Friday, May 6, 2011

Gitar Elektrik Mojokerto, Beradu dengan Pabrik

 TAK sedikit home industry yang tumbang sejak krisis ekonomi global tahun lalu. Namun beberapa industri rumah tangga justru melejit. Salah satunya home industry gitar elektrik.

Barang hasil produksi home industry kerap kali diidentikan dengan kualitasnya yang rendah. Karena usaha ini tak banyak didukung dengan peralatan yang memadai, layaknya sebuah pabrik. Lantaran itu pula, produk industri rumah tangga ini selalu saja mendapati penghargaan yang rendah, termasuk harga barang yang dihasilkan.

Setidaknya, itu dirasakan salah satu industri rumahan gitar elektrik di Kelurahan Pulorejo, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Di tengah kondisi ekonomi yang serba tak menentu saat ini, mereka harus tetap bertahan. Tentunya, dengan banyaknya kendala yang dihadapi. Baik dari sisi kapasitas produksi, tenaga kerja maupun modal yang digunakan.

Di showroom milik Ashadi yang berukuran 20x30 meter dan berada di pinggiran Kali Brantas ini, geliat usaha masih tampak stabil. Dengan karyawan yang berjumlah 10 orang, Ashadi mampu menghasilkan 200 unit gitar elektrik berbagai tipe. Beberapa mesin dan peralatan produksi bertengger di tempat itu.

Lantas apa yang membuat usaha mikro ini masih tetap bergeliat? Banyak hal yang menjadi faktor. Salah satunya adalah daya beli masyarakat yang cenderung menurun terhadap produksi gitar pabrikan. Menyusul harga gitar impor yang terus melambung. Pangsa pasar yang dibidikpun terbilang tepat. Meski dengan kualitas yang terbilang bagus, produk Ashadi memiliki selisih harga yang jauh dengan gitar pabrikan. Meski ada beberapa material yang berbeda.

Bayangkan, Ashadi hanya menjual produknya dengan harga Rp400-Rp1,1 juta. Dari harga itu, Ashadi mampu mencetak barang yang nyaris sama dengan gitar pabrikan. Tentu saja, order setiap bulannya pun akan terus meningkat.

"Harga yang kami tawarkan memang jauh lebih rendah. Meski kami tak kalah bersaing soal kualitas," kata Ashadi.

Gitar pabrikan kerap menggunakan kayu mahogani (mahoni) untuk sebagai bahan membuat body gitar. Sementara untuk membuat neck, pabrikan menggunakan kayu hard maple untuk tipe-tipe dan tertentu. Seperti jenis Ibanez dan Fender. Produk buatan Ashadi juga demikian. Dia menggunakan dua jenis kayu ini untuk bahan neck dan body. "Untuk kualitas kayu, produk kami sama dengan pabrikan," tandasnya.

Yang membedakan, gitar-gitar buatannya menggunakan material pendukung lainnya dari pabrik lokal. Seperti pick up, bridge, tuning machines, dan beberapa material elektronik lainnya. Pilihan produk pabrikan lokal untuk jenis material ini tentunya disesuaikan dengan harga gitar yang akan dia jual.

"Itu kualitas standar. Dan produk di sini bisa customize. Jika ingin materialnya built-up, tentunya akan berpengaruh pada harga," katanya.

Dengan keahlian para karyawan yang rata-rata korban PHK salah satu pabrik gitar di Mojokerto, Ashadi mampu membentuk produk yang ideal dan presisi, meski sampai saat ini dia tak memiliki merk atas produk-produknya itu. Kemampuan para karyawan yang memang telah makan asam garam di dunia industri gitar elektrik, mampu menutupi segala kekurangan yang berkaitan dengan produk.

"Kita memiliki semua ukuran gitar dengan berbagai merek dan bentuk. Sehingga hasilnya bisa presisi. Termasuk untuk teknik pengecatan, kami bisa klaim sama dengan pabrik," ujarnya.

Selama dua tahun menjalani usaha ini, Ashadi memang tak berniat memunculkan merek. Dia hanya melayani pesanan sesuai dengan merek yang diminta. Tentu saja dia tak akan memasang merek gitar ternama. Menurutnya, ada beberapa distributor yang memiliki merek sendiri dan diproduksi di showroomnya.

"Ini soal hak paten. Saya hanya menerima gitar dengan tulisan merek yang bukan milik pabrikan. Meski kami bisa membuat tipe-tipe itu," tandasnya.

Dari beberapa jenis konstruksi gitar, dia mengaku masih belum memproduksi gitar jenis thru neck. Selama ini dia memproduksi gitar dengan kontruksi set in dan bolt on. Dua model kontruksi ini dianggapnya lebih mudah diproduksi, lantaran peralatan yang dimiliki memang belum mencukupi. Tapi menurutnya, dua model jenis inilah yang banyak diminati pembeli.

"Karena dua jenis gitar itulah yang banyak dipakai," ujar pria lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) ini.

Menurutnya, tak mudah memang mengalahkan kualitas gitar produksi pabrikan. Apalagi dengan peralatan kerja yang dimilikinya selama ini, meski beberapa proses produksi telah menggunakan mesin. Contohnya untuk membuat body dan neck. Namun hal yang membuatnya bisa bertahan dengan gencetan produk pabrikan adalah kualitas barang dan harga yang dipertahankan.

"Kami menggunakan pekerja yang telah memiliki pengalaman di pabrik. Sehingga kami lebih teliti dalam membuat produk. Dan harga kami masih sangat terjangkau semua kalangan," tandasnya.

Kebanjiran Order

Usaha yang dijalani Ashadi ini terbilang sukses. Di tengah banyaknya home industry yang kesulitan memasarkan produk, kondisi itu justru berbalik. Bagi Ashadi, selama ini dia masih belum mampu memenuhi target pesanan dari beberapa distributor yang menjadi langganan. Produksi sebanyak 200 unit gitar sebulan dianggapnya masih jauh dari target.

"Sebenarnya bisnis ini masih memiliki banyak peluang. Saya tak sempat menyimpan stok. Berapapun produk yang saya buat, selalu habis untuk distributor. Dan semuanya adalah pesanan," kata Ashadi.

Bukan pemasaran yang saat ini dikeluhkan. Selama ini, bisnis itu tak bisa berkembang pesat lantaran modal usaha yang minim. Saat ini dia telah memiliki aset sekitar Rp250 juta dan masih mampu memproduksi 200 unit gitar per bulan. Awal mendirikan usaha ini, ia bermodal Rp50 juta.

"Bahan baku tak jadi masalah. Hanya modal yang memang kurang," keluhanya.

Saat ini kebutuhan utamanya adalah menambah tenaga kerja dan membeli beberapa unit mesin produksi. Secara otomatis jika dua kebutuhan itu terpenuhi, maka hasil produksinya juga akan berlipat. Menurutnya, dengan kualitas barang dan harga yang ditawarkan, bisnis ini tak akan sepi meski diterjang krisis ekonomi.

"Memang perlu tambahan modal jika ingin meningkatkan produksi. Di situlah kesulitan kami," ujarnya sembari menyebut jika dirinya telah mampu menggaji 10 karyawannya sesuai dengan UMK Kabupaten Mojokerto sebesar Rp971.624.

Di mata pembeli, gitar buatan Ashadi ini terbilang laris. Dedy, salah satu distributor mengaku selama ini dia tak pernah kesulitan memasarkan produk yang dia dapatkan dari showroom milik Ashadi. Alasannya, produk tersebut memang masih mampu bersaing dengan produk pabrikan, yang saat ini harganya tak lagi terjangkau kalangan menengah bawah.

"Sejak lepas tahun 2005, gitar lokalan seperti ini memang banyak diminati. Produk dari China sudah tak lagi beredar, sehingga peluang produk lokal masih tinggi. Harga dan kualitasnya memang masih bisa bersaing," terang Dedy.

Hanya memang harus pintar-pintar memilih bentuk dan tipe gitar yang akan dijual di pasaran. Menurutnya, tipe-tipe baru yang tanpa "menjiplak" bentuk gitar merek ternama akan susah laku dipasaran. Untuk menyiasati hal itu, produk yang dibuat harus semirip mungkin dengan merk kenamaan. "Masing-masing daerah berbeda. Yang banyak laku, tipe-tipe seperti Ibanez, Gibson, dan PRS. Tapi kita tak pernah memakai merek ini. Hanya bentuknya saja yang mirip," tukasnya.

Dia mengakui home industry seperti ini memang masih memiliki peluang yang lebar. Menurutnya, sejauh ini dia masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan produk dalam jumlah yang banyak. Meski menurutnya ada beberapa home industry serupa di Mojokerto.

"Masih kurang. Dan dengan model yang seperti ini saja, masih banyak diminta pasar," tegasnya sembari menyebut jika produk ini telah beredar di Jakarta, Bandung, Lombok, dan kota-kota besar lainnya.

(Tritus Julan/Koran SI/jri) (sumber okezone.com)

No comments: