Merintis usaha dari nol menjadi cerita yang tak akan pernah dilupakan Suratno, pemilik Bakso Geger. Memulai dari berjualan keliling dengan gerobak sederhana di wilayah Semarang Barat, Jawa Tengah, hingga kesulitan modal pernah dialami. Hanya ketekunan dan semangat pantang menyerah yang akhirnya membuat dia meraup sukses seperti saat ini. Bakso Geger menjadi kuliner buruan para penggemar bakso.
Pelanggan datang dari berbagai kalangan. Kisah sukses itu tentu tidak datang dalam waktu sekejap. Menurut penuturan Fredi Timo, rekan sekaligus pengelola Bakso Geger, Suratno awalnya memeras keringat dengan berjualan es keliling pada kurun waktu 1975 hingga 1980. Lima tahun melakoni pekerjaan itu, Suratno mulai berpikir untuk mengganti usahanya dengan harapan dapat memperoleh hasil lebih baik.
Dia pun menangkap peluang untuk berjualan bakso. Suratno melihat ketika itu jumlah penjual bakso keliling masih relatif sedikit. Ditunjang hobinya memasak, Suratno benar-benar banting setir dan berjualan bakso keliling. Modal awal yang dibutuhkan tidak banyak. Daging segar yang digunakan untuk membuat bulatan bakso sekitar 1–2 kg. Suratno berkeliling ke wilayah Semarang Barat sejak pukul 09.00 WIB. ”Saat itu harga per porsi bakso masih Rp250. Keliling dari pagi, selalu habis sebelum tengah hari,” tuturnya.
Penggunaan nama ”Geger” ternyata membuat bakso itu makin laris. Orang dengan mudah mengingat merek bakso milik Suratno itu. Padahal, pengambilan nama ini tergolong unik. ”Entah bagaimana asal-usulnya, Pak Suratno juga tidak tahu persis soal panggilan nama Geger. Geger merupakan panggilan kecil di Wonogiri (kampung halaman Suratno),” ujarnya.
Namun ada juga yang mengartikan bakso itu menimbulkan geger (ribut) saat pelanggan mencicipnya. Ini karena bakso memiliki rasa yang lezat. ”Semua terserah persepsi pelanggan,” lanjut Timo.
Usaha Suratno berkembang pesat. Semakin hari pelanggan bertambah banyak. Mereka tidak lagi penduduk di kawasan Semarang Barat saja, tetapi dari daerah sekitarnya. Atas dasar itu, pada 1992 Suratno memutuskan untuk berhenti sebagai pedagang keliling.
Menggunakan modal dari hasil penjualan tanah di kampung halamannya, Suratno membuka warung tenda di Jalan Mintojiwo Pamularsih. Suratno tak perlu bersusah payah menjalankan usaha itu karena pelanggan tetapnya berdatangan ke sana. Ketika itu, harga per mangkuk bakso Rp350. Warung sederhana itu mampu menampung 50–70 pengunjung. Timo mengatakan, keaslian rasa bakso menjadi daya tarik pelanggan sejak pertama kali usaha itu dirintis.
Dalam hal ini, istri Suratno, Sri Wahyuni, punya peran besar. Dia dikenal sangat menjaga kesempurnaan cita rasa bakso, di antaranya melalui pemilihan daging segar sebagai bahan baku. Suratno dan Sri Wahyuni tidak jarang berbelanja pada dini hari, termasuk mendatangi rumah pemotongan hewan (RPH) demi mendapatkan daging segar. Sri Wahyuni juga tidak segan terjun langsung ke dapur dan meracik bumbu-bumbu demi mempertahankan cita rasa khas Bakso Geger.
Penggunaan daging segar inilah salah satu kunci kesuksesan Bakso Geger. ”Kalau daging tidak segar, rasa menjadi hambar dan bakso tidak enak disantap. Terus mengandalkan daging sapi segar membuat pelanggan ketagihan dan tidak beranjak meninggalkan Bakso Geger,” katanya. Berbeda dengan kebanyakan warung bakso lain, Suratno tidak menyediakan variasi lain di Bakso Geger, misalnya bakso urat.
Suratno sengaja mempertahankan bakso berbahan baku daging murni tanpa campuran. Terbukti, bakso ini makin digemari. Aroma sedapnya langsung tercium ketika kuah dituangkan ke mangkuk, membuat pelanggan seperti tak sabar untuk menyantap.Sebagai makanan pendamping,disediakan pangsit. ”Kami adalah satu-satunya warung bakso yang masih mempertahankan pangsit sebagai ciri khas,” klaim Timo.
Saat ini, harga per mangkuk bakso Rp13.000. Jumlah pelanggan yang terus membeludak membuat Suratno membuka warung baru pada 2005. Warung ini masih di Jalan Mintojiwo Pamularsih. Namun justru saat ini dia dihadapkan pada tantangan baru. Selama membangun tempat permanen tersebut, Suratno dililit kesulitan membayar gaji karyawan. ”Segala upaya ditempuh untuk membayar gaji karyawan tepat waktu, tetapi warung tetap beroperasi lancar,” kata Timo.
Warung berkapasitas 100 kursi duduk itu penuh sesak. Pelanggan pun dari berbagai kalangan, mulai pejabat Kota Semarang, polisi, bahkan hingga awak maskapai penerbangan yang mendarat di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Lokasi warung Bakso Geger berdekatan dengan bandara. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri. ”Sopir-sopir hotel yang akan menjemput kru pesawat jadi sering singgah. Lalu awak maskapai juga ikut mampir menikmati bakso sebelum menginap di hotel,” paparnya.
Kendati sukses, Suratno belum berpikir untuk menjalankan sistem waralaba. Berbagai tawaran kerja sama dari pihak lain untuk membuka cabang di daerah lain masih dikesampingkan dengan alasan ingin menjaga kualitas rasa. ”Kami masih dalam tahap menimbang-nimbang tawaran tersebut dan belum ada keputusan karena tanggung jawab yang diemban lebih berat. Seperti diketahui, belanja bahan baku dilakukan langsung bapak (Suratno) dan ibu sehingga akan sulit kalau membuka ke daerah lain,” kata Timo.
Biarpun begitu, dia tidak menampik bahwa Bakso Geger berkeinginan lebih besar lagi. Sejauh ini cara yang ditempuh adalah dengan memberikan kepercayaan kepada Ratna, putri semata wayang Suratno, untuk mengelola usaha. Ratna pun membuat terobosan dengan menerima pesanan pernikahan, ulang tahun,dan lainnya.
Sebelumnya,Bakso Geger telah menawarkan menu baru, yakni soto sapi. ”Terobosan lain yang akan dilakukan masih dalam penggodokan sebelum dikenalkan ke masyarakat,” katanya. (*/Harian Seputar Indonesia)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/14882-bakso-geger-laris-manis-karena-pertahankan-kualitas.html
No comments:
Post a Comment