JAKARTA - Keberhasialan Nurdin Hidayat, Direktur Utama CV Planet Grafika, dalam membangun usaha kecilnya patut diacungi jempol. Bermodalkan awal uang hasil menggadaikan televisi 29 inci senilai Rp750.000, dia mampu menyulap usaha percetakan beromzet Rp150 juta per bulan.
Bahkan, aset Planet Grafika sudah mencapai lebih dari Rp2 miliar, yang terdiri dari tiga unit mobil, dua unit sepeda motor, mesin digital printing, mesin pemotong serta empat unit komputer.Perusahaan yang berlokasi di Jalan Taman Pahlawan No 113 RT 13/006 Kelurahan Purwamekar ini pun, semula hanya memiliki satu karyawan kini sudah delapan orang. Bahkan, banyak mantan karyawannya sudah membuka usaha secara mandiri.
Pangsa pasarnya pun sudah merambah ke kota-kota di luar Purwakarta, antara lain Subang, Karawang, Bandung, dan Jakarta. Pria kelahiran Surabaya 26 April 1967 lalu ini memang dikenal sebagai pekerja keras, ulet, serta selalu mengawali setiap usaha yang dirintisnya dari bawah.Begitu pula proses pengembangan usaha percetakan harus melalui proses berliku nan panjang.
Dari cerita yang diungkapkannya, awalnya tidak terpikir untuk berkiprah di dunia percetakan. Sebab, begitu mengundurkan diri pada salah satu bank swasta nasional, sekitar tahun 1996 lalu,dia masuk ke Purwakarta hanya membawa modal semangat serta tekad membaja untuk mencari peruntungan. Padahal, Purwakarta adalah kota yang asing bagi Nurdin. “Ketika itu saya tidak mengenal Purwakarta,namun berdasarkan petunjuk guru saya,harus pergi dulu dari Surabaya ke Jakarta. Setelah sampai di Jakarta harus menggunakan bus ekonomi jurusan Bandung.
Nanti,jika kondektur bilang ”Sadang…Sadang” kamu harus turun. Karena di situlah Purwakarta berada,” ujar Nurdin sembari mengenang ucapan dari guru ngajinya itu. Dirinya masih sangat menghargai guru ngajinya. Sebab, dia meyakini apapun arahannya pasti membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Begitu pun perintahnya untuk pergi ke Purwakarta.Dia yakin di kota inilah dia bakal menemukan peruntungan jiwa kewirausahaan yang dimilikinya. Pada awal kiprahnya di Purwakarta, pria beranak tiga ini mengawali usaha dengan berjualan sate maranggi di Bungur Sari. Namun sayang, usahanya itu harus berakhir pahit. Ketidaktahuannya soal peta ekonomi Purwakarta menjadi kelemahannya untuk melakukan evaluasi.
Selama dia berjualan tak pernah satu pun pelanggan mampir untuk sekedar mencicipi sajiannya. Sebab, tidak jauh dari tempat berjualan sudah lebih dahulu berdiri Sate Maranggi yang sudah memiliki nama. “Terus terang saja, saya kalah bersaing,” ujarnya. Kegagalan tersebut tidak lantas menjadi putus asa. Dengan sisa-sisa uang simpanan selama kerja di bank, dia mengubah usaha guna beralih usaha jual beli domba.
Lagi-lagi usaha barunya itu harus kembali mengalami kegagalan. Belum lagi pahit getirnya selama mengurus domba harus dia telan bulat-bulat. Bagaimana tidak, seumur hidupnya baru kali ini harus mencari rumput dan memandikan domba di sungai. Plus, kakinya mengalami luka berkali-kali karena diseruduk hewan ternaknya.
“Bergelut dalam berjualan domba sempat berlangsung lama. Ketika itu pun batin saya terus menjerit kepada Yang Maha Kuasa agar dibukakan jalan,sembari kita pun terus berusaha. Apalagi saya memiliki moto hidup yang masih dipegang kuat, yakni bila Anda bersungguh-sungguh, maka kita akan sukses,” ujarnya. Akhirnya, suatu hari di tahun 1998, dia mencoba membuat terobosan baru dengan membuka percetakan kecil-kecilan.
Sebagai modal awal, terpaksa menggadaikan televisi 29 inci seharga Rp750.000. Uang itulah kemudian dibelikan peralatan sablon manual dan memilih untuk memulai usaha di Jalan Kopi. Lokasinya pun berada di sebuah garasi kecil ukuran enam meter persegi. Dari situlah mulai terlihat perkembangan cukup menjanjikan. Dalam waktu tiga bulan sudah bisa membeli meja sablon berukuran besar untuk media membuat spanduk.
Setiap pekerjaan berupa pesanan spanduk,kartu nama, poster, serta produk-produk percetakannya dilakukan sendiri dengan dibantu seorang karyawan. Baru pada bulan ketiganya bisa memindahkan lokasi percetakan ke tempat lebih layak di Jalan Taman Pahlawan No 76. Saat itu sebuah rumah bisa disewanya dengan harga Rp1 juta/tahun.
Pesanan pun mulai mengalir deras, salah satu pesanan cukup mendongkrak reputasinya adalah dari PJT II Jatiluhur. Akhirnya pada tahun 2002, ia pindah ke tempat yang sekarang menjadi lokasi usahanya. Untuk menempati lokasi baru di Jalan Taman Pahlawan No 113 ini,Nurdin harus mengontrak rumah seharga Rp7,5 juta per tahun dengan batas waktu sampai sepuluh tahun.
Luas lahan pun lumayan besar dibanding tempat yang sebelumnya disinggahi, yakni seluas 560 meter persegi. Maka sejak saat itu, order demi order terus berdatangan. Sehingga keuntungan dari setiap pemesanan dapat menjadi tambahan modal kerja.Kemudian dia membeli mesin percetakan dengan system digitalseharga ratusan juta. Investasi ini harus dilakukan karena kunci sukses dari usaha percetakan adalah pelayanan cepat dengan hasil memuaskan.
“Pengorder itu adalah raja dan harus kita layani dengan baik. Maka persaingan secara sehat harus tetap kita lakukan dengan satu kata kunci, pelayanan cepat kepada setiap pelanggan. Makanya di CV Planet Grafika,setiap pesanan spanduk, poster, atau produk percetakan lainnya bisa ditunggu dalam waktu cepat,” ungkapnya. Ke depannya,ujar Nurdin, dia berencana membuat rumah digital di sekitar kawasan Situ Buleud.
Maksudnya, rumah ini menjadi tempat usaha percetakan dengan pola serba digital dan memaksimalkan teknologi informasi. Akan tetapi, adanya kerja serba digital bukan berarti menge-sampingkan peran manual yang dikerjakan karyawannya. Sebab, sudah dirancang melakukan diversifikasi usaha agar delapan karyawan tetap dapat terakomodasi. (Asep Supiandi)(//css) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment