Monday, April 30, 2012
Yono, Mantan Sopir yang Sukses Menggeluti Bisnis Telor Asin
Menurut Yono, usaha telur asin tersebut pertama kalinya dirintis oleh orangtua istrinya sekitar tahun 1970 di Purwokerto. Ketika itu ia belajar cara membuat telur asin dari orang tua Suwarni. Kemudian pada tahun 1978 sepasang suami istri ini pindah ke Sragen dan memulai usaha telur asinnya. Untuk bahan baku berupa telor bebek , ia mengambil dari berbagai daerah di Sragen seperti Taraman, Plupuh dan Perum Margo Asri. Setiap kulakan telor berkisar antara Rp1.000-1.500 butir telur yang dihargai Rp1.000/butir dari pemasok tetapnya.
Keuntungan yang didapat Yono diambil dari dari perhitungan selisih harga kulakan telur dengan harga telur asin yang sudah jadi dan dijual kembali Rp1.400/butirnya.
Untuk setiap produksi, keluarga pak Yono menghasilkan 600 butir telur asin. “Kami menghasilkan 600 butir telur asin dalam setiap angkatan yang kami setor ke berbagai langganan kami, seperti supermarket Luwes, toserba Seka, toserba Dian, pasar, dan sebagainya," katanya.
Tidak hanya di wilayah Sragen saja, Yono memasarkan telor asinnya, namun sudah sampai keluar daerah seperti ke Kartosuro. Dari usaha pembuatan telor asin tersebut, Yono mampu meraup keuntungan, yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Keberhasilan usahanya tersebut telah mendapat apresiasi dari pemerintah, yakni pada tahun 2001 lalu, mendapat kesempatan untuk dikunjungi oleh Menteri Peranan Wanita RI pada waktu itu, yaitu Sri Rejeki yang didampingi oleh Bupati Sragen, H. Untung Wiyono.
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/6866-yono-raup-laba-dari-telur-asin.html
Tirto Utomo, dan Kisahnya Merintis Pelopor Air Minum Kemasan 'Aqua'
Pada masa awal, Aqua menetapkan target segmen orang asing yang sedang makan di tempat makan Jakarta. Restauran dan hotel membeli Aqua dalam kemasan beling. Penjualan mencapai 2.5 juta liter pada tahun 1980, tetapi saat itu perusahaan belum memiliki jaringan distribusi untuk kemasan ini untuk wilayah di luar Jakarta. Perusahaan mengambil langkah antisipasi mengenai hal ini dengan menggunakan kemasan sekali pakai. Dengan kemasan ini, Aqua mengalami peningkatan penjualan terutama untuk wilayah operasional luar Jakarta. Kemasan diubah kembali diubah kembali dengan memakai bentuk lingkaran. Bentuk yang baru ini memungkinkan kemasan Aqua lebih mudah disimpan dan secara dramatis memperbaiki penampilan kemasan produk.
Pada tahun 1985, Aqua memulai kompetisi dengan minuman ringan. Kompetisi ini ditandai saat Aqua mulai memperkenalkan kemasan 220 ml. Kemasan ini yang sangat mendongkrak penjualan, dalam waktu setahun Aqua mencapai penjualan 42 juta liter dalam produk air kemasan.
Aqua kembali memperkenalkan kemasan baru pada tahun 1987. Kemasan terbuat dari bahan PET dan memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan kemasan sebelumnya seperti:
- Bahan kemasan baru memiliki tingkat kejernihan lebih baik, bahan ini membuat air dalam kemasan terlihat jauh lebih bening
- Ruang masuk untuk gas lebih sedikit, hal ini membuat isi kemasan lebih toleran pada perubahan atmosfer sekitar kemasan
- Kemasan lebih kuat dan tahan lama
- PET memberikan dampak yang lebih sedikit pada lingkungan daripada kemasan sebelumnya
Keberhasilan pemasaran perusahaan dimulai saat penentuan nama merk. Tirto memberi Aqua yang diambil dari bahasa latin yang berarti air. Di satu pihak, para orang asing yang datang Indonesia dapat mengerti makna Aqua dan di lain pihak dapat diterima dengan baik di kalangan orang Indonesia. Nama ini dianggap netral dan tidak menyerupai salah satu bahasa daerah yang digunakan di negara kita. Selain itu, nama Aqua cukup mudah diucapkan oleh orang-orang dari berbagai suku.
Image sangat penting di sini karena Aqua menyediakan air tanpa rasa dan manfaat seperti minuman berenergi. Oleh karena itu perusahaan harus berusaha keras untuk membangun image perusahaan. Pertama kali perusahaan memakai slogan “bersih, bening, dan bebas bakteri” pada empat tahun pertama. Namun slogan ini tidak banyak membantu kinerja perusahaan. Pada tahun 1979, Aqua mengganti slogannya menjadi “air sehat setiap saat”, slogan inilah yang lebih efektif memberikan dampak signifikan bagi perusahaan.
Meski awalnya hanya menargetkan konsumen kalangan ekspatriat, setelah dilakukan tes pasar berbagai kalangan masyarakat ternyata bersedia untuk membeli produk perusahaan. Hasil tes cukup mengejutkan karena respon positif juga datang dari konsumen di terminal-terminal bus, daerah pinggiran, dan kota kecil di sebagian wilayah Indonesia. Hasil tes ini memberikan kepercayaan diri perusahaan untuk menjual produk. Peforma baik operasionalisasi perusahaan menjadikan Aqua pemimpin pasar pada kategori air minum dalam kemasan sampai saat ini.
Artikel ini diadaptasi dari buku Cases in Strategy Management terbitan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada
sumber: http://the-marketeers.com/archives/84-awal-kisah-hidupnya-merk-aqua.html
Thursday, April 19, 2012
Irhamsyah, Bermodal 150 Ribu, Lulusan STM Ini Sukses Dengan Warung Bambu "I'am" dan Kini Punya Ratusan Karyawan
Nah, kenyataan itu membuat dirinya berpikir. Ia sangat penasaran, kenapa usaha sang ibu tidak menjadi usaha yang besar. Keinginan untuk maju di bidang tata boga, sejatinya sangat berlawanan dengan disiplin ilmu yang dikuasai Irhamsyah. Ia bersekolah di Sekolah Tehnik Menengah jurusan Elektronik. Meski begitu, perbedaan ilmu bukanlah kendala. Yang paling penting dalam dirinya adalah membuat usaha ibunya maju dan dia bisa mengubah nasib.
Nah, berangkat dari kepenasaran itu, Irhamsyah melakukan riset kecil-kecilan. Ia meneliti menu masakan yang ada di Binjai. Ia menemukan bahwa di Binjai banyak tanaman bambu. Ia pun mulai membuka warung. Dengan bermodalkan uang sebesar Rp150 ribu, ia membuka warung dengan bahan yang terbuat dari bambu di tempat yang masih disewanya pada tahun 1994, di Jalan Samanhuddi, Kecamatan Binjai Selatan.
Setelah warung bambunya selesai, Irhamsyah Putra Pohan menambah menu makanan yang belum ada di Kota Binjai. Menu makanan yang baru itu diambilnya dari luar Kota Binjai yakni mieso dan bakso. Hal ini dilakukannya untuk menyajikan kepada masyarakat Binjai makanan yang belum pernah dirasakan. Dan, warungnya itu pun dia labeli I’AM. Bukan mau kebarat-baratan, namun ia memilih nama itu sebagai usaha untuk kemampuan dan kemauan diri untuk maju.
Hasilnya, tak sampai dua tahun, warung I’AM miliknya telah memperkerjakan 100 karyawan. Bahkan, Irhamsyah sudah dapat menggaji karyawannya sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Kemajuan usahanya tak terbendung, pada tahun 2000, tempat yang sebelumnya disewa, pun berganti tangan dengan namanya. “Di sekitar lingkungan saya saat itu masih banyak bambu, sehingga timbul di dalam pikiran saya agar membuat warung yang terbuat dari bambu. Sehingga, dengan modal Rp150 ribu saya dapat mendirikan warung itu sampai sekarang ini,”ujar Irhamsyah.
Irhamsyah yang juga sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kota Binjai, mengaku kemajuan usaha yang dibuatnya bukan karena modal semata. Tetapi, dengan keberanian dan kemuan serta kerja keras juga diperlukan untuk memajukan usahanya itu. “Usaha tentunya menghadapi kesulitan. Namun, bagaimana cara kita belajar dari kesulitan itu untuk menuju kesuksesan. Bagi saya, kunci membuka usaha agar berhasil, berangkat dari keberanian, kemauan, kerja keras, dan terus belajar menciptakan ide-ide baru,” kata Irhamsyah.
Usaha Irhamsyah terus melaju dan pada tahun 2009 ia membangun cabang warung bambu I’AM di Jalan Sultan Hasanuddin, Kecamatan Binjai Kota. Dengan menu khas warung bambu I’AM, seperti gulai asam baung, dan nasi goreng 15 rasa, serta ditambah menu khas lainnya. Menu khas tersebutlah yang membuat cabang warung bambu I’AM diminati dan terus dipadati oleh masyarakat yang ada di Kota Binjai maupun di luar Kota Binjai. Bahkan, Irhamsyah mengungkapkan, aset yang dihasilkannya dari warung bambu itu sampai saat ini mencapai Rp2,5 miliar.
“Untuk terus menumbuhkembangkan usaha ini saya akan terus mencari menu baru yang sesuai dengan lidah masyarakat Kota Binjai. Namun, untuk mencari menu baru itu, memang memakan waktu. Nanti, kalau sudah ada, boleh kita makan bersama,” ungkap Irhamsyah sambil tersenyum. (*/hariansumutpos)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/6950-lulusan-stm-elektronik-berhasil-di-tata-boga.html
Sunarto, Mulai Usaha Kupat Tahu ‘Mang Oman’ Bermodal 200 Ribu, KiniBisnisnya Merambah Berbagai Jenis Usaha
"Teman-teman kasih saran agar saya fokus dalam bisnis. Kalau tidak, bisa berantakan. Tetapi, saya punya pandangan berbeda. Saya tidak harus fokus, sebab saya punya orang-orang yang fokus. Mereka yang ngurusin bisnis saya, siang malam," ujar Ato Sunarto, pemilik usaha kupat tahu bandung ‘Mang Oman’ di warungnya di kawasan Kota Jababeka, Cikarang, belum lama ini.
Di kawasan Jababeka itu, Ato memiliki tujuh unit usaha dengan berbagai jenis bisnis. Mulai dari warteg, warung bakso, tempat cucian motor, tempat kursus Bahasa Inggris, bisnis tanaman hias, dan distributor minuman. "Semua berlokasi dekat kantor saya sehingga mudah mengontrol bisnis itu," kata ayah tiga anak itu.
Bisnis-bisnis yang dikembangkan Ato itu semuanya berskala kecil. Kelas warungan. Paling tinggi sekelas ruko dengan modal kerja antara Rp 15 juta sampai Rp 50 juta. "Pertama kali saya buka usaha, modalnya ya seadanya saja. Usaha pertama, kupat tahu bandung. Saya mulai usaha itu dari rumah, dengan memanfaatkan perabotan yang ada di rumah. Modal kerjanya hanya Rp 200.000," ujar Ato yang memulai bisnis pada tahun 2005 itu.
Belakangan model bisnis yang dikembangkan Ato itu dicoba ditularkan kepada masyarakat yang berminat menjadi wirausaha. Usaha Ato itu dilakukan lewat kegiatan pelatihan gratis "Cara Cepat Buka Usaha Pake Jurus APH (Action, Pikir, Hitung).” Kegiatan itu dimulai Maret 2010.
Melalui pelatihan itu, Ato ingin menyampaikan pesan kepada karyawan yang berminat membuka bisnis agar jangan terlalu banyak pikir dan berhitung untuk memulai bisnis. "Kuncinya action. Setelah itu pikir dan hitung. Soal modal? Nggak usah pusing. Usahakan kita pake apa yang ada saja. Dalam bisnis yang penting bukan modal besar tetapi mimpi, semangat, dan langkah yang besar," ujar Ato.
Selain sebagai pengusaha sukses, Ato yang pernah bekerja lima tahun sebagai bankir itu kini masih tercatat sebagai karyawan pada perusahaan kawasan industri di Cikarang. "Kata orang, saya ini amfibi karena hidup dalam dua dunia berbeda. Sebagai karyawan dan pengusaha. Itu tidak masalah. Sebab, saya nyaman dan menikmati prosesnya," ujar suami Yuli Nugrah Heni itu.
Ato bersyukur perusahaan tempatnya bekerja tidak melarang karyawannya berbisnis, malah memberi dukungan. "Semula, saya juga berbisnis di bidang properti. Tetapi, dalam perkembangannya, saya stop dulu karena khawatir terjadi konflik kepentingan. Pasalnya, tempat saya bekerja juga bergerak dalam bidang properti. Maka, kini saya arahkan bisnisnya pada bidang lain, terutama kuliner," katanya.
Kebetulan bisnis pertama Ato adalah kupat tahu Bandung. "Ide usahanya berawal dari acara selamatan rumah saya. Pada acara itu, antara lain, disajikan kupat tahu, buatan paman saya, Pak Oman. Lalu, muncul ide, kenapa tidak dagang kupat tahu saja. Tetangga suka dengan makanan tradisional dari Ciamis itu," ujar Ato.
Saat ini, rumah tinggalnya itu —Jalan Rusa Raya— sudah disulap menjadi tempat usaha. Ato pindah rumah ke tempat yang tidak jauh dari situ. "rumah ini direnovasi untuk tempat usaha setelah pasarnya jelas. Awalnya, lakunya masih sedikit 10 porsi. Semuanya dikerjakan sendiri. Lalu, naik kelas, mulai pake gerobak bekas yang saya beli Rp 500.000. Semuanya melalui proses. Step by step, tidak bisa langsung gede," ujar Ato.
Untuk mencapai sukses, seseorang perlu waktu dan kesabaran dalam perjalanan bisnisnya. Ibarat roda pedati, kadang berada di atas, kadang berada di bawah. "Saya bersyukur semua usaha saya menguntungkan. Mulai dari warteg hingga tempat kursus bahasa Inggris. Tetapi, jangan salah, saya berapa kali bangkrut. Nggak usah kaget. Itu risiko bisnis. Kita harus berpikir positif agar bisa mengambil hikmah dari peristiwa itu," kata Ato.
Nilai lain yang dipegang Ato dalam berbisnis adalah berani berinovasi. Tidak heran bila pasarnya terus berkembang. Contohnya, membuat promosi saat hari-hari tertentu, seperti Hari Ibu dan Hari Kartini. Dan, Ato masih punya banyak trik bisnis. Kreativitas itu yang membuat pundi-pundi milik karyawan perusahaan properti itu makin penuh. (*/Warta Kota)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7391-fokus-dalam-bisnis-kunci-sukses-ato-sunarto.html
Keunikan dan Ciri Khas Produk Kunci Sukses Berbisnis Tahu Ikan Tuna ala Aditya Roby
Adalah Aditya Roby si pemilik Tahu Ikan Tuna ini. Ia menyadari bahwa untuk menjual produk yang lebih menarik di pasaran, ia perlu menambahkan suatu ciri khas sebagai pembeda. "Perbedaan rasa akan membuat tahu saya memiliki ciri khas," ujarnya.
Karena itu, Aditya meramu rasa tahu dengan tambahan ikan tuna dan racikan bumbu serta tepung agar tahunya terasa gurih dan enak. "Para pembeli tahu tidak hanya mengenal tahu buatan saya terasa enak tapi juga sarat akan gizi karena mengandung ikan tuna," ungkap Aditya. Selama ini, ia tak pernah kesulitan memperoleh stok ikan tuna karena ia bekerja sama dengan temannya untuk memperoleh bahan baku ikan tuna. Meskipun tahu buatan Aditya agak lebih mahal dibandingkan dengan tahu biasa, tapi produknya ini tetap menjadi pilihan karena kandungan gizi yang tinggi.
Aditya pun telah menawarkan kemitraan Tahu Ikan Tuna sejak setahun lalu. Kini ia telah memiliki 18 mitra. Para mitra itu tersebar di Pulau Jawa, Jambi dan Kalimantan. Mitra yang bergabung dengan Tahu Ikan Tuna tertarik karena rasa tahu yang berbeda. "Mitra kami yakin mampu bersaing dengan
para penjual tahu yang lain," jelas Aditya.
Selain itu, nilai investasi kemitraan ini cukup murah. Aditya mematok nilai investasi Tahu Ikan Tuna sebesar Rp 2,5 juta. Ia tak mengutip biaya royalti pada calon mitra. "Mereka cukup membeli bahan baku ke pusat setiap minggu, dengan nominal sebesar Rp 1,5 juta hingga 2 juta," ujarnya.
Dari dapurnya, Aditnya mengirimkan bahan baku per paket sebanyak 300 bungkus. Jumlah ini sengaja dibatasi supaya bahan baku tak cepat basi, mengingat Aditya tak memakai pengawet.
Calon mitra sendiri harus menyiapkan dana sebesar Rp 5 juta. Mereka akan mendapatkan satu unit gerai atau gerobak, satu set kompor gas, satu tungku, dan tabung gas tiga kilogram. Selain itu, mitranya juga mendapatkan satu set alat penggorengan dan paket promosi usaha. Nilai ini, tentu sudah termasuk bahan baku sebanyak 300 bungkus.
Dengan asumsi penjualan Tahu Ikan Tuna sebanyak 50 porsi sehari, dengan harga jual Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per porsi, maka mitra bisa meraup omzet Rp 300.000 per hari. Dengan hitungan ini, mitra hanya butuh waktu dua hingga bulan untuk mengembalikan modalnya.
Karena tidak mematok royalti kemitraan, mitra hanya perlu membeli bahan baku sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap bulannya, paket pembelian bahan bakunya mulai dari Rp 4 juta sampai Rp 5 juta.
Aditya pun memaparkan perhitungan, pengeluaran mitra tiap bulan mencapai Rp 7 juta tiap bulan. Rinciannya, pembelian bahan baku Rp 5 juta, gaji pegawai Rp 1 juta dan sewa tempat Rp 1 juta. Dari sini, mitra bisa memperoleh laba sekitar Rp 2 juta setiap bulan. (*/Kontan.co.id)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7459-aditya-roby-sukses-berisnis-tahu-ikan-tuna.html
Fauzan, Baru Usia 26 Tahun Ketika Warung Susu 'Kalimilk'-nya Beromzet Ratusan Juta
Bukan asal-asalan, Fauzan berbisnis dengan berpegang pada informasi. Ia melihat bahwa konsumsi susu orang Indonesia relatif sedikit, hanya 5,6 kilogram per kapita pada 2009.
"Angka itu sudah dicapai Malaysia pada 1961," ucap pengusaha susu segar yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Padahal, menurutnya, konsumsi susu di negara-negara maju sudah tinggi, sedangkan di Indonesia sebagai produsen susu, konsumsi susu justru rendah. "Kita harus ciptakan gaya hidup minum susu," tegasnya.
Pria yang baru berusia 26 tahun ini sejatinya memang seorang petani susu di kawasan Wonorejo, Kabupaten Sleman, DIY. Dari sanalah ia banyak mendengar petani-petani susu mengeluhkan rendahnya harga susu. Harga pakan sapi yang terlampau mahal, tak seimbang dengan harga susu di pasaran sebesar Rp 2.900 per liter. "Susu yang berkualitas bagus pun tidak mempunyai harga bagus," imbuhnya.
Untuk menjawab keluhan petani-petani tersebut ia membangun warung susu yang produknya berasal dari peternak sapi di Wonorejo dan Kaliboyong, Sleman. Bahkan karena adanya erupsi Gunung Merapi, pembukaan warung yang semula direncanakan Juni 2011 mendatang, dipercepat menjadi Januari 2011 lalu. "Sebagai upaya pemulihan petani susu di Kaliurang," paparnya.
Warung susu miliknya bukanlah bisnis pertama yang ia lakoni. Karena terhimpit masalah ekonomi dan ditinggal ayahnya yang meninggal dunia tahun 2004, ia pun memutar otak untuk mencari biaya kuliah sendiri. Maka, berjualan sepatu, sepeda, spare parts motor tua, sampai berprofesi sebagai sopir.
Di bulan ke tiga sejak berdiri, Kalimilk sudah mengalami tiga kali perluasan. Untuk menampung semua pembelinya, ia juga menambah kapasitas warungnya menjadi sekitar 100 orang. "Sekarang luasnya 30 kali 30 meter," tambah Fauzan. Dari penjualan susu seharga Rp 8.000 (gelas biasa) dan Rp 15.000 (gelas jumbo), bisnisnya terus berkembang hingga sekarang ia memiliki 42 sapi perah. Saat ini, pemasukan yang ia terima telah mencapai Rp 10 juta per hari.
Hanya, Fauzan mengaku belum melakukan banyak variasi pada produk susunya. Sejauh ini diferensiasinya hanya sebatas produk yogurt dan es krim. "Selanjutnya kami akan buat keju," imbuh Fauzan.
Ia membutuhkan sekitar 280 liter susu per hari untuk memenuhi permintaan konsumen. Untuk itu, ia pun menambah pasokan susu dari para petani di kawasan Kaliboyong dan Wonorejo. "Susu mereka kami hargai Rp 4.000 per liter," ucapnya.
Dengan perkembangan usahanya itu, pria kelahiran 17 Januari 1985 tersebut menargetkan penjualan per hari sebesar Rp 15 juta. Ia mengutamakan kepuasan konsumen atas produknya. Karena itu pula ia berniat menambah lima sampai enam warung lagi di DIY, dan akan membangun warung serupa di Jakarta. (*/Tribun Jogja)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7542-warung-susu-ala-fauzan-rachmansyah.html
Andri Juanda, Wirausaha Sukses Dibalik Tahu Pop, Tahu Gaul Aneka Rasa
Andri Juanda adalah orang di balik kreativitas olahan tahu ini. Ia ingin agar tahu sumedang jadi lebih populer di masyarakat dengan beragam rasa. “Agar para konsumen tidak merasa jenuh," ujarnya.
Tahu Pop menyediakan tahu berbagai rasa, mulai dari rasa barbeque, keju, sambal balado, udang pedas, jagung pedas, ayam bawang, kari ayam, rendang sapi, sapi lada hitam, dan pizza. “Tahu Pop lebih kres, gurih, renyah, dan mantap dengan beraneka rasa untuk dijadikan teman nongkrong rame-rame sahabat gaul,” kata Andri.
Berdiri sejak tahun 2009, Tahu Pop pun melebarkan sayap usaha dengan menawarkan konsep waralaba. Hingga saat ini, Tahu Pop sudah memiliki 27 mitra yang tersebar di Bandung, Jatinangor, Garut, Majalengka, Sumedang, dan Tangerang.
Tahu Pop menawarkan kerjasama untuk jangka waktu tiga tahun dengan investasi awal Rp 6 juta. Mitra akan memperoleh satu unit outlet, satu set perlengkapan outlet, bahan baku awal, seragam, pelatihan karyawan, buku manual usaha, dan paket promosi usaha.
Mitra bisa mematok harga jual Rp 5.000 per kotaknya. Bila mitra bisa menjual sekitar 1.500 kotak setiap bulan, maka omzet rata-rata yang dapat mereka peroleh tiap bulan bisa mencapai Rp 7,5 juta hingga Rp 8 juta.
Sedangkan, untuk perhitungannya pengeluaran setiap bulan, Andri memperkirakan biaya bahan baku sebesar Rp 3,5 juta. Bahan baku tersebut termasuk sari kedelai untuk tahu dan minyak goreng. Kemudian, gaji karyawan sebesar Rp 1 juta dan sewa tempat Rp 1 juta. Ditambah dengan biaya manajemen quality control sebesar Rp 375.000.
Total hitungan pendapatan bersihnya mencapai Rp 2 hingga Rp 2,25 juta per bulan. Dengan peluang yang demikian besar dan prospektif, mitra usaha hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk balik modal.
Saat ini waralaba tahu memang telah menjadikan lahan bisnis baru yang layak untuk dicoba. Selain karena nilai investasinya yang tidak terlalu besar, balik modalnya terbilang cepat. Namun sayangnya usaha ini belum tentu langgeng, karena keunikannya tergolong hanya sesaat saja, kecuali jika pengusaha selalu berinovasi dalam hal rasa dan strategi pemasaran. (*/dari berbagai sumber)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7601-tahu-pop-tahu-gaul-aneka-rasa.html
Inovasi Produk, Rahasia Sukses Sugito Mengembangkan Usaha "Bakmi Ceria"
Upaya itulah yang dilakukan Sugito. Lelaki kelahiran Surabaya yang kini membuka stand bakmi di Pondok Daun Marina, Semarang, Jawa Tengah, ini patut dicontoh. Dalam menjalankan bisnis kuliner yang telah dirintis sejak tahun 2000 dengan nama "Bakmi Ceria", berbagai inovasi produk telah dilakukan. Mulai perpaduan campuran dalam produk bakmi hingga membuat diversifikasi produk yang beraneka ragam. "Ini semata agar membuat konsumen maupun pelanggan tidak bosan datang ke tempat usaha saya," katanya.
Kini, selain menjajakan beraneka ragam bakmi seperti bakmi ayam, bakso, pangsit, kuah dan goreng, dan bakmi komplit, dia juga menjual bakso kuah, pangsit dan goreng, hingga nasi bakmoy. Kecenderungan belakangan ini, para pelanggan justru menyukai nasi bakmoy yakni nasi dicampur daging ayam, telur, krupuk udang.
Selain mengandalkan rasa makanan yang lezat, Sugito juga menjaga kebersihan makanan yang dijual dan menetapkan harga yang kompetitif. Keramahan pelayanan tak luput menjadi jurus jitu membuat konsumen kembali datang ke tempatnya. Dia berkeyakinan, kalau kiat ini digunakan dalam bisnis bakmi, pasti bisnis jadi laris manis dan loyalitas pelanggan makin tinggi meski banyak pesaing sejenis.
Kelezatan bakmi racikan Sugito memang patut diacungi jempol. Menurut penuturannya, dia memiliki resep khusus dari pakar bakmi yang hingga kini terus dipraktikkan. Terbukti, usahanya terus eksis bahkan cenderung mengalami peningkatan omzet perbulan sekitar 10 hingga 25 persen. "Resep ini rahasia dan akan saya simpan terus," tandasnya.
Dengan resep itu pula, banyak pelanggan yang beranggapan bakmi buatannya, beraroma wangi sehingga menggugah selera atau merangsang nafsu makan. Terjun ke bisnis kuliner, bagi Sugito merupakan hal yang tak disangka sebelumnya. Pasalnya, hingga mendekati usia lanjut, dia banyak menghabiskan waktu untuk mengabdi sebagai karyawan sebuah dealer mobil. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7644-inovasi-produk-rahasia-sukses-sugito.html
Permadi, Ide Bisnis Sari Kacang Hijau-nya Datang dari Pengalamanan yang Tak Terduga
’’Kebanyakan rumah sakit menyajikan kacang hijau sebagai menu wajib pada pasien. Saya penasaran kenapa kacang hijau yang disajikan,’’ ujar pria berkacama minus itu.
Kenapa tidak memilih jualan jus buah? Menurut dia, jus buah cenderung bisa dibuat semua orang. Tapi kalau minuman kacang hijau tidak semua orang bisa membuatnya. Karena alasan tidak praktis inilah, bapak dua anak itu pun melihat usaha tersebut menjadi peluang menarik. Bersama rekan satu kantor, pada akhir tahun lalu keduanya memulai bisnis tersebut dengan modal sekitar Rp 15 juta.
Ternyata dari coba-coba tersebut, keberhasilan mereka dimulai. Uji coba membuat sari kacang hijau itu tidak semudah yang dibayangkan. Paskasius pun berani mengklaim kalau usaha yang digelutinya itu baru satu-satunya di Semarang. Pasalnya, kebanyakan yang dijual bukan sari melainkan hanya rebusan kacang hijau. Selain itu, untuk menghasilkan sari kacang hijau, digunakan mesin ekstraktor khusus yang didatangkan langsung dari Malang, Jawa Timur. Priyo Anggoro, atau akrab disapa Gogor menimpali, khasiat kacang hijau tidak kalah hebatnya dengan buah-buahan.
Menurutnya, selain mengandung berbagai vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya, kacang hijau juga bisa membantu menyembuhkan penyakit serta bagus dikonsumsi ibu hamil. Berbagai penyakit maupun gangguan yang bisa diatasi dengan mengasup kacang hijau antara lain beri-beri, radang ginjal, melancarkan pencernaan, tekanan darah tinggi, keracunan alkohol, pestisida, timah hitam, mengurangi gatal karena biang keringat, muntaber, menguatkan fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC paru-paru, jerawat, mengatasi flek hitam di wajah, dan lain-lain. Selain itu, kacang hijau juga bisa menurunkan demam.
Bahkan menurut hasil penelitian, kacang hijau adalah penurun demam terbaik bila dibandingkan dengan ramuan tradisional lainnya. Hebatnya lagi, biar direbus lama, sampai hancur, kacang hijau tetap berkhasiat, tidak terpengaruh dengan panas. Berbeda dengan kacang, sayur, buah, dan bahan ramuan tradisional lainnya yang bila direbus terlalu lama, akan menurunkan khasiat pengobatannya.
Namun kenapa yang diambil hanya sarinya saja. Ternyata, sambung Paskasius, kalau ampasnya diikutkan jika diminum akan terasa tidak nyaman di tenggorokan. Tiap hari sari kacang hijau bermerek Ge Ge ini mangkal di Jl Kelud Raya. Sedangkan tiap Jumat-Minggu, keduanya menyasar Pasar Semawis di Kampung Pecinan. Pendapatan yang dikantongi cukup lumayan, berkisar antara Rp 150.000-Rp 600.000 per hari. Ke depan, keduanya terobsesi bisa berjualan menjangkau 10 titik di kawasan Semarang.
Bagi mereka yang ingin membuka usaha, keduanya menawarkan waralaba dengan harga paket dari Rp 4 juta-Rp 4,5 juta. Keduanya tidak segan berbagi ilmu, dan memberi kesempatan bagi yang tertarik agar datang ke Jalan Lamongan I/No 3, Semarang, telepon 081575323872. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7780-paskasius-priyo-sukses-berbisnis-sari-kacang-hijau.html
Bayu, Sukses Berbisnis Coklat 'Ayla' via Toko Virtual Setelah Resign dari Perusahaan IT
Jumlah pengguna internet yang tumbuh pesat membuat Bayu Amperiawan optimistis bisnis toko cokelat yang ia kembangkan bersama Lisnawati, istrinya, bakal maju. Dengan memasang merek dagang Ayla, Bayu mendesain sendiri toko virtualnya dengan nama www.tokocoklat.com.
Sesuai dengan produk yang dijualnya, Bayu memakai warna serba coklat untuk toko virtualnya. Ia lalu memasang foto berbagai jenis produk cokelat buatan istrinya sendiri, berikut harga yang ditawarkan dan tabel ongkos kirim ke luar kota. Selain cokelat, Lisnawati juga memproduksi kue basah dan kue kering.
Bayu dan Lisnawati memulai bisnis di dunia maya pada tahun 2006. Sebelumnya, Lisnawati hanya memasarkan cokelat dan kue kering buatannya dari pintu ke pintu. Namun, karena penjualan mereka tidak tumbuh baik, Bayu berinisiatif memasarkan produk itu melalui internet.
Sejak awal diluncurkan, toko cokelat virtual itu sudah berkembang pesat. Lisnawati memang yakin bahwa produk cokelat bisa diterima pasar karena awet hingga 16 bulan. Cokelat juga tidak mengenal musim seperti kue kering yang hanya laris saat Lebaran atau Natal.
”Kapan saja orang ingin mengungkapkan perasaan hatinya, mereka bisa mengirimkan cokelat,” kata Bayu. Toko Coklat menjual produknya dengan harga Rp 2.000 untuk cokelat batangan dan Rp 20.000-Rp 90.000 untuk cokelat dalam kemasan kotak atau stoples.
Karena bisnis yang dibangun bersama istrinya menunjukkan kemajuan, Bayu memutuskan keluar dari pekerjaannya setelah 15 tahun bekerja di perusahaan teknologi informasi di Jakarta. Ia ingin total mengelola situs dan melayani pesanan toko virtualnya, sementara sang istri lebih berkonsentrasi pada pengembangan produk. (*/Kompas Cetak)
sumber; http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7837-tawarkan-cokelat-lewat-internet.html
Munhawadi, Wirausahawan Sukses yang Merintis Usaha Getuk Kethek Dengan Modal Minim
Ia mulai merintis usaha tersebut baru empat tahun yang lalu. Di rumah kontrakan yang berada di Jl Slamet Riyadi No 1 Ungaran, setiap hari ia mampu memproduksi 140 kardus getuk. Munhawadi mengaku, dari tujuh bersaudara dia satu-satunya yang membuka usaha sama seperti ayahnya, Prawiro. Mengapa memakai merek yang sama? Menurutnya, karena resep yang digunakan itu sudah turun temurun sejak usaha itu digeluti kakeknya, Mbah Usreg.
Kendati nama Getuk Kethek sudah tersohor, namun perjuangan pria kurus ini sempat berliku. Dengan modal uang sebesar Rp 500.000, ia mencoba berdikari. Ia memasarkan getuk tersebut secara langsung dari pintu ke pintu. Berkat kegigihan dan keuletannya, getuk yang dipasarkan menggunakan sepeda motor itu semakin dikenal.
Dalam sehari, singkong yang dibutuhkan hampir satu kuintal. Jenis singkong yang digunakan tidak sembarangan. Ada dua singkong yang digunakan sebagai bahan dasar. Yakni singkong jenis gatotkaca dan martapura. Keduanya hanya didapatkan di sekitar Salatiga.
Dalam sehari, ia mampu menjual habis 120 dus getuk. Getuk berbahan dasar singkong, gula dan parutan kelapa ini dijual dengan harga Rp 10.000 per dus. Selama ini, jumlah getuk yang diproduksinya hanya sesuai pesanan. Dalam sebulan pendapatan yang dikantongi mencapai Rp 36 juta. Dari satuan hingga ratusan dus getuk yang diproduksinya, hingga kini ia tidak pernah menggunakan modal pinjaman kredit. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7915-hidupkan-kembali-bisnis-keluarga.html
Wednesday, April 11, 2012
Casidi, Berjuang Merintis dari Bawah, Kini Cabang Restonya Tersebar Ke Seantero Negeri
Usaha pempek yang dinamainya Pempek 8 Ulu Cik Ning ini dirintisnya dengan resep pempek turun-temurun, asli asal Palembang. Ia mendapat warisan resep tersebut dari leluhurnya yang tinggal di pinggiran Sungai Musi.
Ditemui di acara Entrepreneurship Workshop & Competitions 2011 di Gedung Pertamina Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), kemarin, ia membagi resep sukses bisnis pempeknya kepada kontributor CE News.
“Tidak hanya konglomerat atau pejabat yang bisa jadi pengusaha,” ujarnya sembari memaparkan data tentang jumlah entrepreneur di Indonesia.
Ia menyadari betul bahwa jika Indonesia ingin mengembangkan ekonomi negaranya, setidaknya Indonesia harus punya 2% entrepreneur dari total jumlah penduduknya. “Sekarang ini di Indonesia hanya ada 0,24%,” tambah Imron.
Imron mengakui bahwa ia tidak serta merta menjadi pengusaha kuliner yang sukses. Ia mengalami berbagai kendala dalam berbisnis. Namun ia juga yakin, ada banyak jalan untuk mencapai kesuksesan usaha. “Ada dua cara menjadi entrepreneur, menurut saya. Yang pertama karena kepepet atau by accident, dan yang kedua by design atau merencanakan diri sendiri untuk jadi entrepreneur. Saya adalah contoh yang karena kepepet,” ujarnya berseloroh.
Imron memaparkan, dirinya juga pernah bercita-cita untuk kuliah di IPB atau UI selepas SMA. Namun keterbatasan biaya tidak memungkinkannya untuk kuliah di kampus idamannya itu. Ia pun mencari peluang. Ia sempat membeli pakaian di tanah Abang untuk kemudian ia jual lagi kepada teman-teman sekolahnya.
“Faktor X dari situasi kepepet itulah yang harus ditumbuhkan sendiri. Sebagai pengusaha, untuk memulai memang umumnya kita merasa takut. Namun rasa takut itulah modal pemicunya. Banyak orangtua yang menyarankan anaknya untuk jadi PNS. Orangtua umumnya memang menginginkan anaknya untuk berada di zona aman, karena untuk menjadi pengusaha peluangnya tidak pasti. Peluang suksesnya hanya fifty-fifty,” ucapnya panjang lebar. “Namun rasa takut itulah yang harus diatasi,” tambahnya lagi.
“Selain itu, entrepreneur sukses harus punya semangat dan energi yang tidak ada habis-habisnya. Ia juga harus mampu melihat peluang, sekecil apapun peluang itu,” ucapnya.
Pempek 8 Ulu Cik Ning dapat meraih kesukses karena dikembangkan secara profesional. Cabangnya telah tersebar hingga ke seluruh pelosok Indonesia, antara lain di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Aceh, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Pekanbaru. Imron dapat melebarkan sayap usahanya berkat menerapkan waralaba. Ia mengklaim mitra usahanya dapat balik modal dengan cepat, yakni hanya dalam waktu lima hingga tujuh bulan saja. (*/Nilam)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7925-imron-casidi-sukses-akibat-kepepet.html
Handoko Adiprasetya, Konsultan Pajak yang Sukses Berbisnis Kuliner Olahan Seafood
Bermula dari sebuah kunjungan ke salah satu restoran seafood ‘’Jemahdi Seafood’’ di Muara Karang yang cukup ternama di Jakarta, ia pun tertarik untuk mengembangkan bisnis tersebut.
Untuk itulah sejak Februari 2010, ia membuka restoran tersebut di Semarang tepatnya di Jalan Gajahmada. Cabang Jemahdi sendiri sudah berdiri di sejumlah kota besar diantaranya seperti Surabaya, Bandung dan Jakarta.
Mengapa seafood yang dipilih? Suami dari Lusiana ini mengaku, masakan seafood mudah diterima semua kalangan. Meski menyadari persaingan restoran seafood di Semarang ini cukup ketat, Handoko cukup optimistis dengan pasar yang masih terbuka luas.
Terbukti dari awal pemasaran lewat gethok tular dengan relasi bisnisnya, Jehmadi kini menjadi alternatif untuk bersantap bersama rekan atau keluarga di Semarang.
Untuk itulah beragam menu khas Jemahdi ditawarkan mulai dari gurame goreng telur asin, gurame goreng kipas, olahan kepiting, cumi-cumi, kerang, udang pasir mas, diramu dengan citarasa berbeda dengan berbagai sambal termasuk saos Jemahdi yang terkenal.
Untuk harga pun relatif terjangkau karena pangsa pasarnya berasal dari berbagai kalangan. Berwirausaha di bidang restoran juga bukan sesuatu yang gampang karena tidak hanya produk makanan/minuman saja yang ditawarkan tetapi juga menyangkut pelayanan dan kenyamanan restoran. Selain masakan enak, konsep bagian utama restoran yang terbuka dengan desain penyangga dari pohon kelapa dan kayu kelapa menurutnya cukup membuat nyaman para pelanggannya.
Ia pun tak segan-segan memberikan pelatihan khusus dari para praktisi khususnya relasinya dari perhotelan mengenai standar pelayanan atau servis kepada seluruh pegawainya, termasuk juga mengenai kebersihan pengolahan makanan sesuai standar kantor pusat.
Setelah semuanya berjalan dengan lancar hampir satu tahun terakhir, kini Handoko pun mulai berorientasi menerima pesanan untuk arisan, ulang tahun sertaoutside catering dan hal ini sudah diterapkan sejak beberapa waktu terakhir.
Alumni Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Tarumanegara ini juga selalu mencari tahu bagaimana keinginan dan pendapat konsumen melalui kuesioner yang dibagikan kepada pengunjung resto. Lewat media kuesioner ini diharapkan bisa memberi masukan untuk pengembangan restoran berkapasitas 150 orang ini kedepannya. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8024-konsultan-pajak-yang-sukses-bisnis-kuliner.html
Berawal dari Garasi Rumah, Yusman Sukses Mengembangkan Nazwa Pastry Hingga Mencapai Omzet Ratusan Jt
Pernah mencicip salju bakar atau batik kukus? Bila ditilik namanya secara harfiah, aneh rasanya ya bila ada orang yang nekat menyantap salju bakar ataupun batik kukus. Tapi kalau Anda berkunjung ke outlet Nazwa Pastry di Bandung, Jawa Barat dan memesan menu yang dimaksud, hmm... siap-siap saja menunggu dalam antrian para penggemarnya.
Salju bakar yang dimaksud bukanlah setumpuk salju yang lantas dibakar. Nama itu merujuk pada pisang sale dan keju yang dibakar. Sementara batik kukus juga bukan kain batik yang kemudian dikukus melainkan bolu kukus yang teksturnya bervariasi sehingga sekilas mirip dengan batik. Keduanya adalah sebagian jenis kue andalan outlet Nazwa Pastry yang berada di kawasan jalan PLN Ciateul, Bandung.
Nama-nama yang unik sengaja dipilih sebagai trik untuk menarik dan minat perhatian pelanggan terhadap produknya. Selain salju bakar dan batik kukus, di gerai Nazwa Pastry juga tersedia ST12 dan nangkarak. ST12 adalah kepanjangan dari sale dan tali tambang, dinamakan demikian karena terbuat dari pisang sale dan dibentuk memanjang seperti tambang lalu dijual pada awal kemunculannya seharga Rp12.000. Jadilah nama ST12. Sementara nangkarak ini tak lain tak bukan adalah kue nangka.
Selain penamaan yang unik, cita rasa lezat, tekstur lembut dan penampilan masing-masing kue yang menggoda merupakan segelintir alasan mengapa Nazwa Pastry begitu digandrungi penggemarnya.
Nah asal tahu saja, ketenaran kue-kue racikan Nazwa Pastry ini tentunya tak terlepas dari perjuangan para pengelolanya yakni Yusman Gunara dan Weni Suci Wulansari. Pasangan suami istri ini merintis Nazwa Pastry benar-benar dari nol. Yusman lebih banyak menangani promosi, marketing serta mengelola usaha sementara sang istri lebih banyak berkutat pada resep dan pembuatan kue. Mereka pernah mengubah garasi rumah menjadi dapur pembuatan kue. Menyebar brosur serta membagi-bagikan sampel kue ke para pengunjung beberapa hotel di Bandung sudah bukan hal yang asing bagi Yusman.
Bisa dibanggakan, saat ini Nazwa Pastry mempunyai omzet kurang lebih Rp100 juta/bulan. Toko di bilangan Jalan PLN Ciateul pun dipilih Yusman dan Weni sebagai outlet pertama mereka. Dibantu 13 orang karyawannya, Yusman dan Weni terus berinovasi untuk mengembangkan usahanya. Kabarnya, di tahun 2011 ini, mereka berniat membuka cabang dengan lokasi masih di wilayah Bandung. (*/Ely)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8369-omzet-nyummy-salju-bakar-dan-batik-kukus.html
Cak Asmo Awalnya Penjual Nasi Goreng Keliling, Berkat Kegigihan Kini Punya Resto Dengan 60 Karyawan
Menu-menu bercita rasa tinggi menggoda selera. Apalagi harganya sangat terjangkau. Bermotto ’’Cita Rasa Bos, Kantong Anak Kos’’ sang empunya ingin memanjakan para pecinta kuliner dari kelas manapun untuk mencicipi masakannya sepuas hati.
Tak mengherankan kalau restoran itu selalu ramai dipadati pengunjung dan menjadi tempat tujuan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Lalu, siapa di balik kesuksesan restoran tersebut? Sesuai dengan namanya, sang pemilik Cak Asmo awalnya penjual nasi goreng dan mi tektek keliling.
Pada 1992 ia merantau ke Bali dan membantu sang kakak berjualan makanan tersebut. Tak ada bekal apapun. Ia hanya lulusan SMA. Namun Asmo memiliki tekad tinggi untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih maju.
Tak lama, berkat keuletan dan kegigihannya Asmo bisa berjualan sendiri. Oleh sang kakak ia diberi modal sebuah gerobak. Asmo terus menekuni profesinya. Semula mangkal di kampus-kampus dan konsumennya kebanyakan mahasiswa.
Setelah memiliki banyak pelanggan, Asmo berniat mengepakkan sayap usahanya. Lalu beralih berjualan di emperan toko. Usahanya berjalan mulus. Sayang, saat sedang menggapai secercah sinar cobaan datang. Ia harus digusur. Pemilik toko tidak memperbolehkan berjualan lagi di depan tokonya.
Asmo tak putus asa. Berbagai usaha dilakukan agar bisa mendapatkan tempat untuk berjualan kembali. Tak lupa terus berdoa, karena baginya doa adalah sumber kekuatan hidupnya. Ia meminta kepada Tuhan agar memberi jalan rezekinya.
Doanya terjawab. Pada tahun 1997 seorang ibu yang juga teman satu gereja Cak Asmo menawarkan sebuah tempat untuk berjualan secara cuma-cuma. Di tempat berukuran 12 x 8 m2 itu ia membuka kembali usaha makanannya dengan mempekerjakan empat karyawan.
Cak Asmo tinggal di situ bersama isteri dan anaknya. Berbekal ilmu memasak sebelumnya, ia mencoba membuat menu-menu baru. Di luar dugaan, sesuatu terjadi pada usahanya. Berkat kreativitasnya, menu restorannya kian beragam. Ada kekhasan dan keunggulan tersendiri yang dimiliki sehingga restorannya makin ramai dipadati para penikmat makanan. Asmo pun berhasil melewati titik tersulitnya. Berkat keuletannya akhirnya ia memiliki restoran besar.
Untuk memperluas bisnis makanannya, Cak Asmo membuka cabang baru. Namun mengembangkan usaha tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia mengalami kegagalan. Restoran kedua yang baru dibuka terbakar. Kala itu ia bertanya kepada Tuhan: apa yang salah pada dirinya. ’’Tuhan, ampuni saya karena melangkah tidak berdasarkan tuntunan-Mu,’’ ujarnya.
Dengan keyakinan Tuhan akan selalu membantu, ia bangkit. Cak Asmo mencoba memperbaiki bisnis restorannya. Banyak cara yang dilakukan. Salah satunya berusaha mempertahankan kualitas masakan dengan harga terjangkau.
Ternyata strategi itu berhasil. Perjuangannya tak sia-sia karena setelah itu bisnisnya pulih. Ia membuka kembali restoran keduanya. Saat ini Cak Asmo mempekerjakan sekitar 60 karyawan. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Cak Asmo telah menuai kesuksesan. Restorannya makin dipadati pengunjung. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8486-jadi-besar-karena-pantang-menyerah.html
Pak Man, Awalnya Penjual Soto Keliling, Kini Punya Karyawan Mencapai 53 Orang
Pak Man, begitu dia lebih dikenal memulai usahanya dengan berjualan soto ayam keliling di Jl Purwosari-Krakatau-Halmahera-Lingga pada tahun 1990. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dia mulai berjualan menetap dan memilih di Jl Purwosari Raya dengan pertimbangan tempat tersebut paling ramai pembelinya.
Dalam usahanya dia selalu memegang prinsip bahwa untuk memajukan dan mempertahankan usaha yang sudah ada yaitu diperlukan konsekuensi dan saran dari konsumen.
’’Bagi saya intinya konsekuen dalam mutu, pelayanan terbaik kepada konsumen, penyajian menu, dan tempat yang bersih serta saran konsumen. Tanpa semua itu usaha saya tak mungkin berkembang,’’ jelasnya.
Selain itu, untuk mempertahankan cita rasa dari menu makanan yang disajikan, dia lebih memilih untuk terjun sendiri dalam membuat bumbu masakan dan pengawasan di setiap cabang. ’’Paling tidak saya harus menyempatkan mendatangi setiap cabang untuk mengawasi dan mendengarkan keluhan konsumen. Setiap penilaian dan keluhan konsumen saya harus tahu,’’ ungkap pria asli Semarang ini.
Dalam merekrut karyawan pun dilakukannya dengan tidak sembarangan, karena kinerja harus bisa mengikuti zaman sehingga dia lebih memilih karyawan yang berpendidikan dan punya tanggung jawab. Saat ini karyawannya berjumlah 53 orang yang juga bekerja profesional kepadanya.
Kini dengan kunci sukses tersebut dia telah membuka 4 cabang Soto Ayam Khas Semarang di Jl Purwosari Raya, Jl Pamularsih Raya No 32, ruko Tlogosari Raya 61 A, Jl Tri Lomba Juang 20B. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8865-kisah-sukses-soto-ayam-pak-man-.html
Kisah Bisnis Karjono Pemilik Nasi Bebek Ginyo, Usia Bukan Halangan Memulai Wirausaha
Semula pria yang akrab disapa Jon ini memulai usaha dagang koran tetapi dia banting setir dengan membuka usaha makanan. Maka lahirlah The Jon's Burger di Tebet pada Mei 2006.
Dengan usaha keras, usahanya makin berkembang. Hingga setahun kemudian dia kembali membuka usaha makanan dengan nama Bebek Ginyo, masih di lokasi yang sama.
"Dahulu kawasan Tebet belum seramai sekarang, jadi boleh dibilang The Jon's Burger turut menjadi cikal bakal keramaian kawasan makan Tebet dan sekitarnya," ujar Jon.
Kembali ke Bebek Ginyo, Jon mengaku bukanlah seorang ahli di bidang bisnis makanan. Bahkan tidak pernah terbayang sebelumnya jika dia akhirnya membuka usaha restoran.
Jauh sebelum Bebek Ginyo, di Jakarta sudah ada beberapa rumah makan dan warung yang menyediakan menu bebek meski jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Padahal cita-cita sebelumnya adalah membuka usaha rumah makan soto yang sudah pasti tidak akan pernah kehilangan penggemarnya. Namun, pikirannya berubah saat dia bersama dua anaknya berkunjung ke Surabaya. Di kota ujung timur Pulau Jawa itu, Jon menanyakan ke beberapa orang menu apa paling favorit di kota itu.
Ternyata jawabannya adalah nasi bebek. Belum puas dengan jawaban tersebut, pria yang masih tampak segar pada usia senjanya itu menanyakan restoran apa yang menyediakan menu nasi bebek paling enak dan terkenal.
"Akhirnya saya dibawa ke salah satu restoran nasi bebek di kawasan Perak Surabaya yang menurut saya memang paling enak. Sepulang dari restoran itu tiba-tiba saya lontarkan ide untuk membuka restoran bebek kepada anak-anak saya," ujarnya.
Idenya itu tidak lantas begitu saja direalisasikan. Butuh waktu setahun lamanya bagi Jon dan anggota tim yang terdiri dari anak dan istrinya itu untuk menemukan resep paling jitu dalam pengolahan daging bebek yang terkenal amis dan tidak seempuk daging ayam.
Bukan hanya itu, melainkan ketiga anaknya juga mendapatkan tugas cukup berat untuk bisa menemukan siapa tukang masak bebek paling andal yang dapat mereka pekerjakan.
Setahun berjalan, akhirnya Jon memiliki tiga juru masak yang dua di antaranya sudah memiliki keahlian di bidang masak-memasak daging bebek, sedangkan seorang lagi dilatih secara khusus.
Selama proses itu pula, Jon dan tim menentukan menu apa saja yang akan disajikan sebagai menu hidangan para calon pelanggannya.
Akhirnya terpilih beberapa menu masakan bebek mulai dari bebek bakar, goreng, balado, sambal ijo, dan kremes jadi menu utama sajian mereka.
Saat proses belajar memasak selesai, saatnya mencari lokasi berdagang yang paling sesuai dan menjadi pusat keramaian.
Beruntung, Jon yang sudah memiliki lokasi The Jon's Burger dan kedua anaknya dengan dua butik toko pakaian, mendapat satu lahan baru yang akhirnya menjadi lokasi Bebek Ginyo untuk didirikan.
"Kalau orang awam bilang saya menemukan lokasi Bebek Ginyo karena faktor keberuntungan, tapi kalau orang beriman bilang ini karena anugerah dari Tuhan," ujar pria yang sehari-harinya tinggal di kawasan Jatibening Bekasi ini.
Kini, setahun berjalan Bebek Ginyo didirikan di Tebet, kawasan pusat jajan ini menjadi makin ramai saja.
Bukan hanya dipenuhi oleh kalangan eksekutif yang berkantor di kawasan Tebet dan sekitarnya, melainkan beberapa kelompok mahasiswa dan pelajar juga kerap menyambangi kawasan ini.
Oleh karena itu, harga yang dipatok Bebek Ginyo juga tidak terlalu mahal, berkisar antara Rp20.000 dan Rp25.000 untuk menu lengkap makan dan minum.
Tidak heran jika setiap hari Jon harus menyediakan sedikitnya 200 hingga 250 ekor bebek yang akan diolah dalam variasi bumbu dan rasa.
Meski berharga murah, bukan berarti sajian restoran ini murahan. Dari bangunannya saja, dominasi hitam dan merah restoran Bebek Ginyo menjadi daya tarik tersendiri.
Belum lagi aneka pernak-pernik bergaya vintage yang sengaja dikumpulkan anak sulung Jon sebagai pelengkap desain ruangan restoran, menjadikan restoran ini cocok dijadikan ajang kongkow-kongkow kawula muda.
Beberapa faktor itu pula yang menjadi kelebihan dari Bebek Ginyo jika dibandingkan dengan restoran bebek lainnya.
Jadi tidak heran jika di sudut-sudut tertentu restoran yang notabene menyediakan menu makanan berat ini tetap ramai dipenuhi orang muda yang sekadar duduk berkumpul sembari menikmati secangkir minuman dingin.
"Ini kelebihan kami supaya bisa bersaing dengan tempat makan lain yang ada di sekitar Tebet. Rata-rata 800 hingga 1.000 pengunjung datang dan pergi setiap hari," ujarnya.
Setidaknya, usia pensiun bukan alasan seseorang berhenti berkarya. Ini ditunjukkan dengan Jon yang tidak pernah berhenti berusaha. Dengan usaha keras dan kejelian melihat peluang bisnis, sukses bisa diraih. (*/BI)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8913-sukses-dengan-nasi-bebek.html
Kesuksesan Marchel Adriana Pemilik 'Brux de Bistro' Berkat Belajar dari Kegagalan
Perbedaan hasil dalam menyikapi kegagalan dengan menjadikannya pembelajaran terbaik ini dialami oleh Marchel Adriana dalam menjalankan usahanya. Dengan kegagalan yang dialami, pemilik Brux de Bistro ini berkomitmen untuk tidak mengulang kegagalan yang sama dan mencari solusi dari kegagalan yang dialami. Langkah yang diambilnya tersebut membuat Brux de Bistro yang dikelolanya menjadi salah satu coffee shop yang mendapat tempat di hati anak muda Kota Semarang, Jawa Tengah.
Meski tujuan semula dalam membuka coffee shop tersebut hanya untuk mengisi waktu luang di sore hari usai bekerja, namun Marchel tidak main-main dalam menjalankannya. Usaha sampingan tersebut dijadikannya selain untuk menambah pemasukan juga menambah teman bagi lelaki kelahiran 2 April 1978 itu.
Oleh karena selalu fokus pada konsep yang dimilikinya, yakni membuat pengunjung merasa berada di rumah sendiri, akhirnya usaha tersebut tak lagi menjadi usaha sampingan. Brux yang awalnya bertempat di teras dan ruang tamu rumahnya, pada tahun kedua dia memindahkannya ke Jalan Rinjani, Semarang.
Selain ekspansi tempat usaha, juga dilakukan ekspansi menu yang disajikan. Semula hanya minuman dan makanan kecil, pada tahun ketiga Marchel memutuskan menambah resto sehingga menu yang disajikan lebih beragam. Berbekal pengalamannya bekerja pada orang lain, lelaki yang memulai usahanya pada usia 24 tahun itu mengerti benar bagaimana menghadapi karyawan dan konsumennya.
Kunci keberhasilannya dalam mengelola bisnis ini selain selalu fokus pada konsep, di antaranya adalah dengan melihat kultur masyarakat Semarang, dan pada saat dia membuka usaha, di Semarang belum banyak coffee shop semacam ini.
Dia menambahkan bahwa kecintaannya pada usaha ini membuatnya berani menghadapi tantangan yang ada. Salah satunya senantiasa meningkatkan dan memperbaiki internal perusahaan. “Saya tidak peduli apa yang dilakukan kompetitor, yang terpenting adalah improve internalnya,” tuturnya. (*/SM)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9067-sukses-berkat-belajar-dari-kegagalan.html
Eko Fajar, Sukses Berbisnis Makanan Halal di Jepang Dengan Omzet Puluhan Miliar
Tinggal di Jepang karena memperoleh beasiswa pendidikan S1 dari Pemerintah Jepang, Eko yang tinggal di Osaka, selalu kesusahan mendapatkan daging halal. Kalaupun ada, Eko Fajar yang saat itu masih lajang harus mencari di lokasi yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, yakni di Kobe. Tak hanya Eko yang saat itu berkuliah di Universitas of Kyushu, para pelajar muslim lain di negara itu juga merasakan hal yang sama. Terdesak oleh kebutuhan, Eko menjadi sukarelawan berbelanja daging halal bagi teman-temannya.
Namun, makin lama, cara ini mereka rasa cukup merepotkan. Akan lebih praktis jika dia bisa memastikan ayam hidup dipotong di tempat pemotongan hewan secara halal. Alhasil, Eko mencari tempat pemotongan yang memperbolehkannya memotong sendiri. Tahun 1992, sebuah tempat pemotongan ayam di Fukoka memperbolehkan Eko memotong sendiri ayam hidup. Konsekuensinya, harga daging menjadi lebih mahal 20%–30% atau setara dengan harga toko.
Eko lantas mendistribusikan daging ayam potong pada teman-teman yang sudah pesan. Jika harga beli ayam 800 yen, ia menjual seharga 900 yen, termasuk biaya ganti transportasi. Menjelang akhir 1992, usaha Eko tersebut mulai didengar lebih banyak orang. Jumlah ayam yang dipotong pun kian banyak, sampai 100 ekor seminggu seiring dengan semakin banyaknya pesanan. Pada tahun 1994, jumlahnya sudah menjadi 400 ekor per minggu. Kala itu ia sudah tidak sendiri. Dia lantas menggandeng adik tingkat pelajar dari Indonesia yang sekolah di sana. Eko pun dibantu oleh sang istri, Safitri yang hingga kini menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut.
Semakin banyaknya pesanan yang lokasinya berjauhan membuat Eko dan pemilik tempat pemotongan kerepotan, akhirnya Eko terpaksa pindah ke tempat pemotongan yang kapasitasnya lebih besar. Tahun 1995, jumlah ayam yang dipotong per minggu mencapai 4.000 ekor. Jangkauan wilayah distribusi Eko meliputi seluruh Pulau Kyushu yang besarnya separuh Pulau Jawa.
Pada tahun tersebut, sebagai istri Eko, Safitri mulai turun tangan sebab Eko harus lebih konsentrasi menyelesaikan kuliah. “Tahun 1995, kami mulai serius berbisnis. Kami menata sistem pembukuan dan manajemen,” kata Safitri. Pembenahan itu mulai dengan pengadaan mobil dan kulkas jumbo yang nilainya sekitar Rp50 juta. Demi mempermudah pemesanan dan pemasaran, Eko dan Safitri juga membuka website resmi. Ia tidak menggunakan cara pemasaran lain. Selebihnya hanya dari mulut ke mulut. Safitri sendiri mengatakan omzet perusahaannya hingga kini sudah mencapai Rp 10 miliar dalam satu tahun.
Pada tahun 2006, Azhar Halal mulai menjual daging wagyu halal. Daging sapi berkualitas itu mereka ekspor ke Kuwait dan Qatar. Meski permintaannya tidak rutin, sekali pesan bisa sampai 300 kilogram. Tiga tahun terakhir, Safitri dan suami sudah pulang ke Indonesia. Roda bisnis di Jepang dijalankan oleh orang kepercayaan mereka. Kini mereka hanya memantau dari jauh. (*/surabayapost)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9291-sukses-berbisnis-makanan-halal-di-jepang.html
Bermodal 5 Jt, Rakhma Sukses Mengembangkan 'Coffee Toffee' Hingga Ratusan Gerai
Bisnis ini bermula dari cinta. Idenya diperoleh ketika Odi Anindito, suaminya, pulang dari Melbourne, Australia, tempat dia bersekolah pada 2005. Di Negeri Kanguru itu Odi baru tahu tentang hebatnya kopi Indonesia. Pengetahuan tentang kopi diperolehnya saat bekerja paruh waktu di kedai kopi setempat. Kopi yang disajikan kepada konsumennya ternyata sebagian berasal dari Indonesia.
Baru terpikir olehnya bahwa Indonesia memang kaya dan Odi yakin mampu menyajikan kopi kekayaan negeri sendiri. Kecintaannya terhadap tanah Air menuntunnya berjualan minuman kopi lokal Indonesia. Bersama pasangan cintanya, Rakhma, usaha ini berjalan sekaligus bisa bekerja di rumah mendampingi putranya, Dewandra Hanin Rakhmadya.
Dengan gairah positif, pasangan ini mulai merintis usaha walaupun modal awalnya hanya Rp 5 juta. Mereka mulai mencari nama kedai kopi yang pas dan unik. Akhirnya, diperolehlah nama Coffee Toffee. “Kami ambil nama, ucapan yang berirama. Setelah cari di Internet, nama yang sering muncul adalah toffee yang artinya permen cokelat,” ujarnya. Maka tak mengherankan, selain kopi, cokelat pun menjadi menu alternatif di kedai itu.
Rupanya jalan memang berliku. Usaha kedai kopi tak semulus yang dia kira. Kurangnya pengalaman serta belum matangnya sistem usaha dan manajerial menjadi penyebab mundurnya usaha itu. Belum lagi terjerat utang kredit tanpa agunan yang mencekik kondisi keuangannya. Rakhma pun harus tebal muka, apalagi waktu itu banyak orang mulai mencemoohnya sebagai pemilik bisnis tipu-tipu dan usahanya masuk daftar hitam. “Jatuh bangun benar kami saat itu,” ujar ibu satu anak ini.
