Friday, May 6, 2011

Kenalkan, Rajanya Stand Contractor…

oleh : Henni T. Soelaeman

Sempat bekerja serabutan di Ibu Kota, lewat Pentawira, Egi Kristian mampu menaklukkan Jakarta. Bahkan, bisnisnya juga menggelinding sampai ke negeri jiran. Bagaimana lika-likunya?

 Pentawira dan Egi Kristian adalah dua nama yang sangat familier di kalangan pelaku bisnis pameran. Pentawira dikenal sebagai official contractor langganan para penyelenggara pameran dan event besar. Sebut saja Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Java Jazz. Sementara Egi Kristian, tak lain, pemilik sekaligus Presdir Pentawira. Di tangan Egi, Pentawira melesat meninggalkan puluhan pemain yang mengerumuni bisnis stand contractor. Bahkan, Pentawira mampu menyalip Citineon Prima Mandiri, official contractor tempat Egi dulu bekerja.



Pengakuan itu datang dari kolega bisnis Pentawira, yang sama-sama menerjuni bisnis serupa. Benjamin Bramono, Manajer Pemasaran Griya Raya Disatama, mengakui perusahaan yang dibangun Egi merupakan perusahaan nomor satu di bidang stand contractor. Saat ini, menurutnya, ada sekitar 50 perusahaan sejenis di Indonesia. “Paling besar Pentawira, selain itu di bawahnya Citineon Prima Mandiri, kalau kami masih berada di middle,” tuturnya. Ia menilai, Pentawira memiliki lingkup yang luas dan menyeluruh, banyak pameran besar menjadikan Pentawira sebagai official contractor.



Pengakuan serupa diungkapkan Ralph Scheusnemann, Direktur Pemasaran Jakarta International Expo. Sudah bertahun-tahun, menurutnya, Pentawira menjadi mitra JIExpo sebagai official contractor PRJ, perhelatan besar yang dikerjakan JIExpo. Dalam pandangannya, yang dilihat dari pelanggan terhadap perusahaan jasa stand contractor adalah kualitas yang bagus. “Pentawira memiliki keunggulan itu, mengikuti perkembangan pasar, selera pasar, serta dapat dipercaya kala diberi pekerjaan,” kata pria berkebangsaan Jerman ini.



Ia menambahkan, di antara para pelaku bisnis stand contractor, Pentawira bisa memvisualisasikan keinginan dan kebutuhan pelanggan. Toh, ia menyarankan Pentawira agar tetap bisa menjaga kualitasnya. “Kalau sudah kelas Mercedes, istilahnya, dia harus jaga kelas di situ,” katanya. Begitu pula, sang komandan Pentawira dinilai Ralph adalah orang yang mau belajar dan bekerja keras. “Dalam bisnis ini, menjaga hubungan sangat penting, Egi memiliki kekuatan tersebut. Tidak heran, Pentawira merupakan stand contractor terbesar saat ini,” katanya.



Ya, puluhan pameran besar bertaraf internasional hadir di Jakarta saban tahun, mulai dari pameran kerajinan, furnitur, kecantikan, komputer, laboratorium, perhiasan, pendidikan, sampai otomotif. Di antara puluhan pameran itu, Pentawira kerap mengambil bagian sebagai official contractor. Memang, di kalangan event organizer (EO) yang menjadi penyelenggara pameran tersebut, mitra yang sering digandeng adalah Pentawira, yang membantu mereka mendesain stan pameran. Saat ini, Pentawira menguasai banyak klien besar. Sebut saja Yamaha, Bajaj, TVS, BNI (official partner Java Jazz, sehingga Pentawira selalu membantu salah satu perhelatan jaz terbesar di dunia itu saban tahun), PT Gudang Garam Tbk., Minerva, PT Summarecon Agung Tbk., PT Sony Indonesia, Nestle (produk Dancow), PT Pertamina (Persero) dan JIExpo.



“Bisnis kami membantu mendesain stan mereka kala ingin mengikuti pameran,” kata Egi. Pentawira juga kerap menjadi official contractor oleh EO besar dalam penyelenggaraan pameran yang diadakan mereka. “Kami jadi official contractor untuk PRJ,” ujar Egi. Ia menambahkan, pada Mei ini pihaknya mengerjakan 10 stan di pameran yang diadakan Indonesia Petroleum Association, antara lain stan untuk BP Migas, Pertamina, Cevron, dan COSL.



Tak hanya jago kandang, sejak dua tahun lalu Pentawira juga merambah Malaysia dan Singapura. Dengan nama Pentrex International Pte. Ltd. yang berkantor di Kreta Ayer Road, Singapura, Egi berambisi mengepakkan sayap ke mancanegara. Target Egi dalam 10 tahun ke depan, Pentawira bisa dikenal di Asia Tenggara. “Sekarang sudah mulai pasar bebas, kami harus bersiap, bahkan mestinya lebih besar. Kami ingin Pentawira bukan saja dikenal di Malaysia tapi hingga ke Hong Kong,” Egi menerangkan.



Menurutnya, saat ini di Indonesia ada lima perusahaan sejenis yang berada di papan atas. “Pentawira harus dikenal sebagai perusahaan stand contractor yang pandai memvisualkan harapan pelanggannya,” katanya. Jadi, pelanggan merasa puas kala berpameran, karena stan yang dibuatkan Pentawira memiliki desain yang khas, spesial dan dikenang pengunjung pameran selain pemilik stan.



Pergumulan Egi di ranah bisnis ini boleh dibilang sebuah kebetulan. Ketika itu, Egi yang perantauan dari Pontianak, memutuskan menerima ajakan Yos Theosabrata bergabung di perusahaan stand contractor, PT Citineon Prima Mandiri, tahun 1986. Citineon Prima Mandiri yang berpatungan dengan orang Singapura ini tercatat sebagai raja stand contractor era 1980-an.



Ajakan Yos bak durian runtuh bagi Egi. “Saya pikir, ya coba deh peluang itu, toh usaha saya juga redup. Kadang suka nangis sendiri juga waktu itu, kok usaha susah sekali, padahal sudah berjuang keras,” ungkap Egi mengenang masa sulitnya. Diakuinya, ketika memutuskan merantau ke Jakarta, ia berpikir semuanya akan berjalan sesuai dengan impiannya. “Alasan biaya juga sih,” kata Egi mengenang sambil tersenyum.



Ia menceritakan, orang tuanya yang asli Cina merantau ke Indonesia karena ingin memperbaiki hidup. Keterbatasan pendidikan orang tuanya membuat keluarga Egi hidup pas-pasan. “Sekolah pun susah, sejak usia lima tahun saya biasa jualan kue,” ungkap kelahiran 21 Maret 1950 ini. Upah berjualan kue ia gunakan untuk makan dan jajan. Bahkan, sejak SMP ia sudah bekerja di agen perjalanan yang dimiliki oleh Yudiawan – kini pemilik Batavia Air – yang terus berlanjut sampai SMA. “Ya mulai dari tukang antarsurat hingga tukang tagih,” ceritanya. Anak pertama dari lima bersaudara ini tak pernah menyesali keadaan. Ia justru tertantang untuk mengubah nasibnya. Setamat SMA, Egi sempat kuliah di Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Panca Bakti. “Kuliah di Universitas Tanjung Pura, tak ada biaya, ya masuk saja ke sekolah tinggi yang baru buka, jadi murah, meski dosennya kadang-kadang tidak masuk,” katanya sambil terbahak.



Keinginan mengubah nasib dan keterbatasan biaya membuat Egi bertekad bulat hijrah ke Ibu Kota. “Jabatan saya di agen perjalanan itu cukup bagus, sudah manajer,” katanya. Toh, niatnya tak bisa dibendung. Tahun 1980-an Egi merantau ke Jakarta. Namun hidupnya bukan lebih baik. Bukan hal yang mudah bagi orang berijazah SMA mencari kerja di Jakarta. “Pekerjaan pertama yang saya dapat jadi penjaga toko mebel,” tuturnya. Hanya bertahan seminggu Egi sebagai penjaga toko mebel. Karena pekerjaan masih serabutan, Egi terpaksa indekos di rumah petak yang kamar mandinya harus berbagi dengan penghuni lain.



Hingga akhirnya ia mendapat ide membuka usaha sablon. “Orang Pontianak memang banyak yang berusaha konveksi dan sablon,” katanya. Membuka usaha sablon dengan modal kecil dan alat sederhana dikerjakan sendiri secara serabutan. “Semua saya kerjakan sendiri, tapi juga tidak berkembang, ngepas deh hidup saya,” katanya lagi. Dari usaha sablon, Egi mencoba usaha percetakan. Ia kerjakan sendiri semua. Ada order cetak kartu nama misalnya, mulai dari desain, sablon hingga cetaknya dikerjakan sendiri oleh Egi. “Tapi tidak juga bisa besar, lha dapat ordernya cuma bikin buku bon, kartu nama, dan lain-lain dari perusahaan kecil, kalau perusahaan besar tidak bisa tembus,” ceritanya.



Hidupnya berubah kala bertemu salah satu pelanggannya, Yos Theosabrata yang kemudian mengajak Egi agar bekerja dengannya. Dewi Fortuna menghampiri Egi saat ia bergabung dengan Yos di Citineon. Pelahap bacaan ini mengaku belajar banyak di perusahaan yang ketika itu paling moncer. “Waktu zaman Pak Harto (Presiden Soeharto – Red.) banyak pameran diadakan, Indonesia sedang banyak melakukan promosi, Citineon pun berkembang pesat,” tuturnya. Ketika itu bidang usaha stand contractor belum dikenal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing yang mengadakan pameran di Indonesia selalu mengorder pembuatan stannya pada Citineon yang asal Singapura.



Kerap berinteraksi dengan orang Singapura juga membawa hoki bagi Egi. “Orang Singapura kan banyak yang bicaranya Hokian, kalau saya bisanya Kek (salah satu gaya bahasa Mandarin – Red.), tapi hampir sama, jadi saya agak mengerti bahasa Hokian,” paparnya. Tak ayal, Egi pun kerap mendapat tugas menemani para bos dari Singapura itu ke mana-mana. Interaksi langsung tersebut membuat Egi mendapat banyak pelajaran tentang bagaimana sebenarnya usaha stand contractor. “Saya baru benar-benar merasakan, inilah pekerjaan yang membuat saya jatuh cinta. Saya tidak hitungan, orang lain sampai bingung, saya kerja sampai pagi pun tak apa,” kata Egi yang memulai karier dari bawah di Citineon sampai mencapai posisi cukup baik, sebagai manajer operasional.



Keinginan membangun bisnis yang terus menggelitiknya memicu tekad Egi untuk melepas kenyamanan yang sedang dia nikmati. Tahun 1994, Egi meminta izin pada Yos untuk bisa mandiri. Setahun berikutnya, Egi pun menapaki babak baru kehidupannya dengan menggeluti bisnis di bidang stand contractor. Bidang ini dipilihnya selain karena ia sudah belajar banyak, juga ia menilai ada banyak hal yang masih bisa dikembangkan. “Saya lihat ada hal-hal yang mestinya bisa dikembangkan di bisnis ini,” ungkapnya. Pada 1 Januari 1995, lewat bendera Pentawira, Egi memulai debutnya sebagai pengusaha yang bermain di ranah official contractor.



Ketika itu, penguasa bisnis kontraktor pameran hampir semua dari Singapura. Ada empat perusahaan besar asal Singapura selain Citineon yang membuka usaha stand contractor di Indonesia. “Saya pikir, mesti pakai nama lokal agar terasa Indonesianya,” kata Egi. Menurutnya, nama Pentawira berasal dari kata Penta (lima) yang diambil karena Egi terlahir dari lima bersaudara. Wira sendiri diambil dari kata perwira. Ia berharap perusahaannya dijalankan dengan jiwa ksatria, beretika, dan mengambil sari dari perwira yang berjiwa ksatria.



Modal sebesar Rp 25 juta untuk menggelindingkan Pentawira saat itu diambil dari uang pesangon dan pinjaman dari adiknya. “Uang terima kasih dari saya bekerja di Citineon ditambah pinjaman dari adik perempuan saya yang sudah menikah yang kebetulan usahanya cukup bagus di Pontianak,” Egi menuturkan. Kantor Pentawira pertama, Egi meminjam rumah milik adik perempuannya yang lain di sebuah kompleks perumahan di Sunter. “Workshop saya gunakan fasum (fasilitas umum – Red.) kompleks perumahan di depan rumah, baru beberapa minggu berjalan saya ditegur pengurus RT setempat,” ujarnya sambil terbahak.



Jaringan yang dibangun selama Egi bekerja di Citineon membawa kemudahan baginya mengembangkan Pentawira. Ia langsung mendapat order pertama Majalah Femina. Kala itu ia dipercaya membuka dua stan buat pamerannya. “Saya di Citineon bukan orang pemasaran lho, tapi saya senang bantu pekerjaan orang lain, maka itu jaringan saya juga bagus, banyak teman,” katanya. Waktu awal membangun bisnis ini, menurutnya, sangat banyak perusahaan sejenis. Sebagai pemain baru, Egi pun melancarkan jurus yang berbeda agar bisa lebih menonjol dibanding pesaing.



Dalam menjalankan bisnis, Egi sangat peduli pada kualitas dan pelayanan prima. Setiap pekerjaan yang diterima selalu dikerjakan sebaik-baiknya. “Strategi saya waktu itu, memberikan lebih dari mereka. Karena waktu itu perusahaan stand contractor kebanjiran order, kondisinya demand lebih besar dari supply, efeknya, mereka rada arogan,” katanya. Sebagai perusahaan baru, Egi melihat ada celah yang bisa dimasuki Pentawira, yakni memberikan layanan yang lebih bagus. “Pekerjaan tidak pernah ditinggal, orang Pentawira akan stand by di tempat itu hingga pekerjaan selesai.” Selain itu, Pentawaira berusaha memenuhi keinginan dan kebutuhan klien. Karyawan ditekankan untuk ready to serve. “Hanya itulah satu-satunya yang bisa saya jual, sebab kalau dari segi desain kala itu mungkin kalah, maka segi pelayananlah yang saya tekankan,” ucap Egi.



Kala Pentawira pertama dibangun, Egi hanya dibantu beberapa orang. “Semua saya kerjakan sendiri, mulai dari pemasaran dan pekerjaan lain,” tuturnya. Tahun 1996, Egi sudah bisa melihat perkembangan yang cukup bagus dari bisnisnya. Kondisi terbaik dirasakan pada 1997. Ketika itu Pentawira bisa mengerjakan banyak stan pameran. Bisa dikatakan tiap hari pasti ada kesibukan mengerjakan stan pameran. Sayang, Egi tidak berkenan menyebut angka omsetnya kala itu. Ia berdalih lupa berapa stan pameran yang dikerjakan Pentawira. Tahun 1997, selain order berlimpah, Egi juga diuntungkan dengan harga jasa membangun stan pameran yang cukup bagus.



“Perusahaan luar negeri memberi kami harga dolar,” kata Egi seraya mencontohkan, dulu ia bisa mendapat Rp 20 juta untuk satu stan, padahal modalnya hanya Rp 5 juta. Dalam satu kali pameran, Pentawira bisa mengerjakan lebih dari 10 stan. “Saya saat itu bisa beli rumah,” kata suami Patricia yang menikah tahun 1988 ini.



Namun, buah manis itu tak selamanya bisa ia cecap. Saat krismon tahun 1998, Pentawira juga terkena imbasnya. “Baru mau menikmati, terempas krisis ekonomi dan kerusuhan,” ujar Egi. Dampak kerusuhan di Jakarta waktu itu membuat perhelatan pameran pun sepi. Akibatnya Pentawira sepi order. “Kami sebenarnya sempat mendapat berkah 1997, dolar melimpah, tahun 1998 kan dolar melambung hingga Rp 14 ribuan per dolar, tapi itu tidak bisa kami gunakan terus untuk membiayai karyawan,” paparnya.



Akhirnya Egi harus mengambil keputusan yang cukup berat atas 40 karyawan yang ada saat itu. Egi memang bersikeras tidak mau menutup Pentawira meski kondisinya parah sekali. “Saya sampaikan pada karyawan, Pentawira jangan tutup, karena saya yakin kami masih bisa jalan,” ujarnya. Walau demikian, Egi tidak mau menelantarkan karyawan. Uang yang ada harus dikelola secara hati-hati. Akhirnya, dari usulan urun rembuk dengan karyawan, Egi menyarankan sebagian karyawan pulang kampung (sebab sebagian besar karyawan Egi adalah tukang – Red.). Hanya saja, mereka tidak mendapat gaji, Namun kala pekerjaan di Pentawira kembali aktif, para karyawan itu meminta agar diprioritaskan untuk dipanggil kembali. “Sebagian karyawan lainnya, saya terapkan shifting masuk kerja. Giliran 7 hari, 7 orang masuk, gantian minggu kemudian giliran yang lain,” tuturnya.



Meski perkerjaan tidak ada, bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Egi tetap membangun kerja sama, meski karyawan hanya berjaga saja di kantor dan mengerjakan pekerjaan kecil-kecil. “Percaya tidak, kami sampai menanam kangkung,” ungkap Egi, yang kemudian bersyukur dengan pilihannya untuk tetap beroperasi di tengah-tengah pemain lain yang memilih tutup. Ternyata keputusan itu tidak salah. Egi mendapat berkah. Setelah kerusuhan mulai reda, para perusahaan pengelola pameran (EO) larinya ke Pentawira. “Mereka cari ke stand contractor langganan tapi sudah tutup, akhirnya order jatuh ke Pentawira.”



Pentawira pun kembali menggeliat. Apalagi saat itu dolar masih tinggi dan banyak perusahaan mengekspor produknya ke luar negeri. Pentawira pun kebanjiran pekerjaan membantu membangun stan pameran produk ekspor. Setelah selama 6 bulan terpuruk tidak ada pekerjaan, karyawan yang dipulangkan kembali dipanggil Egi karena order pameran mulai berdatangan. Sejak itu Pentawira makin berkibar. Pelanggan besar pun bisa digaet Pentawira.



Diakuinya, kekuatan dirinya dalam membangun Pentawira selain memberikan pelayanan terbaik adalah membangun jejaring bisnis yang bagus. “Saya percaya, bisnis itu harus punya jejaring yang bagus. Kami harus tahu di mana ‘ikan’ itu ada,” katanya. Egi sadar betul, word of mouth marketing menjadi kunci bagi Pentawira bisa mendapat repeat order. “Saya kan tidak mungkin lakukan promosi saat awal bisnis, jadi ya saya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.” Maka, ia tak segan nongkrongin pekerjaan yang diberikan padanya. “Bahkan kalau perlu, berikan yang unexpected kepada pelanggan.” Contohnya, memberi hiasan bunga gratis di stan yang dikerjakannya. Padahal dalam penawaran jasa, tidak ada item tambahan itu.



Apa yang dicari dari stand contractor, menurut Egi, bukan perusahaan yang paling murah. Melainkan, memperoleh stand contractor yang bisa mengimplementasi konsep yang diharapkan pelanggan. “Perusahaan yang tujuannya branding dengan perusahaan yang tujuannya menjual produk, beda nuansanya, jadi kami harus paham apa tujuan mereka. Pentawira harus bisa memvisualkan apa yang diharapkan klien,” tutur pria yang punya cita-cita awal sebagai wartawan ini. Meski bukan arsitek, Egi punya insting seni yang tajam. Maklum, sejak SMA ia menyukai menggambar dan mendesain. Saat ini Egi memiliki 100 pekerja tetap, dengan 13 arsitek dan desainer interior, plus pekerja harian 300 orang (tukang kayu, tukang cat, dan sebagainya).



Seiring keberhasilan yang diraih, Pentawira pun kemudian tidak lagi hanya mengerjakan pembangunan stan. Bisnisnya juga sudah merambah peluncuran produk, road show dan berbagai kegiatan aktivasi merek. “Merek itu kan banyak melakukan aktivasi, Dancow itu kami yang membantu desain aktivasinya,” katanya. Pentawira juga membantu dekorasi acara besar di mal, seperti mendekor mal untuk perayaan Imlek, Natal dan lain sebagainya. Jadi pekerjaan Pentawira saat ini, selain stand contractor adalah stand design dan konstruksinya, peluncuran produk, aktivasi merek, dekorasi mal (sifatnya festive), dan displai point of sales.



Diakui Egi, tantangan paling berat dalam bisnisnya adalah manajemen SDM. Karena itu, ia sangat peduli pengembangan SDM, meskipun belum menggunakan konsultan khusus. Egi yang kerap mengikuti seminar dan lokakarya manajemen, selalu menerapkan dan menularkan ilmu yang dia peroleh. “Aset kami adalah karyawan. Pekerjaan ini menuntut kami harus tepat waktu, orang tidak peduli, harus jadi stan sesuai dengan waktu yang diharapkan dan desain yang dipesan,” ia menjelaskan. Makin besar pameran yang dikerjakan, persiapan SDM-nya pun harus bagus. Apalagi jika pameran itu dibuka oleh RI 1 dan RI 2. “Dibutuhkan tim yang paham time schedule, paham fungsi masing-masing, solid, mau berkomunikasi dan sebagainya,” imbuhnya.



Kunci sukses menjalankan bisnis stand contractor, menurutnya, harus memiliki perencanaan yang baik. Toh, itu bukan hal mudah, sebab kebanyakan orang kita masih kurang menghargai waktu. “Saya ingin Pentawira dikenal bukan karena Egi-nya, pelan-pelan saya mundur, yang muda-muda saya dorong. Ini saya lakukan sambil belajar,” kata Egi, yang ingin perusahaannya terus berdiri hingga waktu yang lebih panjang. “Saya tidak ingin ini jadi perusahaan keluarga, saya berharap Pentawira menjadi perusahaan profesional.”



Tantangan Pentawira, menurut Egi yang minimum melahap lima buku tiap bulan, bagaimana agar bisa sukses melakukan regenerasi dan estafet kepemimpinan. “Saya ini tidak punya latar belakang pendidikan manajemen, saya dapatkan pengetahuan itu dari buku, seminar dan lokakarya,” kata Egi, yang setiap kali membaca buku yang bagus, dia akan membeli lagi buku itu cukup banyak, lalu membagikannya ke karyawan. “Tiap dua minggu mereka akan saya kumpulkan, lalu saya tanya apa isi buku yang saya bagi itu,” ujar Egi yang punya keinginan keliling Indonesia di masa pensiunnya kelak.



Egi mengaku perkembangan Pentawira dari waktu ke waktu menunjukkan pertumbuhan yang bagus. Sayang, ia tidak mau menyebut omsetnya. “Harga per stan beda-beda, ada yang per 1 m2 Rp 2,5 juta, ada pula yang satu stan simpel desainnya hanya Rp 150 ribu per m2,” katanya. Total setahun berapa m2 dikerjakan Pentawira? Lagi-lagi Egi menjawab dengan senyum.



Dalam pandangan Andre Vincent Wenas, pertumbuhan bisnis sebuah usaha itu berhubungan erat dengan gaya manajemen seseorang. Artinya, komitmen seseorang untuk mengurus bisnisnya. Kala seseorang habis-habisan dalam mengelola bisnisnya, Andre yakin perusahaan itu 99,9% pasti jalan. “Hanya tinggal sinergi bisnis itu dengan kesempatan pasar yang ada, nah kesempatan itulah yang diambil Egi,” kata pengamat kewirausahaan ini.



Ia menilai Egi memiliki kekuatan dalam berusaha. “Apalagi dia menghadapi kenyataan hidup bahwa dia harus bangkit dari kemiskinan, Egi saya nilai pekerja keras yang pantang menyerah,” katanya. Apalagi, menurut Andre, Pentawira didirikan kala Indonesia sedang berkembang dan perusahaan mulai sadar betapa pentingnya mengikuti pameran. Kebutuhan pasar ini terbuka dan Egi menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia menyarankan, agar Pentawira bisa terus berkembang sesuai dengan harapan Egi sendiri, maka tidak boleh melupakan Customer Relationship Management. “Saya menyarankan agar klien dikelola secera individual, jadi manajemen account-nya harus kuat,” tutur Andre yang kerap mentransformasi bisnis perusahaan. “Pekerjaannya terkait dengan promosi getok tular, dari mulut ke mulut, maka itu layanan harus kuat,” ia menegaskan.



Dalam pandangannya, jika Pentawira ingin menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, harus sudah mulai ancang-ancang mengepakkan sayap layanannya ke negeri tetangga. Saran Andre, Pentawira harus mulai menggarap membantu pembangunan stan di Singapura. “Singapura itu kerap mengadakan pameran tingkat dunia, di sanalah Pentawira bisa dikenal,” ujarnya. Setelah itu, baru masuk ke negara lain seperti Malaysia dan negara Asia lainnya. “Pengembangan bisnis itu kuncinya di people, jadi kalau ingin keluar dan besar di Asia Tenggara, SDM-nya harus kuat. Saya pikir itulah kekuatan Pentawira,” katanya.



Andre juga berharap Egi sudah harus mulai mengembangkan ke impresario atau arranger pameran ke luar negeri. “Egi harus membangun organisasi yang kuat, agar bisa membangun orang-orang sehingga bisa membangun bisnisnya di luar nantinya. Jika ingin lebih besar, Pentawira harus mencoba juga ke Jerman, banyak pameran besar dunia diadakan di sana,” tutur Andre.


Reportase: Herning Banirestu (sumber swa online)

No comments: