Sulap Batik Kuno Bekas Jadi Beromzet Ratusan Juta
Bagi kebanyakan orang, kain batik kuno bekas mungkin tidak bernilai. Namun bagi Arini Soendjojo, pemilik Rini Sari Handicraft, kain batik yang sudah kumal bisa disulap menjadi produk bernilai tinggi.
Konsumen yang menggandrungi karyanya tidak hanya masyarakat domestik, melainkan juga warga mancanegara. Kain-kain batik lawas dikemas Arini menjadi berbagai bentuk aksesori rumah, mulai dari bantal lantai, bantal kursi, seprei, gorden, hiasan dinding hingga bedcover.
Yang membedakan dengan produk sejenis lain, karyanya tidak dijual bebas di pasar, melainkan hanya kepada pembeli terbatas. Segmentasinya adalah pencinta seni dan masyarakat menengah ke atas.
Memang hasil produksi Rini Sari Handicraft tidak semuanya berasal dari kain bekas. Banyak pula produk interior yang dibuat dengan menggunakan kain batik baru berdesain modern. Namun, interior dari kain batik lawas telanjur identik dan melekat di konsumen.
Berkat usaha yang terbilang unik inilah, wanita kelahiran 9 April 1936 tersebut kini dapat memetik hasil manis. Ribuan lusin produknya setiap bulan berhasil dilepas kepada konsumen di Tanah Air dan mancanegara seperti Singapura, Inggris, dan Australia.
Omzetnya mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan, buah dari hasil kerja kerasnya, ibu dengan empat putra ini memiliki rumah cukup besar di atas tanah seluas 1.100 meter persegi di Jalan Madumurti, Bugisan, Yogyakarta dan dua workshop. Putra-putrinya juga sukses diantarkan menjadi sarjana.
Rencananya, dalam waktu dekat dia membuka workshop di sejumlah kota lain di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Melihat kesuksesan yang sekarang diraih, orang pasti akan berpikir dari mana pengalaman bisnisnya? Berdasar penuturannya, semua yang dikerjakannya dia pelajari secara autodidak meskipun dia mengaku pernah belajar di Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas/SKKA (sekarang Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan/ SMTK).
”Saya pun tidak pernah menyangka akan jadi seperti ini. Karena semua itu hanya diawali dari hobi, tidak terpikir untuk jadi ladang bisnis. Modal awalnya cuma gunting dan mesin jahit,” katanya.
Dia menceritakan, dorongan untuk berbisnis bermula dari kebutuhan hidup yang kian meningkat. Mengandalkan suami, kata dia, jelas sulit lantaran suaminya hanyalah pegawai negeri sipil (PNS) golongan rendah. Padahal, dia harus menghidupi empat anak.
”Karena dasar itulah saya mulai buat kerajinan tangan berupa sarung bantal dan sebagainya. Awalnya hanya ditawarkan ke teman-teman dekat saat arisan,” urai nenek dengan lima orang cucu ini.
Gayung bersambut, hasil karyanya mulai dipesan teman meskipun jumlahnya masih terbatas. Merasa ada ruang untuk berwirausaha, dia pun mulai serius membuka konveksi. Di usaha pertamanya ini, sedikit demi sedikit diamulai mendapatkan keuntungan. Hanya saja, perkembangan bisnisnya sangat lamban.
Lambannya bisnis konveksi yang dia jalankan akibat banyaknya pesaing dari perusahaan-perusahaan besar. Ketatnya persaingan memaksa dia memutar otak untuk beralih ke jenis usaha lain. Hingga akhirnya dia menentukan pilihan untuk fokus pada bisnis aksesori dan interior.
Sekira tahun 1991, dia membuka Rini Sari Handicraft dan membuat beberapa contoh produk. Masa merintis usaha ini tentu tidaklah mudah. Untuk bisa mengenalkan produknya, dia butuh pemasaran. Salah satu upaya yang ingin ditempuh adalah mengikuti pameran.
Sayangnya, keterbatasan dana membuat keinginan itu terganjal. Beruntung, Bank Rakyat Indonesia memberikan jalan keluar. Pengajuan kreditnya disetujui. ”Dari situlah kami mulai bisa mempromosikan produk. Pameran demi pameran kami ikuti,” ujarnya.
Dampak dari pameran yang diikuti ternyata luar biasa. Pesanan demi pesanan terus berdatangan. Terlebih saat dirinya mulai bergabung ke Pameran Kerajinan Industri Indonesia. Pembeli dari mancanegara seperti Inggris dan Australia terus berdatangan. Bahkan salah satu pembeli dari Australia sempat memesan hingga dua kontainer.
”Tapi kami sangat berhati-hati. Tidak semua pesanan luar negeri kami turuti sebelum ada pembayaran di atas 50 persen. Saya tidak mau karena terlalu berisiko,” ungkap Arini di kediamannya.
Kemajuan yang dia rasakan juga berdampak baik pada hubungan dengan perbankan. Bank BRI menyatakan siap untuk mengucurkan dana demi mendorong usahanya. Angin segar ini tentu tidak disia-siakan. Sejauh ini, setiap kerja sama, baik dengan luar negeri maupun dalam negeri, Bank BRI selalu menjadi ujung tombak permodalan.
Laju usaha yang dia miliki bukan tanpa rintangan. Era 1998, menurutnya, sebagai masa terburuk usahanya. Pesanan yang biasanya melimpah turun drastis. Kerugian besar memang tidak sampai terjadi, hanya saja keuntungan sulit didapat. Yang menjadi pegangannya ketika itu adalah seluruh karyawannya tetap bisa digaji. Kalaupun tidak ada keuntungan secara pribadi, dia tidak mempersoalkan.
Beruntung, dampak krisis ekonomi kala itu masih terkendali. Usaha yang dia rintis bertahun-tahun masih bisa diselamatkan. Bahkan, pascakrisis usahanya kembali berkembang. Dengan cepat, bisnisnya bangkit. Kuncinya, dia terus melakukan inovasi-inovasi untuk mendukung kualitas produk.
Agar konsumen tidak bosan dengan jenis-jenis produknya, Arini tidak terpatok pada motif batik tertentu. Dia sengaja mendatangkan kain batik dari berbagai kota seperti Solo dan Cirebon. Tidak hanya itu, dia juga mengumpulkan batik-batik kuno bekas pakai. ”Luar biasa, ternyata interior menggunakan batik kuno cepat diterima pasar, terutama luar negeri. Sejumlah hotel juga menyukai jenis itu,” katanya.
Berdasar penuturan sejumlah pembeli, ternyata kain batik kuno bekas lebih nyaman karena memberikan kesan klasik. Meski menggunakan kain bekas, kata dia, bukan berarti pengemasan disepelekan.
Setiap kain bekas yang diperoleh diolah kembali sedemikian rupa agar memberikan nilai seni ketika dibuat aksesori. Arini berkomitmen menjaga kualitas produk. Setiap produk dikerjakan secara cermat dengan mengedepankan estetika dan nilainilai seni.
Soal desain, seluruhnya masih dibuat sendiri. Dia belum memercayakan pembuatan desain kepada orang lain. ”Cita-cita saya, ke depan anak saya ada yang meneruskan bisnis ini. Maksimal satu tahun lagi, usaha ini harus sudah bisa saya lepas,” tutur wanita pencinta tanaman hias ini.
Kini, Arini masih terus berupaya mengembangkan bisnisnya. Dia membuat gerai-gerai di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung juga akan dilengkapi.
Salah satunya menambah jumlah armada roda empat untuk mengangkut berbagai pesanan. Dia optimistis, di tangan anaknya nanti, Rini Sari Handicraft akan berkembang.
Alasannya, potensi pasar untuk bisnis kreatif masih terbuka luas, terlebih untuk usaha-usaha yang minim pesaing. Yang terpenting, produk-produk yang dikeluarkan harus berkualitas tinggi dan mengadopsi unsur-unsur seni. ”Sepanjang terus berinovasi dan berani membuat sesuatu yang beda, kesuksesan pasti diraih,” paparnya. (arif budianto)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment