Wednesday, May 11, 2011

Dino, Sukses Berpindah Kuadran Dari Karyawan Menjadi Pengusaha Muda

dino wicaksonoDino, pemilik Dream Design Creative ini awalnya karyawan di sebuah perusahaan percetakan dan desain ternama di Surabaya, dari tahun 2002 hingga 2005 Dino menjadi desainer tetap di perusahaan tersebut, lalu pada akhir 2005 Dino memutuskan resign sebagai karyawan dan mendirikan DD Creative. Dino Wicaksono begitu nama lengkapnya adalah alumni SMA 2 Kediri tahun 2000 yang kini sukses membuka usaha sendiri sebuah studio desain yang sekarang berkembang pesat di Surabaya. Usahanya sudah merambah ke percetakan, dari mulai cetak brosur, kalender, sticker, buku, undangan, packaging, majalah, dan semua jenis cetakan lainnya.

Pengusaha muda kelahiran 29 tahun silam ini begitu mencintai dunia desain. Sempat mengenyam kuliah hukum selama empat semester di Ubaya, namun karena merasa dunia desain begitu menarik baginya, akhirnya memutuskan untuk terjun sepenuhnya sebagai desainer grafis dan lebih memilih meninggalkan bangku kuliah untuk serius menggeluti bidang desain.

Berkarir selama tiga tahun sebagai graphic designer tetap di sebuah perusahaan desain dan percetakan ternama, memberi bekal pengalaman desain yang dirasa cukup bagi Dino untuk kemudian memutuskan membuka usaha sendiri di bidang desain. Kecintaan pada dunia desain, jiwa usaha yang sudah dimiliki, idealisme untuk mandiri bisa membuka usaha sendiri yang mendorong Dino berani melangkah keluar sebagai karyawan dan mulai merintis studio desain miliknya.

Dino yang sudah dikaruniai dua anak ini menuturkan, bahwa di awal-awal membuka usaha, tantangannya cukup berat, “yang paling berat adalah meyakinkan istri kalau ini jalan Dino untuk maju… karena istri masih belum yakin akan kemampuan Dino tapi akhirnya mengijinkan” begitu tuturnya. Tantangan lainnya ialah modal yang sangat terbatas, uang untuk bertahan hidup tidak ada, hanya cukup untuk sebulan karena itu adalah gaji terakhir. Namun dibalik keterbatasan modal yang dihadapi, Dino terus maju melangkah. Mulai dari memasang iklan di koran sampai dia bergerilya mencari pelanggan lewat Yellow Pages dan menawari mereka jasa desainnya lewat SMS, “aku ambil acak nomor dari Yellow Pages, dari sekitar 100 SMS nyantol cuma satu, tapi dari satu ini muncul gunung es..” ungkapnya.

Pelan tapi pasti usaha desainnya mulai dikenal banyak orang, dan pesananpun datang dari mana-mana.  Kini tak kurang dari 30 pelanggan setiap bulan mempercayakan desainnya pada Dino. Pelanggan tak hanya datang dari Surabaya saja dan Jawa Timur, tapi juga datang dari Pangkal Pinang, Pontianak, Banjarmasin, Barabai, Makassar, Maluku, Mataram, Bali, Lombok, Jakarta, Bandung,  Jogja, dan kota-kota lainnya. Portofolio lengkapnya bisa dilihat di http://dd-creative.blogspot.com

Menjalankan usaha di bidang desain memang dituntut kreatifitas dan harus selalu update dengan trend serta perkembangan terbaru, untuk itu Dino selalu mengikuti perkembangan dunia desain baik lewat internet maupun lewat buku-buku.

Dino kini merasa sudah sangat bersyukur sebagian impiannya sudah terwujud untuk dapat memiliki usaha sendiri, bekerja sendiri tanpa paksaan dari orang lain, “bisa dekat anak istri bahkan bisa bantu masak..” selorohnya. Yang jelas kini pendapatannya sebagai pengusaha jauh lebih besar ketimbang dulu masih sebagai karyawan, “..berkali-kali lipat” katanya. Mengenai omzetnya, young entrepreneur yang ketika di Smada terakhir duduk di kelas 3 IPS 1 ini mengatakan, dalam sebulan rata-rata sekitar Rp 60 Juta bisa diraupnya.

Meskipun kini Dino sudah menuai kesuksesan dari bisnisnya, namun bukan berarti dia tidak pernah mengalami kegagalan, sering juga dia mengalaminya, pernah dia tertipu broker percetakan hingga harus menjual mobil satu-satunya untuk menutupi kerugian. Tapi sebagai pengusaha yang sudah tentu harus bermental tahan banting dan tentu menyadari segala resiko Dino tak gentar mengalami kegagalan dan dijadikannya itu sebagai pembelajaran berharga.

Mengenai persaingan, diakuinya banyak sekali kompetitor, “banyak pemainnya... tapi semakin rame semakin asyik..... kayak pasar...... ngga usah takut persaingan karena rejeki itu udah ada yang ngatur... yang penting niatnya baik Insya Allah pasti lancar” terangnya.

Ketika ditanya apa kiat-kiatnya sukses dalam berbisnis, Dino membagikan tips ‘sederhana’ “yang penting berdoa dan jangan patah semangat dan terus berusaha saja pasti jalan itu akan terbuka dengan sendirinya ketika kita berusaha”

Kesuksesan Dino dalam berwirausaha ini sekaligus membuktikan, bahwa untuk membuka usaha sendiri modal uang bukan segalanya, yang penting adalah modal kemauan. Dan meskipun Dino bukan berlatar belakang pendidikan desain grafis namun ia tetap bisa menggeluti usaha di bidang desain grafis, kuncinya adalah SUKA, karena ia suka dan jatuh hati pada dunia desain grafis, apapun dilakukan, belajar dari manapun dan dari siapapun dilakukan.

Dino kini masih mempunyai impian dan berusaha mewujudkannya yaitu untuk mengembangkan studio desainnya bisa memberikan solusi desain terlengkap dan terintegrasi serta bisa membuka kantor cabang di berbagai kota di Indonesia, pada akhirnya impiannya kelak bisa menjadi World Class Design Company. Semoga apa yang diimpikannya bisa segera terwujud. Itulah sosok alumni Smada Kediri yang sukses bertransformasi dari karyawan menjadi pengusaha muda yang sukses.

Dino bisa dihubungi di:

dreamdesigncreative@yahoo.co.id

Telp. +62.31.7100.3300
+62.31.70255.448
+62.81.331.44.0800

http://dd-creative.blogspot.com

ddcreative









(sebagaimana diceritakan kepada Wirasmada via online interview)

Monday, May 9, 2011

Merry Riana, Sukses Menjadi Miliuner Di Usia Muda

KEAJAIBAN akan muncul dari pribadi yang berani dan gigih! Demikian yang akan kita temui saat menyimak kisah sukses Merry Riana, salah seorang miliuner muda di Singapura asal Indonesia.

Di usia 26 tahun dia sudah mampu mengumpulkan kekayaan sebesar S$1,000,000 (sekitar Rp 7 miliar) . Padahal beberapa tahun sebelumnya  dia hidup di Singapura , salah satu negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia, tinggal di kontrakan dengan bekal  hidup Rp 10.000/hari.

Pada saat yang sama dia menuntaskan kuliah dengan gemilang di Jurusan Electrical & Electronic Engineering di Nanyang Technological University (NTU), Singapura hanay dalam waktu empat tahun.

Dia kini memimpin 50-an konsultan dan manajer di bidang konsultasi keuangan dan sebagian besar di antaranya warga Singapura. Dia juga meraih berbagai penghargaan, baik di saat kuliah maupun setelah menjadi wirausahawan. Bahkan, dialah motivator wanita termuda di Asia dan menghasilkan buku laris “A Gift from A Friend” yang diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa.

Seperti tanaman, bibit yang baik hanya akan tumbuh subur jika kita menyiapkan tanah dan pupuk yang baik. Begitu juga keajaiban. Keajaiban pada dasarnya datang menghampiri orang-orang yang selama hidupnya bekerja keras dan berbuat yang terbaik dengan tujuan hidup yang jelas.

Keajaiban sebenarnya merupakan buah dari “multi upaya” yang kita lakukan bertahun-tahun. Atau, mengutip ucapan Merry dalam “A Gift from A Friend”, “keberuntungan (atau keajaiban) adalah hasil dari saya berada dalam keadaan siap ketika kesempatan itu datang”.

Pada diri Merry, keajaiban datang dari perpaduan visi, tindakan, dan hasrat. Dalam diri perempuan kelahiran 29 Mei itu, visi tak lepas dari kecintaan dan penghormatannya yang mendalam kepada orangtua yang telah mendidik sekaligus membesarkannya dengan segala upaya hingga menjadi orang sukses.

Sebagai anak yang berbakti, dia memang bermimpi untuk membalas kebaikan orangtua dengan memberi mereka kebahagiaan. Tapi Merry sadar, dia hanya bisa membahagiakan orangtuanya di saat mereka masih sehat dan relatif muda, bukan setelah mereka tua dan sakit-sakitan. Hal itulah yang menguatkan tekadnya untuk sukses dan kaya di usia muda. Maka, sulung dari tiga bersaudara ini pun rela merantau sendiri ke Singapura.

Ayah-ibu Merry memutuskan mengirim putri sulungnya ini untuk menuntut ilmu ke Singapura, sesaat setelah kerusuhan melanda Indonesia di bulan Mei 1998. Sebagai anak dari keluarga sederhana, Merry bukan saja membawa bekal materi yang minim, melainkan juga bahasa Inggris yang pas-pasan namun dengan tekad yang membara.

Saat tiba di Singapura, uang di sakunya hanya S$1,000 (Rp 7 juta). Hanya dalam waktu singkat, uang tersebut nyaris tak bersisa untuk membeli buku pelajaran yang harganya mahal dan kebutuhan sehari-hari.

Saat diterima di NTU, dia pun terpaksa mengajukan pinjaman S$40,000 (sekitar Rp 280 juta) ke pemerintah Singapura. Itu jumlah yang amat besar untuk seorang gadis lugu namun tetap saja nilainya amat kecil untuk hidup di sebuah negara yang sangat moderen.

Dia pun terpaksa lebih sering mengonsumsi roti dan mie instant untuk mengisi perutnya sehari-hari. Sebagai gambaran, pada tahun pertama kuliah, dia harus bertahan hidup hanya dengan S$10 (Rp 70 ribu) untuk tujuh hari atau Rp 10 ribu perhari untuk makan.

Guna menambah penghasilan, di saat libur, dia bekerja paruh waktu sebagai seorang pelayan restoran (waiter), penjaga toko bunga, dan penyebar pamflet beragam produk di jalanan. Sebagai mahasiswa yang dibekali student pass, dia memang tidak mungkin bekerja di kantor.

Kondisi yang serba minim justru membuatnya bekerja keras dan pantang menyerah. Bahkan, dia berkali-kali mendapat berbagai penghargaan di kampusnya. Di akhir masa kuliah (2006), dia berhasil mendapat gelar “Winner of Nanyang Young Oustanding Alumni Award” untuk pencapaiannya yang luar biasa di bidang akademik.

Di tengah-tengah kesibukannya belajar, Merry juga menyempatkan diri aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Kegiatan ini membuatnya bisa memperluas jaringan sosial sekaligus meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris.

Setelah selesai kuliah, dia juga berkali-kali menemui kegagalan ketika mencoba berwirausaha. Di awal kariernya menekuni bisnis, dia kehilangan lebih dari S$10,000 (Rp 70 juta) hanya dalam waktu 30 hari saat melakukan transaksi saham. Padahal, uang itu merupakan hasil jerih payahnya selama 4 tahun bekerja saat masih kuliah.

Tak hanya itu, dalam kondisi hampir bangkrut, suatu saat dia kehilangan S$200 (Rp 1,4 juta) saat mendaftar untuk bergabung dalam bisnis MLM (Multi Level Marketing). Di luar dugaan, perusahaan MLM itu menghilang tanpa jejak. Tentu saja ,itu jumlah uang yang amat kecil bagi seorang warga Singapura namun amat berarti untuk Merry yang hanya memiliki sedikit uang di rekening.

Meskipun demikian, berbagai kegagalan memberinya pelajaran yang amat bergharga dalam dunia bisnis, yang tidak didapatnya di bangku sekolah atau kuliah. Wanita yang menyukai lagu “The Greatest Love of All” (Whitney Houston) dan “You Raise Me Up” (Josh Groban) ini pun tetap dengan tekadnya untuk kerja mandiri dan melepaskan peluang untuk menjadi karyawan. Padahal tak ada satu pun orang-orang di sekitarnya (orangtua, dosen maupun sejumlah sahabatnya) yang mendukung rencana tersebut.

Mereka khawatir dengan pilihan tersebut karena Merry nyaris tidak punya bekal apapun, khususnya tiga syarat utama untuk terjun ke dunia bisnis: modal, relasi, dan keahlian. Modal uang bisa dibilang nol, relasi yang dimilikinya hanya jaringan teman-teman kampus, plus keahlian di bidang elektro. Di luar itu, dia masih harus menanggung utang Rp 280 juta kepada pemerintah Singapura.

Namun, tekad dan niat membahagiakan orangtua ternyata mampu mengalahkan semua rintangan. Maka, dengan gagah berani seperti seekor rajawali, dia pun terbang untuk menjemput mimpinya di langit. Dia ingin menjadi orang luar biasa sehingga harus siap dengan cobaan yang juga luar biasa.

Dia tidak mau sekadar menjadi ayam yang mencari makan dengan mematuk-matuk tanah untuk mendapatkan cacing. Dia ingin menjadi Rajawali yang bisa terbang jauh-tinggi dan memilih aneka makanan yang tersedia di alam. Dia tidak rela menjadi bagian dari golongan karyawan yang rutin bekerja dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 05.00 sore, dan tentu saja dengan “rutinitas aliran rekening yang itu-itu saja sebagai gaji”.

Sebagai gambaran, di Singapura, sarjana S-1 yang baru lulus hanya mendapat gaji sekitar S$2,500 (Rp 17,5 juta), suatu jumlah yang relatif kecil untuk standar hidup di negara yang memiliki biaya hidup yang tinggi. Sebab, seorang pekerja harus membayar 20% dari gajinya untuk CPF (Contributions Payable for Singapore Citizens atau tabungan wajib untuk hari tua), juga S$1,000 (Rp 7 juta) untuk biaya hidup (makan, akomodasi, transportasi, biaya telepon genggam, dan lain-lain).

Padahal, dia bertekad mengirim S$500 (Rp 3,5 juta) untuk orangtuanya di Jakarta. Otomatis, setiap bulan, uang di kantong hanya tersisa S$500 untuk membayar pinjaman. Dengan bunga 4% pertahun, sedikitnya diperlukan waktu 10 tahun untuk melunasi hutangnya ke pemerintah Singapura.

Belajar Wirausaha

Karena itu, setelah lulus kuliah, dia langsung terjun ke dunia wirausaha sebagai tenaga sales (penjualan) dalam bidang Financial Consultancy (Konsultasi Keuangan). Hanya bermodal waktu dan tekad untuk bekerja keras; 14 jam sehari, 7 hari seminggu, dan nyaris 365 hari dalam setahun. Di saat yang sama, dia menambah pengetahuannya tentang bisnis, baik dengan membaca buku, mengikuti seminar maupun bertanya kepada orang-orang yang ahli di bidangnya.

Maka, dia pun mulai mencari klien yang berniat melakukan investasi, membeli polis asuransi, dan menabung secara regular (fixed deposit). Hasilnya tidaklah sia-sia. Dalam waktu 6 bulan, peraih gelar “Winner of Nanyang Young Oustanding Alumni Award 2006” ini mampu melunasi hutang sebesar Rp 280 juta.

Dalam waktu 1 tahun, dia berhasil mengumpulkan modal untuk mulai merekrut staf penjualan sekaligus mulai membangun tim impian (The Dream Team). Tim inilah yang menjadi cikal bakal Merry Riana Organization (MRO), perusahaan yang bergerak di bidang Konsultasi Keuangan.

Perusahaan ini pula yang kemudian memberinya kekayaan Rp 7 milyar, hanya 4 tahun setelah lulus dari NTU, saat usianya baru 26 tahun. Dengan begitu, dia pun mewujudkan mimpinya untuk membahagiakan orangtua; mencukupi berbagai kebutuhan mereka dengan kualitas terbaik dan secara rutin mengajak mereka berwisata untuk mendatangi tempat-tempat yang menyenangkan, baik di dalam maupun luar negeri.

Support dari Suami

MRO yang dijalankan bersama suami tercinta (Alva Tjenderasa) dengan sistem yang baik, mampu berjalan tanpa keterlibatannya secara penuh (auto-run). Dengan demikian, sejak 4 tahun lalu, Merry pun bisa mengejar passion pribadi untuk menjadi motivator dan memberikan inspirasi kepada orang lain.

Belakangan, setelah mengurangi kontrolnya terhadap perusahaan, dia makin sibuk mengunjungi berbagai negara di Asia untuk memberi motivasi dan pelatihan kepada ribuan profesional, manajer, eksekutif, pemilik bisnis, dan tenaga sales. Dia bermimpi, suatu saat bisa membawakan acara talk show di televisi, menjadi Oprah Winfrey versi Asia, yang memberi inspirasi kepada banyak orang melalui pengalaman hidupnya maupun beragam pengalaman manusia yang ditemuinya selama ini.

Kekayaan yang didapatnya di usia muda tidak membuatnya besar kepala. Dia tetap tampil sebagai pribadi sederhana yang hangat dan menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk orang yang baru dikenalnya. Sikap rendah hati juga dia tunjukkan dalam kaitannya dengan pemanfaatan Twitter.

Untuk setiap orang yang menjadi follower-nya di Twitter, Merry langsung menjadi pengikut mereka (following). Karena itu, jumlah following justru lebih banyak dibandingkan jumlah follower-nya, yakni 27,336 orang dan 26,301 orang, berdasarkan data 22 Januari 2011.

Sebaliknya, hampir semua public figure di Twitter memiliki follower yang jauh lebih banyak dibandingkan following. Penyanyi Sherina Munaf yang menduduki ranking pertama untuk follower, misalnya, memiliki 833.540 follower dan hanya mengikuti (following) 4.515 orang. Artis film yang juga pemain drum, Titi Sjuman diikuti 251.061 orang namun hanya mengikuti 168 orang.

Berikutnya, jumlah follower dan following host berbagai acara di televisi, Sarah Sehan (304.759/1.750), mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar (52.021/ 109), tokoh pers Gunawan Mohammad (48.112/ 1.026), dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat (28.231/ 119).

Merry mengikuti semua follower-nya karena dia sadar, ketika dia menjadi follower, dia pun berharap orang yang diikutinya pun melakukan hal yang sama. Selain itu, dia percaya, dari orang-orang biasa yang menjadi follower-nya, dia bisa mendapat berbagai pengalaman dan gagasan yang bisa memperkaya kehidupannya.

Meskipun berkecimpung di dunia bisnis, dia tidak mengabaikan kehidupan rumah tangganya bersama Alva Tjenderasa, yang dijalaninya sejak tahun 2004, yang memberinya seorang puteri yang cantik. Kepada media The New Paper di Singapura, Merry mengungkapkan tips agar rumah tangganya tetap harmonis.

Menurut Merry, having a successful relationship is similar to building a successful business; both need hard work. It takes more than just love to be where we are right now. Dan salah satu tips yang penting dalam membangun pernikahan yang harmonis adalah melakukan komunikasi yang intensif dengan pasangan.

Rumah tangga yang harmonis membuatnya bisa membesarkan MRO bersama sang suami, yang juga lulusan NTU. Berkat dukungan penuh suami, dia pun meraih berbagai penghargaan, seperti Winner of Winner of Spirit of Enterprise Award (2008), Top 5 Female Finalist: 50 Most Gorgeous People (2009), Winner of My Paper Executive Look Readers' Choice Award (2010), Winner of LG Asia Life's Good Ambassador (2010), dan Winner of Great Women of Our Time Award (2010). Kini, dia juga menjadi duta sejumlah produk LG untuk Asia.

Sukses juga tidak membuatnya melupakan sesama. Tak lama setelah bukunya menjadi best seller di Singapura, dia mendirikan Proyek “A Gift From A Friend”, yang diambil dari judul bukunya. Komitmennya, untuk setiap buku yang terjual, dia menyumbangkan satu buku gratis ke institusi/ sekolah/ klub yang mendukung tujuan organisasinya, yakni “kewirausahaan pemuda” (youth entrepreneurship).

Selain itu, melalui program “Personal Mentorship Experience”, dalam sepekan, wanita energik ini menyediakan dua jam dari waktunya yang sangat berharga untuk membimbing anak-anak muda (20-30 tahun), yang ingin mengambil alih kontrol hidup mereka dan memenuhi impian mereka. Semua itu dilakukannya tanpa memungut biaya sepeser pun.

Hal ini sesuai dengan prinsip hidupnya yang ditulisnya di dalam blog: “The purpose of my life is to be significant as God’s living miracle, enjoying every moment and pieces of my miraculous life with my loved ones and testifying my blessed life story to the world as a gift of love for myself and others”.

Dia memang tidak ingin menikmati kekayaan dan suksesnya hanya untuk diri sendiri. Itulah wujud syukur dan rasa terima kasihnya atas cinta yang diberikan orangtua dan keluarganya, yang berhasil membuatnya mampu meraih kekayaan dalam usia yang sangat muda. Merry sadar, cinta telah memotivasinya untuk bekerja keras dan mampu meraih sebagian besar impiannya. Maka, dia pun membayarnya dengan cara membagikan pengalamannya kepada masyarakat lewat berbagai aktivitas sosialnya.

Masihkah anda menganggap omong kosong terhadap mimpi anda?Jangan pernah hancurkan kepercayan anda bahwa anda juga bisa dipeluk keajaiban kapanpun asalkan anda serius MAU. sukses selalu untun anda mulai hari ini

sumber: http://panturabisnisonline.com/article/64105/membaca-keajaiban-merry-riana.html

Friday, May 6, 2011

Saptuari Sugiharto Sang Pendiri Kedai Digital

Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur. Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007.

Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada 2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo atau bergambar para selebriti. “Heran. Kenapa orang-orang begitu bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,” katanya. “Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai dengan kemauannya.”

Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual motor, dan menggadaikan rumah keluarga.

Butuh waktu enam bulan bagi lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing. Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung. Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.

Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer yang memiliki latar belakang pendidikan formal.

Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar.

Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba.

Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial.

Soal yang terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi owner,” katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.

sumber: http://www.purdiechandra.net/gara-gara-purdi/2010/02/saptuari-sugiharto-kedai-digital

Kisah Sukses Surya Paloh di Bisnis Media

Surya Paloh , pendiri dan pemilik Media Group (koran Media Indonesia dan Metro TV), 40 tahun, lahir di Tanah Rencong, di daerah yang tak pernah dijajah Belanda. Ia besar di kota Pematang Siantar, Sumut, di daerah yang memunculkan tokoh-tokoh besar semacam TB Simatupang, Adam Malik, Parada Harahap, A.M. Sipahutar, Harun Nasution. Ia menjadi pengusaha di kota Medan, daerah yang membesarkan tokoh PNI dan tokoh bisnis TD Pardede. Aktifitas politiknya yang menyebabkan Surya Paloh pindah ke Jakarta, menjadi anggota MPR dua periode. Justru di kota metropolitan ini, kemudian Surya Paloh terkenal sebagai seorang pengusaha muda Indonesia.

Surya Paloh mengenal dunia bisnis tatkala ia masih Remaja. Sambil Sekolah ia berdagang teh, ikan asin, karung goni, dll. Ia membelinya dari dua orang ‘toke’ sahabat yang sekaligus gurunya dalam dunia usaha, lalu dijual ke beberapa kedai kecil atau ke perkebunan (PTP-PTP). Di Medan, Surya Paloh mendirikan perusahaan karoseri sekaligus menjadi agen penjualan mobil.

Sembari berdagang, Surya Paloh juga menekuni kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Sosial Politik, Universitas Islam Sumater Utara, Medan. Di kota yang terkenal keras dan semrawut ini, keinginan berorganisasi yang sudah berkembang sejak dari kota Pematang Siantar, semakin tumbuh subur dalam dirinya. Situasi pada saat itu, memang mengarahkan mereka aktif dalam organisasi massa yang sama-sama menentang kebijakan salah dari pemerintahan orde lama. Surya Paloh menjadi salah seorang pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).

Setelah KAPPI bubar, ia menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar pada Sekber Golkar. Beberapa tahun kemudian, Surya Paloh mendirikan Organisasi Putra-Putri ABRI (PP-ABRI), lalu ia menjadi Pimpinan PT-ABRI Sumut. Bahkan organisasi ini, pada tahun 1978, didirikannya bersama anak ABRI yang lain, di tingkat pusat Jakarta, dikenal dengan nama Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).

Kesadarannya bahwa dalam kegiatan politik harus ada uang sebagai biaya hidup dan biaya perjuangan, menyebabkan ia harus bekerja keras mencari uang, dengan mendirikan perusahaan atau menjual berbagai jenis jasa. Ia mendirikan perusahaan jasa boga, yang belakangan dikenal sebagai perusahaan catering terbesar di Indonesia. Keberhasilannya sebagai pengusaha jasa boga, menyebabkan ia lebih giat belajar menambah ilmu dan pengalaman, sekaligus meningkatkan aktifitasnya di organisasi.

Menyusuri kesuksesan itu, ia melihat peluang di bidang usaha penerbitan pers. Surya Paloh mendirikan Surat Kabar Harian Prioritas. Koran yang dicetak berwarna ini, laku keras. Akrab dengan pembacanya yang begitu luas sampai ke daerah-daerah. Sayang, surat kabar harian itu tidak berumur panjang, keburu di cabut SIUPP-nya oleh pemerintah. Isinya dianggap kurang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Kendati bidang usaha penerbitan pers mempunyai risiko tinggi, bagi Surya Paloh, bidang itu tetap merupakan lahan bisnis yang menarik. Ia memohon SIUPP baru, namun, setelah dua tahun tak juga keluar. Minatnya di bisnis pers tak bisa dihalangi, ia pun kerjasama dengan Achmad Taufik Menghidupkan kembali Majalah Vista. Pada tahun 1989, Surya Paloh bekerja sama dengan Drs. T. Yously Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yously sebagai pemilik dan Pemrednya, Surya Paloh memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas. Penyajian dan bentuk logo surat kabar ini dibuat seperti Almarhum Prioritas. Kemajuan koran ini, menyebabkan Surya Paloh makin bersemangat untuk melakukan ekspansi ke berbagai media di daerah. Disamping Media Indonesia dan Vista yang terbit di Jakarta, Surya Paloh bekerjasama menerbitkan sepuluh penerbitan di daerah.

Pada umurnya yang masih muda, 33 tahun, Surya Paloh berani mempercayakan bisnis cateringnya pada manajer yang memang disiapkannya. Pasar catering sudah dikuasainya, dan ia menjadi the best di bisnis itu. Lalu, ia mencari tantangan baru, masuk ke bisnis pers. Padahal, bisnis pers adalah dunia yang tidak diketahuinya sebelum itu. Kewartawanan juga bukan profesinya, tetapi ia berani memasuki dunia ini, memasuki pasar yang kelihatannya sudah jenuh. Ia bersaing dengan Penerbit Gramedia Group yang dipimpin oleh Yakob Utama, wartawan senior. Ia berhadapan dengan Kartini Grup yang sudah puluhan tahun memasuki bisnis penerbitan. Ia tidak segan pada Pos Kota Group yang diotaki Harmoko, mantan Menpen RI. Bahkan, ia tidak takut pada Grafisi Group yang di-back up oleh pengusaha terkenal Ir. Ciputra, bos Jaya Group.

Kendati kondisi pasar pers begitu ramai dengan persaingan. Surya Paloh sedikit pun tak bergeming. Bahkan ia berani mempertaruhkan modal dalam jumlah relatif besar, dengan melakukan terobosan-terobosan baru yang tak biasa dilakukan oleh pengusaha terdahulu. Dengan mencetak berwarna misalnya. Ia berani menghadapi risiko rugi atau bangkrut. Ia sangat kreatif dan inovatif. Dan, ia berhasil.

Surya Paloh menghadirkan koran Proritas di pentas pers nasional dengan beberapa keunggulan. Pertama, halaman pertama dan halaman terakhir di cetak berwarna. Kedua, pengungkapan informasi kelihatan menarik dan berani. Ketika, foto yang disajikan dikerjakan dengan serius. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan koran ini dalam waktu singkat, berhasil mencapai sirkulasi lebih 100 ribu eksemplar. Tidak sampai setahun, break event point-nya sudah tercapai.

Ancaman yang selalu menghantui Prioritas justru bukan karena kebangkrutan, tetapi pencabutan SIUPP oleh pemerintah. Terbukti kemudian, ancaman itu datang juga. Koran Prioritasnya mati dalam usia yang terlalu muda. Pemberitaannya dianggap kasar dan telanjang. Inilah risiko terberat yang pernah dialami Surya Paloh. Ia tidak hanya kehilangan sumber uang, tetapi ia juga harus memikirkan pembayaran utang investasi.

Dalam suasana yang sangat sulit itu, ia tidak putus asa. Ia berusaha membayar gaji semua karyawan Prioritas, sambil menyusun permohonan SIUPP baru dari pemerintah. Namun permohonan itu tidak dikabulkan pemerintah. Beberapa wartawan yang masih sabar, tidak mau pindah ke tempat lain, dikirim Surya Paloh ke berbagai lembaga manajemen untuk belajar.

Pers memang memiliki kekuatan, di negara barat, ia dikenal sebagai lembaga keempat setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Apalagi kebesaran tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu atau tokoh-tokoh dalam masyarakat, sering karena peranan pers yang mempublikasikan mereka. Bagaimana seorang tokoh diakui oleh kalangan masyarakat secara luas, kalau ia di boikot oleh pers. Dengan demikian, bisnis pers memang prestisius, memberi kebanggaan, memberi kekuatan dan kekuasaan. Dan, itulah bisnis Surya Paloh.

sumber: http://milyarderuniversity.blogspot.com/2011/03/kisah-sukses-surya-paloh.html

Kisah Sukses Chairul Tanjung Menjadi Raja Televisi










Apa jadinya jika seorang calon dokter gigi justru merambah bisnis televisi? Jika ingin tahu jawabannya, lihatlah sosok Chairul Tanjung, pebisnis asli pribumi yang kini namanya berkibar dengan Grup TransTV dan Trans7. Berkat kesulitan ekonomi yang menderanya, ternyata hal tersebut justru menjadi bekal mengasah ketajaman insting bisnisnya.

Saat kuliah di Fakultas Kedokteran gigi Universitas Indonesia, pada periode tahun 1980-an, ia memang harus memenuhi kebutuhan kuliahnya sendiri. Meski terlahir dari keluarga yang cukup berada, karena perubahan keadaan politik, keluarganya terpaksa menjalani kehidupan seadanya. Dari rumah yang tergolong besar, mereka harus menjualnya, dan menyewa sebuah losmen sempit.
Namun, ternyata, kesulitan ini justru membuat Chairul membulatkan tekadnya untuk kembali berjuang meraih kesuksesan," Saya bercita-cita jadi orang besar." Maka, lepas dari SMA Boedi Utomo Jakarta, ia pun masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi UI. Kesulitan biaya kuliah membuatnya harus kreatif mencari dana untuk meneruskan sekolahnya. Maka, kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini pun lantas memulai bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya - yang sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman - usaha itu bangkrut.Namun, rupanya, menjadi pebisnis telah memikat hatinya. Walau bangkrut, ia justru langsung mencoba usaha lain, kali ini di bidang kontraktor. Meski juga kurang berhasil, ia merasa mendapat pelajaran banyak hal dari bisnis-bisnis yang pernah ditanganinya. Dari bekal pengetahuan itu, ia memberanikan mendirikan CV pertamanya pada tahun 1984 dan menjadikannya PT pada tahun 1987. Dari PT bernama Pariarti Shindutama itu, ia berkongsi dengan dua rekannya mendirikan pabrik sepatu. Kepiawaiannya menjaring hubungan bisnis langsung membuat sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160 ribu pasang dari pengusaha Italia. Dari kesuksesan ini, bisnisnya merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah kesuksesan itu, rupanya ia mengalami perbedaan visi dengan kedua rekannya. Maka, ia pun memilih menjalankan sendiri usahanya.Ternyata, ia justru bisa makin berkembang dengan berbagai usahanya. Ia pun lantas memfokuskan usahanya ke tiga bisnis inti, yakni: keuangan, properti, dan multimedia. Melalui tangan dinginnya, ia mengakuisisi sebuah bank kecil yang nyaris bangkrut, Bank Tugu. Keputusan yang dianggap kontoversial saat itu oleh orang dekatnya. Namun, pengalaman bangkit dari kegagalan rupanya mengajarkannya banyak hal. Ia justru berhasil mengangkat bank itu, - setelah mengubah namanya menjadi Bank Mega - menjadi bank papan atas dengan omset di atas Rp1 triliun saat ini.

Selain itu, suami dari dokter gigi Ratna Anitasari ini juga merambah bisnis sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Kemudian, di bisnis properti, ia juga telah membuat sebuah proyek prestisius di Kota Bandung, yang dikenal dengan Bandung Supermall. Dan, salah satu usaha yang paling melambungkan namanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup sukses.

Tak heran, dengan semua prestasinya, ia layak disebut sebagai "The Rising Star". Bahkan, baru-baru ini, ia dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia, di posisi ke-18, dengan total kekayaan mencapai 450 juta dolar AS. Sebuah prestasi yang mungkin tak pernah dibayangkannya saat memulai usaha kecil-kecilan, demi mendapat biaya kuliah, ketika masih kuliah di UI dulu.

Hal itulah yang barangkali membuat Chairul Tanjung selalu tampil apa adanya, tanpa kesan ingin memamerkan kesuksesannya. Selain itu, rupanya ia pun tak lupa pada masa lalunya. Karenanya, ia pun kini getol menjalankan berbagai kegiatan sosial. Mulai dari PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. "Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan," ungkapnya.

Pencapaian Chairul Tanjung sebagai tokoh bisnis yang gemilang, dengan berbagai jenis usahanya, telah membuat ia dinobatkan sebagai "The Rising Star". Ia mampu membuktikan, bahwa kebangkrutan dan kegagalan, justru bisa menjadi bahan pembelajaran guna meraih sukses yang luar biasa di kemudian hari. Dan, yang terpenting, di tengah kesuksesannya, ia kini tak lupa berbagi, dengan menjadi pegiat berbagai urusan sosial kemasyarakatan. Sebuah catatan kehidupan seorang Chairung Tanjung yang bisa diteladani kita semua.



Belajar dari Elang Gumilang: Mahasiswa beromzet 17 Milyar

Pertama kali saya membaca profilnya di majalah Pengusaha yang berjudul
“Kepak Elang Memburu Intan”. Yang membuat saya kagum, statusnya yang masih
mahasiswa berusia 22 tahun, dan sudah memiliki perusahaan beromzet miliaran
rupiah.

Alhamdulillah, dalam satu seminar entrepreneurship, saya bisa bertemu
langsung dengan dia. Sosoknya yang ramah dan rendah hati, serta gaya
berbicara menunjukkan prinsip hidup yang dipegangnya.

Bagaimana kiprahnya dalam menjalankan bisnisnya ?? Saya cari di internet,
akhirnya dapat artikel mengenai profil Elang.. Saya sharing disini saja ya…

*Elang Gumilang, Mahasiswa Bangun Perumahan untuk Orang Miskin Demi
Keseimbangan Hidup*

Selama ini banyak developer yang membangun perumahan namun hanya bisa
dijangkau oleh kalangan menengah ke atas saja. Jarang sekali developer yang
membangun perumahan yang memang dikhususkan bagi orang-orang kecil. Elang
Gumilang (22), seorang mahasiswa yang memiliki jiwa wirausaha tinggi
ternyata memiliki kepedulian tinggi terhadap kaum kecil yang tidak memiliki
rumah. Meski bermodal pas-pasan, ia berani membangun perumahan khusus untuk
orang miskin. Apa yang mendasarinya?

Jumat sore (28/12), suasana Institut Pertanian bogor (IPB), terlihat
lengang. Tidak ada geliat aktivitas proses belajar mengajar. Maklum hari
itu, hari tenang mahasiswa untuk ujian akhir semester (UAS). Saat Realita
melangkahkah kaki ke gedung Rektorat, terlihat sosok pemuda berperawakan
kecil dari kejauhan langsung menyambut kedatangan Realita. Dialah Elang
Gumilang (22), seorang wirausaha muda yang peduli dengan kaum miskin. Sambil
duduk di samping gedung Rektorat, pemuda yang kerap disapa Elang ini,
langsung mengajak Realita ke perumahannya yang tak jauh dari kampus IPB.
Untuk sampai ke perumahan tersebut hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan
menggunakan kendaraan roda empat. Kami berhenti saat melewati deretan rumah
bercat kuning tipe 22/60. Rupanya bangunan yang berdiri di atas lahan 60
meter persegi itu adalah perumahan yang didirikannya yang diperuntukan
khusus bagi orang-orang miskin. Setelah puas mengitari perumahan, Elang
mengajak Realita untuk melanjutkan obrolan di kantornya.

Elang sendiri merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Enceh
(55) dan Hj. Prianti (45). Elang terlahir dari keluarga yang lumayan berada,
yaitu ayahnya berprofesi sebagai kontraktor, sedangkan ibunya hanya ibu
rumah tangga biasa. Sejak kecil orang tuanya sudah mengajarkan bahwa segala
sesuatu diperoleh tidak dengan gratis. Orang tuanya juga meyakinkan bahwa
rezeki itu bukan berasal dari mereka tapi dari Allah SWT..

Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang sudah
mengikuti berbagai perlombaan dan bahkan ia pernah mengalahkan anak SMP saat
lomba cerdas cermat. Karena kepintarannya itu, Elang pun menjadi anak
kesayangan guru-gurunya.

Begitu pula ketika masuk SMP I Bogor, SMP terfavorit di kabupaten Bogor,
Elang selalu mendapatkan rangking. Pria kelahiran Bogor, 6 April 1985 ini
mengaku kesuksesan yang ia raih saat ini bukanlah sesuatu yang instan.
“Butuh proses dan kesabaran untuk mendapatkan semua ini, tidak ada sesuatu
yang bisa dicapai secara instan,” tegasnya. Jiwa wirausaha Elang sendiri
mulai terasah saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA I Bogor, Jawa Barat. Dalam
hati, Elang bertekad setelah lulus SMA nanti ia harus bisa membiayai
kuliahnya sendiri tanpa menggantungkan biaya kuliah dari orang tuanya. Ia
pun mempunyai target setelah lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta
untuk modal kuliahnya kelak.

Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Elang mulai
berbisnis kecil-kecilan dengan cara berjualan donat keliling. Setiap hari ia
mengambil 10 boks donat masing-masing berisi 12 buah dari pabrik donat untuk
kemudian dijajakan ke Sekolah Dasar di Bogor. Ternyata lumayan juga. Dari
hasil jualannya ini, setiap hari Elang bisa meraup keuntungan Rp 50 ribu.
Setelah berjalan beberapa bulan, rupanya kegiatan sembunyi-sembunyiny a ini
tercium juga oleh orang tuanya. “Karena sudah dekat UAN (Ujian Akhir
Nasional), orang tua menyuruh saya untuk berhenti berjualan donat. Mereka
khawatir kalau kegiatan saya ini mengganggu ujian akhir,” jelas pria
pemenang lomba bahasa sunda tahun 2000 se-kabupaten Bogor ini.

Dilarang berjualan donat, Elang justru tertantang untuk mencari uang dengan
cara lain yang tidak mengganggu sekolahnya. Pada tahun 2003 ketika Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB mengadakan lomba Java Economic Competion se-Jawa,
Elang mengikutinya dan berhasil menjuarainya. Begitu pula saat Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang
juga berhasil menjadi juara ke-tiga. Hadiah uang yang diperoleh dari setiap
perlombaan, ia kumpulkan untuk kemudian digunakan sebagai modal kuliah.

Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi IPB
(Institut Pertanian Bogor). Elang sendiri masuk IPB tanpa melalui tes SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, red) sebagaimana calon mahasiswa yang
akan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Ini dikarenakan Elang pernah
menjuarai kompetisi ekonomi yang diadakan oleh IPB sehingga bisa masuk tanpa
tes. Saat awal-awal masuk kuliah, Elang mendapat musibah yang menyebabkan
uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1 juta. Namun Elang enggan memberitahu apa
musibah yang dialaminya tersebut.

Padahal uang itu rencananya akan digunakan sebagai modal usaha. Meski hanya
bermodal Rp 1 juta, Elang tidak patah semangat untuk memulai usaha. Uang Rp
1 juta itu ia belanjakan sepatu lalu ia jual di Asrama Mahasiswa IPB. Lewat
usaha ini, dalam satu bulan Elang bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Tapi
setelah berjalan beberapa tahun, orang yang menyuplai sepatunya entah kenapa
mulai menguranginya dengan cara menurunkan kualitas sepatunya. Satu per satu
pelanggannya pun tidak mau lagi membeli sepatu Elang. Sejak itu, Elang
memutuskan untuk tidak lagi berjualan sepatu.

Setelah tidak lagi berbisnis sepatu, Elang kebingungan mencari bisnis
apalagi. Pada awalnya, dengan sisa modal uang bisnis sepatu, rencanaya ia
akan gunakan untuk bisnis ayam potong. Tapi, ketika akan terjun ke bisnis
ayam potong, Elang justru melihat peluang bisnis pengadaan lampu di
kampusnya. “Peluang bisnis lampu ini berawal ketika saya melihat banyak
lampu di IPB yang redup. Saya fikir ini adalah peluang bisnis yang
menggiurkan,
” paparnya. Karena tidak punya modal banyak, Elang menggunakan
strategi Ario Winarsis, yaitu bisnis tanpa menggunakan modal. Ario Winarsis
sendiri awalnya adalah seorang pemuda miskin dari Amerika Latin, Ario
Winarsis mengetahui ada seorang pengusaha tembakau yang kaya raya di
Amerika. Setiap hari, ketika pengusaha itu keluar rumah, Ario Winarsis
selalu melambaikan tangan ke pengusaha itu. Pada awalnya pengusaha itu tidak
memperdulikannya. Tapi karena Ario selalu melambaikan tangan setiap hari,
pengusaha tembakau itu menemuinya dan mengatakan, “Hai pemuda, kenapa kamu
selalu melambaikan tangan setiap saya ke luar rumah?” Pemuda miskin itu lalu
menjawab, “Saya punya tembakau kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar
dulu, yang penting saya dapat PO dulu dari Bapak.” Setelah mendengar jawaban
dari pemuda itu, pengusaha kaya itu lalu membuatkan tanda tangan dan stempel
kepada pemuda tersebut. Dengan modal stempel dan tanda tangan dari pengusaha
Amerika itu, pemuda tersebut pulang dan mengumpulkan hasil tembakau di
kampungnya untuk di jual ke Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka,
jadilah pemuda itu orang kaya raya tanpa modal.Begitupula Elang, dengan modal surat dari kampus, ia melobi ke perusahaan
lampu Philips pusat untuk menyetok lampu di kampusnya. “Alhamdulillah
proposal saya gol, dan setiap penjualan saya mendapat keuntungan Rp 15
juta,” ucapnya bangga.Tapi, karena bisnis lampu ini musiman dan perputaran uangnya lambat, Elang
mulai berfikir untuk mencari bisnis yang lain. Setelah melihat celah di
bisnis minyak goreng, Elang mulai menekuni jualan minyak goreng ke
warung-warung. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, ia harus membersihkan
puluhan jerigen, kemudian diisi minyak goreng curah, dan dikirim ke
warung-warung Pasar Anyar, serta Cimanggu, Bogor. Setelah selesai mengirim
minyak goreng, ia kembali ke kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, Elang
kembali mengambil jerigen-jerigen di warung untuk diisi kembali keesokan
harinya. Tapi, karena bisnis minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga
mengganggu kuliahnya. Elang pun memutuskan untuk berhenti berjualan. “Saya
sering ketiduran di kelas karena kecapain,” kisahnya.

Elang mengaku selama ini ia berbisnis lebih banyak menggunakan otot dari
pada otak. Elang berkonsultasi ke beberapa para pengusaha dan dosennya untuk
minta wejangan. Dari hasil konsultasi, Elang mendapat pencerahan bahwa
berbisnis tidak harus selalu memakai otot, dan banyak peluang-peluang bisnis
yang tidak menggunakan otot.

Setelah mendapat berbagai masukan, Elang mulai merintis bisnis Lembaga
Bahasa Inggris di kampusnya. “Bisnis bahasa Inggris ini sangat prospektif
apalagi di kampus, karena ke depan dunia semakin global dan mau tidak mau
kita dituntut untuk bisa bahasa Inggris,” jelasnya. Adapun modalnya, ia
patungan bersama kawan-kawannya. Sebenarnya ia bisa membiayai usaha itu
sendiri, tapi karena pegalaman saat jualan minyak, ia memutuskan untuk
mengajak teman-temannya. Karena lembaga kursusnyanya ditangani secara
profesional dengan tenaga pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas
Ekonomi mempercayakan lembaganya itu menjadi mitra.

Karena dalam bisnis lembaga bahasa Inggris Elang tidak terlibat langsung dan
hanya mengawasi saja, ia manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai
marketing perumahan. “Saya di marketing tidak mendapat gaji bulanan, saya
hanya mendapatkan komisi setiap mendapat konsumen,” ujarnya.

Bangun Rumah Orang Miskin. Di usianya yang relatif muda, pemuda yang tak
suka merokok ini sudah menuai berbagai keberhasilan. Dari hasil usahanya itu
Elang sudah mempunyai rumah dan mobil sendiri. Namun di balik
keberhasilannya itu, Elang merasa ada sesuatu yang kurang. Sejak saat itu ia
mulai merenungi kondisinya. “Kenapa kondisi saya begini, padahal saya di IPB
hanya tinggal satu setengah tahun lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi
yang saya cari di dunia ini?” batinnya.

Setelah lama merenungi ketidaktenangannya itu, akhirnya Elang mendapatkan
jawaban. Ternyata selama ini ia kurang bersyukur kepada Tuhan. Sejak saat
itulah Elang mulai mensyukuri segala kenikmatan dan kemudahan yang diberikan
oleh Tuhan. Karena bingung mau bisnis apalagi, akhirnya Elang shalat
istikharah minta ditunjukkan jalan. “Setelah shalat istikharah, dalam tidur
saya bermimpi melihat sebuah bangunan yang sangat megah dan indah di
Manhattan City, lalu saya bertanya kepada orang, siapa sih yang membuat
bangunan megah ini? Lalu orang itu menjawab, “Bukannya kamu yang membuat?”
Setelah itu Elang terbangun dan merenungi maksud mimpi tersebut. “Saya pun
kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dunia properti,” ujarnya.

Pengalaman bekerja di marketing perumahan membuatnya mempunyai pengetahuan
di dunia properti. Sejak mimpi itu ia mulai mencoba-coba ikut berbagai
tender. Tender pertama yang ia menangi Rp 162 juta di Jakarta yaitu
membangun sebuah Sekolah Dasar di daerah Jakarta Barat. Sukses menangani
sekolah membuat Elang percaya diri untuk mengikuti tender-tender yang lebih
besar. Sudah berbagai proyek perumahan ia bangun.

Selama ini bisnis properti kebanyakan ditujukan hanya untuk orang-orang kaya
atau berduit saja. Sedangkan perumahan yang sederhana dan murah yang
terjangkau untuk orang miskin jarang sekali pengembang yang peduli. Padahal
di Indonesia ada 70 juta rakyat yang masih belum memiliki rumah. Apalagi
rumah juga merupakan kebutuhan yang sangat primer. Sebagai tempat berteduh
dan membangun keluarga. “Banyak orang di Indonesia terutama yang tinggal di
kota belum punya rumah, padahal mereka sudah berumur 60 tahun, biasanya
kendala mereka karena DP yang kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai
sekarang mereka belum berani untuk memiliki rumah,” jelasnya.

Dalam hidupnya, Elang ingin memiliki keseimbangan dalam hidup. Bagi Elang,
kalau mau kenal orang maka kenalilah 10 orang terkaya di Indonesia dan juga
kenal 10 orang termiskin di Indonesia. Dengan kenal 10 orang termiskin dan
terkaya, akan mempunyai keseimbangan dalam hidup, dan pasti akan melakukan
sesuatu untuk mereka. Melihat realitas sosial seperti itu, Elang terdorong
untuk mendirikan perumahan khusus untuk orang-orang ekonomi ke bawah. Maka
ketika ada peluang mengakuisisi satu tanah di desa Cinangka kecamatan
Ciampea, Elang langsung mengambil peluang itu. Tapi, karena Elang tidak
punya banyak modal, ia mengajak teman-temannya yang berjumlah 5 orang untuk
patungan. Dengan modal patungan Rp 340 juta, pada tahun 2007 Elang mulai
membangun rumah sehat sederhana (RSS) yang difokuskan untuk si miskin
berpenghasilan rendah. Dari penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu.
Modalnya Elang putar kembali untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah
bercat kuning pun satu demi satu mulai berdiri.

Elang membangun rumah dengan berbagai tipe, ada tipe 22/60 dan juga tipe
36/72. Rumah-rumah yang berdiri di atas lahan 60 meter persegi tersebut
ditawarkan hanya seharga Rp 25 juta dan Rp 37 juta per unitnya. “Jadi, hanya
dengan DP Rp 1,25 juta dan cicilan Rp 90.000 ribu per bulan selama 15 tahun,
mereka sudah bisa memiliki rumah,” ungkapnya.

Karena modalnya pas-pasan, untuk media promosinya sendiri, Elang hanya
mengiklankan di koran lokal. Karena harganya yang relatif murah, pada tahap
awal pembangunan langsung terjual habis. Meski harganya murah, tapi
fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplit, seperti Klinik 24 jam,
angkot 24 jam, rumah ibadah, sekolah, lapangan olah raga, dan juga dekat
dengan pasar. Karena rumah itu diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah,
kebanyakan para profesi konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha
(TU) IPB, bahkan ada juga para pemulung.

Sisihkan 10 Persen. Dengan berbagai kesuksesan di usia muda itu, Elang tidak
lupa diri dengan hidup bermewah-mewahan, justru Elang semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan. Salah satu wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam
setiap proyeknya, ia selalu menyisihkan 10 persen untuk kegiatan amal. “Uang
yang 10 persen itu saya masukkan ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan)
pribadi, dan saya alokasikan untuk membantu orang-orang miskin dan orang
yang kurang modal,” bebernya. Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki ada
hak orang miskin di dalamnya yang musti dibagi. Selain menyisihkan 10 persen
dari hasil proyeknya, Elang juga memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan
bahkan tahunan kepada fakir miskin.

Bagi Elang, sedekah itu tidak perlu banyak tapi yang paling penting adalah
kontinuitas dari sedekah tersebut. Meski jumlahnya kecil, tapi jika
dilakukan secara rutin, itu lebih baik daripada banyak tapi tidak rutin.

Elang sendiri terbilang sebagai salah satu sosok pengusaha muda yang sukses
dalam merintis bisnis di tanah air. Prestasinya patut diapresiasi dan
dijadikan suri tauladan bagi anak-anak muda yang lain. Bagi Elang, semua
anak muda Indonesia bisa menjadi orang yang sukses, karena kelebihan manusia
dengan ciptaan mahkluk Tuhan yang lain adalah karena manusia diberi akal.
Dan, ketika manusia lahir ke dunia dan sudah bisa mulai berfikir, manusia
itu seharusnya sudah bisa mengarahkan hidupnya mau dibawa kemana. “Kita
hidup ibarat diberi diary kosong. Lalu, tergantung kitanya mau mengisi
catatan hidup ini. Mau hura-hurakah? Atau mau mengisi hidup ini dengan
sesuatu yang bermanfaat bagi yang lain,” ucapnya berfilosof. Ketika
seseorang sudah bisa menetapkan arah hidupnya mau dibawa kemana, tinggal
orang itu mencari kunci-kunci kesuksesannya, seperti ilmu dan lain
sebagainya.

Menjaga Masjid. Adapun kunci kesuksesan Elang sendiri berawal dari perubahan
gaya hidupnya saat kuliah semester lima. Pada siang hari, Elang bak singa
padang pasir. Selain kuliah, ia juga menjalankan bisnis mencari
peluang-peluang bisnis baru, negosiasi, melobi, dan sebagainya. Namun ketika
malam tiba, ia harus menjadi pelayan Tuhan, dengan menjadi penjaga Masjid.
“Setiap malam dari semester lima sampai sekarang saya tinggal di Masjid yang
berada dekat terminal Bogor. Dari mulai membersihkan Masjid, sampai
mengunci, dan membukakan pintu pagar untuk orang-orang yang akan shalat
Shubuh, semua saya lakukan,” ujarnya merendah.

Elang mengaku ketika menjadi penjaga Masjid ia mendapat kekuatan pemikiran
yang luar biasa. Bagi Elang, Masjid selain sebagai sarana ibadah, juga
tempat yang sangat mustajab untuk merenung dan memasang strategi. “Dalam
halaman masjid itu juga ada pohon pisang dan di sampingnya gundukan tanah.
Saya anggap itu adalah kuburan saya. Ketika saya punya masalah saya merenung
kembali dan kata Nabi, orang yang paling cerdas adalah orang yang mengingat
mati,” ujarnya.

Ikut Lomba Wirausaha Muda Mandiri Karena Tukang Koran “Ghaib”
Elang semakin dikenal khalayak luas ketika berhasil menjadi juara pertama di
ajang lomba wirausaha muda mandiri yang diadakan oleh sebuah bank belum lama
ini. Keikutsertaan Elang dalam lomba tersebut sebenarnya berkat informasi
dari koran yang ia dapatkan lewat tukang koran “ghaib”. Kenapa “ghaib”?,
sebab setelah memberi koran, tukang koran itu tidak pernah kembali lagi
padahal sebelumnya ia berjanji untuk kembali lagi.

Peristiwa aneh itu terjadi saat ia sedang mencuci mobil di depan rumahnya.
Tiba-tiba saja ada tukang koran yang menawarkan koran. Karena sudah
langganan koran, Elang pun menolak tawaran tukang koran itu dengan
mengatakan kalau ia sudah berlangganan koran. Tapi anehnya musti sudah
mengatakan demikian, si tukang koran itu tetap memaksa untuk membelinya,
karena elang tidak mau akhirnya si tukang koran itu memberikan dengan
cuma-cuma kepada elang dan berjanji akan kembali lagi keesokan harinya.
Karena diberi secara cuma-cuma, akhirnya Elang pun mau menerimanya.

Setelah selesai mencuci mobil, Elang langsung menyambar koran pemberian
tukang koran tadi. Setelah membaca beberapa lembar, Elang menemukan satu
pengumuman lomba wirausaha muda mandiri. Merasa sebagai anak muda, ia
tertantang untuk mengikuti lomba tersebut. Elang pun membawa misi bahwa
wirausaha bukan teori melainkan ilmu aplikatif. Saat lolos penjaringan dan
dikumpulkan di Hotel Nikko Jakarta, Elang bertemu dengan seorang Bapak yang
anaknya sedang sakit keras di pinggir jalan bundaran Hotel Indonesia. Elang
merasa ada dua dunia yang sangat kontras, di satu sisi ada orang tinggal di
hotel mewah dan makan di restoran, tapi di sisi lain ada orang yang tinggal
di jalanan. Akhirnya, pada malam penganugerahan, tim juri memutuskan
Elanglah yang menjadi juaranya. Padahal kalau diukur secara omset,
pendapatannya berbeda jauh dengan para pengusaha lainnya.

Dari Juara I Wirausaha itu, Elang membawa hadiah sebesar Rp 20 juta,
ditambah tawaran kuliah S2 di Universitas Indonesia. Melalui lomba itu,
terbukalah jalan cerah bagi Elang untuk menapaki dunia wirausaha yang lebih
luas.

Ingin Membawahi Perusahaan yang Mempekerjakan 100 Ribu Orang

Perjalanan Elang dalam merintis bisnis properti, tidak selamanya berjalan
mulus. Pada awal-awal merintis bisnis ini, ia banyak sekali mengalami
hambatan, terutama ketika akan meminjam modal dari Bank. Sebagai mahasiswa
biasa, tentunya perbankan merasa enggan untuk memberikan modal. Padahal,
prospek bisnis properti sangat jelas karena setiap orang pasti membutuhkan
rumah. “Beginilah jadi nasib orang muda, susah orang percaya. Apalagi
perbankan. Orang bank bilang lebih baik memberikan ke tukang gorengan
daripada ke mahasiswa,” ungkapnya.

Meski sering ditolak bank pada awal-awal usahanya, Elang tidak pernah patah
semangat untuk berbisnis. Baginya, kalau bank tidak mau memberi pinjaman,
masih banyak orang yang percaya dengan anak muda yang mau memberi pinjaman.
Terbukti dengan hasil jerih payahnya selama ini sehingga bisa berjalan.

Ada banyak impian yang ingin diraih Elang, di antaranya membentuk organisasi
Maestro Muda Indonesia dan membawahi perusahaan yang mempekerjakan karyawan
100 ribu orang. Motivasi terbesar Elang dalam meraih impian tersebut adalah
ingin menjadi tauladan bagi generasi muda, membantu masyarakat sekitar, dan
meraih kemuliaan dunia serta akhirat.

sumber: http://greensand.wordpress.com/2008/06/17/belajar-dari-elang-gumilang-mahasiswa-beromzet-17-milyar

Wong Kito, dari Kelakar Menjadi Bisnis

Banyak cara dilakukan orang untuk melestarikan budaya daerahnya. Lebih hebat lagi, seorang pengusaha kreatif dari Palembang mampu melakukan itu sambil mengembangkan bisnis busana yang digelutinya.

Adalah Yoki Firmansyah, sang pengusaha kreatif yang memulai bisnis kaus oblong bebaso Plembang (berbahasa Palembang) itu. Jika Bali memiliki kaus khas Joger yang sukses dengan “pabrik katakatanya”, maka Yoki memikat kawula muda Palembang dengan kaus bertuliskan kelakar khas wong kito dengan merek Palimo T-Shirt dan Kaus Nyenyes Palembang.

Menurut dia, konsep kaus kreatif itu diambilnya karena selama ini kaus oblong yang ditawarkan di Palembang masih terkesan sangat kaku. Padahal, kata dia, orang Palembang dalam kesehariannya justru amat senang saling berkelakar satu sama lain.

Kelakar, kata dia, bisa dibilang telah membudaya di masyarakat Sumatera Selatan. Hal itulah yang kemudian menimbulkan ide dalam benaknya untuk mengonsep kaus dengan kata-kata kelakar berbahasa Palembang tersebut.

Ide tersebut kemudian direalisasikannya dengan menguras tabungan senilai Rp20 juta yang dimilikinya dari berbagai bisnis kecil-kecilan yang telah digelutinya selama ini. Namun, modal Rp20 juta itu dinilainya masih belum cukup sehingga Yoki lalu mencari pinjaman pada sanak saudaranya sehingga akhirnya total modal terkumpul mencapai Rp50 juta.

Awalnya, bahan baku kaus oblong diperolehnya dari Bandung. Sementara desain dibuatnya sendiri, yang awalnya hanya terbatas 10 desain saja. Menurut Yoki, upaya perkenalan produknya dilakukan dengan mengikuti Pekan Nasional KTNA di daerah Banyuasin. Upaya tersebut berhasil, produk awalnya yang menggunakan merek Palimo T-Shirt ini ternyata diminati pengunjung Pekan Nasional KTNA.

Bisnis kaus oblongnya makin melejit ketika dipublikasikan media cetak lokal. Tawaran mulai berdatangan untuk mengisi sejumlah toko di Palembang. “Nah, mulai dari sinilah saya putuskan untuk lebih berkonsentrasi menjual kaus oblong khas bebaso Plembangini,” katanya.

Setelah sukses dengan produk Palimo T-Shirt, Yoki kembali berinovasi membuat desain baju bergambar dengan kata-kata kelakar berbahasa Palembang dengan merek Kaus Nyenyes, yang jika diartikan kurang lebih adalah kaus bawel.

Jika dulu semua desain dikerjakannya sendiri, kini Yoki telah memiliki karyawan khusus untuk bidang ini. Selain itu, dia pun mampu menggaji karyawan untuk bidang produksi dan pemasaran.

Dia mengaku kekuatan produknya adalah kata-kata lucu atau kelakar khas Palembang yang dicetakkan di kaus oblong tersebut. Kata-kata plesetan seperti “Tekone” (baca: tekwan, makanan khas Palembang) atau “Yang Kulu-Kilir di Palembang” dan kata-kata kelakar lainnya menjadi kekhasan tersendiri dan menjadi daya tarik tak hanya bagi warga Sumatera Selatan, namun juga bagi wisatawan atau orang daerah lain yang kebetulan mengunjungi Bumi Sriwijaya ini.

Untuk satu kaus oblong Palimo TShirt, Yoki mematok harga mulai dari Rp55.000 per potong. Sementara kaus oblong merek Kaus Nyenyes Palembang dijual Rp65 ribu-Rp85 ribu per potong.

“Semua bahan baku dibeli dari Bandung. Tapi, semua tulisan di kaus menggunakan bahasa Palembang. Alhamdulillah, semua produk bebaso Palembang itu disambut baik pembeli. Untuk kaus oblong Palimo T-Shirt kini sudah bisa didapat di 10 toko di Palembang,” tuturnya.

Dalam pemasarannya, Yoki mengatakan sejauh ini dirinya mengandalkan sejumlah gerai yang tersebar di berbagai daerah di Palembang. Di tiap gerai, kata dia, setidaknya sebanyak 2.000 potong kaus oblong dengan beragam warna dan ukuran siap dijual. Karena sasaran utamanya adalah anak muda, lanjut Yoki, maka gerai di mal menjadi salah satu ujung tombak pemasarannya.

Yoki kini memiliki dua gerai yang berada di Palembang Indah Mal (PIM) dan Palembang Trade Center (PTC). Dia juga berencana untuk menambah gerai baru di salah satu mal lain di Palembang.

Menurut Yoki, usaha yang digelutinya itu cukup potensial. Karena itu, dia tak ragu untuk mengembangkannya. Yoki mengaku sudah cukup lama mendalami dunia wira usaha untuk selalu optimistis menjalankan bisnisnya. Selain pengalaman berjualan semasa kecil,Yoki pernah menekuni sejumlah usaha saat masih bersekolah di Yogyakarta.

Di kota tersebut, Yoki sempat berjualan mi di area asrama tempat tinggalnya.Dari situlah ia memperoleh pengalaman bisnis pertamanya. Dia pun pernah melanglang daerah Sulawesi menjadi penjaja pisau kupas.

Pengalaman-pengalaman itu, tegas dia, memantapkan langkahnya untuk menekuni wirausaha. Menurut Yoki, banyak lagi pemuda yang memiliki orientasi serupa dengannya. Namun, permodalan kerap menjadi kendala dalam pengembangan usaha.

Karena itu, dia berharap perbankan mau mendukung pengusaha muda seperti dirinya. Dengan demikian, diharapkan lebih banyak tercipta lapangan kerja di daerah-daerah yang dipelopori pemuda seperti dirinya. (darfian mj suprana)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)

Wendy, Penguasa Media “Mainan” yang Bukan Main-main

oleh : wiend
Boleh saja disebut mainan, tetapi tak selamanya menjadi ajang main-main. Buktinya Wendy Chandra, pria kelahiran Bandung ini justru menjadikan mainan sebagai inspirasi bisnisnya. Ia mengembangkan media game mulai dari Animonster, Cinemags dan Gamestation. Di luar itu ada juga majalah Gadget dan Kiddo serta majalah lisensi MacWorld.


Mulanya Wendy adalah pehobi game dan komik Jepang. “Tahun 1991, saya bersama teman-teman kuliah sangat menggandrungi game,” ucap Wendy sembari mengenang awalnya bersentuhan dengan bisnis yang membesarkan namanya itu.



Ketika itu ia merasakan informasi tentang game masih kurang banyak, apalagi pasokan kaset game di Bandung hampir tidak ada. “Dari situlah kami berempat mulai merintis bisnis gerai game yang bernama Vega,” kata Wendy, Sarjana Manajemen dari Universitas Parahyangan dan Master Pemasaran dari San Francisco State University, Amerika Serikat, yang memulai usaha tahun 1994. Dengan modal awal sekitar Rp 20 juta yang dibagi rata, mereka pun eksis berbisnis.



Gerai di bawah bendera PT Vegindo Tunggal Perkasa yang berlokasi di Jl. Ranggamalela ini menjual game Super Nintendo, komputer dan komik asal AS seperti DC, Marvell, sekaligus alat permainan game. Momentum berkembang diraih saat era konsol game Sony Playstation hadir di Indonesia. Saat itu CD permainan Sony Playstation sangat laris.



Sejak itu bisnis mereka membesar dengan anggota sebanyak 1.000 orang lebih. Berawal dari sinilah langkah ke bisnis media diayunkan. Guna memberikan pelayanan dan informasi terbaru seputar game, Wendy membuat sebuah buletin yang berisi daftar game, preview, walkthrough dan cheats game dengan nama Mega Game Indonesia (Megindo).



Buletin tersebut perlahan-lahan berbiak dari 8 halaman menjadi 16 halaman lalu naik lagi jadi 32 halaman, hingga akhirnya berubah nama menjadi Majalah Gamestation pada 1996 di bawah naungan PT Megindo Tunggal Sejahtera. Promosi majalah ini selanjutnya digencarkan bukan hanya menggaet komunitas, tetapi juga menawarkan ke toko game dengan lebih dulu membuat sampling, ke forum di Internet seperti KasKus dan Kafegaul. Acara pun digelar untuk membangun citra perusahaan dan majalah. Contohnya penyelenggaraan kompetisi game Winning Eleven. “Itu paling besar, di Mall Ambassador, tahun 1995. Pesertanya mencapai 1.000 orang,” katanya.



Untuk mengisi kontennya Wendy berhasil mengembangkan jaringan hingga ke pengembang game di AS. Keberhasilan membangun jaringan ini selain karena Wendy pernah bekerja di penerbit game Konami selama dua tahun selulus dari San Francisco State University, juga karena dirinya sering nongkrong di Silicon Valley, tempat berkumpulnya para penerbit game.



Wendy pun kemudian mulai membuka kantor distribusi di Jakarta karena memang 70% dari total eksemplar Majalah Gamestation beredar di Jakarta. Wendy menuturkan, kendala ketika pertama kali menghadirkan majalahnya adalah di bidang distribusi hingga ke seluruh penjuru Indonesia. Awalnya majalah ini disalurkan hanya ke toko game, lalu berkembang hingga ke agen, toko buku dan lapak penjual koran di jalan.



Kerja sama distribusi pernah pula dilakukan Megindo dengan Grup Mugi Rekso Abadi (MRA) untuk mengantisipasi kebocoran distribusi. Namun, karena masalah internal, pegawai dari MRA ditarik untuk membidani distribusi independen milik Megindo. “Lalu dengan tim yang ada, kami mencoba melakukan ekspansi dengan menerbitkan dua majalah lagi yaitu Cinemags dan Animonster,” ungkapnya.



Dalam mempromosikan Cinemags yang mengulas film terkini, Wendy bekerja sama dengan jaringan bioskop 21 untuk mengadakan nonton bareng. Bagi Animonster yang menyasar penggemar komik Jepang, Wendy mencari kerja sama dengan televisi berbayar AXN untuk program Animax dan penerbit komik di Jepang yang lantas memberikan preview produk-produknya.



Sampai sekarang, Wendi dkk. telah memiliki 6 majalah dengan tambahan Gadget dan Kiddo tahun 2000, MacWorld tahun 2004, serta menerbitkan berbagai macam buku dan komik.



Wendy mengklaim Gamestation kini oplahnya mencapai 50 ribu eksemplar, dan Cinemags 50-100 ribu eksemplar per edisi tergantung offer dan event film tertentu. Lalu berturut-turut, rata-rata penjualan Animonster sebanyak 20 ribu, Gadget 20 ribu, Kiddo 10 ribu, dan MacWorld 10 ribu eksemplar. Wendy menyebutkan, Animonster pernah memperoleh predikat dari AC Nielsen sebagai majalah yang paling banyak dibaca di segmen anak-anak.



Meski kini memiliki banyak bisnis, perjalanan Wendy tak selalu mulus. Dia bahkan pernah menelan kerugian sampai Rp 7 miliar. Musibah itu terjadi saat dirinya mengambil S-2 di AS tahun 1996 dan tampuk kepemimpinan diserahkan kepada temannya. Saat itulah terjadi kerugian yang bersumber dari distribusi dan percetakan.



Sepulang ke Indonesia tahun 2000 Wendy berbenah-benah dan mencari investor baru. Dirinya juga lantas mencopot orang-orang yang tidak kompeten. Maka, lanjut Wendy, dirinya berhasil mengembalikan arus keuangan perusahaan setelah dua tahun. Kegigihan Wendy yang kini memegang 45% saham Megindo itu selain membuahkan bisnis yang relatif mapan, juga menghasilkan sebuah gedung berlantai empat di gerai pertama Vega. “Lantai satu untuk gerai game, ini yang terbesar di Bandung, sedangkan lantai dua, tiga dan empat merupakan kantor,” kata Wendy yang bisnisnya kini diawaki 200 karyawan dengan omset sekitar Rp 5 miliar per bulan.



Charly Himawan, Direktur Produk Megindo yang teman dekat Wendy menuturkan, sosok Wendy adalah pemimpin yang kreatif. “Sering kami berbicara tentang suatu konsep yang akhirnya ternyata dapat menjadi sebuah produk bisnis,” ujarnya. Adapun Nadya Tamara, Direktur Penjualan Megindo mengklaim, oplah berbagai majalah Megindo dari tahun ke tahun meningkat 5%-10%.



Meski usahanya sudah berjalan stabil di bawah kendali para profesional, Wendy belum puas. Salah satu rencananya yang sedang berjalan yakni mengembangkan sarana pembayaran online bagi penggemar game. Selain itu, Wendy ingin menjadikan medianya sebagai majalah gratis atau freemagz. Maka, Wendy berusaha menyasar jenis media baru yaitu media digital yang sekarang memang sedang booming. “Dalam satu-dua bulan ke depan kami akan mengeluarkan satu konsep majalah baru di dunia elektronik.”


Yurivito Kris Nugroho


Eddy Dwinanto Iskandar (sumber swa online)

Wahyu Hanggono, Mantan Plasma yang Tembus Pasar Lima Benua

oleh : Dede Suryadi
Berbekal modal Rp 10 juta, Wahyu Hanggono mampu membesut ekspor mebelnya hingga ke lima benua dengan omset US$ 6 juta per tahun. Bagaimana perjalanan eksportir kelahiran Sukoharjo 23 Juli 1975 ini?

Tak terbayangkan sebelumnya oleh Wahyu Hanggono, bisnis mebel yang dirintisnya bisa sebesar sekarang, dan mampu menembus pasar luar negeri di lima benua: Amerika Serikat, Eropa, Afrika, Australia dan Asia. Di bawah bendera PT Aqsa International sebagai induk perusahaan, Wahyu mempekerjakan ribuan pekerja dengan konsep inti plasma. Bahkan, Aqsa menjadi salah satu perusahaan yang memiliki pekerja plasma terbesar di Solo dan Sukoharjo, Jawa Tengah. Kini, Aqsa akan membangun pabrik barunya seluas 4,7 hektare di kawasan Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah dengan konsep ramah lingkungan (green).

Tahun 1999 merupakan awal ia membangun bisnisnya. Berbekal modal Rp 10 juta hasil pinjaman orang tuanya, Wahyu mencoba peruntungan dengan membuat bisnis mebel di rumah orang tuanya. Ditemani dua pekerjanya, ia mulai mendesain produk mebel untuk memasok perusahaan inti plasma. “Saat itu, saya adalah plasmanya Pak Joko Widodo, Wali Kota Solo saat ini,” katanya mengenang.

Ketertarikan berbisnis furnitur timbul semasa ia masih mahasiswa di Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. “Saya melihat teman yang berbinis furnitur. Kayaknya enak dapat penghasilan,” ungkapnya. Dari situ, ia pun tertantang untuk meniru temannya. Berbekal kemampuan mendesain, Wahyu mulai merintis bisnisnya dari nol.

Kendati hanya seorang plasma kecil, tak menyurutkannya untuk mencari peluang bisnis. Maka, ia pun mulai ikut sejumlah pameran yang diselenggarakan Departemen Perdagangan di daerahnya. Nah, tahun 2000 ia memberanikan diri mengekspor produknya ke luar negeri. Produk mebel yang diekspor adalah mebel tradisional nan antik. Makanya, saat itu ia membuat perusahaan bernama Indonesia Antique yang hingga sekarang masih eksis.

Jumlah ekspor pertamanya satu-dua kontainer. Keuntungan pun mulai dipetik Wahyu, apalagi ketika itu nilai dolar sedang tinggi. Sejak itulah perusahaannya makin rajin menggelar pameran dan selalu diikutsertakan oleh Departemen Perdagangan. Wahyu pun memindahkan pabriknya ke daerah Luwang Sukoharjo yang berdiri di atas lahan 1.500 m2.

Mencicipi manisnya keuntungan saat baru lulus kuliah membuat Wahyu terlena dan merasa puas. Efeknya, kontrol kualitas terhadap pekerja plasmanya makin kendur, dan jadwal ekspor pun tak bisa tepat waktu. Para pelanggan di luar negeri komplain, sehingga membuat bisnis Wahyu limbung. “Perusahaan saya saat itu hampir bangkrut karena saya sudah mulai nyaman,” katanya sambil menceritakan kala itu banyak karyawannya yang di-PHK-kan dan bisnisnya mulai kedodoran. “Rasa nyaman harus saya waspadai sekarang karena akan menghancurkan bisnis,” ujarnya seperti menasihati dirinya sendiri.

Untunglah, tahun 2004 ketika dirinya menikah, bisnisnya mulai bangkit lagi. “Kata orang, menikah bisa memberi keberuntungan,” ucapnya sambil terbahak. Memang, sejak dirinya menikah, bisnisnya tertata kembali. Pelanggannya di luar negeri makin bertambah. “Tahun 2004, kami mampu mengekspor 25 kontainer per bulan. Saat itu bisnis kami mengalami booming,” ujarnya bersyukur.

Pabriknya yang ditempati di Sukoharjo juga semakin luas, dari awalnya 1.500 m2 kini mencapai 1,4 ha. Pabrik ini sekaligus menjadi kantor Grup Aqsa. Di pabariknya ini, pihaknya menampung 50 kelompok plasma yang memiliki sejumlah pekerja yang kalau ditotal mencapai ribuan. Ini belum termasuk 100 karyawan kantornya dan 400 pekerja di bagian finishing.

Andi Kurniyawan, Analis Finansial PT Aqsa International, mengatakan, Wahyu sangat gigih membangun bisnisnya dari bawah. Bosnya itu bukan keturunan pengusaha karena ayahnya, Djowo Semitoatmodjo, adalah pegawai negeri. “Berkat kegigihan Pak Wahyu, Aqsa bisa sebesar sekarang dan pasar produknya ada di lima benua,” katanya memuji.

Memang, jumlah ekspor Aqsa terus meningkat dan sekarang menjadi 25 kontainer per bulan atau senilai US$ 6 juta per tahun. Merek produknya, Aqsa Living, juga makin berkibar di lima benua: AS, Eropa (Prancis, Polandia, Italia, Belanda, Jerman), Asia (Korea), Australia dan Afrika. “Ekspor paling banyak ke AS dan Eropa, masing-masing 35% dari total ekspor Aqsa,” Wahyu menjelaskan.

Menurutnya, ada tiga jenis pelanggannya di luar negeri. Pertama, pasar proyek. Di segmen ini, Wahyu membidik pengembang properti, seperti hotel, apartemen dengan pesanan yang customized. Kedua, chain store seperti Tier 1, hypermarket di AS yang memiliki jariangan 1.200 toko. Ketiga, wholeseller yang membeli mebel dari Aqsa untuk dijual kembali ke pelanggan di negara masing-masing.

Agar produknya terus diminati pasar di setiap negara tujuan ekspor, Wahyu sangat menekankan sisi desain produk. Soal desain, Wahyu memang sangat serius. Bahkan, untuk memperoleh desain yang bagus, perusahaannya setiap tahun membuat sayembara desain mebel dengan hadiah ribuan dolar. Menurutnya, kondisi bisnis mebel di Indonesia menurun karena salah satunya masalah desain yang tidak mengikuti tren pasar. “Soal desain memang kelemahan produk mebel di negeri ini,” katanya. Padahal, dari pengalamannya menyelenggarakan sayembara desain, lanjut Wahyu, sejatinya sangat banyak desainer lokal yang karyanya mampu bersaing dan digemari pasar ekspor.

Selain sering menyelenggarakan sayembara desain, survei pasar pun sering dilakukan. Salah satu caranya dengan rajin mengunjungi pameran furnitur tingkat internasional. “Minimum setahun dua kali kami melakukan survei pasar,” ujarnya. Dengan cara itulah, produk Aqsa tetap digemari dan laku di pasar luar negeri. Apalagi, pasar luar negeri merupakan satu-satunya bidikan produknya karena ia belum memasarkan produknya di dalam negeri.

Saat ini, Aqsa berencana mengembangkan pasar yang lebih besar, terutama pasar AS yang ekonominya mulai tumbuh. Wahyu tengah mempersiapkan untuk membangun pabriknya yang lebih luas, modern dan terpadu di Kalijambe, Sragen, Ja-Teng seluas 4,7 ha. Pabrik baru berwawasan ramah lingkungan itu dibangun di kawasan sentra industri mebel Kalijambe yang total luasnya 24 ha. “Akhir tahun ini atau paling lambat awal 2011 pabrik tersebut akan dibangun,” kata Wahyu memberi bocoran. Modal yang digelontorkan untuk membangun pabrik barunya itu sekitar Rp 80 miliar.

Lagi-lagi, untuk membangun pabriknya di Kalijambe dengan konsep green itu, ia menyelenggarakan sayembara desain. “Pemenangnya adalah konsultan dari Bandung yang pemiliknya lama bekerja di Jepang,” ia menginformasikan.

Tujuan dibangunnya pabrik Kalijambe untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi mebelnya. Dengan adanya pabrik baru itu kualitas produk dan kualitas kerja para plasmanya akan lebih terukur. “Di pabrik baru ini akan dipekerjakan 25 kelompok plasma,” ujarnya. Memang, kendala lainnya dari para perajin mebel atau kelompok plasma di daerahnya adalah masalah perilaku, yaitu waktu bekerja tak terarah, kualitas dan keterampilan tak berkembang. Kadang pula membuat mebel semaunya sendiri tanpa terukur waktu dan kualitas produknya.

Maka, di pabrik Kalijambe itu hendak disediakan tempat bekerja yang memadai bagi para plasma: mulai dari kenyamanan tempat bekerja, permesinan yang modern dan pelatihan cara membuat mebel yang standar ekspor. Selain itu, dengan ditempatkan dalam satu lokasi yang terpadu, masalah jarak para plasma akan teratasi sehingga pengiriman produk ke luar negeri bisa lebih tepat waktu. “Problem-problem yang selama ini kami alami akan teratasi dengan adanya pabrik baru kami di Kalijambe,” kata wahyu berharap. Nilai ekspor pun ditargetkan meningkat menjadi 50 kontainer per bulan.

Pabrik di Kalijambe, selain untuk mengatasi masalah kerja plasma selama ini, digunakan pula sebagai tempat magang siswa di sekitar lokasi pabrik. Juga akan dibangun tempat berkumpul para desainer mebel agar makin kreatif.

Nantinya, diharapkan para plasma binaan Aqsa yang sudah mapan, bisa membangun sendiri bisnisnya dan menjadi usaha inti untuk menampung para plasma lainnya. “Mereka bisa mandiri dengan keterampilan yang sudah standar ekspor. Itu harapan saya ke depan,” katanya serius.

Wali Kota Solo, Joko Widodo, menyambut baik rencana Wahyu membangun pabrik di Kalijambe dengan konsep green dan sejumlah rencana ke depan. “Ia punya visi ke depan dengan pabrik barunya itu,” ujar Joko. Dan bagi Joko pun, Wahyu adalah mantan plasmanya dulu. “Pengusaha seperti Wahyu ini haruslah didukung agar makin berkembang dan mampu menyerap banyak tenaga kerja,” katanya memberi semangat.

Dengan bisnisnya semakin berkembang, Wahyu yang membuat induk perusahaannya PT Aqsa International sejak 2009 ini hendak melakukan ekstensifikasi bisnis dengan membidik pasar dalam negeri melalui anak perusahaan bernama Qabana. “Sementara Indonesia Antique tetap berjalan dan sekarang di bawah PT Aqsa International,” katanya.

Di bawah Qabana, Wahyu akan membangun toko mebel one stop shopping. Nantinya, setiap pelanggan yang datang ke tokonya bisa membeli segala kebutuhan mebel rumahnya. “Pelanggan tinggal membawa desain rumahnya, kami akan memberi masukan tentang furnitur yang sesuai dengan desain rumah pelanggan,” ujarnya sambil memimpikan tokonya bisa seperti jaringan Index yang berada di beberapa tempat. “Pasar dalam negeri sangat menarik digarap karena selama ini produk kami 100% diekspor.”

Tak hanya itu, Wahyu juga punya obesi dalam lima tahun ke depan, perusahaannya bisa go public dan listing di bursa supaya bisnisnya makin berkembang.


BOKS:Liku-liku Wahyu Hanggono Membangun Bisnis


= Tahun 1999 mulai membangun bisnis dengan modal Rp 10 juta hasil pinjaman orang tuanya. Ia memasok ke perusahaan furnitur milik Joko Widodo (sekarang Wali Kota Solo).

= Tahun 2000, mulai mengekspor produknya ke luar negeri. Pabrik dipindahkan ke daerah Luwang Sukoharjo, di atas lahan 1.500 m2.

= Tahun 2002-2003, perusahaan hampir bangkrut karena sudah merasa nyaman.

= Tahun 2004, bisnisnya bangkit lagi.
= Tahun 2010 akan membangun pabrik baru di Kalijambe Sragen seluas 4,7 ha dengan investasi Rp 80 miliar.

= Ke depan, akan membangun toko mebel seperti Index untuk membidik pasar dalam negeri dan berencana go public. (sumber swa online)

Usia 21 Tahun, Gaji Vicky Sudah Rp7,5 Juta

Meski masih menginjak usia 21 tahun, Vicky Kustri Hariyanto mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp7,5 juta per bulan. Siapa sangka uang tersebut merupakan hasil bisnis kecil-kecilan.

Usaha yang digelutinya tak lain adalah usaha pulsa telepon, jualan air serta isi ulang air galon, dan warung telepon (wartel).

Vicky, sapaan akrabnya, memulai usaha ini pada 2003. Kala itu teman-temannya tengah asyik berkumpul di mal atau adu tanding game Play Station, Vicky justru sibuk menata usahanya. Maklum, meski masih duduki di bangku SMU kelas 2, dia sudah bergelut nasib.

Saat merintis usahanya, dia mengaku hanya coba-coba dan mengisi waktu luang. Iklan di koran yang berisi ajakan berbisnis, mampu memancing hatinya. Kemudian, Vicky yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa Semester VII jurusan sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini, mengumpulkan modal senilai Rp500 ribu. Dengan dana minim itulah dia mengembangkan air galon serta isi ulangnya.

Usai meraup untung dari penjualan itu, Vicky memutar untungnya menjadi modal dengan membuka wartel (warung telekomunikasi) dan menjual pulsa di tahun yang sama.

"Daripada pulang sekolah hanya main atau tidak ada tujuan, mau menjalankan kegiatan apa? Lebih baik isi waktu dengan membuka usaha," ceritanya kepada okezone.

Predikat sebagai anak sekolah atau mahasiswa tidak menjadi hambatan dalam berwirausaha. Waktu bersekolah, bercengkrama dengan teman sebaya pun masih bisa dilakoninya.

Dalam menjalankan usaha ini, Vicky masih mengandalkan bantuan keluarga. Sebanyak enam tenaga kerja berasal dari anggota keluarga. "Saya bagi waktu dengan orangtua dan kakak," ujar putra dari pasangan Noorhadi dan Koesmeirina ini.

Oleh karena itu, Vicky membuka toko di rumahnya dengan nama toko Wahyu Morocel di Jalan S Batanghari No 29 Gandekan Tengen, Solo.

Kisah unik pun mengalir. Dia mengakui, tokonya seringkali tutup lantaran seluruh anggotanya pergi. Terkadang, jika dia dan saudaranya pergi, para pelanggan harus sabar menunggu kiriman pulsa elektrik karena orangtuanya tidak mengerti cara menransaksikannya.

Untungnya, kondisi tersebut tidak membuatnya kehilangan pelanggan. Buktinya, omzet Rp250 ribu per hari bisa mengalir ke sakunya. Pelangan pun berdatangan dari wilayah Solo dan sekitarnya.

Meski relatif kecil, namun hasil yang menjanjikan ini terus dikembangkannya. Dia merencanakan untuk memperbanyak jumlah karyawan dan merapihkan sistem administrasi usahanya. "Ada harapan untuk memperluas usaha dengan menambah jumlah karyawan," harapnya.

Lima tahun menjalakan usaha ini, anak ke tiga dari empat bersaudara ini berhasil memperoleh penghargaan sebagai 12 terbaik Wirausaha Muda Mandiri 2007 kategori mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI).

Walau menjanjikan, namun dia tetap bercita-cita untuk bekerja kantoran. "Saya bercita-cita untuk menjadi wiraswasta dan karyawan tetap," ungkapnya.

(//rhs) (sumber okezone.com)

Usaha Kecil Seni Ukir yang Beromzet Puluhan Juta

NATA Nasarudin, 37, pria asal Jepara, Jawa Tengah, mengaku tidak memerlukan modal besar untuk menjadi seorang pengusaha kecil yang cukup sukses di Ibu Kota.

Bermodal keahlian dalam seni ukir mengantarkan Nata bukan hanya untuk bertahan hidup di kota besar, tapi juga menghidupi orang lain dengan keuntungan yang diperolehnya.

Nata menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta sekira tahun 1993. Lulusan sebuah SMK bidang seni ukir di Jepara ini mulai bekerja di daerah Bogor sebagai seorang desain interior. Namun, dia merasa ruang lingkup pekerjaannya tidak cocok dan membuatnya terbatas dalam berkreasi.

Selain itu, imbalan yang diterimanya juga dirasa sangat minim. “Waktu itu saya kerjanya hanya menggambar untuk interior dan dibayar cuma Rp400 ribu per bulan,” ucap Nata saat ditemui di galerinya beberapa waktu lalu.

Berbekal ilmu dan pengetahuannya di bidang seni ukir dan patung, Nata mencoba peruntungan di kerasnya Ibu Kota. Berbekal keahliannya, Nata mencoba peruntungan sebagai pekerja seni di sebuah galeri di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Nata menceritakan, berprofesi sebagai pekerja seni memang terlihat lebih santai.

“Kerja di bidang seni memang menghasilkan untung yang besar, tapi tidak bisa dipastikan karena keinginannya hanya untuk berkarya,” kata Nata.

Bahkan, dia bisa meraup keuntungan puluhan juta dari hasil karya seni yang dihasilkannya. Nata pernah satu ketika meraup keuntungan hingga Rp10 juta dari hasil karyanya yang dibeli pecinta seni di kawasan Ancol.

Dia menyadari, dengan kondisi saat ini, tidak realistis jika dirinya bertahan sebagai pekerja seni yang hanya mengandalkan orangorang yang menggemari karya seni untuk mendatangkan keuntungan baginya. Dia pun hanya tujuh bulan menekuni profesi pekerja seni di Pasar Festival Ancol.

Namun, keinginannya yang kuat untuk tetap mengandalkan seni ukir sebagai basis mendatangkan keuntungan disambut seorang konsultan yang memiliki modal cukup besar. “Tahun 1996 saya diberi kepercayaan mengelola sebuah galeri seni di kawasan Ragunan dengan modal dari seorang konsultan. Saya diminta mengelola galeri sambil menghasilkan karya seni yang bisa dijual di sana,” katanya.

Tetapi, di galeri tersebut dia hanya bekerja empat bulan. Nata mengundurkan diri setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Tapi, kejadian itu bukan lantaran tindakannya yang tidak disenangi oleh pemilik galeri.

“Kejadian itu karena teman saya sesama pekerja seni dulu waktu di Ancol. Jadi, saya memilih mengundurkan diri,” kenangnya.

Galeri furnitur berukuran tidak lebih dari 200 meter persegi yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Kota Tangerang Selatan, menjadi saksi sekaligus tonggak awal perjuangan Nata. Sekira tahun 1997–1998, Nata mulai merintis usahanya sendiri yang didasarkan atas hobi dan keahliannya di bidang seni ukir.

Dia memilih usaha bidang produksi furnitur lantaran tidak jauh berbeda dengan hobinya di bidang seni ukir. Disinggung mengenai modal awal mendirikan usaha furniturnya, Nata hanya tersenyum. “Modal saya hanya keahlian. Tanpa keahlian, modal sebesar apa pun tidak akan bisa,” ujarnya singkat.

Tapi, dia menyebutkan harus merogoh uang sekira Rp8 juta untuk mengontrak sebuah rumah di Jalan Siliwangi itu yang akan dipergunakan untuk merintis usahanya. Uang tersebut dikumpulkan dari hasil bekerja sebagai pekerja seni di Ancol.

“Kalau usaha furnitur, begitu ada pesanan, uangnya langsung cepat dicairkan. Kalau sebagai pekerja seni, justru kebalikannya,” katanya sambil tertawa.

Nata menuturkan, kurun waktu tahun 1999–2004 merupakan tahun keemasan bagi usaha yang dirintisnya. Alasannya, pada kurun waktu lima tahun tersebut banyak orderan furnitur menghampiri usahanya. “Banyak keuntungan yang bisa didapat saat itu. Justru saat krisis moneter banyak orang asing yang pesan dan harga jualnya bisa mendatangkan untung 50 persen,” ujarnya.

Saat itu, lanjut dia, hanya dengan modal kecil, dia bisa meraup keuntungan yang besar. Dengan bahan baku hanya Rp75 ribu, Nata bisa menjual barang furniturnya seharga Rp350 ribu. Bahkan, pernah suatu ketika Nata mengerjakan proyek dalam jumlah besar senilai lebih dari Rp60 juta. Dari sana dia bisa meraup keuntungan di atas Rp10 juta. Dia juga menyadari, usaha furnitur yang dijalaninya tidak selalu mulus.

Sebab, saat ini banyak pengusaha furnitur dengan kualitas yang sama namun lebih berhasil. Nata menyadari, dengan banyaknya pengusaha yang bergerak di bidang yang sama, persaingan semakin ketat. Bahkan, banyak pula pengusaha furnitur yang sudah go internasional.

Ketika disinggung mengenai rencana jangka panjangnya, Nata belum terpikir untuk mengekspor barang-barang furnitur yang diproduksinya. “Banyak yang ekspor tapi tanpa perhitungan. Hasilnya, dengan perjalanan yang panjang, banyak produk yang justru rusak dan akhirnya jadi gulung tikar,” paparnya.

Kini pengusaha muda beromzet puluhan juta ini tetap mengedepankan kemampuannya dalam bidang seni ukir demi melanjutkan usahanya. Nata menuturkan, meski usahanya mengalami kondisi pasang surut, dengan keyakinan yang kuat, dia mampu bertahan di tengah gelombang pengusaha furnitur yang berskala lebih besar. Nata mengaku, kecintaannya terhadap dunia seni, sesungguhnya bisa menghantarkan dia ke Bali.

Sebab, di sana karya seni sangat bernilai tinggi dan banyak diburu. Tentunya, hal itu berbanding lurus dengan keuntungan yang cukup besar. Namun, dia berpikir tidak perlu ke Bali untuk tetap mempertahankan kecintaannya terhadap karya seni.

“Asalkan kita punya niat besar, kemampuan kita bisa dikembangkan untuk tetap menghasilkan keuntungan,” kata pria rendah hati ini.

Kini, dia memiliki tiga galeri yang berada tidak terlalu jauh dari galeri pertamanya. Dia galeri tersebut kini dikelola oleh adik-adiknya yang sebelumnya ikut berjuang bersama dia membesarkan usaha furnitur yang dirintisnya. Sekali lagi, karya seni menghasilkan keuntungan bagi Nata.(Wisnoe Moerti/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)

The Power of 'Kepepet' ala Henky Eko

Andina Meryani - Okezone

JAKARTA - Sikap pantang menyerah menjadi modal sekaligus prinsip yang dianut oleh Henky Eko Sriyantono sang insinyur teknik sipil. Uniknya, dia justru sukses bukan karena gelar pendidikannya, namun karena membuka warung Bakso Malang 'Cak Eko'. Kini, gerainya menggurita di 101 titik yang tersebar di Tanah Air.

Sebelum memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis, dia pun sempat bekerja sebagai kontraktor. Namun dengan semangat dan mimpinya untuk bisa membuka bisnis sendiri dan membuka lapangan kerja bagi orang lain, membuatnya mantap untuk menggeluti dunia ini.

Sebelum sukses di bisnis Bakso Malang, ia sudah mengalami jatuh bangun dunia usaha dengan menekuni 11 jenis usaha sejak 1997 mulai dari multi level marketing (MLM) hingga agro bisnis. Namun, kegagalan demi kegagalan tidak pernah membuat Cak Eko trauma untuk memulai suatu bisnis, justru ia semakin optimistis.

"The power of 'kepepet' yang membuat saya tidak berhenti berusaha," ujarnya ketika ditemui okezone dalam pameran  International Franchise, License & Business Concept Expo & Conference (IFRA) 2009, di JCC, Senayan, Jakarta, belum lama ini.

Inspirasi itu pun datang ketika dia melihat sebuah kedai bakso yang ramai pengunjung di Bandara Soekarno Hatta pada awal 2006 lalu. Dari situlah ia membulatkan tekadnya untuk membuka sebuah warung Bakso Malang, khas Jawa Timur, yang tak lain adalah daerah asalnya. Bahkan dia pun harus sampai berguru meracik Bakso Malang hingga Surabaya untuk mendapat rasa komposisi yang pas.

Kenikmatan resep tidak serta merta dia membuka warung. Selama tiga bulan dia mencoba mengamati pasar dan juga mengujicobakan resepnya kepada teman-temannya. Dengan dorongan teman-temannya dan bermodal Rp2,5 juta, dia pun akhirnya berhasil membuka warung Bakso Malang pertamanya di sebuah foodcourt di Bekasi pada Maret 2006.

Tak menunggu lama, tujuh bulan setelah warung bakso pertamanya buka di Bekasi, keuntungan yang diperolehnya dipakai untuk membuka gerai kedua di Tamini Square pada Oktober 2006 lalu.

Adapun ide untuk mewaralabakan warung baksonya berawal ketika terinspirasi untuk menulis pengalamannya ke sepuluh media massa untuk mendapatkan mitra yang bisa memajukan usahanya. Usahanya pun membuahkan hasil, dengan banyaknya respons surat yang datang untuk menawarkan kerja sama.

Usahanya pun membuahkan hasil, hingga kini gerai baksonya sudah menjadi salah Waralaba berprospektif dan meraih berbagai penghargaan. Selain diwaralabakan, ia pun memiliki 4 gerai pribadi yang terletak di Bekasi, Tamini Square, Surabaya, dan Sidoarjo.

Dia mengakui bahwa persaingan ketat di bisnis Bakso Malang, namun dibandingkan dengan warung bakso sejenis dia memaparkan bahwa keunggulan baksonya terletak di dalam bumbunya yang dikemasnya secara instan seperti bumbu mie instan, namun bumbu tersebut tetaplah hasil racikan rahasianya.

Selain itu berbagai variasi menu berhasil dikembangkannya sehingga pelanggan semakin bertambah. Diakuinya omzet rata-rata gerainya setiap hari berkisar Rp5 - 15 juta per gerai. Bisa dibayangkan berapa omzetnya per bulan dengan 101 gerai miliknya saat ini.

Anda tertarik mengikuti jejak Cak Eko, kenapa tidak dicoba?(rhs) (sumber okezone.com)

Thamrin Survive Karena Bisnis Mainan Kayu

Nuria - Okezone

Derasnya impor produk mainan tidak menghalangi Thamrin untuk menjalankan usahanya, yakni menjual mainan berbahan baku kayu.

Thamrin memulai usahanya baru lima bulan lalu. Sebelumnya, pria kelahiran Mei 33 tahun silam ini adalah seorang karyawan swasta di perusahaan elektronik. Dia sangat menikmati karirnya ini apalagi ditunjang dengan gaji dan fasilitas memadai.

Karena ada suatu peraturan yang mengharuskannya keluar, terpaksa Thamrin berhenti dari pekerjaannya. Dia mulai berpikir usaha apa yang berpotensi tinggi.

Untunglah, Thamrin memiliki sejumlah teman yang menggeluti profesi perajin mainan kayu. "Saya berpikir usaha mainan kayu bagus jika dikembangkan. Mulailah saya belajar, lalu saya modifikasi produk itu," katanya saat berbincang dengang okezone, Minggu (15/6/2008).

Sekitar dua bulan lalu, dia memasarkan produknya melalui situs www.mainankayu.com. Menurutnya, pemasaran melalui situs relatif mudah. Thamrin juga membuka gerai di pusat perbelanjaan dan penjualan mainan di Jakarta.

Saat ini total nilai penjualan mencapai Rp15 juta per bulan. Di musim liburan sekolah, potensi penjualan akan mencapai Rp20 juta.

Thamrin menilai potensi penjualan produk ini sangat bagus. Dia yakin produknya tidak akan tergerus dengan produk mainan asal China. Pasalnya, konsumen telah mengerti tentang kualitas produk.

"Mainan impor banyak yang masuk. Tapi konsumen semakin pintar. Saat membeli mereka melihat kualitas produk itu, misalnya melalui cat. Selain itu mainan anak-anak apalagi dari China, memiliki zat kimia berbahaya bagi anak-anak. Jadi konsumen lebih memilih buatan lokal," ungkapnya.

Dalam menjalankan usahanya ini, Thamrin dibantu oleh tiga karyawan. Karena jenis usahanya bersifat UMKM, dia masih meminta delapan temannya dalam memproduksi produknya. Sistem yang diterapkan adalah bagi hasil.

Saat ini, Thamrin tengah menciptakan produk yang berkualitas tinggi namun harga jualnya murah. Dia menyadari membeli mainan bukan kebutuhan primer di tengah kondisi perekonomian saat ini. Namun, banyak orangtua yang masih menyisakan uang untuk membeli mainan.

"Sekarang ini dengan modal Rp13 ribu, harga jualnya bisa mencapai Rp25 ribu. Untuk kalangan ekonomi ke bawah akan berat. Saya sedang mencoba membuat mainan yang juga bisa dijangkau masyrakat menengah ke bawah. Misalnya, bahan puzzle bisa dari kertas, yang penting pemilihan warnanya bagus," katanya.

Selain itu, dia berniat membuka workshop. Karena selama ini rumah dan kantornya berada pada lokasi yang sama, yakni di Jalan Batu Ampar VII 005/005 No 30 Condet, Jakarta Timur.(rhs) (sumber okezone.com)

Terinspirasi Anak, Botol Bekas Jadi Pendulang Rezeki

Ade Hapsari Lestarini - Okezone

JAKARTA - Tak perlu mempunyai jiwa seni untuk membuat sebuah barang menjadi unik. Asal ada kemauan, apapun yang Anda pegang bisa unik bahkan bisa menghasilkan uang banyak.

Lihat saja Bob Novandy. Kesadarannya akan lingkungan membuat pria ini mengolah barang bekas menjadi barang berharga. Istilahnya, dia mendaur ulang barang tersebut menjadi sesuatu yang lebih berguna dan bisa digunakan oleh siapapun.

Awal mula dia mengembangkan bisnis daur ulang botol bekas pun cukup unik. Kalau bukan karena sang anak, mungkin hingga kini bisnisnya tak pernah ada. Sang anak yang menderita autis sejak 2003, selalu membuang sampah bekas air mineral secara sembarangan di depan mata pria yang akrab disapa Bob ini.

"Waktu itu saya masih kerja di DPR jadi sekretaris pribadi di Komisi I tahun 2003. Anak saya yang kedua autis. Dialah yang membuat saya mikir untuk melakukan tugas negara atau tugas keluarga. Setiap mengantar anak saya ke sekolah, dia selalu kabur. Nah, dia suka minum air mineral dan dibuang saja, saya ambil, ini buang sampah di depan saya, apalagi yang enggak saya lihat, ini yang bikin banjir," ceritanya kepada okezone, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lepas itu, dirinya iseng membuat sesuatu yang unik dari botol-botol bekas yang tak sengaja dikumpulkannya. Hasilnya, ternyata selain lucu juga banyak peminatnya. Dirinya bisa membuat lampion, mobil-mobilan, hingga lampu klasik. Dia menambahkan, awal pertama kali karyanya ketika berpartisipasi membuat janur yang bahannya berasal dari botol dan bambu pada saat 17 Agustusan.

"Setiap pulang kerja, akhirnya saya cari-cari botol. Jadi keasikan sendiri. Terus saya bikin-bikin sendiri dan bisa jadi lampion, lampu, ternyata makin lama makin asik. Saya bikin semuanya sendiri," tukas pria kelahiran 12 November 1955 itu.

Bob pun dalam menjalankan bisnisnya hanya bekerja sendiri. Di mana pekerjaan ini diakuinya membutuhkan ketelitian. Namun apabila sedang banyak orderan, dia akan memberdayakan anak-anak muda di sekitar lingkungannya untuk membantu.

Kesabaran, banyak berzikir, membuatnya mampu bertahan, di kala dirinya sudah tidak lagi bekerja di lingkungan DPR. Karya pertama yang dibuatnya pun berupa lafaz tulisan Allah yang dibuat dari 99 botol.

"Karya saya sekarang ada di Taman Safari ada 280 unit di Balairiung, Hotel Safari Garden ada 80 unit. Ada juga yang sudah sampai Hong Kong berupa lampion. Jadi diambil dari untuk merchandise dari Coca Cola dikirim ke Hong Kong untuk Coca Cola sana," tukas pria lulusan IISIP ini bangga.

Dia menjelaskan, untuk membuat semua karyanya tersebut tak membutuhkan modal yang besar. Sekira Rp100 ribu. Dia pun menyebut modalnya hanya butuh KGB, CIA, dan FBI. Apa itu? Ternyata Kater, Gunting, Botol (KGB), Cat, Inovasi, Apresiasi (CIA), serta Fantasi, Budaya, Indonesia (FBI).

"Modal awal paling Rp100 ribu lah, jadi itu untuk semua, kater, gunting, lem tembak. Saya cari botol ke lapak pemulung, saya beli kiloan, per kilo cuma Rp4 ribu. Jadi semua enggak dikonsep, apa yang ada di otak saya saja, semua sudah diperhitungkan, dan saya juga enggak pernah ke sekolah seni," tandasnya.

Demi ingin membagi ilmunya, dia pun membuka workshop di rumah di Jalan Jeruk Manis VI nomor 59 Jakarta Barat. Ini dilakukannya agar orang mulai sadar lingkungan, dan bisa membuat sesuatu yang bekas menjadi berharga. Dia pun tak memungkiri bila ada kendala yang menimpa bisnisnya, seperti masalah hak cipta dan kurang luasnya wadah untuk menapung apresiasinya.

"Saya butuh tempat yang lebih besar lagi, kalau perlu bikin museum, jadi bisa nampung semua. Selain itu untuk hak cipta juga mahal. Pernah saya mau ke Ditjen Haki, saya bayar Rp600 ribu per item, mahal. Jadi saya berencana mau bikin buku. Pemerintah harus mikir itu," tegasnya.

Untuk omzet, dirinya tidak bisa memastikan pemasukan yang datang per bulan. Karena semua berdasarkan pesanan dan hasilnya selalu berbeda-beda serta dari tingkat kesulitan membuat suatu karya. Sehingga, baginya ini merupakan karya seni yang tak bisa dinilai harganya.

"Lampion ini paling banyak peminatnya. Modalnya cuma Rp20 ribu kalau enggak pakai lampu dan dijual Rp100 ribu," ujarnya. (adn)
(ade) (sumber okezone.com)