Friday, May 6, 2011

Sonny Muchlison, Kritikus Mode yang Pindah Kuadran Jadi Desainer

oleh : Eddy Dwinanto Iskandar

Sonny Muchlison merupakan seorang kritikus mode yang kerap dimintai pendapat terkait tren terkini. Namun, sejak 20 Oktober 2010 ia merambah jadi desainer busana batik berdesain kontemporer dengan label bernamanya sendiri.


Sonny mengusung konsep busana batik berdesain dan bercorak modern. “Batik ada dua fungsi, yakni untuk melestarikan dan mendekonstruksi. Saya ada dua lini itu,” ujar dosen mode di Institut Kesenian Jakarta yang memasarkan produknya di lantai dasar pusat perbelanjaan Pasaraya Blok M itu. Selain itui, dalam desain busananya Sonny juga mengusung konsep individual, baik untuk pria maupun wanita, mulai dari yang siap pakai sampai semi formal. Adapun mimpi besarnya adalah ingin memodifikasi batik yang ada. Hasilnya, busana batik desain Sonny baik itu kemeja, blus wanita, jaket pria, meski bermotif tradisional, memiliki warna cerah khas busana modern.


Ia sendiri mengaku baru terjun menjadi desainer setelah 25 tahun menjadi pengajar dan kritikus mode lantaran merasa terpanggil setelah melihat nasib para pengrajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah. ”Saya lihat di sana pengrajin batik sudah banting-bantingan harga,” ia menerangkan. Akhirnya, saatmemberikan pelatihan desain batik di Pekalongan, Sonny merasa tertantang untuk turut memberikan sumbangan kreativitas atas hasil karya pengrajin Pekalongan.


Kepada para pengrajin, Sonny memberikan arahan warna dan tidak semata meminta mereka secara kaku mengerjakan desainnya. “Saya jadi menggabungkan kreativitas saya dan mereka,” ujarnya. Dan, tanpa setahu para pengrajin itu saat itu dirinya merancang busana wanita dan pria berdasarkan hasil desain kain para pengrajin itu. “ Selesai di sana saya angkut kreasi saya dari hasil desain mereka dan memperlihatkan ke para pengrajin yang berkumpul di musium batik di pekalongan. Hasinya, mereka setengah tidak percaya bahwa itu adalah hasil kreasi mereka juga,” papar pria kelahiran14 Oktober tahun 1962 itu.


Untuk memproduksi busana batiknya, ia mempekerjakan 7 penjahit di workshop-nya di dekat rumahnya di Bintaro. Sonny pun tidak ragu mengenakan harga ratusan hingga jutaan rupiah untuk sebuah karyanya. “Saya mengajak konsumen untuk mengapresiasi kreasi pengrajin batik, masa mereka mau bayar Rp 10 juta lebih untuk sebuah tas Louis Vuitton tapi tidak bersedia membayar demikian untuk produk batik,” ujarnya.


Dengan modal awal Rp 50 juta, kini Sonny memproduksi sekitar 20 model per season, baik di musim Lebaran, Natal ataupun Tahun Baru. Omsetnya pun tak sedikit, minimal Rp 5 juta berhasil diraihnya dalam sehari. Adapun yang menyulitkan dirinya sebagai orang yang baru merintis karier sebagai pengusaha adalah aspek manajemen waktu. “Saya masih gamang dalam mengatur waktu antara bisnis, menjadi dosen dan memberi pelatihan. Tapi nampaknya semakin hari jadi semakin terbiasa,” urainya seraya tesenyum santai saat diwawancarai Majalah SWA di outlet-nya di awal bulan Desember 2010 lalu. (sumber swa online)

No comments: