oleh : Eddy Dwinanto Iskandar
Berkat kejelian Masfuk dan Abdul Mudjib, emas palsu bisa menjadi bisnis miliaran rupiah. Berikut liku-liku duo bersaudara asal Lamongan, Jawa Timur, itu membesarkan perusahaan emas imitasinya, Eka Silver & Gold Jewelry.
Berawal dari pengamatan atas besarnya gairah masyarakat untuk bersolek dengan perhiasan emas tetapi tanpa disertai daya beli memadai, dua bersaudara Masfuk dan Abdul Mudjib lantas berinovasi memproduksi emas imitasi pada 1994. Enam belas tahun berlalu, kini perusahaannya, PT Eka Silver & Gold Jewelry (ESGJ), menjelma menjadi perusahaan beromset miliaran rupiah per bulan. Dengan 100 konter milik sendiri dan 12 konter milik mitra, daerah pemasaran ESGJ terentang dari Pekanbaru, Batam dan Sumatera Utara hingga Makassar, Gorontalo dan Manado.
Ditemui SWA di kantor pusatnya di Surabaya, Masfuk dan Mudjib mengaku bisnis ini tidak terlintas sama sekali di benak mereka kala kecil. Bahkan, selulus dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1986, Masfuk menjalani profesi pengacara. Namun, belakangan, profesi ini dilepas untuk menjadi Kepala Biro Hukum sebuah perusahaan.
Tidak hanya itu, guna menambah pemasukan, waktu sore hari dimanfaatkan Masfuk dengan menjadi dosen di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gresik. Mengingat kala itu gaji dosen hanya Rp 35 ribu/bulan, upayanya menaikkan derajat ekonomi keluarga belum juga sukses. ”Saya merenung. Saya merasa terlalu bodoh. Terlalu kerdil. Dan tidak dapat memanfaatkan potensi diri,” kata adik Mudjib sekaligus anak kedua dari 12 bersaudara ini.
Dari kondisi itulah lahir keinginan menekuni hal baru, di luar kebiasaan yang dilakukan kebanyakan orang. Ketika melihat para pedagang panci bekas dari Maspion di sekitar kawasan Rungkut, Surabaya, menjajakan dagangannya, Masfuk tertarik ikut terjun. Berbekal hasil penjualan emas senilai Rp 350 ribu, genderang babak baru kehidupan sebagai pedagang pun ditabuh.
Masfuk sejak awal yakin, kalau tidak membuat suatu hal yang baru, kehidupan yang lebih baik tak akan mampu dicapainya. Maka, tatkala mendapati kebanyakan pedagang panci saingannya dari Pandaan dan Sidoarjo menawarkan panci sortiran dari Maspion apa adanya, ia memberikan nilai tambah tersendiri. Panci-panci bekas dagangannya lantas dihiasi lapisan stainless steel. Ternyata, panci inovasinya laris dibeli konsumen. Meski demikian, ada satu hal yang membuatnya miris, yaitu tatkala bertemu sang paman. ”Katanya, ‘Rugi kamu disekolahkan tinggi-tinggi oleh orang tua kalau akhirnya menjadi pedagang panci’,” papar mantan Bupati Lamongan selama dua periode ini (2000-10).
Kalimat yang kurang enak itu tidak mengecilkan hati pria kelahiran Lamongan, 6 Juni 1962, ini. Sebaliknya, dirinya merasa terlecut. Kesuksesan tidak harus diraih dengan jalan menjadi karyawan di perusahaan bonafide. Kegiatan berdagang lalu ditambah. Ketika matahari mulai tenggelam, Masfuk masuk ke kampung-kampung. Sebagai penarik, ditabuhlah panci-panci dagangannya sehingga orang-orang ke luar rumah. Yang tertarik lantas membeli. Maka, trading panci sortiran Masfuk yang dibantu kakaknya, Mudjib, pun berkembang. Dari semula hanya menumpang mikrolet, kemudian meminjam mobil pikap, membeli tiga mobil pikap, hingga akhirnya mampu membeli rumah sendiri.
Namun, nasib baik tidak selalu berpihak pada Masfuk dan Mudjib. Tatkala menggelar dagangan di pelataran depan acara pameran di Jawa Timur pada 1989, tiba-tiba datang petugas Kamtib. Karena dinilai mengganggu ketertiban umum, barang dagangan Masfuk diangkut tanpa sisa. “Kecewa memang,” ujar Masfuk. “Tapi mau bagaimana lagi,” sambungnya pasrah mengingat peristiwa naas itu.
Untuk mengobati duka hati, Masfuk lantas masuk ke area pameran untuk melihat-lihat. Begitu sampai di gerai perhiasan monel, sejenis logam khusus, ia tertarik. Terutama pada kerokan monel. Lebih-lebih, sebelumnya ia sudah melihat perhiasan serupa yang dijajakan pedagang asongan di sekitar Tunjungan Plaza, Surabaya, laris manis. Sambil berbasa-basi, ia mencari tahu dari mana pasokan monel tersebut berasal. Setelah mendapat jawaban bahwa perhiasan monel dari Jepara, Mudjib pun berangkat ke pusat perhiasan monel di Jepara.
Awalnya, Masfuk hanya mengamati perajin mana yang cocok dijadikan pemasok. Setelah itu, Mudjib menyambangi salah satu perajin. Menawarkan model kerja sama sekaligus melihat potongan harga yang diberikan setiap perajin. Perajin pertama, tidak cocok. Kedua, ketiga dan keempat, masih juga belum sesuai. ”Hingga sampailah kami pada H. Abdurrochim. Kami merasa cocok dan pas dengan beliau. Kami lantas membawa perhiasan gelang, cincin dan kalung, dan kerokan buatannya. Terutama kerokan, karena di Surabaya belum banyak beredar,” papar Mudjib.
Agar berbeda dibanding yang lain, Masfuk dan Mudjib sepakat memasarkan di pasar modern, mengingat kerokan tidak ditawarkan di seluruh pasar modern Surabaya. Benar. Ini peluang besar, memang. Namun, rencana tersebut terkendala keterbatasan modal yang dimiliki. Maka, Masfuk dan Mudjib keluar-masuk dari dan ke pasar modern di hampir seluruh wilayah Surabaya. Untuk apa? Mencari salah satu pasar modern yang sewanya bisa dibayar di belakang. Beruntung, supermarket Sinar di Jalan Jemursari bersedia mengakomodasi keinginannya. Keberuntungan Masfuk bertambah karena pihak Sinar membebaskan dua bersaudara tersebut mendemonstrasikan kerokannya kepada pengunjung.
Trik demo alat yang bisa dibilang baru kala itu ternyata menuai sukses. Tidak sampai seminggu, seluruh barang dagangan habis diborong pembeli. Tidak hanya itu, sebulan kemudian, Masfuk mampu membuka tiga gerai lagi. Selanjutnya, perlahan tetapi pasti, kota-kota lain seperti Malang, Solo, Yogyakarta, Semarang dan Jakarta pun dirambah. Buahnya, omset yang berhasil dihimpun cukup besar, rata-rata Rp 60 juta/bulan.
Gairah ekpansi Masfuk tidak hanya sebatas pada jaringan distribusi dengan cara menambah gerai. Pada saat bersamaan, kerajinan perak juga dipelajari, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Eka Swasa. Pada 1993, dana investasi sebesar Rp 5 juta dibenamkan untuk alokasi program riset dan studi kelayakan. Setelah diproduksi dan mulai dipasarkan, akhirnya pada 1995 kerajinan perak produksi Masfuk berhasil menembus pasar internasional, yaitu Rusia dan Hong Kong, dengan nilai perdana ekspornya sekitar Rp 50 juta. Pada 1999 juga terjadi peningkatan ekspor luar biasa. Setiap bulan Masfuk dan Mudjib mampu mengusung kerajinan perak ke mancanegara sampai 300 kg atau senilai Rp 1,5 miliar.
Di sisi lain, pada 1994, Masfuk melihat pasar emas begitu bergairah. Sementara ia sadar tidak semua lapisan masyarakat mampu menebus harganya. Dari sana lahirlah ide untuk membuat perhiasan emas imitasi yang berwarna kuning di bagian luar dan dalamnya. Dengan begitu, harga jualnya akan jauh lebih rendah ketimbang emas asli. Mudjib, yang kala itu mengepalai bagian produksi, melakukan riset. Dikontak juga teman mereka di Jerman yang memberikan formulasi pembuatan alloy, alias logam campur.
Digabungkan dengan riset dan inovasi ESGJ, singkat cerita diperolehlah formulasi logam baru yang belum ada di pasar yang hasil akhirnya begitu mirip emas asli. Formula tersebut kemudian dipatenkan dengan merek Eka Swasa yang berarti logam mirip emas luar-dalam. ”Kata ‘Eka’-nya berarti kita satu-satunya di Indonesia,” kata Mudjib.
Eka Swasa ternyata diserap pasar. Bahkan, ketika terjadi krisis moneter pada 1998, kedigdayaan Eka Swasa justru menonjol. Sebelum krismon rata-rata penjualan sekitar Rp 250 juta/bulan, sedangkan setelah Indonesia dilanda krisis multidimensi itu omset Eka Swasa malah melonjak tajam. Pada 1999, naik menjadi sekitar Rp 600 juta/bulan. “Tampaknya, banyak orang yang beralih. Dari semula memiliki perhiasan emas, terus berpindah ke Eka Swasa. Ini karena waktu itu harga emas naik berkali-kali lipat,” Masfuk menjelaskan.
Berkah inilah yang mengantar Grup Eka membeli kantor baru di Jalan Indrapura, Surabaya, sedangkan pabriknya masih tetap di Jalan Kemayoran Baru, Surabaya. Tahun 2000, karena terpilih menjadi Bupati Lamongan, Masfuk turun dari kursi Presiden Direktur ESGJ. Naik menjadi chairman, posisinya lantas digantikan Mudjib. “Saya masih sering konsultasi dengan Pak Masfuk. Agar dalam pengambilan keputusan, kesalahan dapat diminimalisasi,” kata Mudjib.
Di bawah komando Mudjib, gerakan Grup Eka tidak kalah garang. Selain ditunjukkan oleh jumlah karyawan yang mencapai 400 orang (dari sebelumnya 250 orang) dan peningkatan kepasitas produksi hingga kini mencapai 60 ribu pieces/bulan, juga oleh sukses ESGJ memiliki kantor baru nan megah pada 2006 di kawasan elite Surabaya, Darmo. Modalnya dari hasil penjualan kantor di Jalan Indrapura dan keuntungan yang diraih. Sayang, Mudjib enggan menyebut nilai pembelian kantor yang diberi titel Graha Platino itu. ”Saya hanya melanjutkan apa-apa yang sudah dilakukan Pak Masfuk,” ujar lulusan Jurusan Sejarah Islam IAIN Sunan Ampel itu.
Salah satu kunci sukses ESGJ adalah variasi yang diupayakan mengikui tren perhiasan emas terkini. Untuk itu, hampir tiap bulan Mudjib harus bolak-balik Surabaya-Hong Kong, untuk melihat dan mempelajari desain yang sedang menjadi tren di kawasan Asia. Hong Kong dipilih karena merupakan trend setter industri perhiasan, mulai dari emas, perak, hingga monel. Biasanya, setelah Hong Kong, tren itu akan mengalir ke Singapura, terus baru masuk Indonesia. Dengan menyambangi Hong Kong, alur itu bisa dipangkas sehingga ESGJ bisa cepat mengikuti tren terkini.
Hasil dari kunjungan tersebut dipadukan dengan desain dari buku, web, dan sumber lainnya. ”Tiap minggu, bagian riset menghasilkan 5-6 desain. Setelah disesuaikan dengan bagian pemasaran pada hari Senin, desain lantas mengerucut menjadi 3-4 jenis. Perkara mana yang akan dilempar ke pasar, keputusan itu ada di saya. Saya harus mempertimbangkan kemungkinan serapan pasar,” papar Mudjib yang lahir di Lamongan pada 15 Juni 1959.
Terkait harga, pricing ESGJ berbeda dari perhiasan emas yang menggunakan gramatorium. Eka Swasa menggunakan patokan desain. Semakin rumit, makin mahal. Namun, bila dibandingkan dengan emas, harga Eka Swasa masih tergolong lebih murah. Cek saja, 1 piece perhiasan Eka Swasa ditawarkan seharga Rp 25 ribu-300 ribu. Bandingkan dengan emas batangan 24 karat yang harga per gramnya pada 15 Oktober 2010 sudah menyentuh titik Rp 389 ribu. Itu pun belum termasuk biaya produksinya yang kerapkali lebih dari harga 1 gram emas.
Sementara, agar setiap bulan bisa memproduksi 40 ribu piece Eka Swasa, 15 ribu perhiasan kombinasi dan 5 ribu piece Eka Silver, dan kemudian mendistribusikan ke ratusan gerainya, ESGJ mendayagunakan 400 karyawan tetap dan lebih dari 1.000 orang plasma yang tersebar di kawasan Porong, Lumajang, Sidoarjo, Bangil, Mojokerto dan Pandaan. ”Plasma itu adalah anak-anak lulusan sekolah yang di-training setahun di Surabaya, kemudian diminta pulang ke daerahnya untuk melatih pemuda setempat,” ujar Mudjib menerangkan.
Untuk pemasaran, Mudjib mengaku cukup aktif. Dalam sebulan, ia beriklan 7-8 kali di koran lokal seperti Jawa Pos dan Harian Surya. Ia juga beriklan di televisi lokal seperti JTV dan TVRI Jawa Timur. Sesekali ia beriklan di SCTV, TVone dan Trans TV. Lalu, dirinya juga berklan 5-6 kali setahun di pameran besar seperti Inacraft dan Pameran Produk Ekspor di JCC, Senayan, Jakarta. Selain itu, ia kerap menggelar pameran lokal di mal-mal di berbagai daerah.
Biasanya iklan itu digencarkan menjelang Lebaran, Natal dan Hari Valentine. Dirilis pula paket penjualan khusus saat hari raya ataupun Valentine, sehingga penjualannya bisa melonjak 200%-300% saat hari raya dan 50% saat Valentine. Hal itu tentu jauh lebih besar ketimbang pertumbuhan penjualan tahunan ESGJ yang rata-rata 20%.
Mudjib juga memikirkan perubahan teknologi dewasa ini. Untuk itu, sejak 2007, sistem penjualan dan keuangan di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang di-online-kan dengan kantor pusat di Graha Platino Jalan Dr. Soetomo 43, Surabaya. “Hasilnya, pengambilan keputusan lebih cepat,” ujar Mudjib yang mengaku sistem TI-nya dibuat secara inhouse.
Sekarang, ESGJ sedang mempersiapkan jenis perhiasan baru, yaitu Platino Combine Jewelry, yang harganya di atas Eka Swasa tetapi tetap di bawah harga emas. Sebagai contoh, cincin kawin yang sekarang beredar di pasar ditawarkan Rp 5-6 juta/pieces, sedangkan cincin kawin kelompok Platino Combine Jewelry cuma dipasarkan pada harga kurang dari Rp 1 juta. Itu sudah ditempeli emas murni dan berlian. ”Sekali lagi, ditempeli. Bukan plated. Kalau ditempeli, tidak akan hilang. Dan itu memerlukan teknik tersendiri, yang tidak semua orang bisa mengerjakan,” Mudjib menjelaskan.
Selain itu, ESGJ sedang menggodok pola distribusi baru. Setelah fokus menggunakan konter sendiri, pada awal 2011 awak pemasaran ESGJ secara aktif akan masuk ke toko-toko emas di tingkat kabupaten sampai kecamatan. Toko-toko tersebut akan dijadikan jaringan distribusi baru dengan model kerja sama. ”Kami juga sedang merancang model franchise, sehingga di masa mendatang produk kami hadir di seluruh toko emas. Ini menjadi pilihan lain bagi pembeli, yang ingin memiliki emas tapi kemampuan dananya terbatas. Ini memang akan membangunkan pemain emas yang sudah eksis,” tambah Masfuk.
Salah satu mitra atau yang biasa disebut agen ESGJ, Erna Hardiono, yang memasarkan produk ESGJ di Jalan Diponegoro, Brebes, dan satunya lagi di Jalan Kupang, Surabaya, mengaku cukup puas menjadi agen. ”Selain produknya laku, marginnya juga besar, 30%,” ujar Erna yang sudah lima tahun menjadi agen ketika dihubungi SWA.
Selain itu, Erna juga mengaku ketepatan pelayanan ESGJ bisa diandalkan, dalam arti pemesanan sangat mudah melalui katalog dan pengantarannya tepat waktu. Ketika dimintai masukannya, Erna yang juga berinvestasi di emas murni menyarankan ESGJ lebih menambah varian modelnya sesuai dengan tren model emas terkini. ”Tapi model yang lama jangan ditinggalkan, karena sudah memiliki penggemar fanatik.”
Ketika dimintai pendapatnya, Bambang Irawan, konsultan manajemen yang tinggal di Surabaya, mengagumi perjalanan ESGJ. ”Perubahan yang dilakukan secara terus-menerus mengisyaratkan implementasi inovasi dalam menghadapi era pasar yang berubah,” ujar Bambang.
Pemikiran untuk menumbuhkembangkan pola distribusi baru, sementara pada saat bersamaan masih fokus pada konter milik sendiri, menurut Bambang, merupakan langkah awal yang baik. ”Terutama bila dikaitkan dengan upaya menyempurnakan mata rantai pasok dari konsep SCM (supply chain management),” paparnya. Dengan terus membuka sekaligus membuat pasar baru, ESGJ mudah menguasai pasar yang ada. “Apalagi, untuk sementara ini, hanya dia sendiri pelakunya.”
Masfuk mengakui hingga kini belum ada pemain lain yang memasuki segmen sejenis. Dengan demikian, Grup Eka melenggang kangkung sendirian. “Terus terang, sampai sekarang kami masih single fighter. Mungkin pemain lain belum menemukan formulanya. Dan, itu menjadi rahasia kami. Kami tidak mungkin membukanya.” Nah, Anda tertarik turut menyibak rahasia bisnis keemasan ini?(***)
Suhariyanto dan Eddy Dwinanto Iskandar (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment