Friday, May 6, 2011

Perjuangan Dua Sekawan Menjadi Eksportir Ikan Olahan

oleh : Yuyun Manopol

Sejak awal, pasar mancanegara jadi target utama Toba Surimi. Produknya tersebar hingga negara-negara maju. Pasar lokal pun mulai digenjot. Bagaimana kisah dua pendirinya membesarkan perusahaan yang bermarkas di Medan ini?

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan. Karena itu, negeri ini punya potensi kekayaan perikanan laut. Namun, tak banyak orang seperti Gindra Tardy dan Irsan Sudargo yang mampu memanfaatkan peluang bisnisnya. Keduanya memutuskan menggarap bisnis perikanan pada 1997, dengan mendirikan PT Toba Surimi di Medan, Sumatera Utara. Visinya adalah menggarap pasar ekspor 100%.

Kini 13 tahun sudah usia Toba Surimi. Total omset per bulan telah mencapai US$ 2 juta dengan pertumbuhan penjualan 20% per tahun. Karyawannya sekitar 800 orang. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi perusahaan lokal di Sumatera ini.

Menengok ke belakang, penyebab ketertarikan Gindra dan Irsan untuk mendirikan perusahaan sendiri adalah adanya peluang pasar. Gindra menceritakan, hal ini bermula ketika ia dan Irsan mengikuti pameran di luar negeri mewakili perusahaannya yang membidangi perikanan. Dalam pameran tersebut mereka menemukan buyer yang tertarik dengan hasil pasteurisasi produk rajungan mereka. Setelah memperoleh order tersebut, keduanya menawari perusahaan tempat mereka bekerja untuk memproduksi ikan dengan sistem pasteurisasi. Namun, pemilik dan pemimpian perusahaan mereka menolak.

Dengan bekal pengalaman masing-masing selama 15 tahun dan dua tahun di divisi pemasaran dan produksi, Gindra dan Irsan memutuskan merintis usaha dengan melakukan proses pasteurisasi sendiri pada 1997.

Diakui Gindra, pada awal pendiriannya, mereka menghadapi kesulitan dalam menggarap pasar karena saat itu proses pasteurisasi masih belum populer. Namun, mereka tak cepat putus asa. “Jadi kami mencari buyer dulu, kemudian mempersiapkan mesin dan segala keperluan,” ujar Direktur Pemasaran Toba Surimi itu. Tak tanggung-tanggung, modal yang dibutuhkan untuk men-set up usaha ini mencapai Rp 2 miliar, yang berasal dari tabungan mereka berdua. Uang ini digunakan untuk investasi mesin, pembelian bahan baku, dan biaya karyawan.

Di sisi lain, Gindra mencoba mempelajari ilmu pasteurisasi yang relatif baru waktu itu. Sebagian ilmu tentang pasteurisasi diperoleh dari pihak buyer yang kebetulan sudah memiliki pabrik sendiri di Amerika Serikat. Di samping itu, mereka mencari informasi sendiri dari berbagai sumber.

Selain sistem produksi, hal yang terpenting adalah bahan baku. Pencarian bahan baku dimulai dengan langkah melakukan survei di Jawa. Selain itu, Gindra juga melakukan pendekatan ke nelayan setempat. Supaya nelayan bersemangat untuk menangkap rajungan, Gindra memberikan penawaran harga yang tinggi. Alhasil, produksi meningkat dari 200 kg per hari menjadi 32 ton per hari. Untuk memudahkan koordinasi, di setiap desa ditunjuk satu agen yang membawahkan beberapa nelayan untuk mengumpulkan rajungan. Mereka diberi pengetahuan tentang cara menyortir, mengupas dan mengukus rajugan.

Setelah melakukan produksi selama tiga bulan, ekspor pertama pun dilakukan. Dalam beberapa tahun pertama, pabrik hanya memproduksi rajungan pasteuriasi. Keistimewaan rajungan terletak pada dagingnya yang lezat dan segar, meski tanpa menggunakan bumbu ataupun monosodium glutamat.

Untuk meningkatkan jumlah penjualan dan memudahkan pemasaran, perusahaan membuka lagi pabrik pengolahan di Cibubur (Jawa) pada 2004. Alasannya, lokasi tersebut berada di bawah kaki gunung dengan kualitas air bersih. Sementara untuk mendukung perolehan hasil laut dari Indonesia bagian timur, pada 2009 Gindra membangun pabrik lagi di Makassar. Saat ini produksi terbesar disumbangkan oleh pabrik di Cibubur dengan total produksi mencapai 16 kontainer, disusul pabrik di Medan sebesar 12 kontainer, dan terakhir pabrik di Makassar sebesar 5 kontainer. Isi tiap kontainer 6,5-11 ton.

Saat ini bahan bakunya sebagian besar diperoleh dari Mitra Binaan, yaitu dengan cara membeli bahan baku dari nelayan lokal. Sebagian kecilnya lagi impor. “Untuk itu, perusahaan membuka cabang kecil di setiap kampung nelayan yang potensial dengan menempatkan karyawan sendiri yang membeli langsung dari nelayan setempat,” ujar Erman, Manajer Pembelian Toba Surimi. Adapun total Mitra Binaan perusahaan saat ini ada 50, termasuk cabang kecil di seluruh Indonesia. Sebanyak 30-an mitra di antaranya berasal dari Sumatera. Khusus untuk Sum-Ut, mitra yang dibina berasal dari daerah Pantai Cermin, Pangkalanbrandan, Langsa, Batubara dan Sialang Buah.

Menurut Gindra, bahan baku haruslah segar. Karena itu, setiap pabrik mesti mencari pasokan bahan baku sendiri, dan tidak ada pengiriman antardaerah. Tujuannya, supaya bahan baku yang digunakan benar-benar segar sehingga bisa langsung diproses ke mesin produksi.

Gindra menyadari untuk mendapatkan bahan baku yang bagus, harus ada treatment yang baik serta melalui proses dan kontrol yang benar. Untuk itu, perusahaan memberikan pengarahan dan bimbingan kepada para nelayan seperti cara pembudidayaan, pemilihan kualitas ikan dan cara penyimpanan yang benar. Untuk itu, sebagai pengontrol di tingkat lokal, perusahaan menempatkan seorang petugas kontrol kualitas.

Selain itu, kepada para Mitra Binaan perusahaan juga memberikan fasilitas mulai dari perahu, sepeda motor, hingga pinjaman dana tunai. Hj. Fauzi, salah satu Mitra Binaan yang telah menjalin hubungan sebagai pemasok dengan Toba Surimi sejak 1997, mengaku senang bekerja sama dengan perusahaan ini. Diungkapkan Hj. Fauzi, ketika mereka mengalami kendala teknis, perusahaan selalu sigap turun ke lapangan mencari solusi. “Mereka sangat responsif terhadap setiap permasalahan. Kadangkala di lapangan dijumpai masalah persaingan harga miring, mereka segera tanggap,” katanya. Selain itu, perlakuan perusahaan terhadap para mitra sangat manusiawi. Ia mencontohkan ketika suatu hari ada seorang mitra loyal yang terserang penyakit kanker, tanpa diduga perusahaan langsung menyediakan biaya pengobatan.

Namun, tak semua langkah perjalanan Toba Surimi berjalan mulus. Menurut Gindra, perusahaannya kerap menghadapi permasalahan terutama pemberlakuan peraturan baru di seputar importir, disusul sistem standardisasi penyeleksian, permainan harga jual antara eksportir dan importir, pengembalian hasil produksi oleh negara importir karena terkait masalah antibiotik, hingga persaingan dengan kompetitor.

Banyaknya permasalahan tidak menghalangi Toba Surimi terus berkembang. Didukung tenaga riset & pengembangan yang andal, perusahaan ini terus mendiversifikasi produk untuk memperkenalkannya ke mancanegara. Sebagai gambaran, saat ini telah diekspor lebih dari 30 jenis produk, mulai dari produk pengalengan pasteurisasi (canned pasteurized), pengalengan makanan laut (canned sterilized seafood), hingga makanan laut yang dibekukan (frozen seafood). Adapun produk yang dikembangkan adalah kepiting rajungan/kepiting laut (blue swimming crab), cumi-cumi, sotong, octopus, kepah (baby clam) dan kepiting lunak (soft shell crab). Sementara itu, untuk pasar domestik, yang dipasarkan adalah ikan gembung, ikan selar dan ikan makarel (impor).

Karena bermain di pasar mancanegara, Toba Surimi perlu memiliki sertifikasi yang mendukung. Dalam hal ini, perusahaan ini telah mendapat sertifikat HACCP Certified (Hazard Analysis Critical Control Point) EEC No. 343.02 B/C.

Menurut Irsan, sang co-founder, perusahaannya sangat memperhatikan pengembangan sumber daya manusia. Untuk itu, pihaknya kerap mengirimkan karyawan untuk mengikuti pelatihan dan seminar, di dalam dan luar negeri. “Karyawan merupakan aset,” ujar sarjana teknik elektro yang saat ini menjabat Direktur Produksi Toba Surimi itu.

Kini setelah sukses menggarap pasar ekspor seperti AS, Kanada, Jepang, negara-negara Eropa Barat, dan Australia, Gindra menargetkan bisa merambah pasar Timur Tengah dan Eropa Timur. Untuk itu, ia berencana lebih sering mengikuti pameran di luar negeri seperti di Jerman, Prancis, AS, Belgia, Rusia, Korea Selatan dan Hong Kong, juga di dalam negeri.

Selain itu, kini perusahaan mencoba masuk ke pasar domestik. Alasannya, krisis global pada 2008 sedikit memengaruhi angka penjualan ekspor. Produk lokal yang ditawarkan berupa ikan dalam kantong (fish in pouch). Adapun bahan bakunya adalah ikan gembung, yang bakal disusul oleh ikan makarel dan ikan selar. “Karena adanya perubahan gaya hidup, kami yakin strategi perusahaan fish in pouch bakal berhasil,” kata Gindra. Setiap pouched fish telah memiliki rasa bumbu yang berbeda. Untuk mengonsumsinya, konsumen tinggal merobek plastik atau plastik dimasukkan ke dalam air mendidih/microwave jika ingin dikonsumsi dalam keadaan hangat. “Plastik itu aman karena telah teruji di Jepang dan kami masih menggunakan bahan plastik impor hingga sekarang,” ujar sarjana teknik mesin lulusan universitas di Inggris itu. Harga yang dipatok per bungkus ikan mulai dari Rp 7.000 hingga Rp 13.000.

Bukan hanya itu. Dari segi kualitas, mereka berani mengklaim ikan yang dikemas bebas bahan pengawet. Dengan penggunaan teknologi modern, ikan dalam plastik dapat disantap dari kepala hingga ekor tanpa harus repot membuang durinya. “Karena berdasarkan riset, kepala ikan justru memiliki kandungan kalsium yang tinggi. Karena itulah, ikan olahan kami dapat disantap dari kepala hingga ekor,” ujar William Norman, Manajer Pemasaran Nasional Toba Surimi.

Target awalnya, dipasarkan di Medan, Jabodetabek dan Bali. Ternyata, produk yang mulai diluncurkan pada akhir 2009 tidak terlalu mengecewakan. Toba Surimi berhasil menggaet omset Rp 2 miliar/bulan. Angka ini diyakini meningkat karena pasar yang dibidik berasal dari menengah-bawah hingga menengah-atas.

Saat ini perusahaan yang memiliki pabrik seluas 12.056 m2 ini tidak menggunakan ikan bandeng karena belum memiliki standardisasi pengontrolan untuk ikan tambak. Sementara ikan gembung banyak ditemukan di lautan Sumatera. Hal ini sesuai dengan basis produksinya yang masih dipusatkan di Sum-Ut.

Menggarap pasar domestik jelas tak mudah, walaupun Toba Surimi relatif sudah sukses di pasar ekspor. Upaya promosi yang dijalankan untuk pasar lokal melalui below the line. Bentuknya, demo masak di supermarket dan pasar tradisional. Selain itu, perusahaan juga memberikan sampel kepada konsumen. Mereka pun kerap berpameran di pusat perbelanjaan dan mencari distributor baru di setiap kota untuk memperluas jaringan penjualan. Diakui Gindra, saat ini pasar lokal yang dibidik hanya 3% tetapi dengan tumbuhnya penetrasi ke masyarakat melalui produk fish in pouch, tidak mengherankan jika suatu saat alokasi ekspor dan domestik akan seimbang. (*)

Reportase:  Julfini (sumber swa online)

No comments: