Tuesday, November 22, 2011

Dengan Kreasi Sisik Ikan Sukses Raup Omzet Puluhan Juta



KOMPAS.com - Limbah ikan kakap ternyata bisa disulap menjadi aksesori dan pernak-pernik nan cantik dan diminati pasar hingga mancanegara. Dengan sentuhan kreativitas, Theodora menciptakan gelang, bros, anting, bunga dan juga hiasan foto yang semuanya berbahan baku sisik ikan kakap. Dari hasil olahan sisik ikan itu, Ia mampu mendulang omzet hingga Rp 10 juta per bulan.

Barang sisa ternyata tidak selamanya terbuang sia-sia. Dengan sentuhan tangan kreatif, barang sisa atau limbah bisa mendatangkan rezeki. Seperti yang dilakukan Theodora de Lima, yang mengolah sisik ikan kakap yang terbuang menjadi aneka bentuk aksesori dan pernak-pernik perhiasan, seperti gelang, bros, anting, bunga dan hiasan foto.

Lulusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan di Universitas Pattimura ini mengolah sisik beragam ikan kakap, baik ikan kakap berwarna merah, hijau, merah muda, kuning maupun sisik ikan kakap warna putih. Setelah terkumpul, sisik tersebut dirangkai menjadi satu sehingga bisa membentuk salah satu jenis aksesori atau pernak-pernik.

Setelah selesai, Theodora menjualnya dengan harga beragam, tergantung bentuk aksesori yang dia produksi. Harga termurah, Rp 25.000 per unit. Tapi ada juga yang dijual Rp 300.000 per unit.

Dalam sebulan, dia bisa meraup omzet hingga Rp 10 juta. Tapi, untuk mendapatkan omzet tersebut, Theodora harus bertandang ke mana-mana untuk mengikuti pameran. Banyak sudah lokasi pameran yang ia sambangi, bahkan ia juga beberapa kali mengikuti pameran yang berlangsung di negeri Kincir Angin, Belanda.

Tak hanya di luar negeri, dia juga aktif ikut pameran di dalam negeri. Sebut saja pameran yang digelar di Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, Makassar, dan Manado. "Pada setiap pameran, produk kerajinan sisik ikan kami habis terjual," jelas perempuan kelahiran Salatiga, Jawa Tengah 47 tahun silam itu.

Bermula dari pameran itulah, kerajinan tangan Theodora dikenal pembeli mancanegara. Banyak pembeli dari Belanda, Australia, dan Hongkong menghubunginya, bahkan ada yang datang ke kediamannya di Ambon.

Theodora sengaja memilih Ambon menjadi lokasi produksi, karena warga Ambon gemar konsumsi ikan kakap. Alhasil, pasokan sisik ikan kakap terjamin. "Ikan kakap tak hanya memiliki daging yang berprotein tinggi, tapi sisiknya bernilai ekonomi tinggi," tambah Theodora.

Ide mengolah sisik ikan muncul ketika ia berkunjung ke Yogyakarta. Saat itu, dia melihat kerajinan kancing bantal berbahan tempurung kelapa. ”Saat itu muncul ide mengolah sisik ikan menjadi bunga,” tutur pemilik kelompok Usaha Bersama Mama Theodora di Wayame, Ambon ini.

Bicara soal produksi, Thedora mengaku belum bisa mematok target. Sebab, saat ini, produksinya sesuai dengan pesanan yang datang. "Ketika ada permintaan dalam jumlah banyak, kami menjadi kewalahan," kata Theodora.

Selain untuk ekspor, kerajinan sisik ikan kakap juga banyak digemari karyawan perkantoran pemerintah, swasta mau pun dari organisasi masyarakat. Pesanan biasanya datang saat ada acara-acara besar di Maluku, seperti pelaksanaan Sail Banda Agustus 2010 lalu. Tak hanya itu, banyak juga warga keturunan Maluku di Belanda gemar memesan kerajinan sisik ikan itu secara berkala.

Karena bahan baku sisi terbatas, Theodora mendatangkan sisik ikan kakap dari Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Sisik ikan yang berwarna putih itu juga dibuat aneka warna sesuai dengan kebutuhan produksi. Agar pasokan bahan baku lancar, Theodora mempekerjakan tenaga khusus untuk mencari limbah sisik ikan kakap tersebut.

Sementara itu, pekerja terampil yang dia rekrut di bengkel kebanyakan berstatus mahasiswa yang butuh pekerjaan sampingan. "Sudah banyak mahasiswa yang lulus dari sisik ini," kata Theodora.

Saat ini Theodora kesulitan mencari bahan baku pendukung produksi, seperti pengadaan lembaran aluminium, yang harus dia datangkan jauh-jauh dari Pulau Jawa. (Ragil Nugroho/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/06/28/09151411/Dengan.Kreasi.Sisik.Ikan.Raup.Rp.10.Juta

Dari Modal Belasan Juta, Kini Omzet "chocodot" Ratusan Juta

GARUT, KOMPAS.com — Bermula dari bisnis kecil-kecilan dengan modal Rp16 juta, Kiki Gumelar memulai bisnisnya di kota yang terkenal dengan dodolnya, Garut. Bisnisnya juga tak terlepas dari inovasi membuat dodol. Kini, Kiki pun telah merasakan buah kerja kerasnya. Bisnisnya kini telah beromzet ratusan juta rupiah. Ia pun dikenal sebagai pionir dalam inovasi "chocodot" alias cokelat isi dodol. Kiki mengungkapkan, ia memulai bisnisnya pada awal 2009.

"Bahwa kemauan serta niat yang tulus dan bekerja keras adalah modal utama dalam dunia bisnis. Bayangkan, saat itu saya hanya bermodalkan 16 juta rupiah yang saya pinjam melalui kredit di salah satu bank. Saya optimistis bahwa Garut sangat memiliki potensi yang besar dalam berbisnis. Makanya, saya rela keluar dari kantor tempat saya bekerja. Saya yakin bahwa di sinilah saya akan menggantungkan hidup saya, yaitu bisnis 'chocodot'," ujar Kiki.

Apa yang diperolehnya saat ini, kata Kiki, tak lepas dari berbagai macam hambatan dan rintangan. Hasilnya, selain bisnis yang terus berkembang, Kiki juga mendapatkan  penghargaan dari Kementerian Perindustrian "UKM Pangan Award 2010". Baru-baru ini, ia juga berhasil mendapatkan penghargaan di ajang "International Niche Product Competition at Tutto Food Milan Italy".

"Saya merasa apa yang saya kerjakan belum maksimal karena tetap harus belajar dan terus berkreasi," kata dia.

Walaupun telah ratusan cokeat dengan aroma dan rasa yang unik diproduksi oleh Kiki, ia merasa belum puas untuk menggali berbagai potensi yang ada di Garut. Di sejumlah titik Kota Garut terpasang baliho dan spanduk dengan wajah Kiki yang bertuliskan "Stop Plagia".

"Dalam dunia bisnis tentunya ada sebuah persaingan. Akan tetapi, kita harus menyikapi persaingan itu sebagai sebuah motivasi agar kita terus bekerja keras dan berkreasi. Dalam baliho tersebut saya hanya mengingatkan kepada masyarakat Garut terutama dan para pebisnis muda yang ada di Garut agar jadilah diri sendiri, tidak plagiat. Pasalnya, kunci kesuksesan sebuah bisnis atau usaha adalah kita harus menjadi diri sendiri karena menjadi diri sendiri adalah modal utama untuk berkreativitas serta menghargai hasil karya orang lain,"ujarnya.

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/06/30/0921354/Dari.Modal.Belasan.Juta.Omzet.Ratusan.Juta

Motif Batik Belahan Kayu Glugu Hasilkan Miliaran Rupiah

JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa yang dapat menyangka setiap belahan kayu kelapa (atau disebut glugu) dapat memunculkan ribuan motif titik. Dialah, M Amin, yang dapat berkesempatan melihatnya dan menjadikannya sebagai motif batik. "Saya tiap hari lihat papan yang saya belah, terinspirasi dari situ, cita-cita saya (waktu lihat belahan papan itu), bagaimana bisa jadi motif fashion," ungkap M Amin, pemilik usaha Batik Glugu Abadi, kepada Kompas.com, di sela-sela pameran busana yang diselenggarakan oleh Bank BRI, Jakarta, akhir bulan Juni lalu.

Motif batik glugu miliknya memang terbilang unik. Berbeda dengan motif batik pada umumnya. Siapa menduga usaha batik yang baru sah berdiri 14 Mei 2010, telah meraih omzet sebesar Rp 1,5 miliar per Desember 2010.

Motif ini sebenarnya dia amati semenjak memulai usaha mebel dari tahun 1999. Namun, usaha yang telah digelutinya selama belasan tahun ini untuk sementara ditinggalkannya demi menjalankan usaha batiknya. "Satu gelondong kayu bisa 10 motif. Tergantung kita belahnya seperti apa," sebutnya.

Hingga kini Amin telah memiliki koleksi sekitar 3.500 motif. Oleh karena banyaknya motif tersebut, batiknya pun banyak dipesan sebagai seragam kantor dan sekolah di wilayah Boyolali hingga ke daerah Yogyakarta.

Batiknya pun kini telah memiliki hak paten, yang didapatnya tanggal 7 Februari 2010, dan hak cipta (4 Februari 2010).

Sebelum sukses menjual batik seperti sekarang, Amin yang mengaku tidak memiliki keterampilan membatik ini, melakukan uji coba selama sepuluh tahun. "Saya foto motif kayu, saya fotokopi. Kemudian, saya minta ke sejumlah tempat untuk buatin baju dengan motif yang saya bawa. Tidak ada yang bisa," ceritanya.

Akhirnya, ia pun mencoba sendiri dengan bantuan penggunaan aplikasi CorelDraw, yang digunakan untuk "memainkan" motif-motif yang diperolehnya dari belahan kayu kelapa tersebut. Setelah itu, selama enam bulan sebelum usaha batik sah berdiri, ia melakukan uji coba yaitu dengan memproduksi pakaian dengan sejumlah motif yang diciptakannya sebanyak 20 kodi. "Itu saking bahagianya. Mau lihat pantes apa tidak dipakai," jawabnya terkait alasan mengapa menggunakan begitu banyak pakaian.

Karena tidak punya bekal keahlian membatik, ia pun memakai tenaga kerja yang sudah ahli, yang saat ini berjumlah 18 orang tenaga tetap. "Sekarang ini saya masih terus belajar batik," tuturnya.

Ia mengaku, batik glugu miliknya dapat beradaptasi dengan motif batik-batik lokal. "Kan, batik itu maknanya titik. Kalau sudah ada titik, ya sudah batik namanya," sebutnya, di mana motif batik glugu cenderung berupa titik, dan garis-garis kecil, seperti halnya guratan dalam belahan kayu kelapa.

Saat ditanya mengenai modal awal membuat batik ini, Amin enggan menyebutkannya. "Saya menilai prestasi itu kan butuh perjuangan. Jadi dana yang saya punyai saat itu tersedot ke usaha ini," jawabnya terkait modal awal.

Satu hal yang pasti, ia belum pernah meminjam dana sampai ke bank. "Filosofi saya, manusia dan alam jika disatukan itu menuju kekuatan yang tidak terbatas," ungkapnya.

Batik glugu pun dipasarkan dengan harga yang cukup terjangkau. Bahan katun dihargai sekitar Rp 70.000 per dua meter. Dengan ukuran yang sama, bahan sutra dihargai sekitar Rp 300.000. "Kebahagiaan kita kalau hasil karya disenangi orang, jadi nggak usah mahal-mahal," tuturnya, yang memakai rumahnya sebagai tempat pembuatan dan penjualan.

Satu hal yang diharapkannya adalah ketika orang melihat motif batik hasil belahan kayu kelapa tersebut, maka orang dapat langsung menilai, "Itu batik glugu," tuturnya singkat.(Ester Meryana | Erlangga Djumena)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/26/0547186/Belahan.Kayu.Hasilkan.Miliaran.Rupiah

Fulus dari Bisnis Menjaga Kepala Bayi Tetap Mulus

KOMPAS.com - Christophorus yang akrab disapa Olus mengaku sebagai satu-satunya produsen bantal kesehatan bayi di Tanah Air. Dengan merek Olus Pillow, dia berhasil mengembangkan penjualan bantal hingga ke berbagai kota besar di Indonesia. Omzet Olus pun bisa mencapai Rp 18 juta per bulan.

Produk perawatan dan kesehatan bayi semakin bervariasi. Seperti yang ditawarkan oleh Christophorus yang akrab disapa Olus yang memproduksi bantal kesehatan khusus bayi sejak 2009 lalu.

Bantal kesehatan bayi dengan merek Olus Pillow ini dipercaya mampu mencegah rambut pitak dan kepala peyang. Mengawali pemasaran di Bandung, bantal kesehatan bayi ini dianggap sebagai terobosan karena belum memiliki pesaing di dalam negeri.

Bantal buatan Olus ini bisa digunakan bayi yang baru lahir hingga usia sembilan bulan. Olus Pillow dapat membantu membentuk kepala sang buah hati menjadi bulat sempurna. "Sehingga tidak akan ada lagi penyesalan di kemudian hari," tutur Olus.

Ia mengaku mendapat ilmu pembuatan bantal kesehatan bayi dari seorang dosen di sebuah universitas negeri di Bandung. Berbekal pengetahuan dari dosen itulah, Olus mulai mengembangkan dan memasarkan sendiri bantal kesehatan bayi. Dia juga melakukan penyempurnaan dari segi material. "Saat ini, Olus Pillow bebas dari unsur dan proses kimia," imbuh ayah satu anak ini.

Setelah melakukan banyak trial and error, Olus yang dulunya bekerja sebagai general manager di salah satu restoran di Bandung ini akhirnya berhasil memformulasikan bantal kesehatan bayi yang tidak membahayakan pemakainya.

Dengan modal awal sebesar Rp 3 juta, dia kemudian membekali orang kepercayaannya untuk membuat dan menyuplai bahan baku bantal. Selanjutnya bantal itu dibelinya kembali untuk dijual dengan pemberian sentuhan akhir berupa sarung bantal.

Bantal kesehatan bayinya mendapat respons positif dari masyarakat. Bahkan, permintaan bantal terus meningkat. Saat ini, dia sanggup memenuhi 300 unit pesanan bantal kesehatan bayi per bulan. Tak hanya di Bandung, Olus Pillow juga merambah Jakarta, Surabaya, Palembang, Gresik, Yogyakarta, dan Medan.

Dengan harga Rp 60.000 per buah, Olus bisa meraup omzet sekitar Rp 18 juta per bulan. Saat ini dia berencana untuk terus mengembangkan pasar bantal kesehatan bayinya ke Denpasar, Bali. Di Pulau Dewata itu, dia membidik lima toko perlengkapan bayi besar. Jika rencana itu berhasil, maka akan menambah titik distribusi Olus Pillow yang saat ini sudah ada di 41 toko.

Dari jumlah toko tersebut, ia mengaku, konsumen paling banyak berasal dari Bandung. Bahkan, hampir 90 persen toko perlengkapan bayi di Bandung telah menjadi langganannya. Dengan sistem konsinyasi, maka keuntungan penjualan harus dibagi antara dia dan pemilik toko.

Untuk distribusi di luar Bandung dan Jakarta, toko diharuskan membayar sejumlah uang sebagai deposit. Toko nantinya akan ditunjuk sebagai distributor dan agen sehingga bisa melakukan penjualan kepada reseller. Selain penjualan langsung, Olus juga menjual via internet.

Untuk menjaga kepuasan pelanggan, Olus berusaha untuk terus meningkatkan mutu dan kualitas meskipun ia belum pernah mendapat keluhan dari pemakai produknya. "Selama ini tidak pernah ada keluhan baik mengenai mutu barang atau pengiriman barang yang tidak sampai. Kalau soal mutu saya berani jamin," ujarnya.

Ia mengaku telah mencobakan bantal kesehatan kepada putrinya sendiri. Ia membuktikan, jika dulu kepala sang putri sempat peyang, setelah rajin memakai bantal kesehatan Olus Pillow, saat ini kepala putri tercintanya itu telah kembali enak dipandang. "Karena itulah saya yakin dengan kualitasnya," ujar Olus. (Dea Chadiza Syafina/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/08/11/15242197/Fulus.dari.Bisnis.Menjaga.Kepala.Bayi.Tetap.Mulus

Sampah Plastik Itu Kini Digemari Pembeli Asing

JAKARTA, KOMPAS.com — Berawal dari melihat sampah yang berserakan setelah terjadinya gempa di Bantul, Yogyakarta, yang terjadi pada tahun 2007, Agustina Sunyi, tergerak untuk mengolah barang yang tidak berguna itu menjadi berbagai macam kerajinan yang menarik. "Saya baru mulai Juni 2009. Belum pernah usaha sebelumnya. Pernah kerja sebagai karyawan di Gramedia," tutur Agustina, pemilik dari usaha Kreasi Limbah Plastik "Sumber Rejeki" kepada Kompas.com, dalam pameran kerajinan di Jakarta Convention Centre, Senayan, beberapa waktu yang lalu.

Ia menyebutkan, awalnya hanya sekadar iseng. Keisengannya ini pun akhirnya mampu dikembangkannya melalui sebuah proses. Agustina yang juga merupakan kader gizi posyandu di wilayahnya, bersama dengan kader yang lain, mengadakan kunjungan ke tempat pengolahan sampah (TPS) pada  2008.

Di TPS itu, ada juga pengolahan sampah yang menghasilkan berbagai produk kerajinan, di antaranya tas yang dibuat dari bekas plastik-plastik kemasan produk. "Saya beli tas (dari kemasan) Molto di tempat pengolahan sampah. Saya pun tertarik untuk buat. Sayangnya, saya enggak bisa jahit," cerita dia.

Nah, meskipun ia tidak mampu menjahit, ia pun tidak putus asa. Kemudian, ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk, pertama, pilah-pilah sampah. Baru setahun kemudian, yaitu tahun 2009, ia mempunyai niat untuk kursus menjahit. "Nyoba-nyoba belajar nyambung dulu, seperti buat produk taplak, yang mudah," ujarnya.

Akhirnya, ia pun mengajak teman-temannya yang bisa menjahit. Ada tiga orang yang membantunya untuk menjahit. Modal atau bahan bakunya pun didapatkan dari mengumpulkan sampah dari rumah masing-masing. "Barang yang sudah dibuat, saya pakai waktu ada pertemuan di kelurahan. Ya, pamer buatan sendiri. Terus ada yang minta buatin," sebutnya sembari tertawa.

Alhasil, ia pun mendapatkan kenalan untuk menjualkan produknya. "Akhirnya punya semangat untuk nambah koleksi, seperti tempat tisu, dompet, dan lainnya," tambahnya.

Ia yang bertempat tinggal di Bantul ini, akhirnya dapat memasarkan produknya sampai Jakarta. Pesanan pun terus membanjir. Bahkan, karena usahanya yang semakin besar ini, ia diajak pengurus di kecamatannya untuk pameran di Benteng Vredeburg, di Yogyakarta pada Juni 2009.

Karena pameran tersebut, ia pun menambah lagi produksinya. Bahan bakunya pun ia tambah dengan cara membeli dari TPS. "Waktu pameran, ternyata ada penjual produk yang sama. Tapi saya lebih laris, karena variasi produknya lebih banyak dan saya kasih harga promosi," ujar ibu dari tiga anak ini.

Dari pameran itulah, mulai banyak pemesanan, bahkan konsumen yang berkunjung langsung ke rumah untuk melihat proses produksinya. "Dari situ berdatangan pembeli, termasuk  buyer dari Jerman. Ada 18 item yang dibeli. Satu item dibeli dengan jumlah dua lusin," tambah dia.

Akhirnya, ia pun menambah jumlah pekerjanya termasuk tenaga penjahit menjadi 20 orang. Tidak hanya itu, pembeli pun banyak memberikan ide untuk menambah kreasi produknya. "Bahkan, ada sampel produk saya yang sudah dikirim ke Kanada," ujar dia.

Ada juga, lanjut dia, buyer yang membeli sekitar 500 buah produk, tapi dia kurang tahu akan dijual ke negara mana. Sekalipun menambah jumlah pekerja, ibu ini pun tidak tinggal diam. "Saya harus buat juga. Saya harus bisa," imbuhnya.

Memang, ia yang enggan menyebutkan detail berapa hasil penjualannya ini hanya berujar pendapatannya pasang surut. Penghasilannya besar jika ada pameran atau pesanan partai besar.

Kini, usahanya pun berhasil menarik perhatian para mahasiswa untuk belajar mengelola sampah. Rumah usahanya pun pernah dikunjungi oleh mahasiswa dari Universitas Tulang Bawang, Lampung. Dengan pekerjaannya ini, ia berhasil membantu suami untuk menyekolahkan anaknya yang kini telah menginjak perguruan tinggi dan sekolah menengah atas. Bahkan, ia pun telah membuat buku panduan untuk mengolah produk buangan, dan sering diajak untuk memberikan pelatihan.( Ester Meryana | Erlangga Djumena)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/08/14/13404718/Sampah.Plastik.Itu.Kini.Digemari.Pembeli.Asing

Mendulang Untung dari Rangkaian Tulang-belulang

KOMPAS.com - Tulang unggas, tulang ikan, hingga tulang sapi yang biasanya jadi sampah ternyata ada gunanya juga. Lihat saja, di tangan Beni Tri Bawono, tulang ternyata bisa dimanfaatkan menjadi sebuah karya seni yang dapat mendatangkan rupiah. Dari tulang itu pula, Beni mampu menciptakan miniatur sepeda, sepeda motor, naga, dan aneka perhiasan.

Kerajinan tulang sapi atau kerbau sudah populer di Bali. Namun, siapa yang mengira tulang belulang ayam atau ikan ternyata juga bisa menjadi karya seni yang menarik dan mampu menyedot rupiah. Tapi, itulah yang dibuktikan oleh Beni Tri Bawono, perajin tulang asal Boyolali, Jawa Tengah.

Di tangan terampil Beni, tulang-belulang yang mestinya tak berguna itu bisa berubah wujud menjadi miniatur becak, miniatur sepeda, miniatur Harley Davidson, hingga miniatur kapal layar dan patung naga sepanjang 1,5 meter dan tinggi 80 cm.

Beni mengungkapkan, awal mula dia bergelut dengan tulang-belulang itu setelah dia kehilangan pekerjaan pada 1998 silam. Nah, agar tak menjadi pengangguran, Beni pun berinisiatif beternak lele.

Namun, inisiatif itu bubar setelah usai menguras kolam lele, Beni malah menemukan tulang-belulang ayam dan unggas bekas pakan lele. Di benak Beni ketika itu, tulang belulang itu bisa dirangkai menjadi aneka miniatur yang menarik. "Sejak itulah pergumulan saya dengan tulang dimulai," ujar Beni.

Beni mengaku tidak kesulitan mendapatkan tulang untuk bahan baku kerajinannya. Karena di kedai-kedai di sekitar rumahnya limbah tulang ini sangat berlebihan. Apalagi Beni juga menggunakan tulang selain ayam, seperti tulang ikan hingga tulang bebek.

Cara Beni membuat miniatur juga unik. Dia mau tak mengubah bentuk tulang namun dia menyesuaikan bentuk tulang itu dengan miniatur yang ingin dia ciptakan. Misalnya, sadel motor, dia ciptakan dari punggung ayam, ban sepeda dari tulang leher, jeruji dibuat dari patahan tulang sayap, sedangkan kemudi dari tulang bebek.

Proses menggabung-gabungkan aneka tulang itu tentu memakan waktu. Beni mengungkapkan, untuk membuat miniatur sepeda saja, dia setidaknya butuh waktu hingga 15 hari lamanya. Adapun untuk bentuk naga yang lebih rumit, pengerjaan bisa sampai empat bulan lamanya.

Proses pembuatan miniatur itu sendiri diawali dengan membersihkan tulang dari sisa-sisa daging. Untuk menghemat tenaga, hasil berburu tulang pada malam hari di warung-warung makan itu dia lemparkan ke kolam lele di belakang rumahnya.

Setelah tiga hari, tulang itu diangkat dan direndam dalam air berformalin selama sehari semalam. Selanjutnya tulang-tulang dijemur hingga kering dan berwarna putih sambil sesekali disemprot formalin.

Nah, tulang yang sudah benar-benar kering kemudian direkatkan dengan lem sesuai dengan motif tulang. Setelah jadi, sebagai sentuhan akhir, rangkaian itu disemprot dengan cairan pembersih dan disapu dengan pewarna mutiara. Untuk memberi nilai tambah pada produknya, kerajinan itu dimasukkan ke dalam kotak kaca.

”Kotak kaca ini juga kami potong sendiri dan sengaja dibentuk agar bisa dibuka. Ini supaya miniatur mudah dibersihkan dengan menyemprotkan pembersih saja. Asal tidak berada di tempat lembap, kerajinan ini bisa tahan lama,” kata Beni.

Meski terbilang unik, Beni mengaku pemasaran produk miniatur dari tulang ini masih tertatih-tatih. Ia baru bisa berharap dari pameran ke pameran yang biasanya diadakan di Yogyakarta atau di Jakarta. "Biasanya sekali ikut pameran bisa laku hingga 15 unit," ujar Beni.

Beni sendiri bercita-cita punya galeri untuk karya seninya itu. Tapi sayang, modalnya belum ada. "Untuk membuat karya yang dipamerkan di Jakarta saja, saya sudah habis-habisan. Uang hasil jualan lele nyaris semuanya dipakai untuk modal membuat kerajinan,” keluh Beni.

Beni menjual karya miniatur yang termurah seharga Rp 250.000 hingga Rp 1 juta. Namun, untuk miniatur naga dia membanderol harga mulai Rp 2,5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung tingkat kerumitan. Menurut Beni, harga yang sedemikian tinggi itu merupakan penghargaan atas kreativitasnya.

Meski pemasaran secara langsung tertatih-tatih, Beni tak patah arang. Dengan dibantu sepupunya, Beni menawarkan aneka miniatur itu melalui internet. Di dunia maya itu, Beni membuat blog yang berisi foto-foto dan narasi singkat tentang kerajinan tulang produknya dalam http://www.boneart-tlatar.blogspot.com dan www.boneart-tlatar.blogspot.com.

”Saya tetap merasa kerajinan ini unik dan bernilai tinggi. Saya berharap setelah pemasarannya bisa lebih luas, saya bisa mengajak orang-orang di kampung untuk ikut membuatnya. Sepanjang ada kreativitas, pasti ada jalan,” tukas Beni penuh semangat.

Lain halnya dengan perajin tulang asal Bali, Ida Bagus Made Astika. Namun perajin ini menggunakan tulang sapi atau kerbau untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan perhiasan. "Dari tulang itu saya bisa menciptakan anting-anting, dan gelang," ujar Astika.

Astika mengaku, kerajinan tulang buatannya itu banyak diminati konsumen domestik maupun turis mancanegara. "Biasanya dalam sebulan saya mampu menjual anting-anting seharga Rp 300.000 sebanyak 20 pasang," ucap Astika.

Pasar kerajinan tulang ini paling besar memang datang dari mancanegara. Bahkan, saat sebelum krisis 2008, Astika mampu mengekspor anting-anting tulang hingga Amerika Serikat dan Eropa. Sekali ekspor dia bisa mengirim 8.000 pasang, namun sekarang hanya bisa mengirim 100 sampai 1000 pasang saja. (Bambang Rakhmanto/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/08/18/14204472/Mendulang.Untung.dari.Rangkaian.Tulang-belulang

Mencicipi Manisnya Laba Donat Madu

KOMPAS.com - Banyak cara yang ditempuh pengusaha kuliner agar masakan mereka cocok dengan lidah konsumen. Salah satunya dengan meracik donat menggunakan madu. Nah, donat madu yang diberi nama Donat Madu Cihanjuang besutan Ridwan dan istrinya itu laris manis. Kini, donat madu racikannya telah berkembang dengan empat gerai terwaralaba dan tiga gerai mitra usaha.

Kue berbentuk bulat dan kadang-kadang dibuat dengan lubang di tengah itu atau dikenal dengan nama donat itu semakin populer di Tanah Air. Jumlah pelaku bisnis donat itu sudah tidak terhitung banyaknya. Mulai dari pedagang kelas kaki lima, kelas gerai, hingga kelas restoran.

Ramainya penjaja donat itu juga menggambarkan ketatnya persaingan di bisnis ini. Namun, bukan berarti tidak ada pemain baru di bisnis ini. Lihat saja yang dilakukan Ridwan Iskandar dengan isterinya Fanina Nisfulaily yang dengan berani ikut nimbrung di bisnis donat.

Namun suami isteri itu menekuni bisnis donat bukan dengan tanpa jurus baru. Pasangan ini punya racikan baru dengan menambahkan madu pada adonan donat. "Butuh satu tahun bagi saya meracik donat dengan campuran madu itu," klaim Ridwan yang mengaku menggunakan madu asli Sumbawa.

Setelah diuji coba dengan hasil meyakinkan, pasangan ini pun memberanikan diri membuka gerai di Jalan Cihanjuang Nomor 158 A Cimahi, Jawa Barat, Mei 2010 lalu. "Karena itu donat kami berani nama Donat Madu Cihanjuang," tambah Ridwan.

Walaupun terbilang baru, Donat Madu Cihanjuang ternyata cocok di lidah warga Cimahi. Hingga kini, Ridwan telah memproduksi 27 varian donat, di antaranya rasa almond, durian, pisang, abon, choco crispy, lemon, dan lainnya.

Setahun beroperasi, Ridwan memutuskan untuk mengembangkan usaha dengan cara kerja sama kemitraan. Tiga mitra pertama Donat Madu Cihanjuang mulai beroperasi April lalu, yakni di Depok, Bogor, dan Cinere.

Ridwan menilai, kemitraan perdana ini berjalan sukses. Sebagai bukti, tiga gerai itu semuanya ramai pengunjung.

Nah, dari situlah Ridwan kemudian ingin mengembangkan usaha ini dengan cara waralaba sejak Juli 2011 lalu. Ridwan membuka waralaba hanya dengan investasi sebesar Rp 10 juta. Nilai investasi itu untuk mendapatkan hak atas penggunaan merek Donat Madu Cihanjuang, pelatihan karyawan, serta biaya promosi.

Setelah beroperasi, investor nanti mesti membayar royalty fee 9 persen dari total omzet per bulan. Adapun untuk kebutuhan peralatan kerja, seperti mesin pembuat adonan, interior gerai, etalase donat dan tempat usaha harus disediakan oleh terwaralaba. "Peralatan dan tempat sepenuhnya dari investor," kata Ridwan.

Untuk bahan baku donat, sepenuhnya disediakan Ridwan atau pemilik waralaba. "Bahan baku dibeli Rp 7,5 juta untuk kebutuhan satu bulan," tambah Ridwan.

Dengan penawaran itu, saat ini Ridwan sudah mempunyai empat gerai waralaba. Keempat gerai terwaralaba Donat Madu Cihanjuang itu ada di Situ Gintung, Lenteng Agung, Cireundeu, dan Tanjung Barat.

Untuk menjaga kualitas dan cita rasa donat tetap prima, Ridwan mempersiapkan sistem manajemen kontrol untuk seluruh gerai Donat Madu Cihanjuang. "Kami mengontrol mulai dari kebersihan dan juga pelayanan di masing-masing gerai," kata Ridwan yang merekrut dua karyawan khusus bagian kontrol ini.

Dalam simulasi hitungan balik modal dari Ridwan, gerai waralaba Donat Madu Cihanjuang bisa balik modal dalam waktu lima sampai enam bulan. Agar cepat balik modal, investor setidaknya mesti menjual empat paket adonan atau setara dengan 300 potong donat dengan omzet Rp 900.000 per hari atau setara dengan Rp 27 juta per bulan. Setiap potong donat dijual seharga Rp 3.000 per potong.

Rully Lamryana, pengelola gerai Donat Madu Cihanjuang di Bogor mengaku sudah bisa menjual sebanyak 600 donat dengan omzet Rp 1,8 juta per hari atau Rp 54 juta per bulan. "Sekitar 80 persen pembeli kami sudah menjadi pelanggan tetap," terang Rully.

Dalam waktu dekat ini akan ada tujuh calon terwaralaba Donat Madu Cihanjuang lagi. Namun, Ridwan mengaku tidak mau gegabah mencari terwaralaba baru. "Kami mesti memastikan lokasi dan tempat usaha mereka dulu," tegas Ridwan yang baru buka cabang milik sendiri di Tebet, Jakarta Selatan itu. (Dea Chadiza Syafina/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/08/25/10301922/Mencicipi.Manisnya.Laba.Donat.Madu

Meraup Dolar dari Pengawetan Serangga

Jakarta - Keanekaragaman serangga di Indonesia tercatat salah satu yang terbesar di dunia bersama negara latin Brasil. Kekayaan alam ini bisa dimanfaatkan menjadi bisnis yang menarik dan menjanjikan asalkan dilakukan dengan rambu-rambu hukum.

Muchamad Chatim Magfur rupanya melihat jeli peluang ini. Krisis 1998 lalu justru membuat Chatim terdorong membangun bisnis penangkaran serangga seperti kupu-kupu dan kumbang hidup untuk diekspor ke Jepang, Taiwan dan Korea.

Sejalan berjalannya waktu, akhirnya ia memutar kreasi baru dengan mengembangkan produk pengawetan serangga sebagai produk suvenir. Jenisnya macam-macam, mulai dari gantungan kunci, hiasan hingga bingkai serangga kumbang dan kupu seharga puluhan juta rupiah.

"Awalnya dulu saya hanya main di serangga hidup untuk diekspor ke Jepang, banyak serangga yang mati, akhirnya kita buat untuk suvenir. Saya mulai tahun 1998 untuk serangga hidup, suvenir serangga baru tiga tahun ini," jelas Chatim kepada detikFinance, Senin (12/7/2011).

Ia menuturkan menjalankan bisnis suvenir pengawetan serangga harus mendapat izin dari Kementerian Kehutanan dibidang konservasi. Maklum saja, sebagian serangga yang diawetkan adalah jenis yang dilindungi yang bernilai tinggi asalkan diperoleh dari proses penangkaran atau bukan dari alam bebas. Pasokan serangga ia peroleh dari penangkaran sendiri hingga penangkaran kupu-kupu di Maros Sulawesi Selatan.

Chatim mengaku kini ia lebih fokus menggarap usaha pengawetan serangga ketimbang mengekspor hidup-hidup. Setidaknya ia sudah membuat 16 item produk yang terdiri dari berbagai jenis serangga seperti kupu-kupu, kumbang tanduk, capung, kelabang, kalajengking dan lain-lain.

Menurutnya dengan diolah menjadi suvenir nilai tambah dari produknya bisa melonjak hingga 5 kali lipat. Meskipun ada serangga tertentu yang justru lebih mahal jika dijual masih hidup.

"Yang menarik dari bisnis ini adalah keunikannya, belum banyak yang bermain, pasarnya masih terbuka, ini pasar yang unik. Memang kalau kita tak ngerti kita tak bisa jualan. Ada unsur keilmuannya juga, misalnya soal spesies serangga banyak orang yang tidak tahu, padahal ini dari seluruh Indonesia," katanya

Produk yang ia jual mulai dari Rp 10.000 untuk jenis gantungan kunci sampai jenis serangga langka seharga Rp 25-30 juta di pasar. Para pembelinya umumnya adalah kolektor serangga di Negeri Matahari Terbit.

Bahkan untuk jenis serangga kupu-kupu unik dan langka, sampai ada yang dihargai hingga ratusan juta rupiah. Chatim pun mengaku tetap berpegang pada prinsip aturan hukum konservasi, yaitu serangga-serangga itu harus diperoleh dari proses penanggakaran bukan dari alam bebas.

"Para konsumen pun di luar negeri meminta sertifikat terutama dari pembeli Eropa, ini terkait perjaniian internasional soal spesies serangga yang dilindungi," katanya.

Chatim menuturkan segmen produk suvenir pengawetan serangga ini memang lebih banyak diminati oleh pasar ekspor. Meskipun permintaan pasar dalam negeri cukup tinggi.

"Khusus untuk orang Jepang punya kultur dari dulu kumbang yang menemukan orang Jepang, mereka buat koleksi seperti kupu-kupu, demi kepuasan. Untuk pasar lokal belum optimal," katanya.

Selama ini, Chatim memproduksi suvenirnya tergantung permintaan pasar. Ia bersama 12 karyawannya kini sedang panen permintaan karena secara musiman pada Mei-Juli terjadi order yang tinggi khususnya dari pasar ekspor.

Misalnya untuk produksi gantungan kunci berhias serangga diproduksi 1000-2000 unit per bulan, ini di luar dari produk lainnya. Ia menghitung omset bisnisnya dari permintaan pasar dalam negeri saja mencapai Rp 20-30 juta per bulan.

"Ini di luar permintaan ekspor. kalau ekspor, jumlahnya tak pasti, sampai ratusan juta sekali ekspor," katanya.

Dikatakanny,a permintaan produk suvenir pengawetan serangga relatif stabil. Untuk tetap terus tumbuh, ia pun mengembangkan diversifikasi produk seperti suvenir kaos berlukiskan serangga-serangga cantik.

"Sekarang kembang biak serangga dipengaruhi juga iklim global," ucapnya.

Dahlia Insects Souvenir
Muchamad Chatim Magfur

Galeri

Museum Serangga Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Email: chatim2007@yahoo.co.id

(hen/qom) Suhendra - detikFinance

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/07/13/105121/1680229/480/meraup-dolar-dari-pengawetan-serangga

Coklat 'Monggo', Rasanya Semanis Untungnya

Jakarta - Mungkin masih banyak yang belum mengenal cokelat bermerk 'Monggo'. Namun, kiprah merk coklat rumahan ini dalam industri hilir cokelat ini rupanya sudah tidak perlu diragukan.

Awalnya pada tahun 2003, merk dagang ini hanya mengolah sekitar 200 kg biji kakao setengah jadi per bulan untuk dijadikan cokelat khas Monggo yaitu dark chocolate. Namun, pada tahun 2011 ini, industri rumahan ini telah mengolah sekitar 5 ton kakao setengah jadi per bulan.

Edward Riando Picasauw, salah seorang pendiri perusahaan coklat Manggo ini menyatakan adanya kenaikan konsumsi coklat merknya disebabkan adanya pergeseran selera masyarakat yang tadinya menyukai coklat dengan campuran susu, kini mulai tertarik dengan cita rasa cokelat internasional yang merupakan pure butter cacao dengan sensasi rasa pahit.

"Trennya konsumen itu suka cokelat susu, tapi kini mulai mengerti rasa coklat yang sebenarnya. Coklat Monggo ini adaptasi dari cokelat Belgia, lalu disinkkronkan dengan selera Indonesia, seperti Hazelnut diganti dengan kacang mete," ujar lelaki yang akrab dipanggil Edo ini saat ditemui pada acara Chocolate Party on Sunday di pelataran parkir Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (11/12/2011).

Edo tidak sendiri, dia bersama temannya asal Belgia, Thierry Detournay memproduksi cokelat dengan 80 persen karya tangan manusia, hanya 20 persen menggunakan mesin. Sementara bahan bakunya berasal dari Sulawesi yang merupakan pulau penghasil coklat terbesar di Indonesia.

"Mesin ini kita gunakan hanya untuk menghancurkan biji kakao yang keras-keras, selebihnya menggunakan tangan manusia," ujarnya.

Coklat asal Kotagede ini mulai dipasarkan di seluruh Jawa dan Bali. Tidak heran, omzet perusahaan ini pun tembus USD 1 juta dalam setahun. Tidak mau berhenti di situ, Edo menyampaikan pihaknya berencana untuk Go International. Dengan peluang tersebut, dia mengharapkan produksi dan omzet pun dapat meningkat 2 kali lipat.

"Ya mudah-mudahan bisa 2 kali lipatnya," ujar Edo segan.

Rencananya, coklat asal kota Gudeg ini akan sambangi negara-negara seperti Amerika Serikat pada tahun 2012 mendatang. Namun, Edo menyatakan rencana tersebut masih menunggu izin ekspor dari Direktorat Jenderal Bea Cukai.

"Sudah banyak permintaan yang menghubungi kami, itu dari Swedia, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Greendland. Tapi ini aspek legalitasnya baru kami urus, nanti baru setelah di-ACC oleh Bea Cukai, kami akan ekspor," jelasnya.

Sebagai pengusaha coklat, Edo melihat adanya beberapa kendala selain dalam bidang permodalan untuk mengembangkan usaha ini. Salah satunya adalah ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam menentukan harga cokelat dunia. Padahal posisi Indonesia sebagai negara ketiga terbesar penghasil komoditas kakao tersebut sudah sangat kuat di mata dunia.

Akibatnya, pengusaha coklat dalam negeri masih was-was jika sewaktu-waktu harga bahan baku coklat internasional melonjak tajam. Pasalnya, kebanyakan pengusaha kakao akan mengekspor ke luar negeri karena tergiur harga yang tinggi. Hal ini dapat menganggu produksi coklat dalam negeri jika bahan bakunya menghilang di pasar domestik.

"Indonesia belum bisa memengaruhi harga, ini kan masih tergantung dolar, padahal kita negara ketiga penghasil kakao, Pantai Gading dan Ghana kalau perang bisa tentukan harga, tapi nanti kalau terjadi kenaikan harga bahan baku, hancur kita," tandasnya.

Bagaimana tertarik?

Hubungi Edo via:

Email: info@chocolatemonggo.com

(nia/dru) Ramdhania El Hida - detikFinance

sumber:

Ikan Asap Citayam Mengepul Hingga Ritel Moderen

Jakarta - Jalan hidup seseorang memang tidak pernah ditebak, misalnya seorang pensiunan pegawai negeri sipil dari Pusdiklat Pertamina kini sukses sebagai pengusaha ikan asap.

Adalah Amril Lubis, seorang pengusaha ikan asap yang saat ini produk dagangannya sudah sangat terkenal di kalangan peritel modern. Padahal produksi ikannya ia olah dari sebuah kampung di kawasan Citayam Bogor, Jawa Barat.

Bayangkan saja, dulunya dia hanya berjualan dari mulut ke mulut atau hanya menjajakan dagangangannya di gerai di pameran-pameran yang diikutinya.

"Kalau dibandingkan dengan pedagangan lain yang ngurus surat ini itu waktu mau masuk, saya dulu didatangi ke rumah," ujarnya kepada detikFinance pekan lalu.

Lubis menceritakan pengalaman pertamanya mengikuti pameran, ia pada waktu itu mewakili Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003. Setelah itu, Lubis mulai mengikuti berbagai macam pameran, baik pameran makanan minuman atau pun pameran yang berskala nasional tahunan yang diadakan di Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Kemudian, setelah mendapatkan sertifikat makanan halal dari MUI, Lubis pun semakin gencar mengikuti pameran-pameran. Pada tahun 2005, ketika ikan asapnya mengikuti pameran di UKM yang diadakan oleh Kementerain Koperasi dan UKM di gedung SMESCO, dirinya diundang untuk mengunjungi salah satu pasar ritel modern yang terkenal, Giant, yang berada tidak jauh dari tempat pameran tersebut.

"Waktu pameran UKM di SMESCO, saya tiba-tiba dapet telepon. katanya diminta untuk datang. Datangnya ke mana saya juga bingung. Ternyata Cuma nyebrang gedung SMESCO itu ketemu Giant, saya disuruh ke sana. Akhirnya ketemu dan ngobrol dengan bosnya," ujarnya.

Dua tahun kemudian, pada tahun 2007, Lubis melanjutkan bisnisnya, ia didatangi oleh seseorang yang mengaku dari PT Carrefour Indonesia. Ia diajak untuk bergabung dan menjual ikan asapnya di pasar ritel Carrefour. Untuk yang kali ini, Lubis menceritakan, Carrefour mengaku mendapatkan informasi dari Pertamina yang dulu pernah ia bekerja.

"Habis saya ke Kuala Lumpur untuk ikut pameran food and beverages. Saya diutus dulu sama Pertamina. Pas saya pulang, orang dari Carrefour datang ke rumah tuh menawarkan, saya mau nggak jualan di sana," imbuhnya.

Lubis menambahkan, hal yang sama pun didapatnya ketika ikan asapnya akan masuk ke Hypermart. Dirinya didatangi unutk diajak bekerja sama. "Saya nggak tahu mereka dapet dari mana. Mungkin ada yang ngambil kartu nama atau brosur saat pameran. Saya tiba-tiba ditelpon terus datang ke rumah," ungkapnya.

lebih lanjut ia menceritakan, untuk menjual di Carrefour, ikan asap buatannya sudah mempunyai kemasan khusus yang berbeda apabila dijual di pasar-pasar ritel lainnya. Namun, dari sisi kualitas yang didapat dari ikan asap yang dijual di manapun sama.

"Kalau mau jual di Carrefour harus pakai kemasan sendiri, pakai kemasan plastik terus divakum. Kalau yang lain masih pakai plastik di dalamnya terus dibungkus kardus," jelasnya.

Lubis memaparkan, nama yang digunakan untuk berjualan di pasar-pasar ritel modern adalah IACHI ikan asap Citayam. Sampai saat ini, dari hasil jualannya ke pasar ritel omset yang diterimanya per bulan mencapai Rp 40 juta.

Lubis memiliki tempat tersendiri untuk memelihara ikan dan membuatnya menjadi ikan asap di Jalan Akar Wangi Raya Rt 01/01 Kampung Sawah, Desa Raga Raya, Citayam, Bogor.

Berikut ini adalah harga ikan asap yang dijual Lubis di pasar ritel modern. Kemasan plastik vakum 195 gram:

  • Ikan Marlin Rp 16.500

  • Ikan Layaran Rp 15.000

  • Ikan Tuna Rp 14.500

  • Ikan Cakalang Rp 13.500

  • Ikan patin Rp 13.500

  • Ikan lele Rp 13.500

  • Ikan Pati Rp 12,500


Iachi Ikan Asap Citayam

Amril Lubis

Penjualan:

Jl. Wisma Karti (Hankam) No 7 Ragunan Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12550

Work Shop:

Jl. Akar Wangi Raya Rt 01/01
Kp. Sawah, Desa Raga jaya Citayam Bogor

Email: ikanasap_petikancitahalus@yahoo.com

(ade/hen) Ade Irawan - detikFinance

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/08/04/112544/1696309/480/ikan-asap-citayam-mengepul-hingga-ritel-moderen

Legitnya Bisnis Roti Maryam Rofa

Jakarta - Tawaran business opportunity (BO) atau peluang usaha yang dikemas melalui tawaran kemitraan kini semakin marak. Dalam beberapa kasus, konsep ini kadang-kadang merugikan si mitra, karena selain tak mendapat jaminan usahanya akan untung, para mitra secara tak langsung hanya dijadikan sebagai tenaga penjual saja dan biasanya si pemegang merek akan melepas begitu saja mitranya.

Nah, CV Rofa Food Indonesia pengembang kemitraan Roti Maryam atau yang biasa dikenal dengan Roti Cane mencoba melakukan terobosan dengan memberikan garansi bagi paket kemitraan yang telah dibeli investor. Pihak Rofa menawarkan pengambilalihan pengelolaan operasional sementara bagi si mitra yang belum mampu memutar usaha dengan sukses.

"Kalau diambil alih, kita coba dulu, operasionalnya untuk recovery kalau sudah bagus kita serahkan lagi ke mitra," kata General Manager Marketing CV Rofa Food Indonesia Ramadhiyan dalam perbincangannya dengan detikFinance.

Berdasarkan pengalaman, proses recovery semacam ini bisa berlangsung dua bulan. Kondisi semacam ini terjadi karena faktor pribadi si mitra yang belum sepenuh hati untuk mengelola bisnis BO. Ramaddhiyan menuturkan umumnya banyak ibu-ibu mau coba-coba saja sehingga perlu suntikan semangat wirausaha.

Namun kata Ramadhiyan, skema itu adalah kemungkinan terburuk dari usaha kemitraan Roti Maryam. Umumnya dari 70 mitra yang saat ini sudah bergabung, sebagian besar berjalan lancar sesuai ekspektasi.

"Kita sebelum memulai kita tanamkan semangat kepada mitra. Mottonya sekali bendera dikerek ke atas pantang turun lagi," katanya.

Ia menjelaskan konsep kemitraan Roti Maryam baru dimulai sejak Januari 2011, meski sejatinya usaha ini sudah dikelola sejak 2001. Produksi roti maryam yang selama ini menjadi makanan khas Timur Tengah dikembangkan oleh pasangan Muniroh dan Fauzi Husein asal Condet. Berangkat dari keahlian membuat roti maryam yang biasa dikonsumi untuk makanan di rumah, akhirnya pasangan ini memutuskan menjadikan bisnis yang menjanjikan.

"Sebelum Pak Husein Fauzi (putra pendiri Rofa Food) aktif, masih dikelola secara tradisonal," katanya.

Ramadhiyan menjelaskan sebagai makanan yang belum begitu familiar bagi masyarakat Indonesia, pasar Roti Maryam tetap menjanjikan. Roti Maryam banyak dikonsumsi oleh konsumen keturunan Timur Tengah di Indonesia. Khusus kawasan Sumatera, roti ini relatif sudah banyak penggemarnya di luar kalangan Timur Tengah.

"Sudah ada 70 gerai, awalnya hanya di Condet. Semuanya masih di Jabodetabek, paling jauh di Bandung Jalan Soekarno-Hatta," katanya.

Beberapa cafe dan rumah makan di Jakarta telah menjadi mitra Rofa Food antara lain Sisha Cafe Citos, Sisha Cafe Kemang, Little Baghdad Kemang, Cafe Cendana Joglo, RM Raden Saleh, RM Sate Tegal Abu Salim Condet, RM. Lebanon Sabang dan lain-lain.

"Pelanggan kami diantaranya dari Singapura, Brunei dan Malaysia, banyak yang pesan dari salah satu agen kami," jelas Ramadhiyan.

Bagi investor yang berminat, Rofa Food menawarkan paket bisnis Rp 10 juta yang mencakup booth stand kios (gerobak), freezer display, alat promosi, spanduk dan brosur dan web. Seperti paket BO lainnya, para mitra akan mendapat pelatihan mengelola bisnis Roti Maryam ini.

Ia menjelaskan untuk urusan margin, si mitra memiliki kebebasan untuk memperoleh keuntungan. Menurutnya dari harga bahan baku satu potong Roti Maryam dalam kondisi belum matang atau beku dijual Rp 5000, maka si mitra sudah bisa mengantongi keuntungan Rp 1500 per potong.

Untuk bisa mendapat margin yang lebih tebal, paket tawaran bisnis ini juga memberikan kebebasan bagi si mitra untuk menjual produk variasi Roti Maryam seperti pemberian topping asin yaitu kare dan gulai, sampai dengan topping yang serba manis seperti madu, susu kental manis, susu cair, meises, gula, coklat cair, serta berbagai jenis es krim.

"Dengan memakai topping Roti Maryam bisa dijual Rp 7000-10.000," katanya.

Selain Roti Maryam, paket bisnis ini juga dilengkapi produk sambosa semacam risoles isi berbentuk segitiga dengan berbagai rasa.

Sebagai ilustrasi sambosa isi keju dan coklat untuk harga ke mitra Rp 12.400 per pack dengan isi 10 potong. Harga jual konsumen Rp 15. 000 per pack kondisi beku.

Sementara untuk sambosa daging harga untuk mitra Rp 17.400 per pack dengan isi 8 potong. Harga jual untuk konsumen Rp 20.000 per pack kondisi beku.

American Risoles dijual untuk harga ke mitra Rp 19.900 per pack isi 8 potong. Harga jual konsumen Rp 22.500 per pack kondisi beku.

"Tahun depan kita ada rencana buka pabrik produksi di Cikampek, hasil produksinya dalam bentuk beku," katanya.

Menurutnya si mitra tak perlu khawatir dengan skema bisnis ini karena sebelum bergabung akan ada klausul-klausul yang akan menjadi kesepakatan kedua belah pihak. Khusus untuk pemilihan lokasi, pihak Rofa akan melakukan survey tempat terlebih dahulu.

"Lokasi yang cocok, yang dekat-dekat kantor, sebagai makanan cemilan dan sarapan," katanya.

Konsep kemitraan ini menjanjikan balik modal dengan cepat meskipun sangat tergantung dengan kemauan dari si mitra. Ramadhiyan mengilustrasikan berdasarkan pengalaman si mitra bisa balik modal dalam tempo 3,5 bulan sudah balik modal.

Ia mengakui ada beberapa mitra yang 6 bulan belum balik modal, ini sangat tergantung dengan usaha si mitra. Menurutnya untuk bisa 3,5 bulan bisa balik modal maka rata-rata harus mampu menjual 500 potong Roti Maryam per hari.

Dari sisi jaminan keamanan dan kehalalan pangan, pihak Rofa Food saat ini masih mengurus izin-izin dari berbagai instansi seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan dan Mejelis Ulama Indonesia untuk sertifikasi halal.

Tertarik?

Silakan menghubungi:

Rofa Food Indonesia
Jl. Raya Condet No.9 (Samping Masjid Al-Hawi) Jakarta Timur
email: husein@rofafood.com atau riyan@rofafood.com

(hen/qom) Suhendra - detikFinance

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/09/26/103346/1730236/480/legitnya-tawaran-bisnis-roti-maryam-rofa

Tatang, Meraup Rupiah dari Mengolah Wadah Sampah

Jakarta - Berawal dari pemikiran tempat sampah selalu dibutuhkan oleh manusia, Tatang menggeluti usaha produksi tempat sampah daur ulang. Pria setengah baya asal Sumedang ini, sukses menciptakan kreasi dengan memproduksi limbah drum bekas menjadi tempat atau tong sampah yang indah dan unik.

Melalui bengkel kerjanya di Karang Mulia, Karang Tengah, Tangerang, ia bersama Deni putranya mendirikan usaha dagang (UD) Kreatif Drum. Hasilnya selama satu setengah tahun berjalan, produksi tong sampahnya banyak diminati konsumen.

Peminatnya mulai dari rumah tangga, pengelola pasar, ruko, sub kebersihan di kecamatan hingga kelurahan dan lain-lain. Dalam sehari Tatang bisa menjual mulai dari 10 hingga ratusan tong jika ada permintaan khusus. Tatang mengaku usaha produksi tong sampah daur ulang ini hanya kebetulan.

Sebelumnya ia salah satu perajin kompor minyak tanah yang harus tergusur dengan adanya program konversi minyak tanah ke elpiji 3 Kg."Dulu saya usaha kompor, lalu diganti karena banyak tutup, banyak kawan-kawan yang beralih ke usaha batu, jual tanaman dan lain-lain," katanya kepada detikFinance akhir pekan lalu.

Tatang mengaku dari sisi hitungan bisnis sangat menguntungkan memproduksi tong sampah ketimbang kompor. Alasannya selain proses produksi yang lebih mudah, pemasaran tong sampah tak terbebani dengan masalah perputaran modal.

"Kalau kompor, kita harus banyak modal karena dijualnya diutang, kalau tong sampah ini jual cash," katanya.

Menurutnya bisnis tong sampah sangat menjanjikan, selain biaya produksinya rendah, keuntungan yang bisa diambil lumayan besar. Ia mengilustrasikan untuk pembelian satu bahan drum bekas hanya Rp 20.000 sampai Rp 30.000. Sementara harga jual tong sampah yang sudah jadi dibandrol Rp 50.000 sampai Rp 55.000.

Produksi tong sampahnya relatif lebih kompetitif dibandingkan produk tempat sampah dari fiber plastik yang dijual di toko-toko moderen dengan harga Rp 100-150.000. Soal daya tahan, tong sampah ini dijamin bisa awet hingga tahunan dengan kelebihan bebas pecah.

"Modalnya sederhana hanya alat potong drum dan cat, semuanya dilakukan manual," katanya.

Tatang menjelaskan untuk mendapatkan bahan baku, ia tak mengalami kesulitan karena biasanya drum-drum bekas cat tersebut dikirim langsung oleh penyuplai dari pabrik-pabrik pengguna cat ukuran besar. Walaupun dalam periode tertentu suplai drum dari pabrik jumlahnya berkurang.

"Modal awal nggak banyak, tak sampai Rp 5 juta, itu sudah termasuk menyewa tanah, kita pakai bulanan Rp 500.000," katanya.

Dalam mengelola bisnis ini, lanjut Tatang, relatif mudah, baginya modal kerja tak menjadi masalah. Pasalnya, banyak supplier drum bekas memberikan keringanan dengan memberi utangan bahan baku. Hal ini sangat beralasan, karena biasanya jika tak dijual ke tempatnya, drum-drum bekas eks pabrik itu hanya bisa dikilo dengan harga yang jauh lebih murah.

"Masalah usaha ini memang kadang-kadang suplai drum limbah pabrik nggak menentu. Apalagi kalau ada permintaan jumlah banyak," katanya.

Ia optimistis usahanya ini terus berkembang, setidaknya Tatang sudah memiliki satu mitra usaha yang sama sebagai 'cabang' di lokasi yang berbeda. Menurutnya produksi tong sampah daur ulang turut mensukseskan program pemerintah menjaga lingkungan dan bisa menginspirasi orang lain.


Tatang

UD. Kreatif Drum

Kel Karang Mulia Karang Tengah Kota Tangerang RT 001 RW 05
Lokasi di depan SPBU Karang Tengah

(hen/qom) Suhendra - detikFinance

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/10/05/110409/1737120/480/meraup-rupiah-dari-mengolah-wadah-sampah

Bisnis 'Nasi Kucing' ala Waralaba Angkringan Pak Camat

Jakarta - Bisnis waralaba makanan kian beragam mulai dari kebab, pizza, bakso hingga makanan ringan. Semua menjual keunikan dan modal yang beragam dari yang paling murah Rp 5 jutaan hingga yang mahal hingga puluhan juta bahkan ratusan juta.

Salah satu waralaba makanan yang unik adalah waralaba Angkringan Pak Camat. Waralaba ini menawarkan konsep makanan khas Yogyakarta serta angkringannya, ditambah pula dengan menu-menu bervariasi dan harganya yang sangat merakyat.

Angkringan Pak Camat sendiri sudah menancapkan kakinya di Jogjakarta sejak sepuluh tahun yang lalu. Kini, Angkringan Pak Camat sudah mewaralabakan bisnis makanan khas angkringannya yang terkenal dengan menu nasi kucing, bihun cabe rawit, sate ayam, sate kikil, sate usus, tempe dan tahu bacem. Sebanyak dua outlet di Yogya dan delapan outlet di Jakarta sudah tersebar. Berminat menjadi mitra Angkringan Pak Camat?

"Angkringan Pak Camat kita bawa dari Jogja untuk dikembangkan di Jakarta. Di Jakarta kan juga banyak orang Jawanya, karena itu kita makanan khasnya sudah dikenal. Jadi ketika dikembangkan kita bisa dapat kemudahan. Dari rasanya, semua sudah tahu, dan kita punya cara masak yang memang cukup enak, lezat, dan dari harganya memang merakyat. Sehingga setiap kalangan bisa menikmati sajian makanan khas Jogja dan angkringan. Pas untuk nongkrong menikmati suasana relaksasi setelah sibuk merasakan penat," ungkap Deven, selaku Marketing Director Angkringan Pak Camat kepada detikFinance akhir pekan lalu.

Dengan membeli brand Angkringan Pak Camat, anda bisa membuka usaha makanan angkringan khas Jogja. Seluruh menu makanan akan disediakan oleh Angringan Pak Camat setiap harinya dan siap dijual.

"Yang berminat dan punya hobi masak, dan juga punya waktu. Dia bisa memasak menu Angkringan Pak Camat sendiri. Bisa juga nanti kita training untuk mengolah menu-menu yang kita tawarkan. Karena konsep yang kita tawarkan kan masakan khas Yogya. Kita juga fleksibel, dalam arti kalau ada yang mamu mengembangkan dan menambahkan menu-menu lain, kita memperbolehkan. Tapi harus sesuai pakemnya, yakni ada nasi kucing, bacem, dan sebagainya itu harus ada, gak boleh gak ada. Kalau mereka mau nambah menu lain itu silahkan," terang Deven.

"Tapi kalau ada yang nggak mau repot, kita akan suplai menu kita, akan kita suplai," tambanya.

Adapun keunggulan yang diberikan adalah, manakan angkringan ini pasti ada pembelinya. Didukung dengan catatan banyaknya orang Jawa, seperti di Jakarta minyalnya. Keuntungan yang diambil bisa mencapai 100% dan bisa menambahkan menu-menu lain.

"Manage-nya pun sangat mudah, dan tingat resikonya rendah. Selama enam bulan sudah bisa BEP (Break Event Point)," lanjutnya.

"Royalti Fee-nya kita kasih sebesar pada saat mereka sudah BEP, itu dari bulan ke tujuh, 3% untuk Angkringan Pak Camat sampai tiga tahun. Setelah itu, akan kita tanyakan apakah mereka mau memperpanjang atau tidak. Rata-rata omzet yang bisa diambil sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu sehari. Harga makanan yang dijual pun dari Rp 1.500 sampai Rp 3.000, bisa kenyang dan dapat duit banyak kan?" kata Deven.

Jika berminat mencari peluang usaha di Angkringan Pak Camat, Deven mengatakan, pihaknya menawarkan dua buah paket. Yakni paket Mandiri dan Paket Prima.

Paket Mandiri ditawarkan dengan harga Rp 15 juta, dimana nantinya anda akan diberikan resep-resep ala Angkringan Pak Camat. Jika anda memiliki seorang karyawan, maka si karyawan akan dilatih untuk mengolah makanan. Atau mungkin anda yang ingin terjun langsung, dapat segera mengolah sendiri menu-menu yang ada sesuai resep yang diberikan.

Sedangkan, Paket Prima Angkringan Pak Camat ditawarkan seharga Rp 25 juta. Segala resep maupun bahan baku akan disuplai langsung oleh Angkringan Pak Camat, begitu juga dengan trainingnya. Bedanya, kalau Paket Mandiri, anda harus membeli bahan bakunya sendiri.

"Kita jelas bisa bersaing, buktinya kita sudah ada delapan outlet di Jakarta. Gak muluk-muluk, akhir tahun ini kita kejar target 30 outlet di Jakarta. Memang saat ini kita fokus mengembangkan di Jakarta," tutur Deven.

"Pokoknya, kalau kerjasama dengan kita, akan kita sediakan gerobak, perlengkapannya, tendanya, bangku, piring, ceret, dan segala yang disesuaikan dengan konsep Angkringan Pak Camat dan khas Jawa," imbuhnya.

Dengan sistem manajemen yang teratur, maka itu ini bisa dijadikan peluang usaha yang kompeten. Deven juga mengatakan, pasaran Angkringan Pak Camat terbilang ramai. Didukung dengan harga menu-menunya yang murah.

"Sekarang, waralaba dengan makanan yang harganya saja mahal bisa ramai, bagaimana dengan ini yang harganya murah. Karena ini kan target pasarnya luas, dari mahasiswa, sampai kalangan kerja," yakinnya.

Angkringan Pak Camat

www.angkringanpakcamat.com
Facebook angkringanpakcamat

(nrs/qom) Akhmad Nurismarsyah - detikFinance

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/10/17/081414/1745327/480/bisnis-nasi-kucing-ala-waralaba-angkringan-pak-camat

Bisnis Pisang Ijo Ini Berkembang Ditangan Pria Jerman

Jakarta - Es pisang ijo saat ini sudah menjadi makanan populer bagi masyarakat Indonesia. Saking populernya, makanan khas Makassar ini banyak dikemas dengan berbagai merek dan kerjasama bisnis atau business opportunity (BO) seperti Pisang Ijo Jusmine, Aladin dan lain-lain.

Nah, es pisang ijo yang ini agak unik karena dimiliki oleh orang Jerman yang bekerjasama dengan pengusaha kecil lokal. Adalah Jan P. Jacobsen, pria 24 tahun asal Jerman yang sejak awal tahun ini menggeluti koperasi atau kemitraan Es Pisang Ijo Hidayah

Cerita Jocobsen berbisnis pisang ijo hidayah cukup panjang, setidaknya dimulai 2,5 tahun lalu ketika ia memutuskan untuk memeluk Islam. Semenjak itu, namanya berganti menjadi Muhammad Saad. Hal ini juga yang menginspirasinya untuk memberi nama Es Pisang Ijo-nya dengan nama Hidayah.

Pria kelahiran 14 Agustus 1987 ini mengenyam pendidikan di Berlin School of Economics and Law dan di Nanyang Business School.

Singkat cerita, ia ke Indonesia kemudian bergabung dalam koperasi pondok pesantren muallaf Indonesia, Bintaro. Disinilah, Saad menemukan visinya yaitu ingin berbagi pengetahuan soal bisnis dan mengembangkan koperasi termasuk dalam bisnis pisang ijo agar terciptanya peluang dan kesempatan kerja.

Di pesantren muallaf, Saad mulai bergabung pada Februari 2011. Di sini ia diberikan kebebasan untuk menciptakan kreasinya dalam mengembangkan bisnis.

Bisnis pisang ijo itu sendiri tercetus ketika ia sedang berjalan-jalan jajan kuliner di kawasan Ciputat Tangerang. Ia bertemu dengan Ayun, yang merupakan penjual pisang ijo dan nasi.

Ayun merupakan salah satu korban kerusuhan Ambon belasan tahun lalu. Rupanya Saad tergerak untuk mengembangkan bisnis pisang ijo Ayun yang selama ini masih dikelola secara konvesional.

Mulai Maret 2011, Saad dan Ayun bekerjasama mengembangkan bisnis pisang ijo. Melalui bendera Pisang Ijo Hidayah, Ayun berperan sebagai mitra penyuplai pisang ijo sementara Saad dengan bekal ilmu bisnisnya, ia menjadi pemilik sekaligus pelaksana dari bisnis ini.

Walhasil, dalam hitungan bulan, ia berhasil membuka belasan gerai melalui mitra-mitranya antaralain di Pondok Indah dan lokasi lainnya. Es pisang ijo hidayah berkembang karena kerja kerasnya.

Namun ia tak mau berpuas diri, sejak diluncurkan Maret lalu ia gencar menawarkan konsep bisnisnya ke masyarakat. Menurutnya saat ini bisnis Es Pisang Ijo Hidayat bisa dimiliki oleh siapa saja sebagai investor.

"Dengan Rp 6,5 juta, sudah bisa bergabung dengan bisnis Es Pisang Ijo Hidayah. Ini investasi yang kecil namun dengan hasil yang maksimal," jelas Saad kepada detikFinance, Selasa (6/12/2011)

Ia mengatakan es pisang ijo sangat mudah diterima pasar sebagai makanan tradisional, apalagi rasanya begitu khas. Dengan percaya diri, Saad menuturkan berdasarkan pengalaman rekan mitranya setidaknya balik modal sudah tercapai dalam tiga bulan.

Para investor bisa mendapat keuntungan yang menjanjikan dan tak perlu pusing-pusing dikenakan biaya kemitraan atau semacam franchise atau royalty fee. Semua keuntungan akan bersih diterima oleh investor.

Ia menjelaskan paket investasi Rp 6,5juta, investor akan mendapatkan 1 unit booth, Paket perlengkapan booth lengkap, siap jualan, Baju Seragam karyawan, Paket promosi (sticker, flyer, banner)

Saad mengatakan kerjasama produk es pisang ijo hidayah menawarkan konsep yang berbeda misalnya soal karyawan atau tenaga penjual, ia bisa menyediakannya. Sehingga para investor tak perlu repot-repot mencari karyawan.

"Kita juga akan training karyawan," katanya.

Bisnis pisang ijo hidayah seperti kebanyakan business opportunity lainnya juga berkomitmen menyediakan stok bahan baku utama. Juga melakukan survey dan fasilitas yang dibutuhkan untuk lokasi strategis seperti kampus, perumahan, pusat perbelanjaan).

Sebagai ilustrasi, Saad menuturkan dengan modal Rp 6,5 juta, untuk bisa mencapai balik modal dalam waktu 3 bulan maka omzet harian harus tercapai Rp 500.000 atau omzet bulanan Rp 15 juta. Harga pisang ijo yang dijual ke konsumen Rp 10.000 dengan modal Rp 8000 per porsi, maka margin bersih yang bisa diraup sekitar 15% setelah dipotong modal bahan baku, sewa tempat, karyawan dan overhead.

Jika dalam sebulan omset bulanan tercapai Rp 15 juta maka dengan asumsi margin 15% atau setara Rp 2,250 juta per bulan. Dipastikan modal Rp 6,5 juta bisa balik dalam waktu 3 bulan.

Bagaimana tertarik?

Hubungi Saad via:

Email: janphilipp.jacobsen@googlemail.com
Email: espisangijohidayah@gmail.com.

(hen/qom)

sumber: http://finance.detik.com/read/2011/12/07/103724/1784825/480/bisnis-pisang-ijo-ala-mualaf-jerman