Friday, May 6, 2011

Mengembalikan Kejayaan Tenun Kulonprogo

DWI Santoso, perajin tenun asal Kulonprogo, mampu menghidupi 30 karyawan yang juga warga sekitar rumahnya.

Keberanian melakukan inovasi produk menjadi kunci sukses bagi Dwi Santoso, 31. Berkat inovasinya,tenun Kulonprogo yang sempat meredup menemukan kembali kejayaan.

Tenun menjadi kerajinan yang banyak digeluti masyarakat di Kulonprogo. Kerajinan ini sempat mengalami masa kejayaan pada era 1960 hingga 1970-an.

Melalui produk setagen (ikat pinggang berbahan kain dengan lebar sekitar 15 cm), tenun menjadi salah satu tumpuan hidup sebagian masyarakat. Produk setagen saat itu banyak digunakan para kaum hawa dalam keseharian. Biasanya setagen ini dililitkan pada perut untuk memperkuat jarit sebagai pakaian bawah. Kini setagen hanya digunakan untuk perempuan usai hamil demi merampingkan perut. Masa kejayaan ini pun sempat dirasakan oleh Darmo Wiharjo ayah dari Dwi Santoso. Di rumahnya yang terletak di Pedukuhan Janti Kidul, Desa Jati Sarono,Kecamatan Nanggulan Kulonprogo, Yogyakarta, usaha setagennya dirintis.

Usaha ini mampu mempekerjakan 10 orang tenaga kerja. Sayang usaha ini akhirnya bangkrut akibat terjangan krisis ekonomi di era 1997. Dampak krisis ini tidak membuat Dwi Santoso yang kala itu tengah menyelesaikan studi di Fakultas Teknik Jurusan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) patah semangat.Selaku anak bungsu dari dua bersaudara, dia merasa tertantang untuk melanjutkan bisnis keluarga yang ambruk diterjang badai krisis moneter. Niatan itu benar-benar memuncak saat dia melaksanakan praktek kuliah kerja nyata (KKN) di wilayah Seyegan, Kabupaten Sleman.Salah satu program yang ditawarkan ke masyarakat adalah kegiatan ekonomi produktif. Program tenun yang pernah dilakoni keluarganya mulai diajarkan kepada warga. Gayung bersambut dari tetangganya yang masih eksis mengerjakan usaha tenun.

Saat itulah dia diberi beberapa produk yang tidak lagi terpakai untuk dibawa ke lokasi KKN. Bukan hanya itu,dia juga diberi kesempatan untuk menjualkan tirai dari bambu (kerai) yang dimodifikasi dengan tenun. “Lumayan tirai ini cukup laku di pasar lokal Yogyakarta,” jelas Dwi Santoso. Dari bisnis inilah, suami Devi Handayani mulai mengenal pasar tenun. Bahkan, beberapa pengusaha dan supplier besar mulai dikenalnya. Dari sinilah dia mulai memberanikan diri terjun ke dunia tenun. Awal usahanya dimulai pada awal 2001 silam. Kala itu, dia hanya memproduksi kerai dan penyekat ruangan dari bambu. Bambu yang dipotong tipis-tipis, dikombinasikan dengan kain tenun menjadi peranti anggun. Produk ini pun mulai ditawarkan kepada supplierdan diterima dengan baik.

Seiring perkembangannya, dia pun kenal dengan supplier yang berskala internasional. Setidaknya ada tiga supplier berskala besar yang terus menjalin kerja sama. Dari sanalah dia mendapatkan order dengan produk- produk yang sudah ditentukan. Mulai dari box, taplak lidi, place mate, table manner, bantal agel hingga beberapa produk lain. Produk ini kebanyakan dilempar ke mancanegara, khususnya di Amerika Serikat. Namun kerap produk ini juga dikirim ke beberapa negara di benua Eropa seperti Jerman, Swiss, Belanda. Di awal usahanya, Dwi Santoso hanya menggunakan 10 alat tenun yang merupakan peninggalan orang tuanya. Tahap ini pun hanya mempekerjakan sekitar 10 orang tetangganya sebagai pekerjaan sampingan. Ayah dari Alisya Kinarya Nirwastuti ini pun terus menekuni bisnis kerajinan hingga akhirnya dia mulai mengibarkan usahanya dengan label “Kindo” tenun art and craft. Nama perusahaannya ini diilhami nama anaknya, yang berarti karya untuk Indonesia.

Kini setelah sembilan tahun menekuni usahanya, pria berambut panjang ini mampu mempekerjakan sekitar 30 orang tenaga kerja. Peralatan yang digunakan pun mulai bertambah menjadi 30 unit. Jika pada awal usaha hanya menggunakan modal sekitar Rp13 juta, kini bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Tidak mengherankan jika dari usaha ini, omzet yang diterimanya per bulan mencapai Rp100 juta, bahkan lebih. Sementara total asetnya bisa mencapai lebih dari Rp125 juta. Untuk menghasilkan produk ini, Dwi Santoso memanfaatkan seluruh sisi rumahnya sebagai lokasi workshop. Sebagian alat tenun diletakkan di sisi samping rumah yang sekaligus garasi. Adapun bagian dapur digunakan untuk lokasi pewarnaan.

Bagian depan dijadikan front office sekaligus tempat menaruh produk yang siap dilempar ke pasar. Kendati mampu menghasilkan omzet ratusan juta, bisnis tenun juga banyak menghadapi kendala. Di antaranya sumber daya manusia pekerja,bahan baku,dan masalah modal. Jaringan pemasaran yang hanya mengandalkan pesanan dari supplier pun menjadi bayang-bayang hitam. Menurutnya, kebanyakan pekerja merupakan tetangga sekitarnya. Saat memasuki masa panen padi, banyak dari mereka yang tidak masuk.Kondisi ini akan kembali terjadi jika ada tetangga yang mempunyai hajatan.Banyak yang akan mangkir kerja dengan alasan kehidupan sosial. Keberadaan pekerja sebagai aset tak ternilai terus dipertahankan.

Mereka diupayakan diberi kompensasi yang setimpal agar tetap loyal.Keterbatasan keterampilan dan keahlian yang dimiliki terus dipompa dengan pembelajaran. Sebab kebanyakan order yang masuk merupakan produk dengan inovasi baru. Diakuinya,pesanan yang sifatnya baru, merupakan tantangan tersendiri.Kebanyakan pengusaha tenun akan menolak pesanan dengan motif yang baru. Hal ini menjadikan peluang usaha tersendiri. Dwi Santoso tidak pernah mengatakan tidak terhadap order yang disampaikan supplier. Apa pun bentuk dan material yang dibutuhkan akan diterima.Caranya dengan mencoba dan memanfaatkan contoh yang diberikan. Alhasil,setiap contoh yang ada mampu dikerjakan dengan cepat dan cermat.Setiap produk yang dikirim selalu diseleksi dengan ketat.

Produk yang cacat akan langsung disortir. Proses ini pun diawasi langsung perwakilan dari supplier.Tahapan pengecekan dilakukan dua kali untuk memastikan produk yang dikirim adalah produk yang sempurna.Adapun produk yang cacat akan diperbaiki agar hasilnya lebih baik. “Produk kita jamin kualitasnya dan ini yang diminati pasar,” tuturnya. Dinamisnya pesanan pasar menjadikan dia terus aktif. Bahan baku yang dipergunakan kian bervariasi.Mulai dari enceng gondok, bambu, serat gebang, akar wangi hingga lidi kelapa ataupun aren. Untuk mendapatkan material seperti itu, dia harus mencari hingga keluar daerah. Beberapa wilayah di Jawa Tengah telah dimasuki hanya untuk mendapatkan bahan baku.

Masalah permodalan pada awalnya menjadi beban yang sulit dipecahkan.Pertama kali membuka usaha, modal meminta kepada orang tuanya dan sedikit hasil penjualan kerai. Seiring kemajuan usahanya,masalah modal tidak lagi menjadi kendala. Ini terjadi seiring terjadinya hubungan kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sebagai mitra binaan BRI, Dwi Santoso mendapat kucuran kredit dengan nilai mencapai Rp25 juta. Dari uang inilah dia mampu menambah modal usaha untuk membeli bahan baku. “Pembayaran dari supplier dengan sistem tempo, tetapi adanya kredit dari BRI bisa untuk modal,” tambahnya. Kucuran kredit dari BRI dirasa memiliki peran yang cukup penting dalam usahanya. Setiap produk yang dikirim ke pemesan baru dibayarkan seminggu, bahkan sebulan dari produk diserahkan. Praktis untuk mengerjakan produk baru diperlukan modal banyak.(Koran SI/Koran SI/rhs) (sumber okezone.com)

No comments: