oleh : Yuyun Manopol
Berkat kekerasan tekad alm. H. Awaloedin, RS Awal Bros tetap berdiri di tengah badai krismon. Kini, di tangan anaknya, Arfan Awaloedin, rumah sakit ini tak hanya hadir di Pekanbaru, tetapi juga di Batam, Bekasi, Tangerang dan Makassar. Apa rahasia keberhasilannya?
Arfan Awaloedin tak akan pernah melupakan kejadian yang hingga kini sangat membekas di ingatannya, yaitu ikhwal pendirian Rumah Sakit Awal Bros (RSAB). Putra bungsu pendiri RSAB, alm. H. Awaloedin, ini mengungkapkan, ide pendirian RSAB terlontar begitu saja dari mulut ayahnya pada saat sarapan pagi keluarga pada 1996.
“Bagaimana kalau kita bikin rumah sakit?” ujarnya mengulang ucapan sang ayah saat itu. Pertanyaan yang tak pernah diduga itu membuat mereka saling pandang dan terdiam sejenak. Hingga akhirnya Arfan memberanikan diri dan mengiyakan tantangan tersebut. “Ya sudah, kita bikin,” katanya mengenang. “Tapi, saya bilang juga waktu itu, kalau bikin, mending yang besar sekalian,” ungkap bungsu dari 12 bersaudara itu. Pertimbangannya, kalau hanya rumah sakit kecil, paling-paling cuma bisa mengobati demam, batuk dan pilek. Usulan Arfan ini disetujui kakak-kakaknya. Jadilah, Arfan diserahi tugas mempersiapkan segala sesuatu untuk pendirian RSAB.
“Sebenarnya, ini untuk menjawab ketersinggungan ayah saya,” kata Arfan. Diceritakannya, ayahnya yang notabene pebisnis sekaligus veteran rupanya tersentuh rasa nasionalismenya lantaran sering diejek karena berobat ke Singapura. Saat itu ayahnya pun menyatakan tekadnya untuk membangun rumah sakit. “Apalagi, di antara anak-anaknya ada yang jadi dokter juga,” ujar Arfan.
Melihat tanggapannya yang lugas itu, sang ayah menunjuk Arfan yang bertanggung jawab atas kelahiran bisnis baru tersebut. Sejak itu ia melakukan sejumlah persiapan mulai dari proposal hingga lobi. Sebenarnya ia sama sekali buta tentang bisnis rumah sakit. Jangankan manajemen, medical equipment pun ia tak paham. “Apalagi, waktu itu pemerintah masih melarang bisnis rumah sakit,” ujarnya. Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya. Sebaliknya, ia ingin membuktikan kepada ayahnya bahwa hal itu bisa ia wujudkan.
Awalnya, ia mengajukan pinjaman ke perbankan. Nyatanya, tak mudah mencari pinjaman karena bank-bank masih ragu memberi pinjaman karena kala itu bisnis rumah sakit tergolong masih suram. “Ya akhirnya memang dapat dari BNI. Itu pun lantaran mereka melihat bisnis Grup Awal Bros,” kata Arfan. Maklum, di Pekanbaru, bendera Awal Bros cukup berkibar. Saat itu, Awal Bros memiliki sejumlah bisnis, meliputi penyewaan mining equipment hingga SPBU dan SPBE. Chevron (dulu Caltex) dan Pertamina adalah klien utamanya. Rupanya, fondasi bisnis grup itulah yang menjadi alasan BNI memberikan pinjaman.
Maka, pada 1997 rumah sakit itu mulai dibangun. Ia beruntung karena waktu itu pemerintah merilis peraturan yang memungkinkan swasta memiliki rumah sakit di bawah payung perseroan terbatas. Meski tak bisa menjelaskan total investasi rumah sakit pertama kali, ia memastikan project cost-nya mencapai Rp 22 miliar. Namun sayang, baru beberapa bulan berjalan, datang krisis moneter. Saat itu proyek pembangunan baru berjalan 50% (belum termasuk pengadaan peralatan kesehatan). Di sisi lain, kurs dolar membubung. Padahal, semua pembelian menggunakan dolar. “Struktur pembiayaan dari bank waktu itu 70%-30%. Di sini, bank memberikan belasan miliar,” katanya.
Saat itu Arfan sempat patah arang. Terbersit keinginan untuk mundur dari rencana semula. Akhirnya, “Saya bilang ke ayah untuk berhenti dulu, karena secara bisnis tidak memungkinkan,” ujar Arfan mengenang saat-saat sulit itu. Sarannya itu dibalas dengan murka ayahnya. “Bapak bilang kalau rumah sakit ini lebih ke alasan moral. Beliau menyuruh saya untuk terus jalan,” katanya. Bukan itu saja, segala kekurangan keuangan akan ditanggung sang ayah dari uang pribadinya. Ketika Arfan mendiskusikan hal ini dengan saudara-saudaranya, mereka pun menyarankan jalan terus. “Mereka bilang, kalau orang tua ngomong, pasti ada sesuatu di situ.”
Dan benar. Penghasilan dalam dolar yang diperoleh grup menjadi sumber subsidi untuk rumah sakit. Project cost yang mestinya Rp 22 miliar dan menjadi dua kali lipat berhasil diatasi. Alhasil, pada akhir Agustus 1998 RSAB Pekanbaru berhasil diresmikan. Namun, bukan berarti kendala keuangan sudah terlewati. Bunga pinjaman mulai berjalan. Repotnya, besaran bunga melesat tajam. “Bunga deposito mencapai 60%. Akhirnya, saya ngomong ke BNI bahwa saya sanggup bayar, tetapi minta keringanan,” ujarnya. Langkah ini cukup mujarab juga. Pasalnya, kala itu banyak pengutang yang mengemplang. Alih-alih membayar bunga, pokoknya saja tidak dibayar. “Akhirnya, bunga pinjaman saya tetap 17%, sesuai dengan akad,” ujarnya. Dan, semuanya berjalan lancar hingga krismon berhasil dilewati.
Lepas dari krismon, masalah baru mulai menghadang. Di Pekanbaru, RSAB tergolong mentereng. Malah bisa dibilang mewah. Namun masalahnya, RSAB kesulitan mencari dokter. “Rumah sakit mewah, tapi tidak ada dokternya,” katanya. Malah, sekali peristiwa ada pejabat yang tidak sempat tertangani hanya gara-gara dokter sedang praktik di tempat lain. “Akhirnya, saya meminta tenaga medis dari RSCM (Jakarta),” ujar Arfan yang kala itu mengaku mendatangkan tujuh dokter spesialis. Diakuinya, pada awal lahirnya RSAB masalah sumber daya manusia, terutama tenaga dokter, merupakan masalah yang cukup serius.
Alhasil, setelah kehadiran dokter-dokter dari Jakarta ini, kualitas pelayanan meningkat drastis. Akan tetapi, masalah lain muncul lagi, yaitu meningkatnya persaingan antardokter. “Saya lupa nasib dokter-dokter daerah,” katanya. Hingga akhirnya dokter daerah berdemo. Alasannya, Arfan dianggap arogan dan melecehkan profesi dokter. Konflik ini berlangsung cukup lama. Saat itu ia mengupayakan mediasi dari Dinas Kesehatan Pekanbaru dan Ditjen Pelayanan Medis, tetapi hal ini sempat menemui jalan buntu.
Akhirnya, Arfan menerapkan sistem dokter full time. Dokter hanya bertugas di RSAB. Langkah ini dianggap cukup tepat. Meski, kenyataannya tidak benar-benar meredam. Kejadian ini menginspirasi Arfan untuk mendalami pendidikan bidang rumah sakit dan ia mengambil Jurusan Magister Adiministrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia. “Saya sekolah supaya ada harganya di hadapan dokter. Apalagi, waktu itu umur saya masih 29 tahun,” katanya. Sebagai pemimpin, ia mengaku sering dianggap remeh oleh bawahannya, terutama dokter-dokter. Hal ini membuat pria kelahiran Pekanbaru 22 Januari 1970 ini cukup sering meletup emosinya. “Suatu kali saya iseng ke luar negeri saat pembayaran professional fee. Nah, kan tidak ada yang meneken cek. Dari situ mereka tahu bahwa saya bos mereka. Dan, akhirnya mereka benar-benar menerima dokter dari RSCM,” ujarnya mengenang saat itu.
