Lidah kita mungkin tak asing dengan menu khas Nusantara, bubur. Entah itu bubur ketan hitam, bubur kacang hijau, ataupun bubur ayam. Bagaimana dengan bubur jagung? Cukup aneh memang karena makanan ini belum banyak yang mengembangkannya.
Tapi, bagi Teuku Chaidil, 49, seorang wirausahawan asal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bubur jagung bisa menjadi sumber penghasilan layaknya makanan jenis bubur lainnya. Di outlet-nya yang cukup mencolok di kawasan Pondok China, Depok, Jawa Barat, Chaidil mengembangkan bisnisnya. Yang menarik, tidak seperti outlet makanan yang biasanya membuat tagline bermakna “rayuan”.
Chaidil justru menuliskan, “Jangan Beli ..... Nanti Bisa Ketagihan”, di depan tempat usahanya. Rupanya itulah salah satu strategi agar mendapatkan perhatian dari calon pembeli. Selain kata-kata nyeleneh, Chaidil juga memadukan warna terang seperti oranye, putih, hijau dan dominasi kuning di warung bubur jagungnya. Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Aceh ini mengaku, strategi ini sengaja dilakukan untuk mencuri perhatian masyarakat.
“Sebenarnya kita mau menyampaikan kalau bubur kita enak, tapi kita larang mereka dengan penempatan subjudul yang unik untuk membuat rasa penasaran, jadi kita tabrak logikanya,” ujarnya. Chaidil memang tak hanya menyajikan bubur jagung. Di outlet yang berukuran sekitar 8x4 meter, tersaji lima menu bubur lainnya, seperti Bubur Ketan Saus Durian, Bubur Jali, Bubur Kacang Hijau, Bubur Ketan Hitam, dan Bubur Sumsum. Harga yang dipatok cukup terjangkau, dengan Rp15.000 Anda dapat mencicipi semangkuk bubur jagung ini.
Konsep branding yang dilakukan Chaidil ternyata cukup efektif dalam meningkatkan penjualan bubur. Chaidil mengaku, dalam bulan pertama, 100 porsi bubur terjual tiap harinya. Jumlah tersebut merangkak naik menjadi 150 porsi pada bulan kedua dan terus merangkak naik hingga mencapai 300 porsi di bulan kelima. Setelah berjalan hampir lima tahun,Chaidil kini mengelola tiga outlet yakni di Banda Aceh, Depok, dan Cibubur. Dari ketiga outlet ini, dia mampu menjual total 700-1.000 porsi per hari. Alhasil, omzet kotor yang diperoleh pun bisa mencapai Rp10–15 juta per hari atau Rp300–450 juta per bulan.
“Tapi ini fluktuatif,” tambah Chaidil. Jiwa kewirausahaan Chaidil sudah tertanam saat dia mencoba jenis makanan lain yakni hamburger “Aceh Jezz Burger” yang dirintisnya di Banda Aceh pada pertengahan 1994. Sampai akhirnya dia memutuskan fokus pada menu bubur jagung khas Aceh. Lantas apa arti Jezz? Menurut Chaidil, Jezz merupakan singkatan dari jajanan ekstra lezat. “Sering konsumen menanyakan apa arti kata Jezz,Jajanan Ekstra lezZat,” ujarnya tertawa. Pria yang selalu menggunakan busana jenis gamis ini sebenarnya sempat mencicipi pekerjaan kantoran.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di tahun 1991, Chaidil bekerja di PT Semen Andalas Indonesia dengan masa kontrak dua tahun. Pada 1993, dia bergabung dengan CV Mirzen. Setahun kemudian, sembari bekerja di tempat itu, Chaidil membuka sebuah usaha makanan berupa hamburger kaki lima di Banda Aceh. Namun, saat itu Chaidil mengakui bahwa konsistensi wirausahanya belum 100%, sehingga saat seorang teman mengajak bekerja di sebuah kontraktor dan supplier, dengan jabatan manajer keuangan membuat dirinya tergoda.
Akhirnya Chaidil bergabung dengan PT Kesayangan Prakarsa, tetapi dia tidak melepaskan usaha hamburgernya begitu saja. Usaha ini pun dibawa ke daerah Lhoksumawe, Aceh Utara, meski dengan risiko harus memulai dari nol. Usaha tersebut hanya berjalan setahun karena tingginya biaya operasional. Chaidil pun berkonsentrasi pada pekerjaan tetapnya. Setelah merasa pengalaman cukup,tahun 1997 Chaidil mencoba hijrah ke Jakarta. Namun, dia merasa tidak ada perkembangan dan akhirnya kembali ke Aceh. Pada 1998, dengan modal Rp200.000 hasil penjualan peralatan berjualan yang tersisa, Chaidil kembali berdagang hamburger. Kali ini Chaidil berhasil membuat hamburgernya lebih berkualitas setelah mempelajari sejumlah literatur.
Angka penjualan hamburger pun meningkat signifikan hingga dia akhirnya memiliki 25 karyawan pada 2004. Dia juga berhasil membuat warungnya menjadi semacam kafe dan lebih banyak menarik pengunjung. Sayangnya, pada 2004 tempat usahanya menjadi korban gempa dan tsunami yang melanda Aceh. Pada April 2005 Chaidil bersama istri memutuskan hijrah ke Jakarta dan bertahan selama tujuh bulan. Dia lalu memutuskan kembali ke Aceh dan memulai usaha dari nol. Berbagai usaha dia lakoni termasuk menyewakan kamarkamar kepada tamu luar Aceh yang membantu rehabilitasi.
Di tahun 2007 usaha Chaidil mendapat titik terang setelah mempelajari pembuatan bubur kanji rumbi (bubur khas Aceh). Dia pun tertarik menjualnya. Sejak itu dia terus melakukan inovasi,termasuk saat istrinya,membuat menu bubur kacang hijau, bubur sumsum, bubur ayam, dan bubur sagu. Pada 2009 Chaidil menambah menu bubur jagung dan mendapat respons yang baik dari pembeli. “Alhamdulillah pada bulan keenam usaha (di Aceh) saya sudah bisa melunasi seluruh utang saya sejumlah Rp90 juta. Pada 2010 kami sepakat bersama istri untuk kembali ke Jakarta dengan membuka cabang baru di Depok”ujarnya.
Ayah tiga orang anak ini mengaku menggunakan bahan-bahan berkualitas terbaik baik lokal maupun impor seperti jagung manis Hawai, santan kelapa segar, gula pasir, susu kental manis,daun pan-dan, garam,dan air mineral. Dia juga menjamin proses pengolahan tanpa menggunakan bahan penyedap, tanpa pengawet, tanpa pewarna, tanpa pemanis buatan, serta di produksi dengan memakai air mineral. (*/Sindo)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/13392-teuku-chaidil-meraih-berkah-manis-dari-bubur-jagung.html
No comments:
Post a Comment