Saturday, September 29, 2012

Donni, Modal Awal 300 Ribu, Kini Bisnis Buku Catatan 'Nuwahardo'-nya Telah Beromzet 9 Jt/Bulan

Jakarta - Saat ini perkembangan
teknologi sangat pesat seperti
hadirnya komputer tablet,
smartphone dan lainnya. Hal ini
tidak meruntuhkan niat pria ini
untuk menjalankan bisnis produksi
buku catatan konvensional dengan
desain yang unik.

Adalah Donni Arifianto berani
meninggalkan karir lamanya
sebagai pelukis dan fotografer
untuk terjun ke usaha yang telah
ditekuninya selama kurang lebih 1
tahun.

Ide untuk membuat buku yang
diberi nama 'Nuwahardo' ini
terbesit saat ia menghadiri sebuah
acara seminar yang diisi oleh
Ridwan Kamil, seorang arsitek
tersohor di Indonesia, yang pada
saat itu menenteng buku catatan
kecil di tangannya.

"Sekarang orang hampir semua
punya smartphone, iPad. Apapun
sudah ada disana. Padahal
realitanya masih perlu media
konvensional. Waktu itu saya lihat
Ridwan Kamil bawa-bawa buku
catatan. Itu semakin membuat
saya yakin kalau ini (buku catatan)
masih dibutuhkan," ungkapnya
saat kepada detikFinance, Senin
(10/9/12).

Dengan modal awal keberanian,
nekat dan uang Rp 300 ribu, saat
ini ia bisa mendapatkan omzet
senilai Rp 9 juta/bulan. Jumlah ini
memang tidak terlalu besar,
namun juga tidak terlalu kecil
untuk usaha pendatang baru.
Sampai saat ini, sudah banyak
kalangan yang memesan bukunya
pada pria yang akrab dipanggil Ido
ini. Mulai dari orang biasa hingga
publik figur, perseorangan,
maupun perusahaan.

"Alhamdulillah sudah banyak yang
mesan. Mulai dari perusahaan
Antam (Aneka Tambang) kemarin
pesan 100 terus repeat 25 buah
lagi. Publik figur juga ada yang
pesan, Kevin Aprilio, penulis
seperti Dewi "Dee" Lestari, Iwan
Setiawan, band Indonesia White
Shoes and The Couples Company,
banyak lagi," paparnya.

Keunikan dari buku catatan yang
dijual Ido ini adalah semua proses
pembuatannya menggunakan
tangan sendiri atau handmade,
termasuk penjilidan dan
pengeleman, pengguntingan,
kecuali untuk proses grafir dan
laser. Bahan utama yang
digunakan adalah kertas, dan kulit
sebagai sampul.

Pemesan pun diizinkan untuk
membuat desain dan model
sendiri. Untuk desain, pria lulusan
Seni Rupa Universitas Pendidikan
Indonesia ini mengandalkan
keahlian terdahulunya sebagai
pelukis.

"Keistimewaaan dari buku ini, si
pemesan bisa pesan by request,
model sendiri tanpa minimum
order. Desainnya menarik tapi
elegan," katanya.

Harga yang dipatok Ido untuk
'Nuwahardo' ini mulai dari Rp 150
hingga 175 ribu per buah,
tergantung adari ukuran buku
yang dipesan. Ia membidik
kalangan menengah ke atas sebagai
target utama pasarnya.

"Target pasarnya middle to high,
mahasiswa dan pekerja. Dari usia
20 tahun ke atas lah," katanya.
Tak hanya dipasarkan di Indonesia,
rencananya pada bulan Oktober
nanti, produk ini akan juga
dipasarkan di negara-negara Asia.
Ia menyebut Manila dan Singapura
adalah negara yang akan
kedatangan produknya.

"Sudah ada pihak yang mau ikut
memasarkan juga. Insya Allah
nanti bakal dipasarin di negara
lain, Singapura dan Manila
Oktober nanti," katanya.

Bagi anda yang tertarik untuk
berbisnis dengan pria ini untuk
memesan atau bahkan menjadi
reseller atau sekedar bertanya-
tanya apa yang menginsiprasinya,
anda bisa datang ke workshop
Nuwahardo di Kompleks Taman
Kopo Indah Blok E No 5, Bandung
Jawa Barat.( Zulfi Suhendra)

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/09/10/112524/2013249/480/

Friday, September 28, 2012

Panut, Mantan Karyawan Ini Kini Jadi Bos Tas Rotan Kualitas Ekspor Beromzet Puluhan Juta

Jakarta - Menjadi karyawan atau
wirausahawan merupakan pilihan
bagi setiap orang. Hal ini yang
dialami oleh Panut Mulyajaya asal
Bantul, Yogyakarta.

Panut menggeluti usaha tas rotan
kualitas ekspor, setelah menjadi
karyawan selama 11 tahun pada
sebuah perusahaan mebel
berbahan baku rotan.

Berangkat dari pengalaman kerja
itu, pada tahun 2001, Panut
akhirnya mendirikan Anggun Rotan
yakni usaha pembuatan handicraft
berbahan baku rotan namun
dengan konsep produk berbeda.
Panut melihat peluang produk tas
berbahan baku utama rotan. Tidak
disangka, respons pasar terhadap
produk buatannya sangat tinggi.

"Saya ingin cari inovasi dan
produk baru, yang belum banyak
orang produksi tapi basic-nya
rotan, akhirnya ke handicraft
yakni tas," kata Panut kepada
detikFinance saat ditemui di JCC
beberapa waktu yang lalu.
Seiring berlalunya waktu, pangsa
pasar produk tas rotan panut pun
meluas hingga negeri Sakura
Jepang dan Iran, Timur Tengah.

Selain itu, Panut mengaku pangsa
pasar produknya 50 persen
ditujukan untuk ekspor.
"Ekspor paling banyak ke Jepang,
Iran, ke Thailand juga ada,"
tambahnya.

Harga yang ditawarkan oleh
Anggun Rotan ralatif terjangkau
untuk kualitas dan model yang
ditawarkan. "Harganya Rp 50 ribu-
Rp 250 ribu karena saya produksi
sendiri pasarkan sendiri, kalau di
luar negeri jutaan," tambahnya.
Usaha yang dijalankan Panut sejak
2001 silam ini, akhirnya berbuah
manis. Panut per bulan bisa
meraup omzet hingga Rp 80 juta.

"Dari karyawan 7 orang sekarang
40 orang, dulu omzet saya kecil
sekarang sudah lumayan. Omzet
Rp 80 juta per bulan," sebutnya.
Bisnis tas rotan Panut selama 11
tahun ini juga penuh tantangan,
salah satunya ketika ia menerima
pesanan tas senilai ratusan juta
rupiah dari Iran. Setelah produk
pesanan jadi lantas pihak pemesan
malah tidak mengambilnya.
Namun pria lulusan Fakultas
Ekonomi Universitas Jember ini
tidak putus semangat, ia pun
memetik hikmah dari setiap
cobaan yang menerpa usahanya.
"Nilainya Rp 135 juta itu nggak
diambil," sambungnya.

Pada kesempatan itu, Panut tidak
lupa berpesan kepada para calon
pengusaha ataupun yang sudah
berusaha. Ia mengatakan menjadi
seorang pengusaha harus optimis
dan total dalam berusaha serta
tidak takut gagal.

"Kalau setengah-setengah mending
tidak usah, jadi apa yang kita
kerjakan mesti berhasil, kalau itu
salah itu nomor dua yang penting
kita coba dulu," pungkasnya.

Apakah anda tertarik terhadap
produk Anggun Rotan. Anda dapat
mampir ke Jalan Imogiri Km 14,
Manggung RT 02, Imogiri, Bantul,
Yogyakarta atau mengunjungi
website:
www.anggunrotanbag.com.
( Feby Dwi Sutianto)

Sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/09/28/113243/2042650/480/mantan-pegawai-pabrik-mebel-ini-kini-jadi-bos-tas-rotan-kualitas-ekspor

Rita dan Riko, Berawal dari Hobi, Curug Gentong-nya Kini Hasilkan Omzet Puluhan Juta

VIVAnews - Berawal dari hobi
hiking dan memiliki mimpi
memindahkan keindahan alam
tersebut ke rumah, bisnis ini
akhirnya dapat diwujudkan.
Curug Gentong, miniatur lanscape
yang disajikan dalam media gentong
itu hanya bermodal awal Rp5
jutaan, namun bisa meraup omzet
hingga puluhan juta rupiah per
bulan.

Rita Apriyanti (50) dan suaminya
Riko (52), mengawali bisnis ini
berdasarkan hobi. Dengan landasan
tersebut, jatuh bangun dalam
membangun bisnis tersebut
bukanlah permasalahan yang
berarti.

Menurut Rita, bisnisnya saat ini
sudah berkembang dan
menguntungkan. Bahkan, sampai
memiliki beberapa showroom
kerajinan tangan Curug Gentong.
Namun, hal yang terpenting, yakni
hasratnya dalam menuangkan
kreativitasnya dapat terakomodasi.
"Kalau kita membuat produk hasil
karya sendiri, tentunya ada
kepuasan," ujar Rita saat
berbincang dengan VIVAnews di
Jakarta, Selasa 25 September 2012.

Rita menceritakan, Curug Gentong
ini bukanlah usaha yang pertama
kali digelutinya. Sebelum usaha ini,
dirinya pernah menggeluti produk
daur ulang pernak-pernik boneka
dengan bahan baku sedotan.
Kemudian, pada awal 2003, dirinya
dengan bermodal
pengalaman hiking beserta suami,
dari situ ide untuk menyulap
pemandangan alam ke dalam
gentong tercipta.

Rita menuturkan, pada awalnya
bukan gentong yang dijadikan
media penyajian keindahan alam
tersebut. Ia sempat menggunakan
kaleng bekas sebagai media. Tetapi,
karena ketidakpuasannya dalam
mengeksplorasi kreativitasnya di
media tersebut, dirinya mencari
media lain.
Gentong dipilih karena selain
memiliki ruang yang luas,
nuansanya juga menyatu dengan
alam.

Produksi awal kerajinan ini dibuat
guna menghiasi ruang tamu di
rumahnya. Kemudian, dirinya
sekali-sekali memberikan hadiah
kepada kawannya dengan kerajinan
ini pada saat momen-momen
tertentu. Namun, lama kelamaan,
pesanan pun mulai mengalir.

Karena antusiasme dari pasar yang
tinggi terhadap produknya, dia pun
memutuskan untuk menekuni bisnis
ini. Bahkan, kala itu, suaminya yang
masih bekerja di Grup Astra sebagai
mekanik, diminta mundur dari
pekerjaannya dan menekuni bisnis
ini.

Bermodal awal Rp5 juta untuk
membeli alat-alat pendukung,
omzet awal masih pas-pasan pada
tahun pertama saat memulai bisnis
ini. Tapi, dengan kerja keras tanpa
beban, akhirnya menuai hasil dan
dapat berkembang hingga
menghasilkan omzet hingga Rp70
juta per bulan.

"Kami tidak berpikir omzet, karena
direspons masyarakat bagus dan itu
keberuntungan untuk saya,"
tambahnya.
Curug Gentong dibanderol sesuai
dengan ukuran dan tingkat kesulitan
pemandangan yang disajikan.
Kerajinan ini dibanderol cukup
terjangkau seharga Rp200 ribu
hingga Rp1,5 juta per unit.

Saat ini, Curug Gentong memiliki
empat showroom yang tersebar di
Pulau Jawa yaitu, Depok, Cianjur,
Surabaya, dan Tangerang.
Rita mengatakan, pemasaran Curug
Gentong telah sampai ke Papua.
Selain dapat melihat langsung ke
showroom, pemesanan juga dapat
diakses melalui website http://
curuggentongku.wordpress.com/.
Hingga saat ini, hobi hiking
bersama suaminya masih terus
dilakukan. Selain untuk melepaskan
kepenatan dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari, tradisi
tersebut juga dijaga guna mencari
inspirasi untuk menciptakan
pemandangan yang menawan.
Selanjutnya akan disalurkan melalui
miniatur pada gentongnya. (art)
( R. Jihad Akbar )

sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/354244-mendulang-omzet-puluhan-juta-dari-gentong

Thursday, September 27, 2012

Rushdy, Resign dari Perusahaan Operator Seluler, Kini Raup Puluhan Juta dari Bisnis Lovely Jello

VIVAnews - Siapa sangka, puding
dan jelly yang biasa dijual di
pinggir jalan bisa membuat
seseorang berpenghasilan minimal
Rp50 juta per bulan. Hal itu telah
dibuktikan Rushdy, dengan
usahanya bernama Lovely Jello.

Rushdy belum lama menekuni
usahanya itu. Baru tiga tahun
bisnisnya berjalan, ia sudah
mempunyai 168 gerai Lovely Jello
di seluruh Indonesia, dari Sabang
sampai Merauke.

Keinginan pria berumur 32 tahun
ini membuka franchise (waralaba)
tersebut, bermula ketika dirinya
masih menjadi karyawan di
perusahaan operator seluler
terbesar di Indonesia.

"Saat itu, gaji saya sekitar Rp5 juta.
Itu pas, waktu saya keluar pada
Januari 2010," ungkap Rushdy
ketika ditemui VIVAnews, beberapa
waktu lalu di Jakarta.
Sebenarnya, menurut Rushdy, ia
berkecimpung di bisnis waralaba itu
merupakan buah dari tantangan
beberapa temannya ketika masih
menjadi pegawai.

Selain bekerja di perusahaan
operator seluler, ternyata ia juga
mempunyai usaha lainnya, yaitu
berjualan es di mal dan membuat
event organizer bersama beberapa
temannya.
Ketika Rushdy mengadakan seminar
franchise, temannya menantang
dirinya agar membuka usaha
waralaba saja. Atas dasar itu, ia
yang memang sudah berjualan es di
salah satu pusat perbelanjaan di
Kediri itu, mulai fokus kepada
usaha barunya.

Akhirnya, pada Januari 2010, ia
resmi melepas status karyawannya
dan berfokus pada waralaba yang
dijalaninya hingga saat ini. "Waktu
itu, saya harus memilih, karena
keduanya tidak bisa berjalan
bersama-sama. Saya pilih usaha
sendiri," ujarnya. (art)

sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/354722-meraup-puluhan-juta-dari-jajanan-jelly

Kenny dan Kevin, Usia Masih Belasan Tahun tapi Sudah Sukses Lewat Usaha Keripik Siput Pedas

KOMPAS.com — Inspirasi
membuka usaha bisa dari mana
saja. Peluang itu ditangkap
Kenny Kurniawan (14) dan Kevin
(14), yang mengawali bisnis
patungan membuat keripik
siput (bekicot). Ide ini ia dapat
ketika mengikuti kegiatan di
sekolahnya, SMP Anugerah
Pekerti, Surabaya.

Kala itu, guru mata pelajaran
Etika Lingkungan, Bangun
Pratomo, meminta Kenny dan
Kevin untuk mencari tahu soal
siput. Ketika tugas kelar,
Bangun membuka pikiran Kenny
dan Kevin bahwa binatang siput
memiliki khasiat yang sangat
tinggi dan baik untuk kesehatan.

Masukan gurunya semakin
membuat rasa ingin tahu Kenny
dan Kevin semakin besar soal
manfaat siput. Keduanya
memutuskan mencari manfaat
lain dari siput di dunia maya.
Setelah mendapat pengetahuan
yang cukup, mereka yakin usaha
siput cukup menjanjikan.
"Kita berpikir, olahan siput
belum banyak orang lakukan.

Akhirnya kita memutuskan
bisnis olahan siput yang sangat
menguntungkan. Apalagi dari
segi pesaing sedikit sekali," ujar
Kenny Kurniawan, manajer
produksi Sipoet Zoen, kepada
Tribun, di FX Senayan, Jumat
(7/9/2012).

Usaha bersama yang dirintis
Kenny dan Kevin dimulai
pertengahan 2011. Sebelum
memutuskan untuk menjadikan
keripik berbahan baku siput,
muncul diskusi di antara
mereka. Setelah pikir-pikir,
mereka memutuskan siput
dibuat keripik sekaligus cemilan
menyehatkan.

Dengan sabar, mereka berbagi
tugas. Kevin dalam usaha ini
bertugas sebagai juru masak. Ia
mengaku suka sekali memasak
karena besar di lingkungan
keluarga yang dominan kaum
hawa. Di lingkungan ini, Kevin
ikut-ikutan belajar masak.
Kemampuannya memasak
menjadi modal Kevin.

Mengawali proses usaha ini bagi
Kevin dan Kenny cukup
mengasyikkan. Mereka sampai
harus mencari tahu di mana
mendapatkan bahan baku siput,
cara mengolah, sampai
memberikan cita rasa untuk
siput. Karena tak mungkin
mencari sendiri bahan baku
siput, keduanya memutuskan
untuk membeli siput yang
dioven setengah matang.
"Untuk mengolah siput jadi
keripik, harus dikeringkan. Kita
memutuskan membeli siput
yang setengah matang dioven.
Lalu kita goreng sendiri dan
langsung dikasih bumbu. Urusan
masak memasak langsung saya
yang menanganinya. Kalau
Kenny pegang marketing,"
terang Kevin.

Keripik siput pertama olahan
Kevin dibuat tanpa bumbu dan
masih mempertahankan rasa
orisinal. Keduanya memulai
pemasaran dengan membawa
keripik rasa orisinal ke sekolah.
Mereka berdua meminta teman-
teman dan guru untuk
merasakan keripiki siput rasa
orisinal.

Hasilnya, kebanyakan yang
merasakan keripik siput orisinal
produksi Kevin dan Kenny
belum menerima. Keduanya tak
putus asa. Justru dari teman-
temannya di sekolah, mereka
mendapatkan masukan. Tak
sedikit dari teman-teman
sekolahnya yang mengusulkan
diberi bumbu keju biar ada
rasanya.

Seusai sekolah, Kevin dan Kenny
memutar otak. Mereka sepakat
olahan keripik siput harus
diberi bumbu. Ide menaburkan
bumbu keju masukan dari
teman-teman di sekolah
ditampik Kevin. Menurutnya,
siput sudah memiliki cita rasa
tersendiri. Tapi, bumbu rasa
keju tidak pas untuk siput.
Kenny langsung mengeluarkan
ide, bagaimana jika siput diberi
bumbu pedas. Ide ini lalu
diterapkan Kevin dan hasilnya
diterima banyak orang. Apalagi,
teman-teman di sekolahnya
suka dengan yang pedas-pedas.
Muncullah ide untuk
menamakan keripik siput pedas
dengan keripik siput balado.
Setelah keripik siput balado
banyak peminatnya, sebagai
juru masak, Kevin melakukan
eksperimen dengan mengolah
keripik siputnya dengan rasa
barbeque dan rasa lada hitam.
Kevin dan Kenny puas setelah
keripik mereka ternyata
digemari adik kelasnya dan
menjadi cemilan paling dicari di
sekolahnya.
Berharap bisa diekspor
Usaha Kevin dan Kenny yang
usahanya bermodalkan awal Rp
1,5 juta menjadi tak sia-sia.

Ketika ada ajang Kidpreneur
Award 2012 yang digagas
Berani Magz dengan sponsor
Permata Bank, keduanya lolos
sebagai satu dari 10 tim finalis
dari peserta di seluruh
Indonesia sebanyak 250 tim.

Kegembiraan mereka makin
lengkap setelah dewan juri
memutuskan tim Keripik Siput
sebagai juara kedua dan
mendapat uang tunai Rp 10
juta. Bukan itu saja, tim Keripik
Siput juga menjadi juara favorit
versi Facebook dengan
memperoleh hasil polling
tertinggi. Untuk juara favorit,
mereka mendapat Rp 1 juta.
Menurut panitia, penilaian
mereka untuk gelar ini
ditentukan dari berapa banyak
orang yang mengklik tombol
"Like" di foto para finalis.
Hingga polling ditutup,
sebanyak 1.415 orang telah
memilih tim Kripik Siput ini.

"Waktu itu kita berpikir
juaranya cuma sekali, juara
favorit," ungkap Kevin.
Salah satu nilai lebih tim ini,
menurut salah satu dewan juri,
adalah kemampuan mereka
memaparkan produknya di
depan khalayak umum. Mereka
terlihat komunikatif dan luwes
memasarkan produknya.
Ditambah, mereka terlihat
percaya diri tanpa canggung
sedikit pun.

Selama menjalani usaha keripik
siput, Kevin dan Kenny mengaku
tidak kesulitan untuk
pemasarannya. Mereka berdua
menerapkan strategi lips
marketing, pemasaran dari
mulut ke mulut. Hasilnya luar
biasa. Keripik yang mereka
titipkan di kantin sekolah
banyak digemari teman-teman.

Menurut Kenny, modal pertama
sebesar Rp 1,5 juta sudah
kembali. Modal itu awalnya
dipinjam dari orangtua Kevin
dan Kenny. Masing-masing
patungan Rp 750.000. Untuk
mengirit ongkos produksi,
pertama kali mereka masih
menggunakan kompor dan
penggorengan milik orangtua
mereka.
"Tapi sekarang modal yang kita
pinjam sudah kita kembalikan
kepada orangtua kita. Karena
maju, kita juga sudah memiliki
sendiri peralatan produksi,
seperti kompor, penggorengan,
sampai untuk packing produk,"
terang Kenny sambil
menambahkan bahwa usaha
patungan ini mendapat
dukungan keluarga.
Lewat usahanya, Kevin dan
Kenny sudah membangun
harapan bahwa produk keripik
siputnya kelak dapat diekspor.

Modal untuk itu terbuka setelah
keduanya mendapat
pengalaman berharga kala
karantina di ajang Kidpreneur
Award 2012. "Kan kita sudah
dapat masukan dari kakak-kakak
pengusaha," terang Kenny.
Presiden Direktur Berani Magz,
H Witdarmono, menilai anak-
anak yang menjadi finalis
Kidpreneur Award 2012 sudah
mengenal uang, tetapi tidak
untuk menjadi materialistis.

Pelajaran terpenting yang bisa
diambil bahwa mereka tahu
perencanaan untuk
berwiraswasta. "Mereka berani
mengambil risiko dan mereka
ingin menjadi besar sekaligus
berjiwa sosial," ungkapnya.
(Yogi Gustaman)
Editor: Erlangga Djumena

sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/09/11/0909585/kenny.dan.kevin..kecil.kecil.sudah.berbisnis

Wednesday, September 26, 2012

Andris, Lewat Nasi Liwet Instan dari Beras Garut Hasilkan Omzet Ratusan Juta

KOMPAS.com - Di pasaran,
beras asal Garut masih kalah
pamor dengan beras Cianjur
atau beras Thailand. Padahal,
beras garut memiliki sejumlah
kelebihan dibanding beras jenis
lainnya.

Beras garut dikenal memiliki
warna lebih putih, lebih pulen
setelah dimasak, dan memiliki
rasa manis, dibanding jenis
beras lainnya. Namun, banyak
pedagang yang
menyembunyikan identitas
beras Garut dan menggantinya
dengan nama beras Cianjur yang
tertera pada karungnya.

Kondisi inilah yang membuat
Andris Wijaya (32), warga Desa
Samarang, Kecamatan
Samarang, Kabupaten Garut,
berusaha menaikkan pamor
beras Garut tanpa
menyembunyikan nama asli
berasnya. Andris ingin
masyarakat mengenal beras
Garut dan menyukai beras
tersebut.

Andris memang tidak bisa
melakukan promosi besar-
besaran untuk mempopulerkan
beras garut. Namun, alumnus
D3 Politeknik ITB Jurusan
Teknik Mesin tahun 2001 ini
memiliki sejumlah ide atau cara
lain untuk mempopulerkan
beras garut.

Minat warga luar Kabupaten
Garut yang semakin tinggi dan
berminat menjadikan Kabupaten
Garut sebagai tujuan wisata
dijadikan alat untuk mencapai
tujuan tersebut.

Menurut
Andris, beras Garut harus
diolah dan dikemas sedemikian
rupa sehingga jadi oleh-oleh
favorit para wisatawan.
Berbekal resep nasi liwet
keluarga, pengetahuan yang
dimilikinya, dan minat
wisatawan yang tinggi atas oleh-
oleh khas Garut, Andris
membuat nasi liwet instan.

Mesin heuleur milik almarhum
ayahnya dia modifikasi menjadi
mesin yang bisa menggiling padi
menjadi lebih baik. Dengan
penggilingan sebanyak tiga kali
menggunakan mesin tersebut,
beras Garut bisa matang dengan
waktu memasak selama 20
menit saja.

Berbagai bumbu dan rempah
resep keluarganya dikeringkan
sehingga tidak dibutuhkan
pengawet dan bisa bertahan
sampai 8 bulan. Begitupun
dengan pelengkap nasi liwet
seperti ikan teri, asin jambal
roti, petai, dan jengkol.
Semuanya dikeringkan dan
dikemas serapi dan sebersih
mungkin.

Beras Garut, rempah, bumbu,
minyak sayur, dan
pelengkapnya, disusun dalam
sebuah kemasan dus berlabel
"Liwet 1001". Melaui sejumlah
distributornya dan para
wisatawan yang membeli
produknya, Andris memasarkan
beras Garut ke sejumlah kota
besar di Indonesia. Bahkan,
produknya dinikmati juga di
Timur Tengah dan sejumlah
negara Asia lainnya.

"Akhirnya tidak hanya dijadikan
oleh-oleh. Tapi lebih banyak
dikonsumsi warga kalangan
menengah atas yang menyukai
nasi liwet di restoran-restoran
dan ingin memasaknya dengan
cara praktis di rumah. Bahkan,
nasi liwet ini sudah dipesan
banyak oleh para calon haji,"
kata Andris saat ditemui di
pusat produksi Liwet 1001 di
Desa Samarang, Rabu
(12/9/2012).

Untuk memasaknya, beras,
bumbu, minyak sayur, dan
pelengkapnya, tinggal
dimasukkan ke penanak nasi
elektronik ( rice cooker ). 250
gram beras liwet instan dimasak
dalam 600 mililiter air selama
20 menit sedangkan 500 gram
beras dimasak dalam 850
mililiter air selama 25 menit.
Setelah itu, nasi liwet pun bisa
langsung dinikmati. Aroma dan
rasa nasi liwet ini, tuturnya,
tidak kalah dengan nasi liwet di
restoran. Nasi dari beras Garut
pun tersaji dengan keadaan
pulen dan berukuran besar
serta lezat.
Karenanya, sejumlah hotel dan
restoran di Garut telah jadi
pelanggan tetapnya. Minimal,
hotel dan restoran itu memesan
beras Garut dari tempatnya dan
menggunakan bumbu liwet
sendiri.

Andris yang meluncurkan
produk tersebut pada Juli 2011
ini pun mendapat penghargaan
dari Gubernur Jabar, Ahmad
Heryawan, pada Anugerah
Inovasi Jawa Barat (AIJB) 2012,
kategori bidang pangan kategori
perorangan. Ia pun semakin
termotivasi memasarkan beras
garut.

Kini Andris bisa memproduksi
2.000 produk Liwet 1001 per
hari dan mendapat omzet Rp 20
juta per hari. Ia pun membina
200 petani padi di Kecamatan
Samarang, Bayongbong, dan
Tarogong, yang menanam beras
garut jenis sarinah, serta
mempekerjakan 60 warga di
rumah industrinya. (sam/
Tribun Jabar) ( Editor: Erlangga Djumena)

sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/09/13/09434310/andris..mengangkat.beras.garut.lewat.nasi.liwet.instan

Tuesday, September 25, 2012

Modal Awal dari Pinjaman, Kini Isam Sukses Berdayakan Puluhan Warga Lewat Usaha Kain Sutera Garut

Terjun ke usaha pembuatan kain
sutra sejak 2008, Isam Samsudin
sukses memperkenalkan kain sutra
khas Garut hingga ke seluruh
penjuru Nusantara. Konsumennya
mulai pengusaha batik, desainer,
dan masyarakat umum.
Sejak dahulu, Kabupaten Garut,
Jawa Barat sudah terkenal sebagai
daerah penghasil sutra. Daerah ini
punya industri tenun sutra yang
telah ada sejak puluhan tahun
silam.

Salah satu perajin yang sukses
mengibarkan sutra khas Garut ini
adalah Isam Samsudin. Sejak tahun
2008, ia memperkenalkan sutra
Garut ke seluruh penjuru
Nusantara.

Di bawah bendera usaha Gallery
Sutra Garut, kain sutra buatannya
kini banyak dipesan para perajin
batik, desainer pakaian, dan juga
masyarakat umum penyuka sutra
dari seluruh Indonesia.

Salah satu yang menjadi nilai
tambah kain sutra buatan Isam
adalah proses pembuatannya yang
dilakukan secara handmade dengan
bantuan peralatan tradisional.

Lantaran itu kain sutra buatannya
dikenal sebagai kain sutra ATBM
alias alat tenun bukan mesin.
"Semua proses pengerjaannya
dilakukan secara tradisional, jadi
lebih eksklusif dan kualitasnya juga
terjamin," ujarnya.

Karena kelebihannya, kain sutra
buatan lelaki 36 tahun ini banyak
disukai. Dengan dibantu 40
karyawan, Isam mengaku mampu
menghasilkan rata-rata lebih dari
2.300 meter kain saban bulannya.

Tidak hanya kain sutra polos, ia
juga memproduksi kain sutra yang
sudah diberi warna dan motif
tertentu. "Untuk kain polos kami
menjualnya sekitar Rp 85.000
hingga Rp 125.000 per meternya,"
ungkapnya.
Selain kain yang masih polos, Isam
juga memproduksi kain sutra yang
sudah diberi warna dan motif batik.

Bahkan, ada juga yang dibuatnya
menjadi pakaian kemeja dan lain-
lain.
Isam mengklaim, seluruh hasil
karya desain batik sutranya
merupakan kreasi sendiri dengan
memadukan motif batik khas
Cirebon. "Selebihnya merupakan
hasil imajinasi saya sendiri,"
ujarnya.
Bila sudah diberi motif batik,
harganya jauh lebih mahal dari kain
yang masih polos. Untuk kain sutra
batik, misalnya, dibanderol mulai
Rp 1,5 juta-Rp 3,5 juta per pieces.

Sementara yang sudah menjadi
pakaian jadi dihargai hingga Rp 5
juta per lembar. Dari usaha ini,
omzet yang dikantonginya dalam
sebulan mencapai sekitar Rp 150
juta. Adapun laba bersihnya sekitar
40% dari omzet.
Isam mengaku, selama hampir
empat tahun menjalani usaha ini,
penjualan dan permintaan kain
sutra terus meningkat.

Pencapaian
yang diraih Isam saat ini terbilang
cukup baik mengingat ia hanya
memiliki bekal pendidikan Diploma
I (D1) Ilmu Perhotelan.

Pengalaman bergelut di usaha ini
dapatnya dari bekerja pada usaha
pembuatan kain sutra ATBM milik
kakak kandungnya sendiri pada
tahun 2001 hingga 2008.

Selama bekerja dengan kakaknya, ia
mengaku banyak belajar tentang
proses pembuatan kain sutra.
Lambat-laun minta dan
kecintaannya terhadap kain sutra
terus tumbuh. "Saya tak pernah
terpikir akan masuk ke bidang ini
sebelumnya," ucapnya.

Berbekal kecintaan dan
keterampilan membuat kain sutra
inilah ia memutuskan untuk
membuka usaha sendiri. Bisnis ini
dirintisnya dengan modal awal Rp
60 juta dari hasil pinjaman ke
beberapa teman dan saudaranya.

Kesuksesan bisa diraih dengan tekad
dan keyakinan yang kuat. Meskipun
modal usaha harus meminjam pada
beberapa orang, namun dengan
kerja keras semuanya bisa terbayar.

Begitulah yang dilakukan Isam
Samsudin, pemilik Gallery Sutera
Garut, saat awal-awal merintis
usaha. Bisnis ini dirintis dengan
modal awal Rp 60 juta ini mulai
ditekuni Isam pada 1 Februari
2008.

Modal awal tersebut didapat dari
hasil meminjam ke teman dan
kerabat keluarganya. Uang tersebut,
ia gunakan untuk membeli lima alat
tenun dan merekrut lima karyawan.

Selain itu, ada juga yang dipakai
buat membeli bahan, seperti
benang. Di masa awal merintis
usaha, Isam getol menawarkan kain
buatannya ke pasar.

Sempat dilanda dilema ketika harus
bersaing head to head dengan sang
kakak, namun Isam mengaku tetap
menaruh hormat pada kakaknya
yang juga menekuni usaha
pembuatan kain sutera. "Kami
bersaing cukup sehat meski kadang
ada konflik namun itu bisa
teratasi," tandasnya.

Persaingan sehat itu dibuktikan
Isam dengan memilih segmen pasar
yang berbeda dengan sang kakak. Ia
fokus memproduksi kain sutera
dengan grade kualitas lebih tinggi
dari yang diproduksi kakaknya.
Maka itu, harga kain sutera buatan
Isam dijual lebih mahal dari
kakaknya. Meski lebih mahal bukan
berarti Isam sepi pembeli.

Munculnya para desainer muda dan
para pengrajin batik mendatangkan
berkah bagi dia. Terbukti, sejak
awal memulai usaha, ia telah rutin
memasok kebutuhan sutera untuk
mereka. Tak heran, bila dalam
waktu tiga bulan, ia sudah bisa
mengembalikan pinjaman modal
usaha. Kemudian delapan bulan
setelah usaha Isam berjalan, ia
meningkatkan kapasitas produksi
dengan menambah alat tenun dan
juga merekrut karyawan baru.

Kendati bisnis terus berkembang,
Isam tidak lantas terlena. Sebagai
pengusaha fesyen, ia menyadari
pentingnya inovasi produk dan
mengikuti tren perkembangan
zaman. Makanya, pada tahun 2011,
pria yang hobi berolahraga ini
mulai berkreasi dengan kain sutera
buatannya itu. Sekitar 25% kain
sutera hasil produksinya kala itu
diberi motif sendiri.

Motifnya bisa berupa batik, garis-
garis, atau kotak-kotak. Sementara
sisanya tetap dipasarkan dalam
bentuk kain sutera polos. Kain
polos ini untuk memenuhi
permintaan para pembatik dan
desainer. Lantaran diminati pasar,
Isam kini mengubah fokus usaha.

Sejak 2012, sebanyak 75% kain
suteranya sudah diberi motif
sendiri. Dari 75% itu, sekitar 25%
dibuat menjadi kemeja pria, sarung,
dan selendang dengan motif batik.
"Ke depan kami akan membuat
desain batik untuk pakaian wanita,"
tuturnya.
Empat tahun berjalan, Isam
mengaku mendapatkan kepuasan
batin yang tak diperoleh saat masih
bekerja dengan sang kakak dulu.

Menurutnya, menikmati tahap demi
tahap dalam merintis usaha
merupakan proses pembelajaran
yang tak bisa ditemukan
dimanapun. "Karena jika kita
mengelola bisnis sendiri, bukan
sekedar keterampilan yang
bertambah, naluri dan insting bisnis
pun dapat terbentuk," ungkapnya.

Di
bawah bendera usaha Gallery Sutera
Garut, Isam Samsudin sukses
memperkenalkan kain sutera khas
Garut ke seluruh penjuru
Nusantara. Di daerahnya, kini Isam
dikenal sebagai salah satu produsen
kain sutera yang cukup mapan.
Tapi, bukan itu satu-satunya tujuan
Isam terjun ke usaha pembuatan
kain sutera. Melalui usaha yang
ditekuninya ini, ia juga ingin
melestarikan kerajinan kain sutera
ATBM alias alat tenun bukan mesin.
Sejak lama, kerajinan ini telah
menjadi warisan budaya khas Garut.
Motivasi lain adalah membuka
lapangan pekerjaan bagi warga di
sekitarnya.

Berkat usaha pembuatan kain
sutera, kini ia telah berhasil
merealisasikan seluruh keinginannya
itu. Dari segi finansial, Isam
mengaku penghasilannya lebih dari
cukup untuk menghidupi keluarga
serta para karyawannya.
Dalam upaya pelestarian budaya, ia
juga telah sukses mempertahankan
tradisi produksi kain sutera tanpa
mesin. "Semua pelanggan saya
mengakui bahwa sutera ATBM lebih
baik ketimbang mesin pabrikan,"
ujarnya.
Keunggulan sutera ATBM bukan
hanya dari kualitas produknya yang
lebih baik dibanding buatan mesin.

Tapi, hasil produksinya juga lebih
maksimal karena tidak banyak
bahan baku benang yang terbuang.
Namun ada juga kelemahannya.
Yakni, kapasitas produksi yang tidak
bisa sebanyak mesin. "Soalnya,
ATBM banyak menggunakan tenaga
manusia," ujarnya.

Hal lain yang mendatangkan
kepuasan bagi Isam adalah
kemampuannya menyediakan
lapangan pekerjaan. Dari awalnya
hanya mempekerjakan lima orang
karyawan, kini total karyawan yang
dimilikinya sudah 42 orang. Dengan
semakin berkembangnya bisnis kain
suteranya, tidak menutup
kemungkinan semakin banyak
tenaga kerja yang akan diajaknya
bergabung.

Usahanya ini sedikit banyak telah
membantu mengurangi
pengangguran di Desa Karya Jaya,
Kecamatan Bayongbong, Garut.
"Beberapa pemuda di kampung ini
sering datang ke saya menanyakan
pekerjaan, dan jika memang sedang
membutuhkan saya tak bisa
menolaknya," jelasnya.

Menurut Isam, sebagian besar
karyawannya, awalnya tidak memiki
keterampilan memproduksi kain
sutera. Namun ia tidak ragu
mempekerjakan mereka. Sebab,
Isam memang ingin menularkan
keterampilan membuat kain sutera
ke warga desa. "Saya dulu juga
bekerja di usaha ini tanpa
keterampilan, tapi semuanya bisa
dipelajari asalkan ada niat,"
lanjutnya.

Isam sendiri masih memiliki
sejumlah rencana untuk
membesarkan usahanya. Dalam
waktu dekat ia akan membuka galeri
khusus untuk memajang kain sutera
buatannya.( Fahriyadi )

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/isam-berdayakan-warga-sekitar-3/2012/09/02

Vivin, Anak Sopir yang Kini Sukses Jadi Pengusaha Perlengkapan Sarana Olahraga

Kesuksesan bisa datang meski tak
sesuai dengan jurusan. Setelah
pensiun sebagai atlet basket, Vivin
Cahyani Sungkono memulai karier
sebagai seorang guru. Namun nasib
berkata lain, dia justru mengenyam
kesuksesan lewat bisnis lantai
lapangan.

Di Indonesia, cukup banyak mantan
atlet yang memiliki bisnis setelah
pensiun. Biasanya, bisnis mereka
tidak jauh-jauh dari dunia olahraga
yang pernah mereka geluti. Salah
satunya adalah Vivin Cahyani
Sungkono. Sebagai mantan atlet
basket, ia memiliki usaha sports
flooring, yakni aneka lantai atau
karpet lapangan olahraga.

Di bawah bendera VSport, ibu
empat anak ini menjadi produsen
dan distributor beberapa jenis
sports flooring dan produk aksesori
seperti jaring, gawang, dan bola.
Flooring merupakan karpet
berbahan vinil yang dipakai sebagai
lapisan lantai lapangan olahraga
indoor seperti basket, voli,
badminton, handball, dan hoki.
Karpet ini seperti lantai nan empuk.

Vivin telah memasang lebih dari
400 lapangan di beberapa kota di
Indonesia dan Malaysia. “Dalam
waktu dekat, kami akan memasang
di Filipina,” kata perempuan
kelahiran Surabaya, 20 September
1973 ini.

Vivin adalah mantan atlet basket
yang pernah bertanding di pelbagai
ajang Pekan Olahraga Nasional,
kejuaraan ABC Junior di Beijing,
World Islamic Country
Championship Tehran, Kejuaraan
Antarmahasiswa di Melbourne, SEA
Games, dan masih banyak lagi.

Di usia 23 tahun, Vivin memutuskan
pensiun dari dunia basket. Dia
bekerja demi meningkatkan
kesejahteraan keluarganya. Maklum,
ibunya hanya penjahit dan
bapaknya seorang sopir. “Saya tahu
persis, saya tidak akan bisa
berprestasi lebih dari apa yang
sudah saya capai. Sebab, masih
banyak senior yang berumur lebih
dari 30 tahun belum pensiun.
Kesempatan untuk menggantikan
mereka sangat tipis,” katanya.
Sembari kuliah di jurusan psikologi
Universitas Surabaya selama lima
tahun, Vivin menjadi guru honorer
di sebuah sekolah dasar di
Surabaya. Pada umur 25 tahun, ia
mendirikan SD Kasih Karunia untuk
anak-anak berkebutuhan khusus.

Di
sana, ia menjadi kepala sekolah.
“Sekolah itu masih ada sampai
sekarang dan sudah saya hibahkan
ke guru di sana,” ujarnya.
Vivin melepas profesi sebagai guru
demi membantu rekannya
mengelola perusahaan yang
bergerak di bidang penjualan
material baja dan bahan bangunan.
“Dengan latar belakang pendidikan
psikologi, saya membantu di divisi
human resource development.
Kemudian saya dipercaya sebagai
manajer pemasaran,” kenangnya.
Tapi Vivin hanya bertahan enam
bulan di perusahaan itu. Sekitar
tahun 2001, dia memutuskan
membuka usaha sejenis di bawah
bendera CV Viva Metalindo.

“Hingga
sekarang, perusahaan di bidang jasa
konstruksi ini masih berjalan dan
berkembang,” jelasnya. Perusahaan
ini menggarap proyek rumah
tinggal dan renovasi gedung. Ia juga
sering memasok material baja ke
beberapa proyek pembangkit listrik
tenaga uap, Caltex, dan Freeport.
Tanpa disengaja, ada pelanggannya
yang menanyakan distributor lantai
lapangan futsal. “Saya bilang bisa
mencarikan. Padahal, saya belum
tahu bagaimana mendapatkan lantai
semacam itu,” katanya. Vivin
mencari informasi soal prospek
lantai lapangan olahraga. Maka,
pada tahun 2008, bermodal Rp 1
miliar ia memutuskan mendirikan
VSport.

Enam bulan sepi

Vivin memproduksi sendiri lantai
tersebut. Dia memodifikasi desain
flooring serupa dari Amerika
Serikat yang harganya sangat
mahal. Ia melibatkan desainer dari
China untuk perubahan desain
tanpa mengurangi kekuatan dan
fungsinya. “Awalnya, saya tidak
berharap banyak pada bisnis ini.
Sebab, bidang ini benar-benar baru
buat saya,” katanya.
Vivin bilang, saat presentasi ke 10
pembeli, hanya ada satu yang
tertarik dengan produk lantai
futsalnya. Itu pun lebih karena
kasihan ketimbang yakin dengan
kualitas produk.

Vivin terjun langsung
mempresentasikan produk, mulai di
Surabaya dengan berbekal brosur
dan videoklip dari kejuaraan di
Malaysia yang menggunakan
flooring sejenis. Tujuannya untuk
meyakinkan calon klien bahwa
produknya layak digunakan.
“Background saya yang sama sekali
belum mengenal futsal membuat
klien sulit sekali meyakini kualitas
produk buatan VSport,” jelasnya.
Selama enam bulan pertama, Vivin
hanya berhasil menjual satu unit
floor . “Saya pun mengganti home
base penjualan dari Surabaya ke
Jakarta sebagai strategi,” katanya.

Ternyata keputusan itu efektif.
Selain membangun citra, dia
berhasil mendekatkan hubungan
dengan organisasi Badan Futsal
Nasional (BFN). Lembaga ini
mengampanyekan Real Futsal
dengan menggunakan media VSport
sebagai alas Liga Profesional
Indonesia, sebuah liga tertinggi
futsal sejak 2008 hingga sekarang.
Hasilnya, penjualan pun ikut
melonjak.

Setelah dua tahun memproduksi
aneka flooring, Vivin juga
menyediakan alas lapangan rumput
sintetis. “Di Indonesia masih banyak
yang suka rumput sintetis
ketimbang flooring ,” katanya. Ia
mengimpor rumput palsu ini dari
China.

Terbukti, kan, tekad merupakan
modal kuat berbisnis?
( Fransiska Firlana)

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/vivin-mantan-atlet-yang-sukses-di-lantai-futsal/2012/09/03

Rosidah, Bermodal 100 Ribu, Berkat Kegigihannya Donat DKU-nya Tembus Hingga Mancanegara

Rosidah Widya Utami kini sukses
menjadi produsen donat ternama di
Jombang, Jawa Timur. Dipasarkan
dengan brand Donat Kampung
Utami (DKU), produk donatnya
dikenal luas hingga ke luar negeri.
Omzetnya ratusan juta dalam
sebulan.

Berawal dari hobi membuat kue,
Rosidah Widya Utami kini sukses
mengembangkan bisnis pembuatan
donat dengan brand Donat
Kampung Utami (DKU). Omzetnya
dalam sebulan mencapai ratusan
juta.

Usaha ini, ia awali dari bisnis skala
kecil-kecilan di Jombang, Jawa
Timur. Utami pertama kali merintis
bisnis tahun 2001. Sebagai jajanan
kampung, saat itu donatnya dijual
dengan harga Rp 500 per biji.
"Saya pilih donat karena banyak
yang suka," katanya. Ia memulai
dengan peralatan rumah tangga
seadanya dan menitipkan donatnya
ke sekolah-sekolah.

Berkat kegigihannya membesarkan
usaha, kini donat Utami sudah
dikenal di berbagai wilayah
Indonesia. Bahkan, donatnya sudah
kesohor hingga ke luar negeri.
Tentu bukan lagi jajanan kampung,
donat buatan Utami kini masuk
kategori premium. Rasanya tak
kalah dengan donat kelas mal
dengan harga lebih terjangkau.
"Saya jual Rp 4.000 per buah,"
katanya.

Pelanggan donatnya terbesar di
berbagai daerah di Pulau Jawa,
Sumatra, hingga Kalimantan.
"Selama ini, saya banyak kirim ke
pelanggan di daerah-daerah,"
ujarnya.
Sejak tahun 2008, beberapa negara,
seperti Hong Kong, Malaysia, dan
Singapura juga telah menjadi
langganan tetap donat buatan
Utami. Selain itu, ia juga
memasarkan produk donat itu ke
London dan Belanda.

Khusus di Malayasia, ada seorang
pengusaha kuliner setempat yang
mengembangkan donat dengan
resep donat racikan Utami.
"Sementara di negara-negara lain
saya hanya menjual donat lewat
orang-orang Indonesia yang tinggal
di negara itu, seperti pelajar dan
TKI," jelasnya,
Kendati tak mau menyebut angka,
Utami mengaku nilai penjualan
resep donatnya cukup mahal.
Terbukti, dari hasil menjual resep
itu, ia mampu membuka gerai
khusus donat di Jombang. Gerai
donat ini dinamakan Roshberry
Donuts and Coffee."Saya dirikan
tahun 2009," tuturnya.
Selain resep, pengusaha asal Negeri
Jiran itu juga membeli tepung donat
dari Utami. Selama ini, ia memang
memasarkan tepung donat ke
kalangan umum tidak hanya ke
pengusaha Malaysia itu. Harga jual
tepung donat mulai Rp 50.000-Rp
200.000 per 1,5 kilogram (kg).

Selama 11 tahun mengendalikan
usaha, telah banyak kemajuan yang
dicapai. Bahkan, DKU telah
menjelma sebuah grup usaha yang
membidangi beberapa cabang
usaha.
Selain donat, Utami juga merambah
usaha pembuatan aneka kue kering,
kue tart, brownies, dan roti manis.

Usaha ini dikelolanya di bawah
bendera DKU Cookies. Pendapatan
dari kue kering ini melonjak tajam
saat Lebaran dan akhir tahun.
"Lebaran tahun ini, omzet saya dari
penjualan kue kering saja mencapai
Rp 500 juta," ujar Utami.
Ia juga merambah bisnis restoran
dengan mendirikan rumah makan
Sari Rasa di Jombang. Tahun ini,
Utami juga telah menambah tiga
bisnis baru ke dalam grupnya. Di
antaranya bisnis toko oleh-oleh
khas Jombang. Dua lainnya tidak
terkait dengan bisnis makanan,
yakni jasa hosting desain web dan
marketing, serta bisnis fashion
and jewelry.

Kesuksesan Rosidah Widya Utami
mengembangkan bisnis donat
tidaklah dalam sekejap mata. Ia ulet
mengenalkan produknya lewat
berbagai cara. Titik baliknya saat
ada investor Malaysia membeli
resep donat buatannya.

Selepas lulus kuliah Fakultas
Administrasi Negara Universitas
Brawijaya, Malang, Utami sempat
bekerja sebagai tenaga administrasi.
Namun, kecintaannya pada dunia
masak-memasak mendorong
Rosidah untuk membuka usaha
sendiri.

Di tahun 2001, Rosidah Widya
Utami mulai membuka bisnis aneka
masakan, termasuk kue. Modal
awalnya hanya Rp 100.000. Setelah
beberapa bulan berjalan, Rosidah
terpikir untuk memfokuskan
usahanya pada satu jenis makanan.

Ia pun memilih donat dengan
pertimbangan kue ini termasuk
jajanan yang disukai semua
kalangan.
Ia merintis usaha pembuatan donat
dengan modal dan peralatan
seadanya. Untuk mengaduk adonan
donat, semisal, seharusnya memakai
mixer ukuran besar. Namun,
Rosidah memakai mixer biasa.
"Peralatan saya sangat minim. Di
bawah standar pabrik kue. Tapi itu
tidak menyurutkan semangat saya,"
ujar Utami.
Dibantu seorang pembantu, ia
membuat ratusan donat saban hari
dan menjajakan ke sekolah-sekolah.

Agar produknya makin dikenal,
Rosidah juga rajin mengikuti
berbagai pameran wirausaha
makanan. Setiap ada pameran di
sekitar Jawa Timur, ia pasti ikut
serta.

Bukan cuma itu saja, Utami juga
memasarkan donat buatannya yang
diberi merek Donat Kampung Utami
(DKU) lewat blog pribadi.
Sehari-hari, Rosidah tak pernah
lupa menuliskan setiap aktivitas
seputar usaha donat yang ia geluti,
di blog . Bahkan, rezeki mengalir
deras berkat blog pribadi tersebut.

Pada tahun 2008, ada investor
Malaysia tertarik untuk membeli
resep donat milik Utami. Bahkan, ia
sampai diundang ke Malaysia.

Sang investor Malaysia itu
kemudian membuka gerai donat di
Penang Malaysia dengan nama Nash
Donut. Kini Nash Donut telah
memiliki empat gerai yang berasal
dari resep dasar Rosidah. Tiap bulan
Nash masih membayar royalti pada
Rosidah.
Hasil dari penjualan resep plus
pembayaran royalti itu cukup
lumayan. Rosidah memanfaatkannya
untuk mengembangkan usaha yang
membuka gerai donat di Jombang.

Pada 2009, Rosidah mulai
membuka gerai donat bernama
Roshberry Donuts and Coffee di
Jombang.
Belajar dari mitranya di Malaysia
itu, Rosidah sadar akan pentingnya
peran marketing agar usahanya
makin berkembang. Rosidah pun
mulai membenahi sistem pemasaran
dan operasional usahanya. "Melihat
di Malaysia, donat saya bisa
dipasarkan dengan baik, saya mulai
fokus membenahi manajemen," ujar
dia.

Dengan membuka gerai donat,
Rosidah juga ingin agar donat
buatannya itu naik kelas sehingga
lebih bergengsi. Kualitas donat
produknya dinaikkan ke kelas
premium dengan harga Rp 4.000
per buah. Logo dan kemasan
donatnya pun ia buat dengan
standar yang lebih baik.

Utami juga membuat website
sendiri, bahkan mengiklankan
produknya secara berbayar via
sejumlah media internet, seperti
Google dan Facebook.
Tak percuma, permintaan pun mulai
berdatangan. Bahkan juga dari
pembeli luar negeri. Toh, sukses
mengembangkan bisnis donat belum
membuat Rosidah puas.

Berawal dari donat, bisnis Rosidah
Widya Utami terus berkembang.
Setelah donat, ia merambah bisnis
kue kering dan rumah makan di
Jombang, Jawa Timur.
Masih di bisnis makanan, tahun ini
ia juga mendirikan toko oleh-oleh
khas Jawa Timur di Jombang.

Selain
menyediakan sejumlah suvenir khas
Jombang, toko oleh-oleh ini juga
menjual aneka kue kering serta
Donat Kampung Utami (DKU)
buatannya.
Ia juga ingin menjadikan
DKU sebagai pusat oleh-oleh khas
Jombang.
Selain makanan, tahun ini juga
merambah bisnis perhiasan, fesyen,
dan jasa pembuatan desain web. Ia
tertarik terjun ke bisnis desain web
karena selama ini banyak
bersentuhan dengan dunia maya. Bisnis
perhiasan dan fesyen yang baru
digeluti Rosidah juga
dilatarbelakangi minatnya yang
tinggi di bidang itu.

Menurutnya, dalam
mengembangkan usaha jangan
pernah menutup kemungkinan
terhadap bidang apa pun yang
diminati. Ia mengaku, seluruh
bidang usaha yang digelutinya
berasal dari minat dan
ketertarikannya di bidang itu.
"Semula yang saya pikir tidak bisa,
ternyata bisa. Dan, saya memulai
semuanya dari skala kecil," ujar
Utami.

Di dunia usaha, ia mengaku banyak
terinspirasi dari kisah sukses
Johnny Andrean, pemilik gerai
donat J.Co. Kendati besar di usaha
salon, Johnny juga bisa sukses di
usaha donat.
Rosidah pun yakin ia bisa
melakukan hal serupa. Makanya,
dari bisnis donat, ia juga merambah
dunia fesyen.

Lantaran masih baru, tentu masih
diperlukan kerja keras untuk
membesarkan seluruh usahanya ini.
Selain bisnis yang masih baru,
Rosidah juga masih terus ingin
mengembangkan bisnis donatnya.

Masih ada beberapa inovasi lain
yang ingin dilakukannya. Dalam
waktu dekat, misalnya, ia ingin
memasarkan donat dalam bentuk
makanan beku (frozen food).
Ia terinspirasi membuat donat
frozen karena banyak konsumen di
luar kota yang berminat
mengonsumsi donat DKU, namun
terkendala waktu pengiriman yang
lama. Padahal, donat DKU hanya
mampu bertahan maksimal sehari.
Ia berharap, masalah itu bisa
diatasi dengan adanya donat frozen.

Rosidah mengaku sudah melakukan
penelitian untuk donat frozen ini.
Nantinya, donat ini bisa bertahan
selama satu tahun jika disimpan
pada suhu rendah. "Donatnya pun
tinggal digoreng lalu bisa langsung
disajikan," ujar Rosidah.
Ia berharap, tahun depan rencana
ini sudah mampu terealisasi.

Masih
terkait dengan donat, ia juga akan
membuat divisi cooking class. Divisi
ini khusus memberikan kegiatan
kursus pembuatan donat.
Kursus membuat donat ini
sebenarnya sudah dirintis sejak
tahun lalu. "Tapi belum serius.
Karena peminatnya banyak, ingin
saya seriusi lagi," imbuh Utami.
( Revi Yohana)

Sumber:  Http://mobile.kontan.co.id/news/rosidah-berambisi-bisnis-donatnya-sebesar-j.co/2012/09/06

Nazwa, Pernah Stres Karena di-PHK, Kini Juragan Kue Sukses dengan Omzet Ratusan Juta

Bisnis makanan cukup banyak
menelurkan kisah sukses. Salah
satunya adalah kisah sukses
Nazliana Lubis, pemilik usaha aneka
kue di Medan, Sumatra Utara.

Berkat ketekunan dan kerja keras,
dia berhasil membesarkan toko kue
Nazwa Aneka Kue hingga
menghasilkan omzet ratusan juta
rupiah per bulan. Salah satu kue
khas yang diolahnya dan menjadi
terkenal adalah cake pisang yang
diberi nama Blondi Pisang
Barangan.

Toko kue milik Nazliana atau yang
kerap disapa Nazwa yang terletak di
Jl. Kapten Muchtar Basri No. 110,
Medan itu cukup kondang di
Sumatra Utara. Beberapa hotel
berbintang di Medan sudah menjadi
pelanggan tetap, seperti Hotel JW
Marriot, Hotel Ina Dharmadeli,
Hotel Tiara, Hotel Danau Toba, dan
Madani Hotel.

Hotel-hotel memesan kue Nazwa
sedikitnya sebanyak 600 potong
sekali event. “Padahal, saban hari,
satu hotel bisa menyelenggarakan
sampai tiga kali event,” jelasnya.

Bukan hanya hotel, Nazwa juga
rutin mendapat pesanan dari
beberapa bank, perusahaan swasta,
sekolah, dan instansi pemerintah di
Sumatra Utara. “Sekarang bisa
menghabiskan 3.000 telur dan 8
karung tepung atau sekitar 200
kilogram (kg) tepung per hari,” kata
wanita berkerudung ini. Selain kue
dia juga menerima pesanan nasi
boks. Perusahaan atau pemda biasa
memesan 1.000 hingga 1.800 nasi
boks.

Sebelum menjadi juragan kue,
lulusan D3 Pariwisata Universitas
Sumatra Utara tahun 1989 ini
sempat bekerja di bagian ticketing
di sebuah biro perjalanan selama
tiga tahun. Tahun 1991, dia pindah
ke perusahaan maskapai
penerbangan Sempati Air. Jabatan
terakhirnya, supervisor. “Kerja di
perusahaan penerbangan itu
memiliki gengsi tersendiri. Saya
punya kesempatan untuk jalan-jalan
ke berbagai daerah,” kata
perempuan kelahiran Medan, 23
Januari 1965 ini.

Sayangnya, kebanggaannya bekerja
di industri penerbangan harus
berakhir. Nazwa kena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karena
Sempati Air tak beroperasi lagi mulai
tahun 1997. “Saya sempat stres dan
labil, malu sama teman-teman dan
lingkungan,” ujarnya.
Selama enam bulan, Nazwa depresi.

Akhirnya, dia menemukan semangat
setelah mengamati lingkungan
rumahnya yang berdekatan dengan
kampus Universitas Muhammadiyah
Sumatra Utara. “Saya perhatikan,
kok di kawasan kampus tidak ada
yang jual jajanan berat semacam
kue. Saya pun terpikir untuk buka
usaha kue,” kenangnya.

Nazwa mulai mengulak-alik aneka
buku resep masakan untuk mencari
dan belajar mengolah aneka kue.
Maklum, dia tidak punya keahlian
memasak sehingga mengandalkan
buku resep. “Saya pilih jualan donat
sebab proses pembuatan lebih
mudah ketimbang membuat kue
yang lain dan di sekeliling kampus
belum ada yang jualan donat,” ujar
istri dari Fadlin ini.

Pada Juli 1997, Nazwa nekat jualan
donat bermodal dana kurang dari
Rp 100.000. Kala itu, dia menjual
sepotong donat seharga Rp 350.
“Omzetnya baru Rp 70.000 per
hari. Rasa dan bentuk donatnya pun
belum konsisten karena saya
masih belajar membuatnya,”
katanya sambil tertawa.

Nazwa terus mengasah kemampuan
membuat kue. Dia mengikuti aneka
kursus pembuatan kue di Medan
hingga Bandung. Karena usaha kue
itu belum menghasilkan pendapatan
besar, Nazwa menerima tawaran
mengajar mahasiswa D3 dan D1
Pariwisata di salah satu perguruan
tinggi di Medan. Dia mengajar mata
kuliah pelayanan di perusahaan
penerbangan.

Setengah tahun berjalan, penjualan
usaha toko kue Nazwa belum
meningkat. Justru lebih sering
merugi lantaran saat itu terjadi
krisis moneter tahun 1998. “Saya
tidak menghentikan usaha ini meski
rugi. Ini demi eksistensi usaha,”
katanya.

Bayaran tak pasti

Nazwa mulai berani menitipkan
kuenya di toko-toko kue. Dari sini,
produksi dan omzet mulai
berkembang. Tahun 2000, ia
berhenti mengajar, fokus mengelola
toko dan mulai mengajukan
proposal penawaran ke beberapa
hotel di Medan.

Pada tahun 2003, Nazwa berhasil
mendapatkan pesanan dari sebuah
hotel. ”Meskipun pesanan hanya
bika ambon setengah loyang, 20
potong tahu isi, dan 20 potong kue
lumpur, saya menerima pesanan
itu,” ujarnya. Ia gigih memasok
kuenya ke hotel yang memesan
meskipun hanya dalam jumlah
kecil. Menurut dia, yang paling
penting adalah kepercayaan dari
konsumennya, meskipun dia harus
menerima bayaran dua bulan sekali
dari hotel.

Suatu saat, hotel JW Marriot Medan
memiliki acara seminar Ikatan
Dokter Indonesia selama seminggu
dan mengorder aneka snack ke
Nazwa. Ia harus memasok 22 item
jajanan pasar dengan jumlah 2.600
pieces per item . “Dari situ,
pesanan besar dari hotel mulai
berdatangan. Nazwa Aneka Kue
mulai dikenal dan dipercaya
konsumen,” jelasnya. Dia juga mulai
mendapat order katering untuk
pesta yang nilainya Rp 40 juta
hingga Rp 50 juta per klien.
( Fransiska Firlana)

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/nazwa-pernah-labil-dan-stres-kini-juragan-kue-suk/2012/09/07

Buah Ketekunan Anas, Hantarkan Produk Tas Batok Kelapanya Rambah Eropa

Kerajinan batok kelapa atau
kerajinan tempurung kelapa telah
menjadi salah satu ciri khas Kota
Blitar, Jawa Timur. Bentuk kerajinan
tangan ini bermacam-macam.
Dari sekian banyak produk
kerajinan, yang cukup menonjol
adalah kerajinan tas batok kelapa.
Kerajinan ini salah satunya ditekuni
oleh Anas Faesol yang mengusung
brand Tas Bathok Koi.

Pria kelahiran Blitar, 30 September
1974 ini telah menekuni usaha
pembuatan tas batok kelapa sejak
awal tahun 2009. Selain tas batok,
ia juga memiliki bisnis penjualan
aneka suvenir aromatherapy dengan
brand Harum Aromatic di Bali.

Dari usahanya ini, Anas bisa meraup
rata-rata omzet antara Rp 120 juta
hingga Rp 150 juta per bulan,
dengan laba sekitar 10%. Anas
tertarik membuat tas wanita dari
batok karena bentuknya lebih
natural. Apalagi, Blitar amat kaya
tanaman kelapa.
Menurut Anas, motif tas yang
terbuat dari batok kelapa lebih
original dan bisa menjadi aksesoris.
Maklum, hampir semua kerajinan
dari bahan limbah ini memang
dibiarkan memiliki warna seperti
aslinya.

Kendati menjanjikan dan banyak
peminatnya, sukses yang diraih
Anas tidak didapat dalam waktu
singkat. Ia mengaku, telah
menghabiskan waktu setahun penuh
untuk melakukan percobaan guna
mencari bentuk tas yang benar-
benar pas.
Proses pembuatannya juga
memerlukan waktu dan kesabaran.
Sebab, batok kelapa yang digunakan
harus dipotong-potong dengan
ukuran 3 x 4 centimeter (cm), dan
4,7 x 4,7 cm.

Batok kelapa yang sudah dipotong
kemudian diamplas sampai halus
dan disortir dengan aneka
modifikasi sampai mengkilap.
Setelah itu dilakukan penjemuran.
Lalu potongan-potongan batok tadi
ditempel dan dijahit dengan benang
nilon ke kardus secara manual.
Kerja kerasnya ini mulai
membuahkan hasil di tahun kedua.
Produk tas yang dibanderol mulai
Rp 20.000 - Rp 190.000 per pieces
ini mulai dilirik banyak orang.

Ia mengaku, banyak konsumen
menjadikan tas batok sebagai
suvenir khas Blitar. Dalam sebulan,
ia memproduksi 3.300 pieces tas
dengan aneka ukuran. "Paling
banyak saya memproduksi 4.000
pieces,"jelasnya
Fulus ratusan juta rupiah per bulan
pun mengalir ke kantongnya. Untuk
membuat tas dari batok ini, Anas
dibantu 50 karyawan. Ia juga
memiliki empat showroom di Blitar
yang berfungsi sebagai tempat
pemasaran.

Selain lewat showroom, ia juga
menjual tasnya kepada para
pedagang di Yogyakarta. Oleh
pedagang, tasnya dipasarkan ke
sejumlah wilayah di Indonesia.
Bahkan, sampai ke mancanegara,
seperti Singapura, Malaysia dan
Italia.

Sejak tahun 2009 Anas Faesol
sukses menekuni usaha pembuatan
tas batok kelapa di Blitar, Jawa
Timur. Selain di dalam negeri,
kerajinan tas batok kelapanya juga
sudah dipasarkan hingga ke
mancanegara, seperti Singapura,
Malaysia dan Italia.

Sebelum sukses menjadi pengrajin
tas batok, Anas juga sudah sukses
menekuni usaha penjualan produk-
produk aromaterapi dan spa di Bali.
Profesinya sebagai penjual produk
aromaterapi sudah ditekuninya
sejak tahun 1999. Di Pulau Deawata
itu ia membuka toko khusus
aromaterapi dengan brand Harum
Aromatic.

Di toko itu ia menjual aneka produk
aromaterapi, seperti massage oil,
lulur aromaterapi, sabun
aromaterapi, dan produk garam
mandi. Harga produknya ini
beraneka ragam, mulai dari Rp
10.000 sampai ratusan ribu rupiah
per pieces.
Selain lewat toko, ia juga
memasarkan produk-produknya itu
lewat internet. "Saya membuat
website khusus untuk menawarkan
produk aromaterapi," katanya.

Selama hampir tujuh tahun
menekuni usaha ini, bisnisnya terus
bertumbuh. Namun, ia tidak cepat
berpuas diri dengan sukses yang
sudah diraihnya.
Naluri bisnisnya justru bangkit
untuk merambah bidang usaha lain.

Makanya, ketika ia meilai bisnis
aromaterapinya sudah benar-benar
sukses, ia memutuskan untuk
meninggalkan usaha ini.
Maka, pada tahun 2006, Anas pun
menyerahkan toko aromaterapinya
untuk dikelola orang profesional.

Lalu, ia memilih pulang ke kampung
halamannya di Blitar untuk
memulai bidang usaha baru.
Ketika pulang ke Blitar, ia tidak
langsung menekuni usaha
pembuatan tas batok kelapa.
Namun, ia mengawali bisnis di
kampung halamannya ini dengan
menjadi penjual alat-alat kerajinan
di lokasi makam Bung Karno.

Sementara bisnis di Bali tetap
berjalan dan tetap dipantaunya.
Ia memilih berjualan di lokasi
pemakaman sang proklmator
karena ramai wisatawan. Di lokasi
ini, ia membuka empat toko khusus
penjualan produk-produk kerajinan
khas Blitar.

Produk-produk yang dijualnya
seperti tas dan dompet yang
terbuat dari batik, eceng gondokm,
dan batok kelapa. Selain itu, ada
juga hasil kerajinan kayu jati,
seperti lampu petromak, tempat
payung, dan jam dinding.

Produk-produk kerajinan itu
diambil langsung dari sejumlah
perajin di Blitar.Selain melayani
penjualan ritel, tokonya juga
melayani penjualan grosir dengan
harga lebih miring.

Selama berjualan, ia terus
mencermati minat konsumen
terhadap produk kerajinan yang
dijualnya. Ia mengaku, salah satu
produk yang paling banyak
oeminatnya adalah tas batokn
kelapa.

Dari situlah, Anas kemudian
terdorong untuk memproduksi
sendiri tas tersebut. Pada tahun
2009, ia pun mulai merintis
pembuatan tas batok kelapa dengan
brand Tas Bathok Koi.

Agar bisnisnya terus berkembang, ia
rajin melakukan perjalanan ke luar
kota untuk membuka relasi dengan
para pengusaha lainnya. Dari
situlah, produk tasnya bisa
merambah berbagai daerah di
Indonesia.

Setelah sukses menekuni usaha
pembuatan tas batok kelapa, Anas
Faesol ingin mendirikan toko pusat
oleh-oleh skala besar di Blitar, Jawa
Timur. Lewat toko itu, ia ingin
memperkenalkan produk-produk
kerajinan khas Blitar.

Anas Faesol termasuk seorang
pebisnis yang ulet dan jeli melihat
peluang usaha. Setelah sukses
menekuni usaha pembuatan tas
batok kelapa, kini ia berencana
merambah bisnis lain.
Ia berambisi untuk mendirikan toko
oleh-oleh khas daerah dalam skala
besar di Blitar. Saat ini, Anas
memang sudah memiliki empat
toko khusus penjualan produk-
produk kerajinan khas Blitar.
Namun, toko-toko tersebut masih
tergolong kecil dan terpisah-pisah.

Beda dengan toko yang akan
didirikannya nanti.
Selain barang kerajinan, nantinya
toko itu akan menjual juga produk-
produk lain, seperti jajanan khas
Blitar. Intinya, ia ingin semua oleh-
oleh khas Blitar bisa diperoleh di
tokonya. "Selama ini, pusat oleh-
oleh di Blitar masih menyebar di
sejumlah penjuru dan belum
terpusat di suatu lokasi," katanya.
Padahal, Blitar termasuk ramai
dikunjungi wisatawan, terutama
mereka yang akan berziarah ke
makam Bung Karno.
Anas sendiri sudah menghitung-
hitung biaya yang diperlukan untuk
mendirikan pusat oleh-oleh itu.
"Butuh dana sekitar Rp 800 juta
sebagai investasi awal," jelas Anas.

Biayanya lumayan besar karena ia
harus membeli tanah di kawasan
perkotaan. Ia menargetkan,
pendirian toko oleh-oleh khas Blitar
itu bisa diwujudkan paling lambat
dalam dua tahun ke depan.
Untuk itu, sekarang ia sudah mulai
fokus menabung. Anas mengaku
tertarik mendirikan pusat oleh-oleh
lantaran ingin memperkenalkan
produk-produk kerajinan khas Blitar
ke khalayak ramai.
Kendati berambisi mendirikan toko
skala besar, Anas tetap akan
mempertahankan toko miliknya
yang sekarang sudah ada. Keempat
toko tersebut menjual aneka oleh-
oleh, mulai dari produk kerajinan
sampai makanan khas Blitar, seperti
keripik buah dan jenang atau dodol.

Selain itu, ia juga tetap fokus
mengembangkan usaha pembuatan
tas batok kelapa yang sekarang
sedang ditekuninya. Menurutnya,
permintaan terhadap tas nan unik
ini semakin tinggi. "Tapi sumber
daya yang saya miliki belum
optimal," katanya.
Saat ini, ia hanya bisa memproduksi
sebanyak 3.300 pieces tas batok
kelapa dalam sebulan. Namun, bila
permintaan sedang tinggi,
produksinya bisa digenjot hingga
4.000 pieces.
Anas ingin, ke depannya bisa
menggenjot lagi jumlah produksi tas
batok buatannya itu hingga
mencapai 5.000 pieces per bulan.
Anas yakin produksi sebanyak tiu
akan terserap pasar. Apalagi, bila
toko oleh-olehnya nanti sudah
berdiri. "Tentu pemasarannya akan
lebih baik," ujarnya.

Kendati menggenjot produksi, ia
mengaku tetap memerhatikan
kualitas produk tasnya. Sebab ada
kecenderungan, jika suatu bisnis
sudah laris, maka kualitas produk
akan menurun lantaran fokus pada
permintaan tanpa memperhatikan
kualitas lagi.
Nah, Anas tak ingin seperti itu.
"Kualitas produk tetap yang nomor
satu," tuturnya.

Selain terus meningkatkan kualitas
produk, ia juga fokus meningkatkan
kualitas pelayanan kepada
pelanggan. Misalnya, selalu
berupaya memenuhi janji kepada
konsumen. Hal itu dilakukan untuk
menjaga kepercayaan konsumen.
( Noverius Laoli)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/anas-berambisi-dirikan-toko-oleh-oleh-terbesar-3/2012/09/12

Suhaili, Mantan Sopir Ini Kini Sukses dengan Kerajinan Cukli yang Tembus Hingga Eropa

Berawal dari usaha skal kecil, kini
Suhaili Sueb sukses menjadi perajin
cukli skala besar di Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Omzetnya dalam
sebulan mencapai Rp 100 juta.
Selain di dalam negeri, produk cukli
dia juga sudah ada yang diekspor.

Kerajinan cukli merupakan
kerajinan khas Lombok, Nusa
Tenggara Barat yang muncul sejak
awal 1980-an. Cukli adalah
kerajinan yang terbuat dari kayu
dan kulit kerang mutiara.
Bentuknya bermacam-macam, dari
alat-alat rumah tangga, meja, kursi,
bufet, bingkai foto, cermin, kotak
haji, hingga hiasan dinding.

Salah satu pengibar kerajinan khas
Lombok ini adalah Suhaili Sueb. Ia
telah menggeluti usaha kerajinan
cukli sejak tahun 1998. Usaha
kerajinan cukli ini dia rintis dari
skala kecil, sekadar menutupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
"Modal awal saya hanya Rp 1 juta,"
ujar Suhaili.

Berkat ketekunan dan kerja keras,
dia pun berhasil membesarkan
usahanya ini hingga menghasilkan
omzet ratusan juta per bulan. Di
bawah bendera usaha Ovy
Handycraft, produk cukli Suhaili
telah terjual sampai Spanyol dan
Inggris. Suhaili mengaku sejak awal
memang tertarik menekuni usaha
ini lantaran banyak peminatnya.

Aneka produk kerajinan cukli yang
terkesan antik dan tradisional
memang banyak disukai konsumen,
khususnya para turis luar negeri. Ia
merasa, hasil karyanya banyak
diminati turis asing dan dibawa
pulang ke negaranya. Ia sendiri
bangga banyak warga asing
meminati karyanya. "Lumayan bisa
membantu mengenalkan salah satu
kerajinan khas Lombok ke dunia
luar," ujarnya.

Menjadi seorang perajin cukli
memerlukan kreativitas. Soalnya,
kerajinan ini merupakan seni
menghias benda-benda dari kayu
dengan kerang. Kerang yang
digunakan berwarna putih gading
dan dipotong berbentuk wajik kecil-
kecil. Nantinya kerang ini disusun
dan ditempelkan membentuk aneka
pola hiasan.
Cukli banyak ditempatkan pada sofa
dan meja, cermin, kotak perhiasan,
atau pajangan lainnya. Cukli juga
bisa diaplikasikan pada dipan
tempat tidur, pembatas ruangan
dari kayu, hingga kotak-kotak
penyimpanan besar.

Dalam sebulan, Suhaili
memproduksi lebih dari dua ratus
produk dengan hiasan cukli. Produk
itu mulai dari yang paling kecil,
seperti gelang dan kotak perhiasan
mungil yang dibanderol dengan
harga Rp 5.000 per buah, hingga
meja rias dan sofa seharga Rp 3
juta.
Ia juga menerima pesanan cukli.
"Saya menerima pesanan
berdasarkan besarnya tempat yang
dihias. Harganya Rp 1,2 juta per
meter," ujar Suhaili.

Dari usaha ini, ia bisa meraup
omzet Rp 100 juta per bulan.
Omzet ini diraih jika sedang musim
liburan dan banyak turis. Menurut
Suhaili, banyak turis lokal maupun
asing yang menaruh minat tinggi
terhadap hiasan cukli.
Selain mengandalkan kunjungan
wisatawan, ia juga kerap memasok
cukli ke beberapa daerah di
Indonesia, seperti Bandung, Jakarta,
dan Bali.

Bahkan, sebelumnya ia juga pernah
memasok ke luar negeri. Pada
tahun 1999, seorang turis dari
Spanyol tertarik dengan karya
Suhaili. Turis tersebut meminta
dipasok hiasan cukli secara rutin
dalam jumlah cukup besar.
"Saya kerja sama dengan dia sampai
tahun 2001 yang diantar langsung
ke Spanyol," ujarnya. Selain
Spanyol, ia juga pernah mendapat
order dari seorang warga Inggris
dalam jumlah besar.

Perjalanan hidup Suhaili Sueb
penuh lika-liku. Sebelum menjadi
perajin cukli, ia pernah bekerja
sebagai supir dan guide turis di
sebuah hotel di Lombok. Ia pun
sempat menjadi karyawan sebuah
pabrik semen. Namun, saat krisis
tahun 1998, ia terkena PHK. Saat
menganggur itulah ia merintis usaha
cukli.

Sebelum sukses menjadi pengrajin
cukli khas Lombok, Suhaili Sueb
pernah melakoni beberapa
pekerjaan kasar. Pria lulusan
sekolah menengah atas (SMA) ini
sempat menjadi supir sekaligus
pemandu turis atau guide di sebuah
hotel di Lombok.

Profesi supir ini dilakoninya sejak
lulus SMA pada 1986. Pekerjaan ini
diambilnya karena tak ada keahlian
lain yang dimilikinya. Sebagai supir
dan guide, tugasnya adalah
mengantar para turis mengunjungi
berbagai tempat wisata, baik di
Lombok maupun di Bali.
Saat bertugas sebagai supir turis ini
ia mulai mengenal lebih dekat
kerajinan cukli. Soalnya, banyak
turis yang minta diantar belanja
barang kerajinan khas Lombok di
sejumlah toko oleh-oleh.

Nah, salah satu barang kerajinan
yang banyak dijual di toko oleh-
oleh itu adalah cukli. Saat itu,
kerajinan cukli memang sudah
mulai berkembang di kawasan
Lombok.
Sebagai warga Lombok, Suhaili pun
tertarik untuk menekuni kerajinan
tangan tersebut. Namun, ia
mengurungkan niatnya itu karena
tidak ada modal.
"Saya tertarik karena cukli
merupakan kerajinan khas Lombok
yang banyak diminati turis," kata
Suhaili.

Sebelum keinginan memproduksi
cukli itu terwujud, ia sempat alih
profesi. Seorang tamu hotel yang
sudah kenal baik dengannya
menawari pekerjaan menjadi
pegawai di sebuah pabrik semen
yang akan dibangun di Lombok.
"Katanya Pak Jusuf Kalla yang
membangun pabrik, dan rencananya
pabrik semen itu dinamakan PT
Kalla Semen Utama," ujar Suhaili.
Ia pun menyambut baik tawaran
itu. Sayangnya, sebelum pabrik
sempat selesai dibangun, terjadi
krisis moneter pada tahun 1998.
Proyek pembangunan pabrik semen
itu pun berhenti di tengah jalan.
Akibatnya, banyak karyawan yang
dirumahkan, termasuk Suhaili.
Dalam kondisi menganggur, ia pun
kembali terpikir untuk menekuni
kerajinan cukli.
Kendati minim modal, kali ini ia
nekat membuat cukli. "Modal awal
saya hanya Rp 1 juta," ujarnya.

Uang itu dipakainya buat membeli
berbagai perlengkapan untuk
membuat cukli. Untuk mengasah
kemampuan di bidang ini, ia juga
giat belajar dari rekan-rekannya
yang sudah lebih dulu menekuni
usaha ini.
Kebetulan, cukup banyak warga
kampungnya yang menjadi perajin
cukli. "Saya belajar. Saya coba-
coba memegang pahat dan palu,
lalu saya mencoba buat satu dua
buah untuk dijual," kenang Suhaili.
Sebagai mantan supir dan guide,
Suhaili masih menjalin hubungan
baik dengan teman-temannya.

Dari
situ, banyak temannya mengarahkan
turis untuk mengunjungi kampung
Suhaili.
Suhaili pun senang karena banyak
turis yang menyukai hasil karyanya.

Sejak menekuni kerajinan cukli
tahun 1998, Suhaili Sueb sempat
beberapa kali mengalami pasang
surut. Bisnisnya sempat surut gara-
gara bom Bali tahun 2002 dan
2005. Setelah bom Bali, sekarang ia
kesulitan bahan baku kerang.
sebelum menekuni usaha kerajinan
cukli, Suhaili Sueb tergolong awam
dengan kerajinan khas Lombok
tersebut. Tapi, didorong oleh
kemauan yang kuat, ia pun rajin
mengasah kemampuan di bidang
kerajinan ini.

Suhaili giat belajar dari rekan-
rekannya yang sudah lebih dulu
menekuni usaha ini. Kini, ia sudah
mahir membuat cukli. "Mulai dari
tahap awal sampai finishing saya
bisa mengerjakan semuanya,"
ujarnya.
Hasil karyanya pun lumayan
memuaskan. Terbukti, banyak orang
menyukai hasil kerajinan tangannya
ini. Namun, sebelum maju seperti
sekarang, usahanya sempat
beberapa mengalami pasang surut.

Saat terjadi peristiwa bom Bali
tahun 2002 dan 2005, misalnya, Suhaili
kehilangan banyak pelanggan dari
turis asing. Soalnya, banyak yang takut berkunjung ke Bali termasuk
Lombok.
"Saya sempat terpuruk," kata dia.
pelancong asing yang mengunjungi
kawasan itu berkurang drastis.
Begitu pula dengan omzet para
perajin yang susut lebih dari
setengahnya. Tapi, kejadian ini tidak
menyurutkan langkah Suhaili untuk
mengembangkan kerajinan cukli.
Ia mengusung prinsip: seorang
perajin harus terus berkreasi dalam
kondisi apapun juga. Kiat inilah
yang menurut Suhaili menjadi salah
satu tip suksesnya. "Kalau mau
bertahan, harus ada inovasi dan
kreasi," tegasnya.
Di saat banyak perajin sepertinya
terpuruk akibat peristiwa bom Bali,
Suhaili terus mengembangkan
dirinya dengan menambah
kemampuan lain.

Selain cukli, ia juga belajar
memahat kayu dengan aneka motif
hiasan. Saat ini, Suhaili juga sudah
mahir memahat kayu. Banyak
ukiran kayunya kini beredar di
pasar.
Dengan keahlian itu, dia pun bisa
terus bersaing karena menawarkan
banyak variasi produk. Kendati
demikian, cukli tetap menjadi
produk utamanya.

Lepas dari masa sulit akibat ledakan
bom Bali, sekarang Suhaili kembali
dihadapkan pada tantangan baru.
Kali ini, ia kesulitan mendapatkan
pasokan bahan baku kerang untuk
kerajinan cuklinya.
Suhaili bilang, pasokan kerang
semakin menipis khususnya di Nusa
Tenggara Barat. Hal itu terjadi
karena makin banyak orang yang
berburu kerang.

Agar produksinya tetap jalan, ia pun
membeli kerang dari luar Lombok
dengan harga lebih mahal. "Padahal
harga jual produk belum bisa naik,"
ujarnya.

Cuaca yang tidak menentu juga
mempengaruhi kelancaran
usahanya. Soalnya, produksi cukli
dan ukiran kayu sangat memerlukan
sinar matahari untuk proses
pengeringan.
Jika sinar matahari tak cukup,
proses finishing tak bisa sempurna.
"Sementara, cuaca sekarang tak bisa
diprediksi," katanya. Gara-gara
cuaca ini, ia pernah sering terlambat memenuhi pesanan
konsumen.

Walau banyak tantangannya, ia
mengaku tetap akan menekuni
usaha ini. ( Revi Yohana)

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/suhaili-usaha-sempat-dihantam-bom-bali-3/2012/09/25

Ingin Bermanfaat Bagi Sesama dengan Menjadi Pengusaha, Afit Sukses Lewat Steak Holycow

Berawal dari kesukaan menyantap
steik, Afit Dwi Purwanto sukses
mengembangkan bisnis steik di
Jakarta. Bisnisnya maju lantaran
menjadikan steik wagyu sebagai
menu andalan dengan harga murah.
Dalam sebulan, ia menghabiskan 3
ton daging sapi dengan omzet
ratusan juta.

Para pecinta daging bakar alias
steik (steak ) mungkin sudah tak
asing lagi dengan menu steik
wagyu. Steik dengan bahan dasar
daging sapi wagyu sudah sangat
tenar karena rasanya yang lezat
dengan tekstur daging daging yang
lembut.
Dahulu, steik wagyu merupakan
menu istimewa yang banyak dijual
di restoran-restoran ternama.
Harganya pun tidak murah.

Namun, di tangan Afit Dwi
Purwanto, santapan untuk kalangan
jetset itu bisa dinikmati juga oleh
kalangan menengah. Di bawah
bendera usaha Holycow!
Steakhouse, ia menghadirkan steik
wagyu dengan harga jauh lebih
murah ketimbang resto.
Rasanya juga tak kalah lezat
dibandingkan dengan buatan
restoran. Dengan terobosannya ini,
boleh di bilang, kedai steik-nya
merupakan kedai pertama yang
menjual steik wagyu berkualitas
tinggi dengan harga terjangkau.
Untuk dapat menikmati seporsi
wagyu di Holycow! Steakhouse,
pengunjung cukup membayar Rp
35.000 – Rp 150.000.

Tak ayal, pelanggan pun rela
mengantre demi menikmati wagyu
lezat ala Holycow! Steakhouse.
Bahkan, tak jarang, konsumen
mengantre hingga 30 menit
sebelum warung Holycow!
Steakhouse buka. Untuk memenuhi
kebutuhan konsumen, Afit
menghabiskan sekitar 2,5 ton
hingga 3 ton daging sapi setiap
bulannya.
Lantaran peminatnya tinggi, bisnis
steik Afit ini terus berkembang.
Setelah membuka kedai pertama di
di Senopati, Jakarta Selatan, tahun
ini ia juga membuka gerai baru di
Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dari usaha ini, omzetnya mencapai
ratusan juta per bulan. Bisnis ini
dipilihnya karena dia memang
penyuka steik. Ide bisnisnya sendiri
muncul setelah ia menyantap steik
wagyu di salah satu restoran di
Jakarta. "Saya pernah makan wagyu
di salah satu restoran di Plaza
Senayan seharga Rp 900.000 per
porsi," kata Afit.

Ia mengaku, lezatnya steik wagyu
tersebut membuatnya tidak bisa
tidur pada malam itu. Keesokan
harinya, ia pun mencari bahan baku
wagyu dengan harga jauh lebih
murah dan ia olah dengan bumbu
racikannya sendiri.
Sejak itu, ia terbiasa memasak
wagyu sendiri, minimal sekali
dalam sebulan. Dari sekadar coba-
coba meracik bumbu, ia kemudian
menjajakan steik buatannya itu
kepada rekan dan koleganya.

Tak dinyana, semua suka dan
memuji kreasi Afit dalam mengolah
daging sapi yang lezat. Mendapat
peluang, mulailah, ia kemudian
melayani pesanan katering.

Akhirnya, pada Maret 2010, ia
memutuskan untuk membuka
Holycow! Steakhouse.
Sejak awal, Afit memang mengusung
konsep warung untuk
mengembangkan bisnis steiknya ini.

Pasalnya, Holycow! Steakhouse
berangkat dari ide “Wagyu For
Everyone!”. Jadi, menu yang
dihidangkan di tempat itu bisa
dinikmati dengan harga yang
terjangkau.

Sejak masih kuliah, Afit Dwi
Purwanto, pemilik Holycow!
Steakhouse, sudah bercita-cita
menjadi seorang pengusaha.
Namun, setelah lulus kuliah ia tidak
langsung mewujudkan mimpinya ini.

Ia justru memilih bekerja di
beberapa perusahaan media di
bagian pemasaran. Setelah beberapa
tahun menjadi karyawan, barulah ia
memutuskan untuk terjun ke dunia
bisnis.
Keinginannya untuk berbisnis tidak
lepas dari pesan ibunya. "Ibu saya
pesan sebaik-baiknya manusia ialah
manusia yang bisa memberi
manfaat bagi orang lain," ujarnya.

Bagi Afit, menjadi pegawai memang
bisa memberi manfaat bagi
keluarganya. Akan tetapi, ketika
berbisnis, ia bisa memberi manfaat
kepada lebih banyak orang.
Misalnya, dengan memberi lapangan
pekerjaan. Selain itu, dengan
berbisnis, ia juga bisa mengatur
kehidupannya secara bebas dan tak
terikat kepada institusi atau
perusahaan mana pun.
Afit sendiri mengaku tidak memiliki
latar belakang bisnis sama sekali.
Namun, ia mengenal cukup banyak
teman yang juga punya bisnis.
Didukung dengan informasi dari
buku atau internet, ia pun
menerapkan segala hal yang
dipelajarinya tentang bisnis.

Kata Afit, hal utama yang harus
dilakukan pebisnis ialah
menentukan segmen pasar, sehingga
target pasarnya tidak terlalu lebar.
Ini penting karena akan berkaitan
dengan pemasaran atau marketing.
Setelah menentukan segmen pasar,
ia pun melakukan diferensiasi, baik
dari segi konsep rumah makan
maupun harga.

Dari segi harga, misalnya, ia
menawarkan harga murah untuk
seporsi steik (steak) wagyu, yang
selama ini terkenal mahal.
Konsep rumah makannya juga
dibuat sedeharna ala kedai atau
warung. "Tidak memakai pendingin
ruangan (AC)," ujar Afit. Ia sendiri
menyebut warungnya sebagai camp.
Sementara konsumennya dengan
sebutan carnivores. Dengan adanya
diferensiasi itu, konsumen pun
cepat mengenali usahanya. “Dalam
bisnis, kreativitas itu perlu,”
ucapnya.

Untuk urusan pemasaran, Afit
menyerahkan kepada istrinya, Lucy
Wiryono. Sejak awal warungnya
berdiri, Lucy kebagian mengurus
pemasaran dan relasi dengan media.
Pekerjaan Lucy sebagai presenter di
beberapa stasiun televisi cukup
membantu memudahkan tugasnya
sebagai seorang pemasar.

Promosi
juga gencar dilakukan di beberapa
situs jejaring sosial, seperti
facebook dan twitter.
Dengan promosi yang gencar,
Holycow! Steakhouse kini sudah
semakin dikenal. Terbukti, dua gerai
di Senopati dan Kelapa Gading,
Jakarta, selalu ramai dikunjungi
pembeli.

Bagi
Afit
Dwi
Purwanto, berbisnis bukan semata-
mata mencari keuntungan untuk
diri sendiri. Tapi, juga harus bisa
memberikan manfaat bagi orang
lain. Bagi pemilik Holycow!
Steakhouse ini, dampak positif dari
bisnisnya adalah memberikan
lapangan pekerjaan bagi orang lain.

Dalam mencari karyawan, ia fokus
merekrut lulusan sekolah menengah
atas (SMA). Hal itu dilakukannya
untuk memberi kesempatan kerja
bagi mereka yang tidak memiliki
biaya untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi.

Ia juga sangat memperhatikan
kesejahteraan karyawannya. "Gaji
karyawan saya 25% lebih tinggi dari
pasaran," ujarnya. Dengan gaji lebih
tinggi, karyawan pun lebih
semangat dan betah bekerja
dengannya. Terbukti, sangat sedikit
karyawannya yang pernah
mengajukan pengunduran diri.
"Turn over karyawan di Holycow!
Steakhouse sangat rendah, hanya di
bawah 10% yang mengundurkan
diri," ujarnya.

Menurut Afit, kini sudah ada
beberapa karyawannya yang
melanjutkan kuliah atau membeli
motor sendiri. Bahkan, ada yang
berinvestasi dengan membeli tanah.
Hal itu menjadi kebanggaan
tersendiri bagi Afit sebagai pebisnis.

Di sisi lain, ia juga memperlakukan
karyawannya sebagai keluarga.
Dengan pola hubungan
kekeluargaan, karyawan pun bisa
melayani pelanggan dengan sepenuh
hati.
Sampai saat ini, total karyawan
yang bekerja dengannya berjumlah
60 orang di dua cabang di Senopati
dan Kelapa Gading, Jakarta.

Holycow! Steakhouse buka setiap
hari pada pukul 11.00 WIB hingga
14.00 WIB. Setelah itu, buka lagi
sore hari pukul 17.00 WIB sampai
steik terjual habis. Di warung steik
ini, pelanggan tidak bisa melakukan
reservasi.
Jadi, mereka yang datang diawal
langsung dilayani terlebih dahulu.
Menurut Afit, ini dilakukan karena
setiap setengah jam sebelum
warungnya buka, sudah ada antrean
pelanggan. Ia tidak memberlakukan
reservasi agar pelanggan yang
sudah mengantri merasa
diperlakukan dengan adil.
Kebijakan ini berlaku tanpa pandang
bulu.

Bahkan, bila teman-teman dekatnya
mau makan di Holycow!
Steakhouse, mereka pun tetap harus
antri. Afit bercerita, pernah juga
ada seorang menteri harus antri
untuk bisa menikmati steiknya.
Tidak hanya mengantre, menteri itu
pun harus berbagi meja dengan
pelanggan lain.
Daya tampung di setiap outlet
sekitar 60 kursi. "Karena selalu
ramai, jadi pelanggan biasanya
berbagi meja dengan pelanggan
lain," ucapnya.

Untuk mengembangkan bisnisnya,
Afit sedang mempertimbangkan
untuk menambah gerai di Jakarta.
Hal itu dilakukan karena daya serap
steik di ibukota masih sangat tinggi.

Untuk membuka tawaran kemitraan
atau waralaba, ia mengaku masih
belum tertarik. Sebelum menuju ke
sana, ia ingin fokus memperkuat
jaringan bisnis dan brand.

"Mungkin kalau Holycow!
Steakhouse sudah belasan tahun,
kami baru mau membuka tawaran
kemitraan atau waralaba," katanya.

Selain membesarkan bisnis steiknya,
ia juga ingin merambah bisnis lain
yang masih berhubungan dengan
kuliner. Namun, ia belum mau
memberi bocoran. Tapi ditargetkan,
rencana ekspansi itu bisa
direalisasikan tahun ini. ( Marantina)

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/afit-bangga-bisa-memajukan-kehidupan-karyawan-3/2012/09/19

Markus, Anak Tukang Gado- gado yang Juragan Pabrik Komponen Otomotif dan Telekomunikasi

Kemauan untuk belajar dan total
memanfaatkan kesempatan menjadi
kunci kesuksesan Markus Maturo
dalam menjalankan bisnis.
Mengawali karier dari nol sebagai
seorang salesman , kini Markus
telah menjadi juragan enam pabrik.
Mengalir bak air di sungai. Itu
gambaran perjalanan karier Markus
Maturo, pemilik Adyawinsa Group.

Meski tidak pernah bermimpi
menjadi pengusaha, ternyata, saat
ini dia sukses berbisnis dengan
memiliki sedikitnya enam pabrik.
Lewat bendera Adyawinsa Group,

Markus mengelola usaha di bidang
otomotif dan nonotomotif. Di
bidang otomotif, dia memiliki
empat pabrik, yakni dua pabrik
stamping bernama PT Adyawinsa
Dinamika Karawang dan PT
Adyawinsa Stamping Industries,
satu pabrik pengolahan plastik
bernama PT Adyawinsa Plastic
Industries Karawang, dan satu
pabrik interior mobil Adyawinsa
New World Autoliner yang
beroperasi di Thailand.

Di luar otomotif, Markus memiliki
dua pabrik. Satu pabrik bergerak di
bidang telekomunikasi bernama PT
Adyawinsa Telecommunication &
Electrical dan satu pabrik di bidang
solar panel bernama PT Adyawinsa
Electrica & Power.
Sedikitnya, ada 65 perusahaan yang
sudah bermitra dengan Adyawinsa
Group. Antara lain Suzuki, Daihatsu,
General Motor Indonesia,
Mitsubishi, Toyota, Meiwa
Indonesia, Sharp, Philips,Toshiba,
Panasonic, Telkom Indonesia,
Spinner, Indosat, Ericsson, Huawei,
dan SCS Agit.

Melihat luasnya bidang usaha
Adyawinsa Group, mungkin Anda
mengira ini kelompok usaha milik
keluarga konglomerat. Salah.
Adyawinsa Group bukan warisan
keluarga. Markus sendiri yang
membangun grup usaha ini dari
nol. Selulus dari Akademi Teknik
Mesin Indonesia (ATMI) Solo, Jawa
Tengah, pada 1991, dia bekerja
sebagai kepala proyek di
perusahaan konstruksi. “Orang tua
mau membiayai saya kalau saya
kuliah di ATMI,” kata anak penjual
gado-gado ini.

Markus hanya bekerja di Solo
selama enam bulan. Sebab, ia
diminta untuk bergabung di
perusahaan sang kakak bernama PT
Enceha Pacific yang saat itu
bergerak di bidang perdagangan
epoxy tooling. “Saya jadi tenaga
penjual,” kenangnya.
Selama menjadi salesman, Markus
sering berinteraksi dengan
perusahaan komponen otomotif.

Hingga pada suatu hari, dia
bertandang ke satu pelanggan:
Inoac Indonesia, perusahaan yang
memproduksi jok dan interior
mobil. “Engineer Inoac sedang
pusing saat itu karena komponen
stay headrest pesanan Toyota
banyak yang direjek,” tutur suami
dari Ariyanti Koswara ini.
Inoac pun menawari Markus
memproduksi komponen tersebut.
Karena merasa tidak memiliki
peralatan produksi, ia menanyakan
alamat pemasok stay headrest
yang ada di Tangerang dan Cibubur.

“Saya pun membeli 10 biji di
Cibubur,” kenang lelaki kelahiran
Kroya, Jawa Tengah, 2 Maret 1970
ini.
Hanya mengamplas
Komponen yang Markus beli
memang seret ketika dimasukkan ke
stoper. Dia pun berinisiatif untuk
mengampelasnya. “Mereka puas.
Order pun ditambah menjadi 100
biji. Saya masih ampelas sendiri.
Hingga akhirnya, mereka pre-order
hingga 1.000 biji,” katanya. Markus
lantas merekrut pengangguran di
sekeliling rumahnya. Sembari
memenuhi order, dia tetap bekerja
di perusahaan sang kakak.

Ketika order meningkat hingga
10.000 biji, mau tidak mau, Markus
harus meningkatkan produksi.
Tahun 1994, bermodal Rp 25,7
juta, dia membeli beberapa mesin
pres dan mesin bubut. “Karena
sudah ada karyawan, saya keluar
dari pekerjaan sebagai sales,” kata
Markus yang memulai usahanya di
garasi berukuran 120 meter persegi
(m²) milik sang kakak.

Tahun 1995, Mitsubishi memesan
beberapa komponen untuk mobil
keluaran baru mereka, yaitu
Mitsubishi Kuda. “Awalnya mereka
ragu dengan lokasi usaha saya yang
dekat pemukiman warga. Mereka
minta saya pindah ke kawasan
industri,” katanya.
Mitsubishi pun memberikan order
dan uang muka yang oleh Markus
dipakai untuk membeli lahan seluas
1.400 m² di Jababeka. “Proses
pembangunan pabrik butuh waktu
18 bulan. Selama itu, saya tetap
produksi di garasi,” katanya. Tahun
1996, orderan datang lagi dari
General Motor yang akan
meluncurkan Opel Blazer, mereka
meminta dibuatkan cover engine.

Usaha Markus terus berkembang,
komponen otomotif yang dia
produksi pun semakin banyak.
Hingga, akhirnya, dia mendapatkan
order dari Philips untuk
memproduksi komponen rumah
lampu (armatur). “Mesin yang kami
miliki itu bersifat universal. Bisa
untuk komponen otomotif maupun
non otomotif,” jelasnya.
Bisnis Markus makin luas. Dia juga
merambah dunia telekomunikasi
dengan memasok komponen base
transceiver station (BTS).

Seiring berkembangnya jenis produk
dan meningkatnya pesanan, sampai
sekarang Markus terus menambah
pabrik. “Sejak tahun 2007, dalam
setahun, minimal ada penambahan
satu pabrik,” tuturnya. Tahun ini,
dia akan menambah satu pabrik dan
tahun depan akan menambah dua
pabrik lagi.( J. Ani Kristanti, Fransiska Firlana, Sofyan Nur Hidayat)

Sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/markus-anak-tukang-gado-gado-yang-juragan-pabrik/2012/09/21

Ciputra, Sang Taipan Properti yang Memulai Kerajaan Bisnisnya Tanpa Modal

Ada yang bilang jika seseorang
ingin memulai sebuah usaha
diperlukan modal atau uang yang
besar. Siapa bilang? Tanpa modal
sepeser pun Anda tetap dapat
memulai merintis usaha dan
bukan tidak mungkin usaha
tersebut perlahan namun pasti
bisa merangkak naik sehingga
menciptakan kerajaan bisnis yang
luar biasa.
Adalah Ir. Ciputra yang berhasil
melakukan hal tersebut. Pria
berumur 81 tahun memulai
kerajaan bisnisnya tanpa modal
sepeser pun.

"Saya mulai usaha saya tanpa
modal, kamu tahu yang penting
itu bukanlah modal. Namun
inovasi," ungkapnya kepada
wartawan, di Gedung BI, Jakarta,
Senin (3/9/2012).
Salah satu pengusaha sukses
nasional yang kerap dipanggil Pak
Cik ini berujar, dirinya dapat
mempertahankan kesuksesan
kerajaan bisnisnya hingga dapat
bertahan sampai saat ini dirinya
selalu membuat inovasi tiada
henti.

"Inovasi jalan terus, sudah 11
perusahaan, saya go public, ada
pegawai 15 ribu. Saya bayar pajak
triliunan. Ketika inovasi saya
ditiru orang, maka ciptakan
inovasi lagi. Setiap bangun saya
selalu mikir inovasi apa yang
harus lakukan," ungkap pria
kelahiran, Parigi, Sulawesi Tengah
ini.

"Misalnya saya bangun rumah,
tapi ketika saya membangun
rumah itu mesti lain daripada
orang lain yang bangun rumah
juga, lalu ketika saya bangun
toko, toko itu mesti lain daripada
toko orang lain," tuturnya.
Ciputra yang lahir dengan nama
Tjie Tjin Hoan ini sangat ingin
menyebarkan virus kewirausahaan
di Indonesia. Menurutnya dengan
jumlah penduduk di Indonesisa
yang cukup banyak saat ini,
potensi untuk lahir bibit-bibit
baru entrepreneurship sangatlah
besar. Bahkan menurutnya, mata
pelajaran kewirausahaan harus
dimulai sejak bangku taman
kanak-kanak.

"Pendidikan entrepreneurship ,
harus dimulai dari TK. Harus
diajarkan mindset kewirausahaan.
Jadinya otak sebelah kiri itu juga
diimbangi dengan kinerja otak
sebelah kanan. Jadi jangan hanya
menghapal saja, dari saya kecil
telah melakukannya," ungkap pria
kelahiran 24 Agustus 1931 yang
lalu ini.

Perbanyak Praktek Bukan Teori
Kebanyakan sekolah-sekolah yang
ada di Indonesia lebih banyak
menggunakan teori dibandingkan
praktek di lapangan. Namun,
menurut Ciputra, hal tersebut
tidak akan berhasil untuk
menumbuhkan jiwa
kewirausahaan di Indonesia yang
relatif masih rendah jika
dibandingkan dengan negara-
negara lainnya.

"Misalnya kalau di Universitas
Ciputra ada waktu, satu hari full
untuk mempraktekan apa yang
dipelajari selama empat hari
dalam seminggu. Kita di
Universitas Ciputra mempelajari
teori terus dari pertama dan
kemudian sosialisasinya atau
praktek nyatanya di lapangan,"
katanya.

Dia pun selalu berusaha untuk
menanamkan wirausaha sedari
kecil yaitu dengan cara yang
cukup sederhana yakni dengan
bertanya apa yang anak kecil
tersebut mau. Sehingga dari
jawaban anak kecil tersebut
secara tidak sadar lahirlah sebuah
inovasi

"Seperti begini kita ajak anak,
umur empat tahun untuk pergi ke
mal. Kemudian saya tanya, mal
yang mana kamu suka, dia mulai
berpikir kalau tidak hanya
merengek-rengek pergi ke
restoran kemudian waktu makan,
kue mana yang kamu suka. Lalu
misalnya anak itu mau kue, kue
mana yang kamu pilih. Itu sudah
kreatif kan. Ajukan pertanyaan
yang memberikan dia inspirasi,"
ungkap pria lulusan Intstitute
Teknologi Bandung (ITB) jurusan
Arstitektur tersebut.
"Lalu ada lagi misalnya suruh
anak-anak bikin kue di rumah dan
jual terus ikut bazar. Setiap
seminggu sekali bikin bazar, tahu
cukup jual ke tetangga. Dimulai
dari hal-hal kecil saja," tukasnya.

Maka dari itu, dirinya selalu
berujar agar tingkat
kewirausahaan di Indonesia
haruslah dibangun dan
dikembangkan dengan baik,
karena terdapat potensi
didalamnya, yaitu jumlah
penduduk Indonesia yang super
duper banyak.

"Indonesia ada 30 persen
penduduknya punya bakat  dan
keinginan, dan kepercayaan diri
yang sudah ada. Nah, bahan
bakunya kita tinggal kasih apinya
maka dia akan berkembang luar
biasa. Kamu bayangkan 30 persen
dari 240 juta orang itu berapa
itu, 70 juta lebih, dan sekarang
entrepreneur di Indonesia baru
satu persen saja," ungkap raja
bisnis properti tersebut.

Pria yang merupakan salah satu
raja bisnis properti di Indonesia
ini yang kini mempunyai lini
usaha Jaya grup, Metropolitan
grup, dan Ciputra grup ini
berpesan bahwa untuk untuk
menjadi pengusaha sukses sperti
dirinya selain diperlukan mental
yang tangguh, seorang pengusaha
juga harus mempunyai sebuah
daya tarik.
"Dia mesti punya daya tarik, agar
kelak usahanya dapat
menguntungkan. Jadi kamu tulis
100 jenis usaha, kemudian kamu
reduce hingga 30 dengan
disediakan alasannya. Kemudian
tiga, kamu pilih. Lalu pelajari
dulu, dan lakukan analisa pasar.
Apa yang sedang booming di
masyarakat pada saat ini,"
ucapnya.

Selalu Menjaga Kesehatan

Di usia yang sudah terbilang tua
dan sudah pensiun ini, Ciputra
masih terlihat bugar dan cukup
sibuk. Dia pun mempunyai cara
jitu untuk menjaga kesehatan,
yaitu dengan melakukan berbagai
olahraga yang tekun dijalaninya
setiap hari seperti jalan kaki,
berenang dan juga melakukan tai
chi.
"Saya lakukan itu setiap hari, tapi
ganti-ganti," singkatnya.
Selain menjaga kesehatan, dirinya
pun tidak lupa untuk selalu
menyebarkan virus kewirausahaan
ke seluruh Indonesia dengan cara
menjadi mentor di beberapa grup
yang dimilikinya.

"Saya masih jadi mentor di tiga
grup yang saya bangun. Yaitu Jaya
grup, Metropolitan grup, dan
Ciputra grup. dan dari semua itu
sebanyak 11 perusahaan yang
sudah go public," tutupnya. (ade)
( R Ghita Intan Permatasari)

Sumber: http://m.okezone.com/read/2012/09/03/22/684408/sang-taipan-properti-yang-memulai-kerajaannya-tanpa-modal

Habibie, Keterbatasan Fisik Tak Halangi Kesuksesannya Menjadi Pebisnis Online

TIDAK perlu berwajah tampan,
berpostur proposional, dan
terlihat maskulin untuk dapat
menjadi seorang marketer. Ini
terlihat dari perjuangan Habibie
Afsyah sebagai seorang marketer.

Setiap orang pasti memiliki
kemampuan dan keahlian masing-
masing dalam memperjuangkan
hidupnya. Tetapi berbeda dengan
Habibie, pria kelahiran 6 Januari
1988 yang hanya tamatan SMA
Sunda Kelapa ini dapat meraup
ribuan dolar per bulan dengan
keterbatasannya, menderita cacat
kaki dan tangan.

Habibie memulai karirnya dengan
pegangan ingin membuat
pandangan orang lain bahwa dia
bisa mandiri. Dengan persepsi
tersebut, dia memulai bisnisnya
tidak jauh dari hobinya bermain
game di dunia online, yakni
internet Advertiser.

Pemenang Danamon Award 2012
ini, pada 2007 mendaftarkan diri
pada situs Amazon.com yang
merupakan situs penjual terbesar
saat itu. Dirinya pun hanya
mendapat imbalan kecil sekira
USD24 per bulan. Barulah
menjelang lima sampai enam
bulan kemudian, pengiriman
ceknya telah mencapai USD120
per bulan.

Singkat kata, imbalan yang terus
meningkat sampai ribuan dolar
pun membuat Habibie makin
bersemangat. Keterbataskan fisik
yang dialaminya seakan tak
mampu menyurutkan
semangatnya untuk bisa menjadi
seorang marketer sejati.
"Mulai dari situ saya menerapkan
ke orang lain, dan ingin
menghilangkan paradigma orang-
orang bahwa orang seperti saya
itu merepotkan dan mengganggu,"
tegas Habibie kepada Okezone.

Krisis Global Melanda
Orang berusaha pastinya
mempunyai banyak kendala dan
hambatan. Saat krisis global
melanda pada pertengahan 2008,
Habibie pun gagal menargetkan
keuntungan hingga USD10 ribu.
Namun dia tidak patah semangat,
Habibie memulai usahanya lagi di
pasar dalam negeri.

"Dunia online itu kan sangat cepat
perkembangannya, jadi saat surut
seperti itu, saya menambah ilmu
lagi untuk dapat menyamakan
dengan perkembangannya, dengan
cara keluar kota dan lain-lain.
Penghasilan dibuat untuk biaya
belajar dan biaya keluar kota
nantinya," ujar Habibie.
Terus Berkembang Walau Surut
Motivasinya yang ingin terus
berkembang dan mandiri,
membuat dia tidak puas diri.

Pada 2011 dia mulai merambah
dunia marketing baru, yakni
AdSense.com, perusahaan ini
terafiliasi dengan Google.com.
"Ini menjadi penghasilan utama
saya. Iklan di atas nama Google
memberikan saya penghasilan dari
banyaknya orang mengklik
iklannya," ujar Habibie.
Alhasil, dari bisnis ini Habibie
mengaku sempat mencairkan cek
sekira USD6 ribu. Hal ini tentu
saja membuatnya bagaikan
tertimpa durian runtuh. Berkat
pekerjaannya di dunia internet,
Habibie pun mendapat gelar
"Suhu Internet Marketer" dari
para blogger.
Habibie pun mendirikan yayasan
yang mengedukasikan para
penyandang cacat fisik, agar
dapat berusaha dalam dunia
Internet Marketer.

"Mendapatkan uang dari
Danamon Award 2012 sebesar
Rp60 juta. Uang tersebut akan
saya gunakan untuk
mengembangkan yayasan saya,"
pungkasnya.
(mrt)( Fakhri Rezy )

Sumber: http://m.okezone.com/read/2012/08/23/22/680124/keterbatasan-fisik-ubah-habibie-jadi-marketer-sejati