Raih Rp400 Juta/Bulan dari Olahan Ketela
Sebagai wirausahawan muda, Firmansyah Budi Prasetyo, 29, tergolong pandai memanfaatkan peluang. Idealismenya mengangkat produk bahan makanan singkong berhasil menjadikannya seorang entrepreneuryang cukup sukses.
Berlatar belakang keinginan mengembangkan komoditas lokal Yogyakarta, dia mendirikan bisnis pengolahan aneka kue berbahan singkong atau dalam bahasa Jawa tela.
Meski baru setahun, usaha kue singkong yang diberi merek Cokro Tela Cake itu kini makin moncer dengan empat buah gerai dan1.000 franchise yang tersebar di Yogyakarta.
”Ide berbisnis ini awalnya saat saya bergabung dalam LSM (lembaga swadaya masyarakat) commodity development. Dari situ saya banyak belajar tentang komoditas Indonesia. Ternyata Indonesia termasuk dalam negara kaya,” ujar Firmansyah di Yogyakarta belum lama ini.
Sejak saat itu, dia lalu berpikir apakah ada yang salah dengan negara ini? Menurut dia, banyaknya pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri menandakan kurangnya lapangan pekerjaan di Tanah Air.
Padahal jumlah penduduk Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Ini menurutnya karena dari sekira 230 juta penduduk Indonesia, hanya ada sekira 0,18 persen yang termasuk entrepreneur.
Dia berpendapat, jika ingin menyeimbangkan antara angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan, entrepreneur di Indonesia minimal berjumlah dua persen atau 12 kali lipatnya.
”Hal inilah yang akhirnya membuat saya memutuskan menjalani hidup sebagai wirausahawan,” ungkap Direktur Utama CV Cipta Mandiri Kreasindo, perusahaan yang dikelolanya itu. Menurut pria lajang ini, menjadikan entrepreneur sebagai jalan hidup di zaman sekarang sangatlah mudah.
Adanya dukungan penuh teknologi bisa membuat kepentingan seorang entrepreneur terpenuhi dengan baik. Dia menambahkan, menjadi entrepreneur bukan pertimbangan konyol karena saat ini teknologi informasi mulai dari handphone hingga internet mampu mempermudah pekerjaannya sebagai seorang wirausahawan. ”Akses informasi kini lebih mudah dan hubungan dengan media pun tak sesulit zaman dulu,” katanya.
Adapun pemilihan singkong sebagai komoditas lokal yang diangkatnya berawal dari keinginannya menumbuhkan kebanggaan dan harga diri bangsa. Bahkan, dia mengaku sedikit kesal dengan kebijakan pemerintah mengimpor bahan baku karbohidrat seperti beras dan gandum. Padahal, Indonesia kaya akan umbi-umbian, termasuk singkong yang notabene berkarbohidrat tinggi.
”Saya terkadang sedih melihat negara kita yang kaya tapi kelaparan, sampai harus mengimpor bahan pangan. Di Yogyakarta saja masih banyak yang mengalami busung lapar. Untuk itu kita wajib menciptakan kemandirian pangan dengan mengangkat produk bahan baku lokal,” ucap Firman, panggilan akrab Firmansyah.
Diangkatnya konsep oleh-oleh khas Yogyakarta dengan memberdayakan produk bahan baku tradisional seperti ketela karena Firman ingin mengangkat makanan ”kampung” itu naik kelas.
Dia ingin makanan singkong tidak dianggap sebelah mata setelah diolah menjadi kue beraneka rasa. ”Saya ingin menambah nilai dari singkong agar mind set masyarakat terhadap makanan ini bisa berubah.
Caranya saya terus melakukan inovasi supaya tela lebih berharga menjadi sebuah kudapan yang tidak hanya enak, tapi juga mengandung gizi tinggi,” papar pria kelahiran Semarang ini.
Menurut Firman, yang membuat singkong terkenal sebagai makanan ”kampung” adalah hasil propaganda di zaman penjajahan Belanda dulu. Hal itu telah berlangsung lama sampai-sampai muncul istilah ”singkong dan keju”.
Padahal dari segi gizi, singkong kaya akan vitamin A dan C. Selain itu, kandungan seratnya juga lebih tinggi dan karbohidrat kompleksnya lebih mudah diserap tubuh dibandingkan gandum. ”Singkong cocok untuk penderita diabetes,” katanya.
Firman menambahkan, konsep usaha Cokro Tela Cake ini sebenarnya ingin agar potensi singkong di Yogyakarta yang luar biasa besar bisa lebih bermanfaat. Dia menyebut Gunungkidul sebagai salah satu wilayah penghasil singkong terbesar di Pulau Jawa.
Sementara untuk pasarnya dia memanfaatkan warga Yogyakarta sendiri yang sudah terbiasa dengan makanan dari singkong. ”Saya melihat singkong bisa menjadi potensi ekonomi besar di Yogyakarta. Hal ini ditunjang dengan Yogyakarta sebagai kota pariwisata sehingga banyak pengunjung luar yang datang. Saya ingin singkong bisa terus ada menjadi makanan lokal Yogyakarta,” imbuh lulusan Fakultas Hukum UGM berpredikat cumlaude itu.
Di samping itu, Firman mengaku, sebenarnya kue singkong yang dibuat menyerupai brownies ini cukup merepotkan. Pasalnya, sebelum menjadi adonan, singkong harus diubah dulu menjadi tepung. Namun, dia tidak patah arang, berbagai upaya dilakukannya sehingga membuat Cokro Tela Cakenya diterima konsumen.
Buktinya, kue buatannya mampu terjual sebanyak 10 ribu-12 ribu kotak per bulan. ”Setelah berubah wujud menjadi cake, saya berharap semua orang tahu kalau singkong juga bisa diolah menjadi makanan enak,” ungkap Firman saat ditemui di tokonya di Jalan Cokroaminoto No 97 Yogyakarta.
Menurut Firman, meski singkong hasil olahannya kini sudah tersedia beberapa rasa kue mulai dari cokelat, stroberi, hingga keju. Namun, untuk lebih menarik konsumen dia terus melakukan inovasi.
Dia juga tidak segan-segan meminta pendapat dari pembeli, jika ada sesuatu yang kurang pada produknya. ”Yang juga penting adalah bagaimana kue itu enak dilihat, good looking, karena itu kita terus cari cara bagaimana agar penampilannya menarik,” ujar Firman yang menjual kuenya Rp23 ribu-Rp25 ribu per kotak.
Selain kue, Firman juga menyediakan makanan lain seperti lanting renteng hingga aneka keripik di tokonya. Khusus untuk makanan ringan, seperti keripik dia tidak membuatnya sendiri, tapi bekerja sama dengan perajin di daerah.
Menurut Firman, makanan seperti singkong sebenarnya sangat akrab dalam kebiasaan orang Indonesia pada umumnya. Makanan ini juga seolah sudah menjadi ciri khas karena daerah karena banyak disajikan dalam berbagai bentuk.
”Ini harus tetap dilestarikan bahkan bisa menjadi kebudayaan. Jika saat ini saja singkong sudah tidak dipedulikan dan menjadi tidak biasa, lama kelamaan singkong tidak dikenal orang dan bisa menghilang sebagai bahan pangan nasional,” bebernya.
Di bisnisnya Cokro Tela Cake, Firman melakukan sejumlah inovasi yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat saat ini. Dia berharap kue buatannya bisa hadir ke tengah masyarakat sambil terus memperkenalkan singkong.
Hal tersebut diakui Firman sudah menjadi visi dan misi yang panjang dalam filosofi hidupnya. Dia juga bersyukur meski baru berumur sekitar satu tahun, Cokro Tela Cake kini sudah memiliki empat outlet di yang terdapat di sejumlah lokasi di Yogyakarta.
Firman merasa dengan usahanya ini dia sudah melakukan upaya pemberdayaan produk lokal, pemberdayaan masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan. ”Saya ingin menciptakan entrepreneur di daerah,” ungkapnya.
Dia mengaku, bisnisnya yang bermodal awal Rp20 juta itu, kini penjualannya bisa mencapai Rp400 juta per bulan. Bersama 27 karyawannya, Firman mempromosikan tela cake dengan slogan ”Semua cocok, semua suka, semua enak”. (ratih keswara)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment