Rifa Nadia Nurfuadah - Okezone
Ada pameo tentang perusahaan keluarga yang mengatakan, “Generasi pertama menciptakan, generasi kedua mengembangkan, generasi ketiga menghancurkan”.
Pameo ini tampaknya tidak berlaku bagi Charles Saerang, generasi ketiga dari perusahaan jamu keluarga PT Nyonya Meneer.
Di tangan Charles, PT Nyonya Meneer bukan hanya maju dalam teknik produksi, produknya kini bahkan merajai pasar jamu di Indonesia, bahkan di mancanegara.
Charles yang kelahiran Semarang, 20 Februari 1952 ini adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Saat berusia 24 tahun, dia memegang pucuk pimpinan menggantikan ayahnya, Hans Ramana, yang wafat karena kanker.
Enam bulan sebelum kematian Hans, Nyonya Meneer terkena stroke mengalami kesulitan berbicara. Ironisnya, keluarganya sepakat merahasiakan kematian Hans agar tidak mengganggu kesehatan Nyonya Meneer.
Pada 1978, Nyonya Meneer akhirnya meninggal tanpa mengetahui Hans sudah meninggal. "Jika ibu (Nyonya Meneer) tahu anaknya meninggal, ibu bisa shock," cerita Charles, beberapa waktu lalu.
Kepemimpinan Charles di PT Nyonya Meneer bermula ketika dia diminta ayahnya, Hans Ramana, untuk meneruskan bisnis keluarganya. Saat itu Charles sedang menempuh studi di Miami University Ohio pada 1976.
Sebelum meninggal, Hans meminta agar Charles untuk kembali ke Indonesia meneruskan bisnis keluarganya. Namun, perjalanan Charles menggawangi perusahaan yang kini memiliki sekira 3.000 karyawan tersebut tidaklah mudah. Ketika tiba di Tanah Air, dia harus berjuang keras menaklukkan para pemegang saham keluarga.
Charles yang saat itu terbiasa dengan pola pikir independen akibat pendidikannya di Amerika Serikat pun harus memutar otak menghadapi keluarga besarnya. “Saya merasakan susahnya menghadapi generasi tua. Bagaimanapun juga saya harus menggunakan kultur timur, harus nurut sama yang tua,” jelas Charles.
Keluarga besarnya menentang kepemimpinan Charles. Para paman dan bibinya bahkan membuang Charles ke berbagai daerah seperti Jambi, Palembang, Pekanbaru, Bali, hingga Ambon untuk menjadi tenaga pemasaran Nyonya Meneer.
“Saya buktikan kalau saya bisa menjalankan tugas dari mereka. Kuncinya komitmen. Kalau tidak ada komitmen yang kuat, maka akan sulit meraih kepercayaan keluarga,” papar Charles.
Ibunda Charles bahkan sempat menyarankan suami dr Lindawati Suryadinata tersebut untuk menjual sahamnya di Nyonya Meneer karena tekanan bertubi-tubi dari saudara lainnya. Keluarga besar Charles tidak menginginkan dia duduk di tampuk pimpinan perusahaan.
Dengan tetap memegang adat timur, Charles meneruskan perjuangan membangun dan mengembangkan perusahaan. “Ribuan pekerja bergantung pada perusahaan. Jadi, saya tidak boleh menyerah pada tekanan keluarga besar,” tegasnya.
Charles melakukan perombakan besar dalam tubuh Nyona Meneer. Pengelolaan perusahaan yang selama ini diterapkan ditinggalkan. Charles menggantinya dengan sistem baru yang mengedepankan profesionalisme.
“Sebelum Charles masuk, pengelola perusahaan hanya tahu bagaimana mencari untung tanpa memperhatikan pangsa pasar. Ironisnya, jika mereka mendapat untung lebih banyak dari yang diperkirakan, mereka malah pusing,” papar ayah dua putri tersebut.
Charles mengaku, perselisihan panjang antarkeluarga, sejak 1976 hingga 2000, yang tak kunjung hentilah yang membuatnya kelelahan.
Perselisihan selama 24 tahun tersebut bukan hanya sebatas persoalan penolakan ide atau sikap sinis dan skeptis para anggota keluarga terhadapnya; tetapi juga sengketa perebutan saham keluarga yang menggiring Charles ke meja hijau.
“Akhirnya saya borong semua saham milik keluarga. Semua saudara yang memegang jabatan operasional saya ganti menjadi komisaris. Kemudian saya tempatkan orang-orang profesional untuk mengelola Nyonya Meneer,” kenangnya.
Terbukti, kebijakan yang dinilai banyak pihak sebagai langkah drastis justru mengantarkan sukses bagi Nyonya Meneer. Nyonya Meneer bahkan sedang mempertimbangkan untuk go international.(ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment