Ahmadi dan Wayangnya, Foto: Koran SI
LAHIR dari keluarga miskin membuat Ahmadi, 45, terbiasa bekerja keras sejak kecil. Etos kerja keras dan ketekunan itulah yang akhirnya membawa Ahmadi menjadi perajin wayang kulit sukses.
Kini bisa dibilang Ahmadi menikmati hasil kerja kerasnya. Tiap bulan 20-30 wayang kulit dipesan dari galerinya, Ahmadi Art, di Dusun Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Satu wayang kulit, tergantung tingkat kerumitan pembuatannya, dijual dengan rentang harga Rp1,5 - Rp2 juta. Dengan demikian, setiap bulan, bapak tiga anak ini mampu membukukan omzet puluhan juta rupiah. Belum lagi jika mendapat pesanan wayang khusus dengan tingkat kerumitan sangat tinggi.
Biasanya dia akan memasang harga lebih dari Rp5 juta tiap buah. Dengan usahanya ini, Ahmadi bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Anak pertamanya, Sidiq Arifin, lulus dari Jurusan Seni Kriya, Institut Seni Indonesia Surakarta. Anak kedua, Romy Hasyim, masih kuliah pada jurusan yang sama. Adapun anak ketiga, Arif Maulana, masih duduk di bangku SMKI Surakarta.
Menyekolahkan anak, apalagi hingga lulus perguruan tinggi, tidak pernah terlintas dalam benak Ahmadi yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD). Ahmadi kecil hidup serba berkekurangan. Orang tuanya hanya buruh tani dengan pendapatan pas-pasan yang harus menghidupi enam bersaudara. Karena itulah dirinya bertekad untuk keluar dari situasi kemiskinan yang membelenggu keluarganya.
Dalam pikirannya waktu itu, satu-satunya cara untuk bisa beranjak dari kemiskinan adalah dengan mahir membuat wayang kulit seperti yang dilakukan kebanyakan orang di desanya. Jika mahir membuat wayang, lapangan kerja akan terbuka lebar. Bukan hanya menjadi buruh tani atau penggembala kambing. “Saya belajar membuat wayang sejak kelas lima SD,” ujarnya.
Dia kemudian belajar dari kakak pertamanya, Muhidin, yang sudah terlebih dulu menjadi perajin wayang. Dari kakaknya inilah Ahmadi kecil belajar natah (mengukir) dan nyungging (mewarnai) wayang kulit. Lulus SD, Ahmadi pergi ke Madiun, Jawa Timur. Di sana dia bekerja pada salah seorang perajin wayang bernama Joko Suparno. Setelah dari Madiun, Ahmadi hengkang ke Jakarta, bekerja pada seorang perajin wayang asal Solo.
Di Jakarta, Ahmadi bertahan tiga tahun dan selanjutnya kembali ke tempat asalnya bekerja, Madiun. Pemilik bengkel kerajinan memanggilnya untuk membantu menggarap pesanan dalam jumlah besar. Sekira pada 1994, Ahmadi memenangi lomba kerajinan wayang tingkat nasional. Wayang kulit gaya Yogyakarta buatannya dinilai juri mengandung unsur artistik tinggi dan mengalahkan puluhan peserta lomba lain.
Inilah titik tolak karier Ahmadi sebagai perajin wayang kulit. Sejak menjuarai lomba, puluhan tawaran kerja datang kepadanya. Mereka bersedia membayar berapa pun gaji yang diminta Ahmadi. Namun, Ahmadi berpikiran lain. Baginya, inilah momentum untuk membangun usaha kerajinan wayang kulit secara mandiri, tak lagi bekerja pada orang lain. Modal pertama selembar kulit kerbau dan kambing yang dia beli dari hasil tabungannya.
Kulit kerbau seharga Rp250 ribu, sedangkan kulit kambing Rp10 ribu. Dengan modal inilah Ahmadi mendirikan usaha kerajinan wayang kulit. “Kalau modalnya habis, saya kerja ke tempat lain. Nanti setelah modal terkumpul, saya beli kulit lagi,” ujarnya. Kulit kerbau adalah bahan untuk wayang yang digunakan dalam pentas. Adapun kulit kambing cocok untuk wayang yang dijadikan cenderamata.
Tak perlu waktu lama untuk membuat produknya terkenal. Sebentar saja para pencinta wayang mengetahui kualitas wayang buatannya. Usaha Ahmadi terus berkembang. Modal awal untuk membeli bahan baku didapat Ahmadi dengan menggunakan uang muka yang disetorkan pelanggan. Dia menggunakan uang itu untuk membeli kulit kerbau. Kini, wayang buatannya menjadi langganan dalang-dalang kondang dalam jagat perwayangan.
Sebut saja Ki Manteb Soedharsono, Ki Joko Edan, Ki Enthus Susmono setia menggunakan wayang buatannya. Saat ini Ahmadi memiliki tujuh pekerja yang membantunya memenuhi pesanan wayang. Dia juga mempunyai enam mitra. Mitra ini sebutan bagi perajin yang sudah mandiri, tapi menggunakan kulit dan modal miliknya. Tambahan modal dari Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) dirasa sangat membantu usahanya berkembang.
Menurut Ahmadi, hal paling membanggakan adalah saat dirinya bisa berbagi ilmu dengan generasi muda. Baginya, menjaga tradisi nenek moyang adalah kewajiban yang harus terus-menerus dikerjakan. Hingga saat ini, dirinya telah membimbing lebih dari 20 orang pemuda di desanya untuk menjadi perajin wayang. Semuanya kini sudah menjadi perajin mandiri dengan produk yang mampu bersaing.
Mereka juga menjadi mitra kerjanya memenuhi pesanan saat dirinya tidak menyediakan barang keinginan pelanggan. “Saya juga mengajar keterampilan membuat wayang di SMP 23 Solo. Generasi muda harus dididik untuk menjaga budaya bangsa,” ujarnya. Soal usahanya, Ahmadi ingin mempunyai koleksi lengkap seluruh karakter wayang. Jumlahnya sekitar 200 wayang. Jika sudah bisa mengoleksi, dia akan lebih mudah memenuhi pesanan pelanggan.(mn latief/Koran SI) (adn)(//rhs) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment