Tanpa pengetahuan dan latar belakang yang menunjang, ia nekat terjun ke bisnis sepatu. Apa kunci suksesnya hingga ia bisa eksis hampir dua dasawarsa menggarap pasar sepatu global?
Kalau saja profesi dan pekerjaan selalu sejalan dengan latar belakang pendidikan, Ali Tanuwidjaja mestinya sudah dikenal sebagai ahli teknik penerbangan top. Maklumlah, ia lulus dari Jurusan Aerospace Engineering universitas top di Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology. Ternyata, suratan nasib membelokkan suksesnya ke bidang lain yang jauh dari latar belakang pendidikannya dan tak disangka-sangka banyak orang, yakni bisnis sepatu. Lewat PT Karyamitra Budisentosa yang didirikannya, Ali telah memproduksi sepatu berkelas yang sebagian besar (97%) diekspor. Di dalam negeri, perusahaannya ini melempar produk sepatu dengan merek Rotelli, Gosh dan Bellagio.
Pria kelahiran Malang 31 Desember 1958 ini mengaku, ketika akan merintis usaha ia sebenarnya tidak tahu sama sekali seluk-beluk sepatu dan cara pembuatannya. Kala itu, ia hanya berpikir bagaimana bisa memberikan nilai tambah terhadap bahan yang banyak tersedia di Tanah Air dan bagaimana bisa memanfaatkan banyaknya tenaga kerja. Karena itu, sebelum Karyamitra berdiri, Ali sempat memanggil pembuat sepatu home industry untuk memperlihatkan cara pembuatan sepatu. Setelah melihat prosesnya, ia pun yakin mampu menjalankan bisnis sepatu.
Dengan sedikit nekat, bersama kakak-kakaknya, bungsu dari empat bersaudara yang saat itu berusia 33 tahun, mendirikan Karyamitra pada 1991. Modal awal berasal dari tabungannya dan simpanan kakak-kakaknya, plus pinjaman bank. Dengan dana tersebut, ia mengimpor mesin dari luar negeri, sembari terus mempelajari teknik pembuatan sepatu. Tampaknya, jiwa kewirausahaan Ali diturunkan dari orang tuanya yang dulu salah satu pemegang saham Bank Bumi Artha.
Ali meyakini, di industri sepatu, jika pengusaha mampu memberikan nilai kepada pelanggan, produknya pasti laku. “Asal enak dipakai, sesuai dengan selera pasar, harganya cocok, pasti ada market-nya. Dan yang lebih penting, jika orang sudah pernah membeli sebuah merek sepatu dan cocok, maka ia akan kembali lagi pada merek itu, karena merasa fitting-nya sudah pas,” ujar ayah tiga anak yang sempat bekerja di sebuah perusahaan semikonduktor nasional di kawasan Cibubur ini. Diungkapkan Ali, memilih sepatu itu tidak mudah. Ia membandingkan dengan baju. Dalam memilih baju, beda 5 mm tidak masalah, tetapi ketika memilih sepatu, hal itu menjadi masalah. Karenanya, ia berprinsip untuk selalu memperhatikan hal-hal detail dalam proses produksi sepatu. “Jika kualitasnya bagus, repeat order juga akan banyak dan terus berkembang. Dan jika tidak ada repeat order, berarti produknya jelek. Itulah sebabnya repeat order harus dikerjakan dengan cepat,” katanya.
Sejak awal, Ali telah menyetel usahanya sebagai perusahaan sepatu dengan tujuan ekspor. Itulah sebabnya sejak 1991 ia sudah menjajaki pasar ekspor. Ia mengaku beruntung banyak dibantu Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Pada 1992-1993, BPEN memfasilitasi Karyamitra agar dapat mengikuti pameran di luar negeri. Pertama kali, Karyamitra mengikuti pameran CBS di Jerman dan Garda Shoe Fair di Italia. Dari sanalah Karyamitra memperoleh pembeli asal Eropa. “Awalnya kami belum tahu apakah mereka buyer top atau bukan. Setelah beberapa kali mengikuti pameran di sana, kami berhasil memperoleh pelanggan yang lebih baik,” ujarnya.
Kini, Karyamitra masih rajin berpameran di luar negeri. Setidaknya dalam setahun, Karyamitra mengikuti empat kali pameran baik di Garda Shoe Fair Italia maupun GDS Shoe Fair di Dusseldorf, Jerman. Ali menyebutkan, untuk sepatu wanita, Eropa memang tempatnya. “Dari mana pun, Amerika dan seluruh dunia, kalau mau mencari sepatu wanita pasti ke Eropa,” kata pria yang sempat bergabung dengan Bank Bumi Artha ini. Itulah sebabnya, ia tidak ngoyo mengikuti pameran di setiap negara karena biayanya besar.
Sejumlah strategi sudah dipikirkan Ali dan timnya untuk menembus pasar global. Antara lain, sebagai produsen mereka harus memiliki sepatu berkualitas yang memenuhi standar internasional ISO 9001 (Quality Management System). Lalu perusahaannya harus mengikuti setiap peraturan yang diberlakukan di negara tujuan. Contohnya, AS mensyaratkan dokumen/sertifikat lulus LEAD test dari badan uji berstandar internasional seperti TUV, SGS, atau Intertek (baik tes physical maupun chemical). Sementara untuk bisa masuk ke pasar Eropa, perusahaan yang bersangkutan harus memiliki sertifikat dan lulus uji dari REACH.
Kini, terhitung sudah 19 tahun Ali menggeluti bisnis sepatu. Ia mengaku bangga dengan pencapaian Karyamitra. Maklumlah, saat ini Karyamitra selalu bisa mengekspor produknya secara rutin. Jumlahnya mencapai 250 ribu pasang sepatu per bulan atau sekitar 10 ribu pasang sehari.
Untuk pasar ekspor, Karyamitra menggunakan merek eksklusif milik para pelanggan di luar negeri. Sejauh ini, merek luar yang dilayaninya antara lain: Belmondo, Bruno Premi, BP Zone, Amazone, Andare, Eram, Geox, Ludwig Gortz, Gortz Shoes, G17, Cox, dan Marini Marco. Pasar ekspornya mencakup: Singapura, Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, AS, Inggris, Jepang, Rusia, Belgia, Hong Kong dan Taiwan. Ali mengklaim, selama ini Karyamitra tidak pernah menerima kiriman retur (barang tak terjual). Ia menyebutkan, pertumbuhan volume ekspornya sekitar 25% per tahun. Adapun untuk pasar lokal, sejak 1996 Karyamitra mengeluarkan sejumlah merek, yaitu Rotelli, Gosh dan Bellagio.
Lantaran banyaknya merek dan jumlah produksi yang harus ditangani, maka untuk memudahkan hubungan antara pelanggan dan perusahaan, Karyamitra memiliki perjanjian dengan pihak agen eksklusif di tiap negara tujuan ekspor. Isinya, masing-masing agen harus memiliki salesman yang bertugas mengumpulkan order dari pelanggan, yang berikutnya disampaikan ke Karyamitra. Nah, untuk menjaga hubungan kerja sama, Karyamitra berusaha tidak menjual koleksi yang sama ke agen yang berbeda agar antara sesama pelanggan tidak saling bersaing. Di sisi lain, sejak awal Karyamitra sudah menetapkan perjanjian bahwa jika terjadi kerusakan pada barang akibat human error dan sebagainya, pihaknya memberikan diskon 0,5%-1%. “Angka itu sudah mengikuti standar internasional,” katanya.
Sekarang, perusahaan yang memiliki sekitar 5 ribu pekerja ini memusatkan produksinya di pabrik seluas 5 ha di Pasuruan, Jawa Timur. Lantaran kinerja penjualan Karyamitra yang bagus pada Juli-Agustus, maka pada September perusahaan ini memperoleh banyak repeat order.
Berbicara harga, untuk produk yang dijual di pasar domestik, Karyamitra mematok harga jual Rp 199-299 ribu (Bellagio), Rp 299-400 ribu (Gosh), dan Rp 399 ribu-1 juta (Rotelli).
Adapun harga jualnya untuk pasar luar negeri, tergantung pada musim dan jenis produknya. Kisarannya US$ 16-40 per pasang. Ia menerangkan, harga jual akhir (di tingkat konsumen) di negara tujuan minimum bisa empat kali lipat dari harga jual ekspor yang dipatok Karyamitra. “Karena mereka harus beli satu seri untuk tiap model dengan nomor 36-41. Dan pasti ada yang tidak laku dan dijual sale.” Jadi, ketika harga didiskon pun, penjual di sana harus tetap untung. “Maka, kalau harganya hanya dua kali lipat, dia bisa rugi,” ujar ayah dua putra dan satu putri ini.
Menurut Ali, keunggulan Karyamitra dibanding produsen sepatu lain di Indonesia adalah dalam hal riset dan pengembangan (R&D) serta desain. Selain itu, Karyamitra juga berani berinvestasi di bidang SDM. Saat ini perusahaannya mempekerjakan sejumlah desainer yang berasal dari Italia, Prancis dan Jerman yang ia yakini lebih mengerti selera pasar di Eropa. Karyamitra memiliki 10 orang teknisi asing, kepala produksi dan quality control yang berperan di antaranya untuk melakukan inspeksi produk, pattern atau pola, dan sebagainya.
Ali berpendapat, salah satu kunci keberhasilan di bisnis sepatu adalah menjaga ketersediaan pasokan bahan baku. Jika pasokan bahan baku tidak cukup, Karyamitra tidak akan bisa mengirimkan produk yang biasanya dilakukan sebelum Oktober. “Kami bergerak di bidang fashion. Kalau respons pasar bagus dan permintaan tinggi, kami harus segera penuhi. Kalau tidak bakal susah. Bahan baku ini salah satu yang penting selain masalah on time delivery dan kualitas bagus,” ia menuturkan.
Karena itulah, menurutnya, Karyamitra berusaha menjaga hubungan baik dengan para pemasok bahan baku. Saat ini pasokan bahan baku kulit Karyamitra ada yang dari pemasok lokal, yakni PT Rajawali Tanjungsari (Jawa Timur), PT Sayung Adhimukti (Jawa Tengah), PT Budi Makmur (Yogyakarta), dan perusahaan dari Cianjur. Sementara pemasok dari luar negeri berasal dari Italia, Cina, Syria, Arab Saudi, Mesir dan India. “Sistem pembayarannya dengan cara memberi uang muka, lalu uang itu mereka gunakan untuk membeli bahan baku. Setelah dikirimkan, kami bayar sisanya,” papar Ali.
Ali menceritakan, ada masalah tersendiri dalam hal pasokan bahan baku dari dalam negeri. Saat ini ketersediaan bahan baku kulit tergantung dari pemotongan hewan. Selama ini frekuensi pemotongan hewan tidak meningkat tetapi justru menurun. Maka, Karyamitra berusaha memfasilitasi perusahaan penyamakan kulit lokal yang menjadi pemasoknya untuk bisa mengimpor kulit mentah dari luar negeri.
Kendala lainnya adalah kurangnya industri pendukung, seperti pembuat hak sepatu, sol sepatu, dan sebagainya. Karyamitra diakuinya masih menghadapi kesulitan memperoleh SDM yang mengerti perkulitan. Menurut Ali, jumlah lulusan Akademi Teknik Kulit Yogyakarta dalam 10 tahun terakhir ini semakin menurun prestasinya. “Makanya kami adakan program beasiswa,” kata Ali. Tujuannya, membiayai pendidikan para siswa ATK agar mereka bersemangat dalam belajar karena adanya jaminan kerja setelah lulus.
Berbicara pesaing, Ali mengungkapkan, saat ini di Indonesia ada dua perusahaan sepatu asal Taiwan yang beroperasi untuk memenuhi pasar ekspor. Namun tak seperti Karyamitra, perusahaan Taiwan itu memproduksi secara massal, sedangkan Karyamitra lebih eksklusif. Karenanya, harga sepatu buatan Karyamitra dipatok lebih tinggi. Di level internasional, pesaing Karyamitra berasal dari Cina, sedangkan perusahaan dari Vietnam lebih banyak membuat sepatu berbahan sintetis.
Ke depan, Ali mengaku ingin meningkatkan kapasitas produksi, tetapi ia hanya mematok sekitar 20%. Alasannya, “Kami harus konservatif dalam berekspansi.” Selain itu ia ingin meningkatkan kualitas produk, dan bisa memiliki merek kelas dunia, seperti Geox yang kini telah dimilikinya. Ia ingin pula meningkatkan kerja sama dalam hal pengadaan bahan baku kulit agar produksinya lebih lancar. “Tanpa mereka, kami tidak akan bisa beroperasi,” ucap Ali.
Sebagai pebisnis sepatu, Ali berpendapat penting sekali menganggap sepatu sebagai “barang yang hidup”, bukan barang yang mati. Maksudnya, dengan proporsi yang bagus, bagian hak yang bagus, dan bahan yang bagus, sepatu bisa mengubah penampilan seseorang secara total. “Kalau kami menganggap sepatu ini hanya barang mati, kami tidak akan bisa maju,” ujarnya.
Di mata Handito Hadi Joewono, pengelola Arrbey Consulting, Ali merupakan jenis wirausaha yang memiliki semangat tinggi. “Ia tak hanya memikirkan kualitas tapi juga mampu mengaplikasikan konsep, berkomitmen dan punya konsistensi,” ujar mantan juri Primaniyarta Award 2010 yang mana Karyamitra merupakan salah satu pesertanya. Handito mencermati kualitas dan konsitensi inilah yang menjadi kekuatan Ali sehingga ia mendapat banyak pelanggan besar di pasar global. Sisi lain yang menarik dari Ali, menurut Handito, adanya semangat ke-Indonesia-an dalam berbisnis. “Ia tak melihat nasionalisme dalam arti sempit. Ia melihat ekspor tidak hanya sebagai sumber pendapatan tapi juga mengomunikasikannya sebagai bagian dari nasionalisme,” ujar pakar branding ini.
BOKS:
Kiat Sukses Karyamitra
Menggarap Pasar Sepatu Internasional:
Memenuhi standar internasional ISO 9001 (Quality Management System).
Mengikuti setiap peraturan yang diberlakukan di negara tujuan ekspor.
Menjaga kualitas produk dan on time delivery.
Tidak menjual koleksi yang sama ke agen yang berbeda agar agen-agennya tidak saling bersaing.
Memberikan diskon 0,5%-1%, jika ada kerusakan pada barang akibat human error dan semacamnya.
Mempekerjakan sejumlah desainer asal Italia, Prancis dan Jerman yang lebih mengerti selera pasar di Eropa.
Mempekerjakan teknisi asing yang berpengalaman di bidang produksi dan quality control.
Menjaga ketersediaan pasokan bahan baku, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Memotivasi calon-calon SDM terampil di bidang produksi sepatu dengan program beasiswa. (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment