ORANG bijak mengatakan, jika ingin melakukan sesuatu janganlah setengah-setengah. Kuncinya ketekunan. Hal itulah yang jadi pegangan pasangan suami istri Waryana, 58, dan Nani Mulyani, 55.
Sudah 25 tahun pasangan sehidup semati ini menjalankan usaha keramik hiasnya. Produk mereka telah menghiasi kamar, ruang tamu, dan hotel berbintang sejak lama. Bukan hanya di seluruh Indonesia, tapi juga di luar negeri. Keramik hias seperti hiasan bufet, vas bunga, cendera mata pernikahan, pot bunga, dan guci antik telah dipasarkan ke 31 provinsi di seluruh Indonesia.
Untuk saat ini, permintaan banyak yang datang dari Kalimantan Selatan (Banjarmasin) dan Sumatera (Jambi). Sementara permintaan luar negeri datang dari Arab Saudi, Amerika Serikat (Hawai), Belanda, dan Puerto Rico.Produk mereka 75 persen dipasarkan di dalam negeri dan 25 persen lainnya ke luar negeri. Pasar luar negeri paling banyak ke Puerto Rico. “Tapi untuk ke luar negeri masih lewat Jepara,” ujar Nani Mulyani.
Bisnis keramik hias Sawargi Itong Saputra sudah dirintis sejak zaman Belanda. Nama pabrik yang terletak di Jalan Terusan Ciwastra No 186 Kota Bandung itu diambil dari nama ayah sang empunya pabrik.Itong Saputra tidak lain ayah Nani Mulyani dan mertua Waryana. Tahun 1930-an, Itong muda bekerja di pabrik keramik milik meneer Belanda bernama Schumaker.
Tempatnya di Jalan Jakarta. Sekarang pabrik itu sudah menjadi depot es batu.Lama bekerja membuat pengalaman Itong bertambah. Tahun 1945,pribumi itu memberanikan diri membuka bisnis sendiri. Dia lalu membangun pabrik di bilangan Kiaracondong, Kota Bandung.Bisnisnya berkembang. Tahun 1960-an,bisnis itu kemudian diturunkan kepada anakanaknya. Itong sendiri punya 10 anak. Neni Mulyani adalah anak bungsu. Baru pada 1975, Neni melanjutkan bisnis ayahnya itu. Sebelumnya Neni masih membuka usaha mi basah. Waryana, sang suami, saat itu adalah karyawan Itong. Itong lalu meyakinkan Waryana bahwa dia bisa melanjutkan kerajaan bisnisnya.Waryana ternyata tidak sendiri melangkah. Istrinya rela meninggalkan bisnis mi basahnya untuk beralih ke keramik hias.
“Dulu modal awal Rp20 juta,” kisah Neni. Kenapa Neni rela melakukan itu,padahal bisnis minya waktu itu sudah terbilang maju? Peluang! Itulah yang mereka lihat.Memang perputaran uang di bisnis mi basah cepat,tapi nilainya sedikit. Berbeda dengan bisnis keramik hias. Perputaran uang relatif lambat,tapi volumenya besar.Mereka berdua meyakini tipe bisnis seperti itulah yang bakal berumur panjang. Dalam memproses keramik, Neni dan Waryana tidak sembarangan. Mereka menggunakan tanah liat terbaik dari Sukabumi. Peralatan seperti mesin pres, molen, dan oven mereka buat sendiri. Cara pengovenan memang membuat perbedaan besar. Jika oven di keramik Plered hanya mampu membakar hingga suhu 600 derajat Celsius,oven di pabrik Itong Saputra bisa membakar hingga 1.100 derajat Celsius.
“Ini menjadikan keramik dari sini setara dengan semiporselen.Keramiknya sangat kuat. Bahkan dibawa sampai ke Papua pun tidak akan pecah,” ucap Neni berpromosi.
Dalam menjaga barangnya tetap laku, Waryana dan Neni sangat memperhatikan kualitas barang. Selain menjaga kualitas tetap prima, mereka pun mengikuti tren. Para desainer keramik yang kebanyakan diambil dari Brebes, Jawa Tengah, tidak segan-segan melukis batik atau kaligrafi di tubuh guci atau pot berukuran besar. “Selain itu,setiap ada pameran baik itu di Bandung maupun Jakarta kami selalu ikut. Rajin ngasih sampel ke calon konsumen dan tetap kreatif. Saya kira itu yang jadi resep rahasia keberhasilan Itong Saputra,” beber Neni.
Prinsip itu memang berbuah manis. Kini omzet per bulannya mencapai Rp100 juta. Besarnya omzet yang didapat tak lepas dari luasnya cakupan pasar yang mampu mereka rambah. Setiap enam bulan sekali, satu kontainer keramik Itong Saputra ini menyeberang laut ke luar negeri.
Namun, yang namanya bisnis, apalagi UMKM,pasti banyak hambatan. Kendala pertama adalah musim. Pada saat musim hujan seperti saat ini, keterlambatan pengiriman barang pasti terjadi. Bukan apa-apa, sebelum dioven, keramik mesti dijemur terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Dalam kondisi musim hujan, pengeringan bisa memakan waktu satu bulan.
“Barang pasti terlambat,” kata Neni. Perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang baru berlaku pun ternyata membawa dampak. Produk keramik mereka harus bersaing dengan produk keramik dari China yang harganya lebih murah.Akibatnya permintaan pasar sedikit menurun. “Sekarang pemasaran dalam negeri paling cepat 2 bulan dan paling lambat 3 bulan,”urai Neni.
Kendala lain, meski sudah punya pasar luar negeri,tidak semua produk dan model bisa terbeli.Pemesan luar negeri menginginkan produk dengan presisi yang persis sama, sedangkan keramik Itong Saputra masih menggunakan putaran manual. “Kami masih pakai putaran tangan, jadi sangat sulit dapat dimensi yang sama.Dari 100 yang dikirim ke Jepara, paling yang sampai ke luar negeri hanya 30 produk,” tutur Neni. Meski banyak kendala merintangi, tetap saja bisnis tanah liat kering ini berjalan. Pabrik telah menghidupi 22 karyawan, tidak sedikit yang berasal dari lingkungan Ciwastra. Ini tak lepas dari suntikan dana yang mereka dapatkan.
Dari mana lagi kalau bukan dari BRI. Neni dan Waryana memulai kredit ke BRI tahun 1985.Awalnya hanya Rp5 juta.Setelah cicilan lunas,dari tahun 1990–2006 pasangan ini mulai beralih ke bank lain. Namun,sejak2008,merekakembali lagi ke BRI.Tidak tanggungtanggung, kredit usaha rakyat (KUR) yang mereka ajukan Rp400 juta. Ada banyak alasan kenapa mereka kembali memilih BRI. “Kalau BRI itu dekat dengan pabrik saya. Lagipula sudah sampai ke pelosok sehingga memudahkan bertransaksi. BRI kan banknya rakyat,” tambah Waryana. Dari hasil kredit Rp 400 juta itu, Waryana dan Neni mampu membikin ruang pamer di rumahnya di Kiaracandong. Ditambah dengan ruang pamer, kini rumah mereka bertambah luas menjadi 7.000 meter persegi. Kini keramik hias Itong Sawargi terus bertumbuh.
Dari hasil kerja keras selama puluhan tahun, Waryana dan Neni bisa menguliahkan lima anak mereka. Dua anak perempuan, bungsu dan pangais bungsu, ikut suamisuami mereka masing-masing. Adapun tiga anak pertama melanjutkan roda kehidupan keramik hias Itong Saputra. Ketiganya masing-masing jebolan Jurusan Informatika Universitas Mandala, Jurusan Desain Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas). Kini, Waryana dan Neni tinggal memetik buah kerja keras mereka. Keduanya lebih banyak istirahat di rumah.Mereka memang tiap hari datang ke pabrik di Ciwastra untuk keperluan pengawasan.
Namun, itu hanya sebentar saja, cukup pukul 08.00–10.00 WIB. Setelah dirasa cukup, keduanya pun pulang. “Sekarang keramik Itong Saputra sudah tiga generasi,” imbuh Waryana. Satu harapan Waryana yang belum terwujud, dia ingin sekali menjadikan keramik hias ini seperti angklung. “Jadi wisata keramik,” ujar Waryana. Untuk mewujudkan itu, sebidang tanah di belakang pabrik sengaja dibeli.Konsepnya adalah para pelajar SMK dari seluruh Indonesia belajar membuat keramik hias di pabrik Itong Saputra. Selain itu, ada tempat untuk wisata keramik. “Untuk itu butuh tanah terpisah.Tidak bisa menyatu dengan pabrik,”tandas Waryana. Tampaknya mimpi itu semakin mendekati kenyataan.
Belum juga tempat disediakan,sudah banyak pelajar SMK yang ingin dilatih di pabrik Itong Sawargi.Jika saja ada tempat khusus, Waryana bisa lebih leluasa mencetak para kreator keramik asal Jawa Barat. “Tinggal menunggu uangnya saja,” sebut Waryana. Dia sadar betul keramik hias ini harus tetap hidup di Jawa Barat. Satu peluang yang dilihat Waryana, keramik ini banyak diminta pabrik pemintal kapas jadi benang. Isolator pemintal yang terbuat dari keramik terbukti lebih kuat dibanding yang dibuat dari baja.“Saya ingin keramik hias ini hidup berkepanjangan,” ungkap Waryana. (rudini)
(Koran SI/Koran SI/rhs) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment