Seorang entrepreneur harus bisa membaca peluang bisnis yang tepat agar bisa mempertahankan asanya di ranah bisnis. Baik itu saat memilih usaha apa yang akan dijalani pada saat memulai petualangan sebagai seorang entrepreneur, atau saat ia harus banting stir ke bisnis lain yang lebih prospektif, saat bisnis yang ia jalani sudah tidak berpeluang untuk maju. Meskipun banyak entrepreneur yang akan mempertahankan mati-matian bisnisnya dari keterpurukan, namun tak sedikit pula entrepreneur lain yang memilih untuk mengganti haluan bisnisnya.
Hal itupula yang dilakukan oleh H. Raden Doddy Sularso Bangun, yang saat ini menggeluti bisnis sari tebu murni. Seperti dituturkan Haji Doddy, begitu ia akrab disapa, sebelumnya, adalah seorang pengusaha kayu di Jambi. Tapi sejak pemerintah sedang galak-galaknya melakukan pengawasan terhadap ilegal logging, lama-lama ia berpikir, usahanya ini tak akan memiliki prospek yang cerah di kemudian hari.
Ide bisnis sari tebu murni awalnya datang saat Haji Doddy berkunjung ke Jakarta, dan tertarik untuk mencicipi segelas air tebu. Dia pun mulai berpikir bahwa kualitas sari tebu dari daerah asalnya, Jambi, lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan tebu Jawa. Tebu Jawa yang tidak ada airnya, biasanya ditambah dengan air es supaya banyak, sehingga kadar kemurnian atau sari tebunya menjadi hilang. Bila sudah tak terasa manis, lalu ditambah biang gula.
“Feeling saya, usaha ini (bisnis kayu) tidak bisa untuk jangka panjang. Bahkan saya sempat bingung mau usaha apa? Setiap shalat, saya minta petunjuk Allah agar diberikan jalan terbaik. kalau saya coba usaha sari tebu murni yang banyak ditanam di Jambi dengan kualitas yang sangat baik, saya, pasti sukses. Jika membandingkan tebu Jawa dengan tebu Jambi jelas jauh kualitasnya. Tebu Jawa adalah bahan baku untuk gula, tapi tidak cocok untuk dikonsumsi (minum). Sedangkan tebu Jambi cocok untuk dikonsumsi.” ujar Doddy seperti dikutip dari sejutainspirasi.com, Jumat (25/11).
Lelaki kelahiran Jambi, tahun 1972 ini lalu banting stir setelah melihat peluang usaha tebu di Jakarta yang belum dilirik oleh orang lain. Doddy yakin usaha ini bisa berhasil. Dari hasil survei di lapangan, kebanyakan tebu yang dijual di seluruh Jakarta, terutama di pinggir jalan seharga Rp 2000, selalu menggunakan biang gula agar tambah manis, jadi bukan murni tebu.
Sejak itulah, Doddy ingin mengangkat “derajat” tebu dari kesan jorok dan rendah menjadi bersih dan berkelas. Optimis Doddy pun bangkit. Untuk kali pertama, ia keluarkan modal awal sebesar Rp 50 juta. Dengan uang sebesar itu, ia membuka lima gerai plus mesin perasan tebu, lalu bertambah menjadi 10 gerai, hingga meningkat lagi 17 gerai. Benar saja, feeling bisnisnya menghantarkan kesuksesan.
Di angka ini Doddy pun menyetop dulu penambahan gerai. Ia lalu memfokuskan diri untuk menjalin kemitraan dan membuat izin usaha di Departemen Perdagangan. Setelah maju, ia putar terus modalnya. Dari penambahan modal Rp. 100 juta, ia kini telah memiliki banyak armada dari gerobak, motor hingga mobil. Untuk motor ia sudah memiliki 70 unit motor, 5 unit mobil dan 10 unit gerobak. Saat ini, jumlah total aset Doddy sudah mencapai miliaran rupiah.
“Feeling saya, kalau sari tebu murni masuk nih. Saya lihat, di Jakarta, belum ada yang menjajakan tebu murni. Jika tebu Jambi saya bawa ke Jakarta, di mana penduduknya padat, cuacanya panas, dan kelasnya menengah, saya yakin usaha ini membawa berkah. Belum lama ini, saya baru beli lahan baru, termasuk gudang, hingga rumah. Semuanya hasil dari tebu. Bahkan saya bisa pergi haji dari usaha tebu. Padahal usaha saya ini baru tiga tahun berjalan, yakni sejak tahun 2005,” ucap Doddy tentang usahanya.
Salah satu kunci rahasia dari keberhasilan usahanya adalah pasokan tebu yang cukup dari daerah pemasok tebu di Jambi, Sumatra. Menurutnya tebu khusus yang ia gunakan adalah tebu buah bukan tebu yang biasa dipakai dalam pembuatan gula pada umumnya, ukurannya pun lebih besar.
Keberhasilan Doddy kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejaknya bisnis tebunya. Dengan cerdas, Doddy pun menawarkan usahanya ini sebagai usaha kemitraan. Alhasil, respon yang didapat luar biasa, satu demi satu kontrak perjanjian kerjasama kemitraan ditandatanganinya. Berkantor di Jalan Raya Kabayoran Lama Plaza Permata ruko No 12 A, satu per satu orang berdatangan untuk menjalin kemitraan dengannya.
Siapa sangka, usaha minuman kampung dengan merek “Sari Tebu Murni, Rajanya Tebu” ini berkembang hingga ke beberapa wilayah kota besar, seperti wilayah Depok, Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Dejabotabek), termasuk Lampung, Bandung, hingga Semarang. Untuk wilayah Dejabotabek saja sudah mencapai 300 lebih gerai. Itu semua berkat dijalinnya sebuah kemitraan. Rencananya Doddy akan memperluas kemitraan di Surabaya dan Batam, hingga ke seluruh kota-kota besar di nusantara.
Pengembangan usaha tebunya itu, bukan dilakukan dengan sistem waralaba, melainkan kemitraan. Alasan Doddy tidak menggunakan waralaba, karena dalam UU Waralaba, diharuskan membayar pajak, sedangkan kemitraan tidak. Tanpa promosi, hanya dari mulut ke mulut, kemitraan pun terjalin. Dody berpikir, kenapa beli tebu harus mengantri, ada kesan susah sekali untuk dapatkan tebu, maka ia ingin seluruh Jakarta, orang mudah untuk mendapatkan tebu.
Ia mengaku permintaan tebu perharinya bisa mencapai 2.000 batang yang disuplai dari Jambi untuk kebutuhan mitra. Itulah sebabnya, setiap hari Doddy harus mengangkut banyak tebu dari Jambi ke Jakarta dengan menggunakan truk. Kini, Sari Murni Tebu Si Raja Tebu ini mulai digemari sebagai minuman ringan. Minuman tebu yang semula hanya ada di kawasan perkebunan tebu di Jawa dan Sumatra kini sudah mulai banyak ditemui penjual di pinggir jalan. (*/Gentur)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/13029-raden-doddy-sularso-bangun-dari-bisnis-kayu-ke-bisnis-tebu.html
No comments:
Post a Comment