Kartu nama itu unik, sekaligus lucu. Coba baca: Dr. Ir. H. Wahyu Saidi, MSc. Tapi jangan terkecoh, menyangka pemiliknya dosen atau peneliti di sebuah perguruan tinggi. Sebab, di bagian bawah tercantum, dengan huruf lebih kecil, nah: "Alumni ITB, Tukang Bakmi". Sungguh!
Insinyur Teknik Sipil ini lulusan Institut Teknologi Bandung, tempat ia juga menyabet S-2 Teknik Industri. Wahyu lalu bekerja di sebuah perusahaan pembangun jalan layang seraya menyelesaikan program doktor bidang manajemen pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.
Apa lacur, Wahyu akhirnya menjadi saudagar bakmi. Tapi bukan sembarang tukang bakmi. Dialah orang di balik gerai waralaba "Bakmi Langgara" dan "Bakmi Tebet", yang kini menjamur di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Hingga kini cabang Bakmi Tebet sudah 47, dan beberapa waktu lalu ia meresmikan cabang ke-36 Bakmi Langgara di Jalan Sawojajar, Bogor. Semua itu terjadi hanya dalam empat tahun.
Kisah sukses pria 42 tahun ini bermula ketika krisis ekonomi melanda tanah Air. Perusahaan jalan layang tempatnya bekerja gulung tikar. Wahyu lalu putar otak. Mula-mula ia mencoba usaha agribisnis, menanam cabe dan buncis. Bangkrut, antara lain karena salah menggunakan pupuk. "Pupuk buncis itu ternyata buat daun, bukan untuk buah," kata Wahyu, tertawa mengenang pengalamannya.
Tak putus asa, Wahyu mencoba peruntungan di bisnis makanan. Mula-mula ia membuka lepau ikan patin, masakan khas Palembang, ranah kelahirannya. Tapi perkembangan kedainya, yang terletak di Jalan Pemuda, Jakarta Timur, datar-datar saja. Dalam sehari ia hanya memperoleh pemasukan Rp 100-150 ribu.
Kendati pendapatan minim, ada pelajaran yang dipetik Wahyu dari bisnis makanan. "Untung berjualan makanan itu bisa 100 persen dari modal yang kita keluarkan," ujarnya. Memadukan pengalaman praktis di lapangan dan ilmu manajemen yang dipelajari di kampus, Wahyu mencari jenis makanan yang punya prospek bagus. "Jangan seperti ikan patin, yang cuma bisa dimakan orang dewasa dan waktu makannya kebanyakan siang hari," katanya.
Ia lalu menetapkan kriteria: makanan yang disukai semua orang dan bisa dimakan pagi, siang, maupun malam. Mulailah ia menganalisis berbagai menu, mulai dari soto kudus, soto madura, siomay, ayam bakar, sampai roti bakar. Pilihan akhirnya jatuh pada bakmi.
Wahyu mulai belajar membuat bakmi yang lezat. Patokannya adalah Bakmi Gajah Mada. Wahyu menyatakan kekagumannya pada restoran yang sangat terkenal dan banyak penggemarnya itu. Sayangnya, Bakmi GM tak membuat waralaba.
Tapi Wahyu tak hilang akal. Ia mengundang para pakar kuliner, analis rasa, juga pensiunan koki Bakmi GM. Kerja keras itu tak sia-sia. Wahyu berhasil memperoleh bumbu penyedap bakmi dan 33 jenis hidangan lain, kendati cita rasanya, tentu, tak seratus persen menyamai Bakmi GM.
Pada 2000, ia mulai membuka gerai bakmi di Menara Kadin. Lokasi itu ia peroleh berkat pertemanannya dengan seorang pengusaha. Gerai pertama itu diberi nama "Bakmi Langgara". Kemudian menyusul gerai di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, lalu di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. Tapi gerai baru ini menggunakan nama "Bakmi Tebet" Nama yang bernuansa Jakarta.
Wahyu menggunakan teori pemasaran untuk memecah pasar. Jika Bakmi Langgara diposisikan untuk konsumen kelas menengah-atas, Bakmi Tebet buat khalayak menengah-bawah. Di masa-masa awal, Wahyu mengaku sering terbentur masalah dana untuk mengembangkan usaha.
Beruntung ia berjumpa Hermanu, seorang pensiunan Bank Indonesia yang bersedia membantu pembiayaan. Sampai kini Hermanu tetap menjadi kongsi Wahyu yang setia. Sayang, upaya membidik dua segmen pasar berakhir kandas. Posisi pasar Bakmi Langgara dan Bakmi Tebet lambat-laun berbaur.
Wahyu akhirnya menetapkan keduanya sama-sama menembak target pasar menengah. Agar usahanya cepat berkembang, Wahyu membuat sistem waralaba. Ia menjamin biaya waralabanya murah. "Dengan Rp 100 juta sudah cukup untuk membuka cabang Bakmi Langgara atau Bakmi Tebet," katanya.
Bakminya terbukti disukai konsumen. Irwan Kelana, salah satu pembeli waralaba Bakmi Langgara di kawasan Parung, Bogor, mengaku dalam sehari bisa memperoleh Rp 2 juta. "Kalau Sabtu dan Ahad malah bisa Rp 3 juta," katanya.
Dengan pendapatan sebesar itu, dalam satu atau satu setengah tahun, kata Wahyu, modal biasanya kembali. Kendati usahanya berbiak cepat, Wahyu tak mengorbankan mutu. Ia rutin menggelar pelatihan buat para koki. "Agar standar rasa masakan tetap terjaga," ujar pelahap buku-buku pemasaran itu. (*/Tempo.co)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/14671-wahyu-saidi-sang-doktor-bakmi.html
No comments:
Post a Comment