Friday, May 6, 2011

Ratu Kue Kering dari Bandung

oleh : Eva Martha Rahayu
Kebangkrutan tak membuatnya surut. Dari eksportir manisan jahe, dia putar haluan. Bagaimana akhirnya dia bisa menjadi ratu kue kering?
Tangga kesuksesan bisa ditapaki dari kegagalan. Tidak percaya? Itulah pengalaman nyata Ina Wiyandini. Meski pernah bangkrut saat mengelola usaha perkebunan jahe gajah dan membuat produk manisan jahe yang diekspor ke Jepang, semangatnya tak surut untuk bangkit kembali. Kini, dia adalah pengusaha kafe & resto De’Tuik dan kue kering merek Ina Cookies.


Produk Ina Cookies yang berasal dari Bandung kini sudah merambah kota-kota besar di Indonesia, dari DKI Jakarta hingga Papua. Bahkan, menembus pasar mancanegara, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Dan, dalam waktu dekat akan menjajaki pasar Arab Saudi (Jeddah).


Ina membenarkan, keberhasilan yang dicapainya bukan hasil karya semalam. Keluarga adalah sumber inspirasi yang mendorong dia serta suaminya untuk bangkit lagi merintis usaha yang pernah terpuruk. Tak lupa, rajin berdoa dan berikhtiar adalah kunci utamanya.


Lalu, bagaimana pergulatannya membangun Ina Cookies?


Wanita kelahiran Jakarta, 24 Juli 1963, ini mengaku, sebenarnya berbisnis kue kering bukanlah profesi impiannya. Cita-citanya adalah menjadi dokter sebagaimana sang ayah. Namun, latar belakang pendidikan terakhirnya — Jurusan Bahasa Jepang Akademi Bahasa Asing — justru mengantarnya bekerja sebagai sekretaris bagian penjualan Astra di Bandung.


Karier di Astra cuma bertahan dua tahun. Dia menikah dengan Rakhmat Basuki yang kala itu bekerja di Departemen Pekerjaan Umum dan ditugaskan ke Aceh Tenggara. Namun, tahun 1989, suaminya pensiun dini dari PU dan memboyong Ina ke Cirebon untuk mengawali bisnis baru: perkebuhan jahe gajah. “Ide ini dari kakak ipar saya. Mula-mula bisnis manisan jahe yang diekspor ke Jepang berjalan lancar sekitar dua tahun, bahkan sudah memiliki 500 pegawai,” tutur putri pasangan Wiyono Kartodirekso (almarhum)-Toeti Ferliani ini mengenang.


Sayangnya, batu sandungan mulai menghadang. Gerak bisnis jahe Ina yang terbilang kencang larinya terpaksa gulung tikar akibat peristiwa panen raya jahe di Thailand dengan harga jauh lebih murah. Bisa ditebak, berikutnya bisnis Ina bangkrut, lantaran pembeli dari Jepang lebih memilih impor jahe dari Negeri Gajah Putih tersebut.


“Padahal, waktu itu kami sudah menanam jahe di daerah Plumbon sekitar 14 hektare. Kami belum mempunyai pengalaman banyak di bidang ekspor, akhirnya, kami kehabisan dana, tapi mau gimana lagi,” ujarnya buka kartu tentang kegagalan bisnis pertama itu. Ironisnya, pada saat bisnisnya hancur, dia juga tidak memiliki dana untuk melahirkan anak kedua.


Semua cobaan Tuhan pasti ada hikmahnya. Ina merasakan betul pelajaran berharga itu. Berikutnya, tidak dinyana, pertolongan Tuhan datang. Suaminya diterima kerja di IPTN, sementara dia diajari kakak iparnya cara membuat lima jenis kue kering yang laku di pasaran. Yaitu, putri salju, nastar, sagu, cokelat mede, plus corn flake.


Sembari belajar, dia juga menjual door to door kue buatan kakaknya itu ke tetangga, serta teman arisan dan pengajian. Harga kulakan kue dari sang kakak dibanderol Rp 25.000/toples dan Ina menjual lagi seharga Rp 30.000/toples. Lumayan, sehari dapat menjual enam toples, meski sering dicemooh orang karena mantan eksportir manisan jahe kok jualan kue kering dari rumah ke rumah.


Lama-lama Ina senang juga, meski keuntungannya kecil. Akhirnya, sang kakak menyarankan dia membuat sendiri kue kering agar meraih margin lebih besar. Maklum, jika produksi sendiri, keuntungan sekitar separuh dari harga jual. Dan dia menuruti saran itu dengan membuat enam toples kue per hari. Respons pasar cukup baik, sehingga Ina harus merekrut lima pegawai untuk membantunya. Dalam perkembangannya, order terus meningkat dan pegawainya bertambah menjadi 50 orang.


Kue kering yang dirintis sejak 1992 itu menyasar segmen pasar menengah-atas. Sebagai gambaran, jika di pasaran harga kue serupa Rp 15.000/toples, Ina berani mematok Rp 25.000/toples. Sistem penjualan pun dilakukan beli putus. Alasannya, “Saya nggak mau kue kembali, jadi beli putus. Sebab, untungnya juga kecil, yang penting kontinyu,”


Rupanya kelezatan aroma kue buatan Ina tercium hingga ke luar Kota Cirebon. Beberapa kota di Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya, juga dirambah pehobi memasak sejak duduk di bangku SD ini dalam memasarkan produknya. Semuanya mengandalkan strategi pemasaran dari mulut ke mulut.


Tahun 1994, Ina dan suami pindah ke Bandung. Mereka bertekad membesarkan usaha kue kering yang diberi merek Ina Cookies. Dan suaminya juga keluar dari IPTN, sehingga pesangonnya dipakai sebagai modal membesarkan usaha. “Tujuan saya beri merek Ina Cookies agar lebih mudah diingat,” ungkap anak kedua dari lima bersaudara ini. Di Bandung, Ina membawa tiga karyawan inti dari Cirebon.


Di luar dugaan, pada 1994 itu juga perkembangan bisnisnya pesat, sehingga jumlah pegawai ditambah lagi menjadi 100 orang. Sekarang, siapa sangka total karyawannya ada 500 orang. Sebanyak 150 orang karyawan inti, sisanya diperbantukan bila kewalahan menangani banyak order. Kebanyakan karyawan direkrut dari sekitar kampungnya atau lokasi pabrik.


Pesanan kue banyak terjadi saat ada momen khusus. Umpamanya, Lebaran, Natal, Tahun Baru, Imlek dan Valentine’s Day. “Paling ramai saat Idul Fitri, sehingga harus dipersiapkan enam bulan lebih awal. Sebab, produksinya bisa mencapai 21 ribu lusin per hari. Padahal, kalau hari biasa kurang lebih lima lusin (sekitar 20 resep),” kata Ina yang tiap tahun memberangkatkan umroh karyawan terbaiknya dan agen pemasarannya yang berprestasi.


Apa yang menjadi keunggulan Ina Cookies dibandingkan kue kering lain? Ina mengaku, setidaknya ada empat faktor yang menjadi nilai lebih produknya. Pertama, kehalalan. Kedua, kualitas bahan. Jika halal dan kualitasnya baik, semahal apa pun akan dibeli. Ketiga, penyimpanan. Kue harus dipastikan tetap terjaga kualitasnya saat penyimpanan, di jalan, hingga sampai ke tangan konsumen. Keempat, harus jeli pada apa yang ada di sekitar kita. Dia bercerita, misalnya di daerahnya banyak peuyeum (tape singkong), akhirnya dia pun membuat kue dari peuyeum. Dan dia diganjar Pangan Award dari Presiden RI karena dianggap berhasil mengolah bahan kue lain sebagai pengganti terigu. Contohnya, tempe, tahu, tepung ubi, tepung ganyong dan tepung singkong.


Keistimewaan lain adalah variasi produk. Tidak tanggung-tanggung, kini varian produknya ada 114 macam kue. Ini sesuai dengan slogan yang diusung Ina Cookies: ”The most creatives cookies.” Kepiawaian membuat aneka ragam kue tak luput dari proses belajar membuat kue yang diikutinya hingga ke banyak negara. Ina sering diberi kesempatan gratis menimba ilmu pembuatan kue kering oleh produsen keju langganannya. Dia dikirim studi banding ke Taiwan, Filipina, Cina, Singapura, Malaysia dan Jepang.


Selain rajin mengikuti tren kue kering, keunikan lain Ina Cookies adalah kemasan yang tidak umum. Artinya, kemasan kue-kue kering tidak dimasukkan dalam toples biasa, melainkan bervariasi. Ada kemasan dari bahan daur ulang, seperti plastik mi instan, bungkus kopi yang dirajut, atau plastik bekas cokelat.


Hebatnya, sejak 2007 limbah pabrik Ina Cookies dimanfaatkan. Contoh, bekas kantong keresek dapat dirajut menjadi tas cantik, tempat pensil, sajadah, celemek dan sandal. Juga, membuat aneka topi unik dari jerami, yang bahkan mencuri perhatian pembeli asal Belanda dan Jerman. Ina pun bermimpi suatu saat sandal berbahan baku limbah itu juga dipakai di hotel-hotel.


Dengan keunggulan kualitas produk dan keunikan kemasan, banyak agen berminat memasarkan Ina Cookies. Sekarang, total agennya mencapai ratusan. Contoh, di Jakarta saja terdapat 150 agen. Banyaknya agen di Ibu Kota otomatis mendominasi perolehan omset Ina Cookies. Penjualan di Jakarta dan sekitarnya memberi kontribusi hingga 90%, sisanya dari kota-kota lain.


Agen terbesar Ina Cookies ada di BSD City (Tangerang), Depok, Bintaro (Tangerang), Tebet, Bekasi dan Yogyakarta. Tamy Bambang, agen di Bintaro, mengaku berhasil menjual 5.000 lusin saat Lebaran. “Tahun pertama saya jadi agen di Kemang Pratama Bekasi menjual 500 lusin dan tahun kedua saat pindah ke Bintaro bisa memasarkan 1.500 lusin,” ucap Tamy yang menjadi agen sejak 1998. Menurut dia, kue favorit pelanggannya adalah kastengel, nastar, putri salju, sagu keju serta cheese kress.


Di Kota Kembang, lokasi agennya tersebar. Sebut saja, di gerai D’Risole, Bandung Supermall, Branded Factory Outlet, Kayoe Manis, Rumah Brownies Kukus, Kedaung Showroom, Maskumambang, Citarum 31 serta Rumah Baju Anak.


Bagaimana Ina membangun jaringan agennya?


Diakuinya, mula-mula jumlah agen di Bandung hanya 20 titik. Suatu hari pada tahun 2000, dia diundang untuk berbicara tentang kisah sukses Ina Cookies di hadapan 1.000 ibu-ibu pengajian. Tak disangka, usai acara, banyak peserta yang menyerbu produknya dan mengajukan diri sebagai agen. Alhasil, Ina yang mengaku sebelumnya dikenal sebagai orang pendiam dan pemalu makin percaya diri. Untuk menjaga hubungan baik dengan para agen, dia rutin mengadakan pertemuan dan memberi insentif menarik.


Untuk sistem pembayaran agen, Ina bersikap fleksibel. Ada yang disyaratkan beli putus, tetapi ada pula yang bayar uang muka sebagian dan sisanya dibayar mundur. “Karena saya pesannya dalam jumlah besar, jadi boleh pakai down payment sekitar 50%, misalnya Rp 300 juta, sisanya dibayar kemudian,” imbuh Tamy yang mengklaim kini memiliki 50 sub-agen. Mita Dewi Ratnasari (31 tahun) juga membenarkan hal itu. “Sejak tiga tahun lalu saya menjadi agen di Samarinda. Omsetnya naik terus dari 120 lusin, 251 lusin, hingga 664 lusin. Kini, pembayaran saya tidak beli putus lagi, tapi dipercaya bayar uang muka dulu 50% dan ada sisa waktu melunasi,” kata Mita yang kini mempunyai 10 sub-

agen di Samarinda, Tenggarong dan Balikpapan.


Selain agen, jalur distribusi Ina Cookies mengandalkan workshop. Sejauh ini, Ina mengaku, pihaknya tidak membuka cabang gerai lain kecuali di kawasan Cikutra (lokasi workshop dan pabrik) dan toko Mr.Komot.


Tidak hanya distributor dalam negeri saja yang menjual produk Ina Cookies. Agen dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam juga berdatangan.


Soal omset, Ina enggan berterus terang. Wanita berjilbab ini hanya memberi gambaran, saat Lebaran order mencapai 21 ribu lusin, sedangkan hari biasa rata-rata lima lusin. Kini, harga produknya Rp 60-95 ribu per toples. “Yang jelas, rata-rata pertumbuhan pesanan tiap tahun naik 30%,” ujarnya tandas.


Walaupun sukses, bukan berarti bisnis Ina Cookies berjalan mulus. Diakui Ina, pihaknya tak luput dari beberapa kendala sejak awal merintis. Pertama, tantangan dalam modal yag minim karena susah mendapat kredit bank. “Tahun 1995 saya pernah mendapat banyak order sehingga butuh dana Rp 200 juta. Pinjam bank, tapi cuma dikasih Rp 75 juta. Sisanya, saya pinjam ke sanak famili,” katanya mengenang masa-masa sulit itu.


Tantangan kedua, ketika sudah dipercaya bank, justru pihaknya kesulitan mendapatkan pemasok bahan baku yang kontinyu. Umpamanya, ketika order kue banyak, para petani ubi jalar tidak mampu menyanggupi pasokannya. Begitu halnya saat butuh kacang mede, petani tak sanggup, sehingga dia harus beli ke supermarket dengan harga dua kali lipat dari harga petani.


Yang menarik, setelah sukses berjualan kue kering, Ina merambah bisnis resto. Suatu keputusan yang tepat, mengingat pengembangan usaha itu masih terkait dengan bidang kuliner. Tepatnya tahun 2002, dia membangun kafe & resto De’Tuik di Bandung yang mempekerjakan 50 pegawai.


Tidak hanya itu. Langkah ekspansinya makin tak terbendung dengan merambah usaha Bandeng Keju, membuka kursus keterampilan menghias kue, dan mendirikan toko kue Inara Pastry & Bakery tahun 2008. Pada Oktober 2010 Ina membuka toko khusus menjual kue cokelat dan keju bernama Mr.Komot.


Soal regenerasi telah dipikirkan Ina. Dia bersyukur, dua tahun terakhir, putra sulungnya,

Afiandini Nur Sadrina, mulai membantu mengurus bisnis kue. “Afiandini sekarang membantu membuat resep-resep baru. Kalau anak kedua (Voula Nur Rakhmaniar) baru tamat sekolah dan mengelola kafe. Anak ketiga, Fakhri Saefullah Nur Rahman, masih sekolah,” papar ibu tiga anak yang sudah beranjak dewasa ini.


Karena kapasitas pabriknya yang enam lantai telah penuh, dalam waktu dekat Ina akan membangun workshop baru di lokasi Kampung Dunia. “Di sini nanti akan ada kampung piza, kampung Jepang, lulur ayu, dan lainnya,” ujar peraih penghargaan The Best Women Entrepreneur tahun 2008 dari Ikatan Pembauran Perempuan Indonesia ini tentang rencana bisnisnya ke depan. (***)

Reportase: Wini Angraeni (sumber swa online)

No comments: