Dengan manajemen sederhana, bisnis getuk goreng H. Tohirin mampu bertahan selama 9 dasawarsa dan masih berkembang hingga kini. Bagaimana bisnis makanan oleh-oleh khas ini diwariskan dan dikembangkan turun-temurun?
Suatu hari di bulan Januari 2011. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya di kawasan Jl. Jenderal Sudirman, Sokaraja, Purwokerto, ketika wartawan SWA tiba di sana mencari alamat Toko Getuk Goreng Asli H. Tohirin. Puluhan tukang becak di sana seperti berebut memberi tahu. “Yang pertama dan selalu ramai yang bertuliskan Asli I, “ ujar salah seorang tukang becak dengan dialek Banyumasan yang khas.
Toko Getuk Goreng Asli H. Tohirin yang didatangi SWA tersebut memang terbilang ramai. Memang inilah toko oleh-oleh khas Sokaraja tersebut yang pertama lahir, hingga akhirnya begitu populer. Kini Toko Getuk Goreng Asli H. Tohirin sudah berkembang menjadi sepuluh toko dan namanya pun telah dipatenkan. Sebagian besar toko getuk milik keluarga Tohirin yang berukuran relatif besar itu kini berjejer rapi di jalan utama Sokaraja itu. Yang cukup istimewa, bisnis getuk goreng ini sudah berusia 93 tahun, terhitung sejak dimulai pada 1918.
Produk getuk goreng mungkin banyak. Akan tetapi, seperti diakui banyak konsumen, produk getuk goreng Toko H. Tohirin punya citarasa yang khas. Penemu resep khasnya adalah Mbah Sanpirngad (almarhum) . Ia bersama Sayem, istrinya, mulanya berjualan nasi sayur. Saat itu warungnya hanya berupa gubuk yang berdinding anyaman bambu. Selain menjual nasi dan lauk-pauk, kala itu ia juga menjual getuk singkong. Sayang, dagangannya tak begitu laku. Begitu juga getuknya, sehingga banyak yang terbuang percuma.
Namun, pasangan suami-istri ini tidak putus asa. Suatu ketika, Sanpirngad punya ide untuk mengolah getuk sisa yang tidak laku tersebut menjadi getuk goreng. Caranya tak sulit, ia hanya menambahkan gula kelapa ke dalam adonan. Ternyata, rasanya berubah menjadi lebih enak dan cocok bagi lidah konsumen yang menjadi pelanggan warungnya. Sejak itulah, selain menjual getuk basah, ia juga menjual getuk goreng. Kenyataannya, getuk gorenglah yang justru banyak dicari orang. Getuk Kamal, begitu nama awal getuk buatan Sanpirngad karena getuk goreng itu dijual di bawah pohon kamal atau asem.
Pada 1967, Sarpingad meninggal dunia. Selanjutnya, menantu laki-lakinya yang bernama Tohirin meneruskan usaha tersebut. Di tangan Tohirin inilah, perkembangan getuk goreng tumbuh pesat. Nasi rames yang semula menjadi bisnis utama kemudian ditinggalkan. Warungnya yang sederhana diubah menjadi bangunan permanen. Alhasil, ekonomi keluarga ini pun meningkat. Tak mengherankan, Tohirin mampu menunaikan ibadah haji saat itu.
Tohirin memang patut dapat ancungan jempol. Ia memiliki visi yang baik terhadap pengembangan getuk gorengnya. Hal ini terlihat dari upayanya memfokuskan usaha pada getuk goreng. Ia menutup usaha nasi rames yang semula menjadi bisnis utama keluarga, dan menggarap toko oleh-oleh dengan getuk goreng sebagai produk unggulannya.
Tak hanya sampai di situ, Tohirin juga menggunakan namanya untuk mem-branding-kan getuk goreng miliknya. Uniknya, ia tak pernah lupa menempatkan kata “Asli” di depan nama tokonya. Penggunaan nama “Asli” sengaja dilakukannya setelah melihat banyak produsen getuk goreng lainnya yang bermunculan di wilayah Sokaraja. Mereka umumnya berada di kiri-kanan kawasan Jl. Jendral Sudirman yang telah dikenal sebagai pusat oleh-oleh getuk goreng. Keputusan Tohirin tepat karena persaingan antarpenjual getuk goreng memang cukup kompetitif. Untuk menarik konsumen yang umumnya dari luar daerah, mereka berlomba memasang papan nama besar. Bahkan, beberapa di antara mereka menggunakan kata “Asli” seperti yang dilakukan Tohirin.
Meski berhadapan dengan ketatnya persaingan, gerai getuk goreng Asli H. Tohirin tak pernah sepi. Saat ini selain menjual getuk goreng, mereka juga menjual produk makanan khas lain yang umumnya disuplai pemasok.
Pada 1990-an, Tohirin menyerahkan tongkat estafet pengelolaan usaha getuk goreng kepada ketiga anaknya: Hj. Ning Waryati, Slamet Lukito dan Hj. Warsuti. Di tangan ketiga anaknya inilah, bisnis getuk goreng tumbuh makin pesat. Pada masa ketiga anaknya inilah getuk goreng ini dipatenkan dengan nama Getuk Goreng Asli H. Tohirin. “Sejak 1997 kami sudah memiliki paten,” ujar Ning Waryati, anak sulung Tohirin yang kini berusia 55 tahun.
Di masa kepemimpinan Tohirin, jumlah toko hanya tiga. Adapun di bawah pengelolaan anak-anaknya hingga pertengahan 2010, jumlah gerai getuk goreng Asli H. Tohirin mencapai 10. Sembilan di Sokaraja dan yang satu lagi di Buntu, Banyumas. Tidak tertutup kemungkinan gerainya akan terus berkembang. “Kami membuka outlet berdasarkan kebutuhan pasar,” ujar Slamet Lukito, anak kedua H. Tohirin.
Menurut Isnaini Nurkhumayah, putri kedua Ning Waryati sekaligus pemilik toko Asli I, untuk sukses dalam usaha ini ia dan keluarganya sangat menjaga kualitas produk. Untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan, proses produksi getuk goreng yang dilakukan secara tradisional bisa mereka saksikan. Proses produksi itu dilakukan di ruangan khusus di bagian belakang toko. Di tempat inilah, setiap hari puluhan karyawan — semua laki-laki — sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengukus singkong, ada yang menumbuk di lumpang dengan alu-alu yang panjang, dan ada juga yang menggoreng. Begitu getuk jadi, langsung dibawa ke toko depan untuk dijual langsung ke konsumen. “Pekerjaan di sini butuh tenaga yang kuat, jadi pada umumnya dikerjakan lelaki,” ujar Isnaini.
Satu hal yang menarik, meski permintaan pasar cukup tinggi, pemilik Toko Tohirin tetap mempertahankan proses produksi yang tradisional. Contohnya, untuk mengukus mereka masih menggunakan dandang dan tungku berbahan bakar kayu. Lalu, untuk membuat adonan getuk mereka masih menggunakan cara ditumbuk. Kemasan pun juga terkesan tradisional menggunakan besek yang ukurannya disesuaikan dengan berat getuk gorengnya. Di dalam ruangan memang ada alat penggiling bertenaga diesel, tetapi hanya digunakan untuk memecah ketela — tidak sampai melembutkan. “Mesin penggiling ini pun hanya digunakan bila permintaan banyak, sehari sampai lima kuintal lebih,” kata Isnaini. Mahasiswi Manajemen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, ini memastikan getuk goreng yang diproses lewat ditumbuk rasanya akan lebih enak bila dibandingkan dengan yang dihaluskan mesin. “Gambarannya seperti sambel uleg dan sambel diblender, pasti enak yang diuleg,” ujar dara berjilbab yang akrab dipanggil Mbak Is ini berargumentasi.
Proses produksi getuk goreng yang dijalankan keluarga ini sebenarnya sederhana. Ketela yang sudah dikupas dikukus sampai matang, lalu ditumbuk. Setelah halus baru dicampur dengan gula kelapa asli. Maklum, di pasaran banyak beredar gula kelapa tak lagi asli karena dicampur dengan bahan lain untuk menambah berat. Sebelum dicampur dengan adonan getuk, gula harus direbus untuk menjadikannya seperti pasta. Nah, untuk merebus gula ada takarannya juga. Untuk 20 kg gula hanya digunakan satu gelas air. “Gulanya kami datangkan dari produsennya langsung dan kami sudah terikat perjanjian,” ujar Isnaini lagi.
Setelah ditumbuk dan dicampur gula, adonan getuk dipipihkan di atas meja, lalu dipotong-potong sesuai ukuran dan langsung digoreng. Jadilah getuk goreng yang siap dikemas. Menurut Isnaini, dalam proses produksi, perusahaannya pantang menggunakan bahan tambahan makanan yang sifatnya kimiawi seperti pengawet dan pewarna. “Dengan proses ini, produk kami sangat aman dikonsumsi sampai tujuh hari setelah diproduksi. Nah, yang kami jual di sini adalah buatan hari ini.”
Untuk kemasan, selama ini pihaknya masih tetap menggunakan besek dan plastik mika. Besek tetap dipertahankan karena ternyata lebih disukai pembeli. Awalnya, untuk menimbulkan kesan bersih dan higienis, pihak toko sempat menyediakan kemasan kardus, tetapi ternyata konsumen lebih memilih besek. Apalagi, untuk pembelian di atas 1 kg. “Besek lebih mengesankan tradisional dan lebih banyak dipilih,” kata Isnaini.
Getuk goreng dijual dalam kemasan 1 kg, ¾ kg dan 1/5 kg. Harga per kilonya mencapai Rp 19 ribu. Harga di Toko Tohirin I relatif lebih mahal dibandingkan dengan toko lain yang menjual Rp 18 ribu per kilo. Hal ini sebenarnya juga diketahui konsumen, tetapi mereka toh tetap memilih membeli di tempat ini. “ Ya, ada harga ada kualitas,” ujar Isnaini tentang harga jual produknya yang sedikit lebih mahal.
Satu lagi yang menarik, sebenarnya banyak permintaan kepada mereka untuk menjual produk getuk goreng produksi keluarga Tohirin. Namun, keluarga ini memutuskan tetap tidak menjual getuk goreng buatan mereka ke pasar yang lebih luas. Jadi, sementara ini Anda tak usah berharap bisa menemukan produk getuk goreng H. Tohirin di gerai-gerai toko modern. Alasannya, mereka ingin produk getuk goreng sebagai makanan khas Sokaraja hanya bisa dibeli di tempat produksinya secara langsung. “Jadi, kami hanya memproduksi untuk dijual di toko sendiri. Kalau di luar banyak produk getuk goreng, kami pastikan bukan buatan kami,” kata Ning Waryati tandas.
Mereka sering kewalahan melayani pembeli. Pada hari-hari biasa, setiap toko diklaim menjual minimal 50 kg. Sementara di musim liburan atau akhir pekan jumlahnya bisa 10 kali lipat. “Kalau sedang ramai,” ujar Ning, “kami sampai kewalahan.”
Menurut Slamet, selama ini mereka sebagai anak keturunan H. Tohirin diberi kebebasan mengembangkan bisnis getuk goreng sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka boleh menggunakan merek Asli H. Tohirin pada setiap toko dan produk getuk yang dihasilkan. Adapun penomoran dari nama toko ternyata berdasarkan nomor urut pendirian toko.
Sebagai gambaran, saat ini ada 10 gerai toko dengan label Asli H. Tohirin. Kesepuluh gerai tersebut ternyata kepemilikannya tidak sama, tergantung kemampuan dan kecakapan menjalankan bisnisnya. Dari jumlah gerai tersebut, yang terbanyak (lima gerai) dimiliki Warsuti, anak ketiga. Adapun Ning Waryati memiliki tiga gerai, dan Slamet dua gerai.
Konon gerai-gerai Warsuti yang merupakan anak terakhir bisa berkembang lebih cepat karena manajemen yang diterapkan relatif lebih maju dibandingkan dengan gerai saudaranya. Untuk diketahui, setiap toko yang dikelola Warsuti telah menggunakan alat bantu mesin kasir sehingga pemasukan dan pengeluaran setiap hari tercatat rapi. Sementara toko milik saudaranya masih menggunakan penghitungan manual.
Dalam pandangan pengamat ekonomi dari UII Nur Feriyanto yang pernah melakukan survei untuk produk makanan khas daerah ini, memang ada potensi pasar yang besar dari produk getuk goreng Sokaraja. “Getuk goreng Sokaraja sebenarnya bisa dipasarkan ke pasar umum, bahkan pasar modern,” kata Nur.
Hanya saja, menurut dosen manajemen UII tersebut, dibutuhkan komitmen yang kuat dari keluarga Tohirin untuk terbuka terhadap pasar. Sayangnya, sampai saat ini ia belum melihat adanya komitmen dari mereka untuk membuka pasar tersebut. “Kalau peluang pasar ini tidak dimanfaatkan, bisa jadi nanti akan diambil orang lain,” kata Nur mengingatkan.
Nur menyebutkan saat ini sudah banyak produk makanan khas dari daerah yang mampu menembus pasar modern, seperti bakpia, nopia, mendoan dan jenang dodol. Karena punya citarasa yang khas, diyakininya getuk goreng bisa menembus pasar modern. “Saya yakin bisa tembus sekalipun tetap menggunakan kemasan yang terkesan tradisional,” ujar Nur yang sedang menyelesaikan studi S-3 di Surabaya.
Hal lain yang menjadi perhatian Nur adalah masalah sinergi. Ia melihat selama ini anggota keluarga Tohirin berjalan sendiri-sendiri dalam mengelola bisnis getuk goreng alias tidak ada sinergi. Ia khawatir bila hal ini terjadi, justru akan terjadi persaingan di antara keluarga Tohirin sendiri. Dampaknya tidak tertutup kemungkinan bila ada yang akan tersingkir. Ia melihat fenomena persaingan tersebut dari penentuan harga produk yang berbeda antartoko H. Tohirin. Perbedaan harga ini, menurutnya, sangat riskan. “Ini berbahaya kalau dibiarkan terus terjadi, karena bisa jadi konsumen akan memilih harga yang relatif lebih murah, apalagi kalau sama-sama satu pabrik,” ujarnya.
Nur juga menyarankan agar keluarga Tohirin bisa menyatukan langkah untuk menguasai pasar yang masih terbuka lebar. “Saya pikir belum terlambat, tapi semua tergantung mereka sendiri,” ujarnya. (*)
Yuyun Manopol & Gigin W. Utomo (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment