Sepintas tak ada yang istimewa dari kerupuk kulit, penganan khas nusantara yang sering ditemui di warung-warung ataupun tempat makan. Namun, dari sisi bisnis, siapa mengira bahwa gurihnya kerupuk kulit ternyata juga menjanjikan keuntungan yang menggiurkan.
Peluang usaha itulah yang cermat dilihat seorang ibu yang bernama lengkap Dian Sautri. Kerupuk Kulit Andika, demikian ibu empat orang anak ini menamai usaha kerupuknya. Dari usaha yang telah digelutinya sejak 10 tahun lalu itu, Dian Sautri kini mampu meraup keuntungan bersih jutaan rupiah setiap harinya.
Lulusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini tak segan berbagi kisah suksesnya. Menurut dia, yang membedakan usaha ini dibanding usaha kerupuk kulit lainnya adalah Dian lebih memprioritaskan pengolahan kerupuk kulit mentah dibandingkan kerupuk yang sudah matang.
Hampir 90% hasil pengolahan kulit sapi dialokasikan seluruhnya untuk kulit mentah, hanya 10% yang diolah menjadi kerupuk kulit matang. “Sebenarnya yang menguntungkan itu yang matang. Tapi, kalau saya goreng semua, kan saya egois sekali,” ujarnya.
Di sebuah pabrik pengolahan berukuran 500 m2 yang beralamat di Bantar Gebang Selatan Pangkalan 1 B, Bekasi ini, setiap hari Dian mengolah sekitar 700-800 kg kulit sapi. Menurut Dian, pengeluarannya per hari sangat bergantung jumlah kulit yang diperolehnya dari penjagalan.
Satu lembar kulit bisa saja berbobot 50 kg, sehingga jumlah lembaran kulitnya per hari bisa bervariasi. Setiap kilogram kulit di penjagalan dihargai Rp14.000-Rp15.000. Dengan demikian, setiap hari Dian minimal merogoh kocek sekitar Rp12 juta.
Bahan mentah tersebut kemudian dibersihkan dan dipotong-potong sehingga menghasilkan sekitar 2 sampai 2,5 kuintal (200-250 kg) kulit sapi mentah yang siap digoreng, atau biasa disebut dengan kulit lapohan. Kulit lapohan ini kemudian dijualnya kepada pelanggan, yang kurang lebih berjumlah 20 orang seharga Rp63.000 per kg.
Namun, khusus untuk konsumen baru, Dian menjual di atas Rp65.000. Hal ini diakuinya untuk menjaga harga pelanggannya. Sementara itu, 10% dari kulit olahan tersebut, atau sekitar 25 kg diolah menjadi kerupuk matang dan dijual seharga Rp10.000 per pak, berisikan sekitar 15 bungkus kerupuk.
Dari penjualan dua produk itu, Dian mengaku setiap hari dapat memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp2 juta - Rp3 juta. Karena peminatnya banyak, Dian mengaku tidak memiliki hari libur kecuali Hari Raya Idul Fitri. Hal ini untuk menghindari kekurangan pasokan kulit dari penjagalan. Pasalnya kebutuhan kulit sapi sangat terbatas. Sementara peminatnya besar. “Iya karena saya tidak pernah libur, kan semuanya ada yang ngerjain dan saya hanya me-manage saja. Kalau tidak, kulit saya bisa diambil orang,” selorohnya.
Untuk mengolah kulit tersebut, Dian menggunakan jasa 12 orang tenaga kerja yang seluruhnya berasal dari Gunung Kidul. Menurut Dian, pekerja dari Gunung Kidul ini sudah mahir dalam mengelola kulit sapi sehingga sudah siap kerja.
“Saya tidak mencari sendiri, tapi karyawan saya membawa temannya, jadi saya tidak pernah ke mana-mana, ke jagal pun belum pernah. Saya hanya mengandalkan telepon dan cara melobi saja,” ujarnya tersenyum.
Menurut Dian, harga kulit lapohan yang diolah memang cukup mahal dibandingkan yang lain. Dian melakukan proses pengolahan kulit secara alami dengan mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan kulit dan tidak menggunakan oven.
“ Saya tidak pakai oven karena hasilnya tidak mekar dengan bagus. Kalau saya, pagi kulitnya dipotong dan langsung dijemur sampai sore. Besok baru di-lapuh (digoreng empat kali). Jadi benar-benar menggunakan matahari, biar bisa maksimal,” ungkapnya.
Kekurangan pasokan kulit dan cuaca, sambung dia, merupakan kendala yang selalu ditemuinya sejak memulai usahanya ini. Selain itu, terhentinya pasokan sapi impor dari Australia juga ternyata cukup memberikan pengaruh bagi usaha pengolahan kerupuk kulit ini.
Hanya saja, Dian menggantikan ketergantungan kebanyakan usaha pengolahan kulit terhadap kulit impor Australia dengan menggunakan kulit sapi asal Bali dan Kupang juga kulit kerbau. Menurut dia, ketiga jenis kulit ini menjadi pilihan karena ketebalan kulitnya. Kendati kerap dihadang masalah, Dian mengaku sangat bersemangat menjalani usaha ini.
Menurut Dian, terdapat beberapa hal yang membuatnya tertarik menggeluti usaha ini. Selain memberikan keuntungan yang besar dan pasarnya yang terbuka luas, ternyata kerupuk kulit ini cukup dicari-cari masyarakat. Karena banyak dibutuhkan orang, dia pun merasa ikut membantu masyarakat banyak.
“Satu, itu jelas untungnya lumayan, dua juga dibutuhkan orang, dan yang ketiga bisa membantu banyak sekali orang,”tuturnya. Karena itu, Dian sangat terbuka untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada orang-orang yang ingin belajar.
Menurut Dian, mereka yang datang ke tempat usahanya kebanyakan ingin menjadi penggoreng dan penjual kerupuk kulitnya. Sebagai permulaan dan sebelum terjun untuk berusaha sendiri, dia tak segan membimbing dengan memberikan semacam penyuluhan dan mengajari mereka cara menggoreng dan bahkan mencari pasar bagi produknya.
“Supaya tidak rugi, saya menyarankan supaya digoreng di tempat saya dulu, daripada beli wajan dan kebutuhan lainnya, tapi rugi. Tapi kalau sudah mengerti dan berkali-kali melihat kita goreng dan mereka bisa menggoreng dan yakin bisa dan punya pasar, monggo jalan sendiri. Banyak yang begitu dan saya juga ikut senang,” tandasnya. (*/Sindo)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/10578-di-balik-gurihnya-kerupuk-kulit-andika-tersimpan-laba-besar.html
1 comment:
boleh minta info kontak ibu dian sautri ga yah? untuk informasi penjualan kerupuk kulitnya.
Post a Comment