Melihat situasi lebih kondusif, baik internal maupun eksternal, Arfan mendapat tantangan baru dari ayahnya, yakni membuka cabang baru di Batam pada 2001. “Saya bilang, apa kita mau berantem dengan Singapura?” katanya. Namun, ayahnya mengatakan justru itu peluang. Misalnya, tidak mungkin orang kena serangan jantung malam-malam akan ke Singapura. Sementara, feri ke Singapura hanya sampai pukul 9 malam. Akhirnya, tahun 2001 ia mulai membuka cabang baru. Kebetulan mereka mendapat dukungan dari Ketua Otorita Batam (saat itu) Ismet Abdullah. “Beliau sangat concern pada kesehatan dan meminta ini menjadi landmark Batam,” katanya sambil menjelaskan, RSAB Batam mulai beroperasi pada 2003.
Perlahan tetapi pasti RSAB berkembang bagus. Bisnis yang rencananya hanya untuk kemanusiaan kini dijadikan divisi baru dalam grup. “Jadi, kami punya divisi kontraktor alat berat, properti dan health care,” ujar Arfan. Ia sendiri memimpin divisi health care. Sayangnya, ia enggan membeberkan geliat bisnis di divisi kontraktor dan alat berat. “Karena yang menangani orang yang berbeda,” demikian alasannya.
Menurut Arfan, ayahnya merupakan pebisnis yang berintegritas tinggi. Ayahnya tidak pernah main-main dengan integritas. Bahkan, ia mengaku sempat kena tulah (kualat) gara-gara mengesampingkan integritas. “Tahun 2002 saya sempat membuat perusahaan sendiri,” ungkapnya. Perusahaan miliknya itu bergerak di bidang yang sama dengan Awal Bros, yaitu kesehatan. Target pasarnya sama: Pertamina dan Chevron. Perusahaan pribadinya ini malah sempat mengungguli kinerja grup. “Karena, saya cukup berpengalaman di divisi itu. Makanya, saya selalu menang tender.”
Tahu kelakuan anak bungsunya, ayah Arfan tidak marah. Malah memberikan modal. “Syaratnya, saya harus keluar dari grup,” ujar Arfan. Di sinilah Arfan mulai sadar akan perbuatannya. “Saya sadar orang tidak kenal Arfan. Saya pinjam uang dari bank juga dengan nama grup, bukan Arfan. Akhirnya, saya tutup perusahaan pribadi saya itu,” ujarnya. Di mata Arfan, ayahnya adalah “buku bisnis” yang paling bagus. “Beliau memang orang daerah, tradisional. Tetapi nilai-nilai bisnis yang dikatakan dan dijalankan justru saya temukan di buku-buku bisnis terkenal. Padahal, beliau cuma lulusan Sekolah Rakyat.”
Arfan menceritakan, ayahnya membangun korporasi Awal Bros pada medio 1950-an. Saat itu bisnisnya baru meliputi supplier dan trading hasil perkebunan dan karet meskipun tidak memiliki lahan perkebunan sendiri. Awaloedin yang asli Pekanbaru juga berprofesi sebagai tentara (pejuang kemerdekaan). Naluri bisnisnya sebenarnya sudah muncul sejak ia menjadi tentara. “Beliau menyelundupkan bahan makanan dari Singapura ke Indonesia,” kata Arfan. Bahan makanan itu untuk mencukupi kebutuhan para pejuang kemerdekaan di medan tempur.
Seusai revolusi fisik, Awaloedin mulai serius berbisnis dengan mengembangkan Awal Bros. Bisnisnya pun makin berkembang. Tahun 1960-an, Awal Bros berstatus Firma. Mitra kerjanya pun bertambah. Pertamina dan Caltex (sekarang Chevron) merupakan mitra terbesarnya hingga sekarang. Awal Bros bekerja sama dengan raksasa minyak itu dalam hal pengangkutan. Selain itu, ia juga menyewakan peralatan di pertambangan. “Segala pengangkutan dan kendaraan kecil, sedang dan besar di pertambangan kami yang menyewakan.”
Diakui Arfan, tidak mudah mengharmoniskan bisnis keluarga, terutama di antara 12 anak. Untuk ini, Awaloedin punya cara sendiri. Nah, dalam grup usaha keluarganya tidak ada putra mahkota. “Ayah membiarkan anaknya saling bersaing di perusahaan,” ujarnya. Namun, persaingan itu tetap dipantau. Caranya, dengan sarapan bersama, misalnya. Rupanya, tidak hanya tak memiliki putra mahkota, anak-anaknya pun tidak punya hak kepemilikan di perusahaan. “Sampai sekarang, saya ini orang gajian. Saya merasa memiliki, tapi tidak punya saham,” ungkapnya sembari tersenyum. Hal inilah yang membuat perahu bisnis Awal Bros tetap berjalan hingga sekarang.
Menjalankan usaha rumah sakit, menurut Arfan, tidak sepenuhnya bisnis. Malah beberapa kalangan menganggap bisnis rumah sakit haram hukumnya. “Kombinasi bisinis dan hati nurani, itu yang penting,” katanya. Ia mencontohkan, tatkala ada orang terkapar, bisa saja pihaknya memberikan treatment medis sesuka hati untuk menangguk untung. “Saya lakukan CT scan atau kasih obat ini-itu, dia kan menurut saja. Nah, di sinilah sisi profesional kita diuji. Kalau tidak perlu, kenapa diberi penanganan itu semua?” katanya lagi. Ia berprinsip harus memberikan penanganan yang benar pada pasien. Sebab, dengan cara ini, kepercayaan akan timbul, dan pasien jadi banyak. Diakuinya, menjaga kepercayaan dan kepuasan konsumen menjadi senjata andalannya. Karena nyatanya, ia mengaku tidak pernah berpromosi. “Ya cuma dari mulut ke mulut. Pasien merekomendasikan ke keluarganya.”
Tahun 2006 Arfan merambah sekitar Jakarta. Untuk itu, ia bermitra dengan Yos E. Susanto mendirikan RS Global Medika di Tangerang. Dua tahun berikutnya (2008) ia meluncurkan Global Awal Bros Hospital, Bekasi. Lalu, pada 2009 ia menggandeng Erwin Aksa (Grup Bosowa) untuk menghadirkan Global Awal Bros Hospital di Makassar. Karenanya, saat ini ia memiliki lima cabang. Porsi saham antara dirinya dan Yos berbanding sama. “Saya dengan Pak Yos 50-50,” kata Arfan yang mengaku telah jatuh cinta pada bisnis health care.
Dalam hal fasilitas, RSAB memiliki beberapa layanan unggulan. Sebutlah, total knee arthroplasty, minimally invasive surgery, audiology center, USG 4 D, hemodialisis, neurophysiology, orthopaedic center dan cancer center. Di bisnis health care ini, selain RS, Awal Bros juga punya Harmonia (klinik spesialis kulit), Westerindo (laboratorium), Cikarang Medical Center, dan 24 Medicare (in-house clinic) yang diklaim telah menjangkau seluruh Indonesia. Menurut Arfan, bisnis rumah sakit adalah bisnis jangka panjang karena dalam keadaan normal bisnis ini bisa meraih breakeven point dalam 7-10 tahun. Adapun soal investasi, Arfan memberi gambaran sekitar US$ 130 ribu per tempat tidur. Tiap rumah sakit yang memiliki 300-400 karyawan ini memiliki 130-170 tempat tidur.
Erwin Aksa, salah seorang mitranya, mengaku puas berkolaborasi dengan Arfan untuk mengembangkan rumah sakit di Makassar. Alasannya, Arfan dinilai cukup mumpuni dalam peta bisnis rumah sakit. “Beliau tahu seluk-beluk dunia rumah sakit,” kata Erwin. Pengalaman mengembangkan rumah sakit dari Pekanbaru hingga Jakarta membuat Erwin yakin untuk bekerja sama.
Di mata Erwin, Arfan merupakan sosok muda yang cukup sukses. “Beliau sangat fokus mengembangkan industri kesehatan,” ujarnya. Di tengah karut-marutnya pelayanan kesehatan dari pemerintah, Arfan seperti menjadi salah satu pembuka jalan dalam pelayanan kesehatan. “Banyak orang kita yang berobat di luar negeri karena di sini layanan kesehatan kurang baik,” kata dia. Karena alasan itulah, Erwin berpendapat, pengembangan rumah sakit swasta memang perlu ditingkatkan.
Erwin yang mengaku berbagi kepemilikan 50-50 di Global Awal Bross Hospital, Makassar, menilai Arfan memiliki kepemimpinan yang bagus. Tak berbeda jauh dari kepemimpinannya di organisasi. “Pak Arfan sangat aktif di organisasi. Beliau menjunjung tinggi profesionalitas,” kata Ketua Umum Hipmi itu. Sebagai pengusaha daerah yang tumbuh dari bisnis keluarga, Arfan dinilainya juga cukup terbuka. “Dia mau membuka diri untuk ekspansi dan mengembangkan bisnisnya,” keponakan Jusuf Kalla itu menambahkan. (*)
Yuyun Manopol & Sigit A. Nugroho (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment