyalurkan hobi nongkrongnya. Namun, kecintaannya pada suasana hang out mendorongnya terus belajar mengenai bisnis kafe kopi. Baginya, sekalian saja menciptakan tempat nongkrong buat customernya, sekaligus membantu karyawan dan menjadikannya sebagai tempat usaha yang bisa melahirkan profit.
Dari situlah, Ashari kemudian belajar dengan mengikuti berbagai seminar, pameran dan training, baik di dalam maupun di luar negeri. “Sejak 2002 saya terus belajar tentang bisnis kafe kopi dengan mengikuti pameran-pameran, seminar-seminar dan training baik di dalam maupun di luar negeri,” katanya.
Dia pun kemudian bertekad, Beanstock bisa menjadi sebuah merek yang bisa bersaing tidak hanya dengan merek-merek lokal, tetapi juga dengan merek-merek multinasional. Tidak hanya itu, dia juga bertekad, Beanstock tidak hanya unggul di Batam, tetapi bisa mendekati konsumennya di luar Batam.
Bahkan, Ashari punya mimpi yang besar terhadap mereknya ini. Suatu saat, katanya, dia ingin Beanstock bisa ada di jantung kota Milan (Itali). Bagi sebagian orang, mungkin harapan Ashari ini sebagai impian yang terlalu tinggi. Tapi bagi Ashari, impiannya itu sebagai klimaks dari harapannya terhadap Beanstock.
Menurutnya, selama ada usaha dan kesiapan baik moril maupun material, impian itu bisa terwujud. Milan, baginya, merupakan barometer mode dunia dan trend setter coffee shop dunia. “Ini soal waktu saja,” tegasnya.
Namun, sebelum sampai ke sana, Ashari berniat ingin mendirikan Indonesia Coffee Institute dahulu. “Dan saya rasa tidak terlalu sulit, ini hanya soal waktu saja,” tegasnya lagi.
Pria kelahiran Pane, Sumatera Utara, 21 Oktober 1974 ini sebenarnya memiliki beberapa merek coffee shop lain yang didirikan setelah Beanstocks. Dia memiliki tekad kuat terhadap Beanstock.
Meski sempat berdarah-darah dalam mengembangkan Beanstock, nyatanya dia keluar sebagai pebisnis coffee shop yang berhasil dari Batam. Keberhasilan itu tidak lepas dari upayanya yang tidak pernah berhenti berpromosi dan menyediakan produk yang berkualitas. Beanstock, kata Ashari menggunakan bahan baku mulai dari susu, kopi, coklat, syrup yang semuanya import.
Beanstock yang diwaralabakan sejak 2007 lalu, kini sudah memiliki 7 gerai. Omzet masing-masing gerainya berkisar antara Rp 50-160 juta perbulan. Bagi Ashari, perjalanan mengembangkan Beanstock ini bisa digambarkan seperti membaca buku dengan 21 bab. Dia baru mencapai bab kedua. “Bagi saya ini belum sukses. Ibarat membaca sebuah buku yang berisi 21 bab, perjalanan usaha ini baru bab ke-2, masih banyak bab-bab lain yg berisi madu dan asam,” katanya.
(Zaziri)
sumber: http://www.majalahfranchise.com/?link=franchise_utama&id=62
1 comment:
Mantap, sukses selalu
Post a Comment