Setelah gagal di Surabaya, Rakhma dan Odi mencoba bangkit dengan mengembangkan kedai kopi ini di Jakarta. Kali ini mulai dikerjakan lebih serius dengan membenahi sistem dan membentuk badan hukum. Mereka membangun usahanya dengan konsep kerja sama kemitraan. Tak mau gagal lagi, Rakhma pun mencari informasi seputar bisnis kemitraan dan manajemen. Dia rajin mengikuti pelatihan usaha kecil-menengah yang diadakan beberapa lembaga pemerintah.
Setelah mitra berdatangan, Rakhma merapatkan barisan, membangun visi yang sejalan dengan para mitra. Perempuan ini juga tak segan mengajak mitranya mengikuti berbagai pelatihan manajemen dan usaha kreatif. Hasilnya, gerai pun bertambah banyak.
Agar usaha lebih berkembang, Rakhma juga sering meminta masukan dari mitra kerjanya, tim internal, bahkan konsumennya. Rakhma juga berbagi tugas dengan suami. Dia mengendalikan manajerial dan pemasarannya, sedangkan Odi mencari konsep dan mencari kopi ke daerah-daerah. Nah, dengan modal antusias berburu kopi ke berbagai daerah, Odi pun mendapat kopi Sumatera Gayo dan Gelintong, Sulawesi Toraja Kalosi, Jawa Moca, dan Bali Batu Karu. Odi mencari dari koperasi-koperasi petani setempat.
Kerja keras mulai berbuah. Satu demi satu, Coffee Toffee mulai menjamur di Jakarta dan sekitarnya. Produk mereka rupanya mulai mencuri hati konsumen. Kemasan lebih modern dan harga terjangkau. “Konsep ini rupanya diterima dan mungkin sesuai dengan gaya hidup di Jakarta dan sekitarnya. Ini mungkin awal keberhasilan kami,” ujar Rakhma.
Setelah sukses di Jakarta, mereka pun mencoba kembali ke Surabaya dan mengembangkan ke daerah lainnya. Kini, tak kurang 100 gerai kopi Coffee Toffee bertebaran Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Surabaya, dan beberapa kota di luar Jawa. Bahkan ada pula seperti di Sangata, di pelosok Kalimantan Timur.
Bisnis kedai kopi ini mengantarkan Rakhma menjadi juara pertama sebagai perempuan wirausaha 2011. Sebelum meraih juara ini, bisnis Coffee Toffee pernah pula mendapatkan penghargaan The Best Business Concept Indonesia Franchise Start Up (2010). Suaminya juga masuk nominasi Indonesia Young Entrepreneur Award 2009.
Sejumlah keunggulan tersebut membuat Rakhma tambah berani menantang kedai-kedai kopi brand internasional, seperti Starbucks, Coffee Bean, dan Dome. “Kami tak ingin memposisikan sebagai pesaing mereka,” katanya merendah. Dia cuma menginginkan Coffee Toffee menjadi ikon model bisnis lokal yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Syukur-syukur bisa ikut mengglobal dengan kopi lokal,” ujar perempuan yang suka berenang ini. (*/Tempointeraktif)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9300-nikmatnya-sensasi-kopi-lokal-coffee-toffee.html
Modal Awal 60 Ribu, Kini Keripik Tempe Suratno yang Sudah Tembus Singapura Beromzet 80 Jt
Dan berkat usahanya yang gigih dalam membuat produk keripik tempe dan pemasarannya hingga ke Singapura itulah, Suratno mendapat penghargaan Menaker tahun 2007 serta penghargaan dari HIPMI Kepri tahun 2008.
Usaha keripik tempe yang dulu hanya bermodal awal Rp 60 ribu tahun 1996 kini sudah beromset lebih dari Rp 80 juta perbulan dengan memperkerjakan 14 karyawan dari tetangganya. Dan sejak memperoleh pengakuan Bintang Satu Kemanana Pangan dari BPOM RI Desember 2004, produknya terus membanjiri kota kota besar di Kepri, Sumatera dan menembus pasar Singapura.
Ditemui di tempat produksinya, tampak Suratno beserta para karyawannya sedang mempersiapkan tempe yang dipotong-potong menggunakan mesin. Sebagian lagi ada yang packaging tempe keripik ke dalam bungkus plastik merk Keripik Tempe Sarimas, sedangkan karyawan yang lain menggoreng dan membumbuinya. Suasana kerja tampak akrab dan tertib dalam dapur yang bersih dan ukuran besar.
"Dulu kami bermodal awal hanya Rp 60 ribu tapi sekarang alhamdulillah sudah berkembang. Satu bungkus berkisar harga Rp 9 ribu hingga Rp 20 ribu sesuai ukurannya. Selain dipasok ke mal di Kepri juga dikirim ke Singapura," kata Suratno beberapa waktu lalu.
Suratno dan Yanti mengaku bangga karena produknya bisa menembus pasar luar negeri hanya dengan modal puluhan ribu saja. Dan sejak awal keluarga tersebut ingin memiliki usaha sendiri secara Mandiri mampu menghidupi keluarga serta membantu tetangga.
Dijelaskannya, produksi keripik tempe dilakukan setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 16.00 kecuali hari libur. Proses pembuatannya, semula tempe dipotong dengan mesin pemotong, kemudian dimasukkan ke dalam tepung yang sudah diberi bumbu. Tempe digoreng sekitar 10 menit kemudian didinginkan dan proses dikemas dalam plastik.
Sekarang ada karyawan 4 lelaki dan 10 perempuan yang direkut dari tetangganya. Kapasitas produk maksimal 2.500 kilogaram per bulan. Penghasilan yang didapat dari produksinya sekitar Rp 80 juta perbulan. Keluarga tersebut senang karena bisa menggerakkan dan memberi semangat tetangganya untuk Mandiri.
Suratno makin yakin usahanya berkembang setelah produknya disukai warga Singapura dengan memesan keripik tempe khas produksinya, baik yang beli langsung di Tanjungpianang, maupun dikirim ke Singapura. Dia berharap agar warga Kepri mampu mengembangkan potensi yang ada untuk berani membuka usaha sendiri walau dimulai dengan modal kecil. (*/tribunnews)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9314-cita-rasa-keripik-tempe-suratno-tembus-singapura.html
Dari Kreatifitas Siti Rohilah Lahirlah Dodol Pepaya dan Dodol Singkong Khas Boyolali
Buah pepaya masak paling enak dibuat rujak atau es buah. Sekadar dikupas kulitnya lalu dimakan langsung juga terasa nikmat. Namun, di tangan Siti Rohilah, warga Tangkisan RT 03 RW I, Kemasan, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, pepaya bisa diubah menjadi dodol. Pepaya masak ini dibuat dodol yang rasanya legit.
Siti yang juga mempunyai usaha roti kering berlabel Hilda Vicky Roti ini mulai membuat dodol pepaya tiga tahun lalu. Mulanya ia tertarik dengan pepaya yang banyak dijual di sepanjang jalan Kartasura-Boyolali. Selain itu, ia juga terinspirasi dodol salak dari Bali. “Saya lihat dodol salak dari Bali. Ternyata rasanya mudah ditebak. Di daerah Boyolali, pepaya melimpah ruah. Mengapa kita tidak mengubahnya menjadi makanan dalam bentuk lain,” ungkap Siti.
Di rumah milik Siti ini dibuatlah dodol yang terbuat dari pepaya. Siti dibantu tenaga kerja dari tetangga sekitar yang berjumlah 10 orang. Meskipun terbilang baru, dodol buatannya telah mendapatkan tempat tersendiri di Boyolali. Dodol pepaya laris manis dijual di toko oleh-oleh di Kota Susu ini.
Pembuatan dodol pepaya ini cukup mudah. Pilih buah pepaya yang besar dan berdaging tebal serta masak. Dikupas kulitnya setelah itu dicuci bersih. Pepaya yang telah dipotong-potong ini dihancurkan dengan cara diparut. Cita rasa yang khas dihasilkan dengan mencampur beberapa bahan lain seperti gula pasir, tepung agar-agar, tepung beras ketan, susu cair, pengharum dan sedikit mentega lalu dimasak. Setelah kekentalan yang diinginkan tercapai, dodol ini diangkat dan langsung dicetak lalu didinginkan. Dodol pun dipotong-potong sesuai dengan keinginan.
“Saya ingin dodol pepaya itu menjadi makanan khas Boyolali. Sebab, daerah ini dikenal sebagai penghasil pepaya,” imbuhnya. Namun, pemasaran salah satu makanan khas Boyolali ini masih berkutat di seputar Boyolali. Itupun baru berproduksi berdasarkan pesanan. Siti mematok setiap kemasan dodol berukuran 150 gram dengan harga Rp 7.500. Selain dodol pepaya, ia juga membuat dodol dari singkong dan labu. (*/solopos)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9388-legitnya-dodol-pepaya-racikan-siti-rohilah.html
Tuesday, April 10, 2012
Mariana Gantina, Inspirasi Usaha Resto Jepangnya Berkat Main Game
Permainan di komputer dengan fasilitas internet saat ini bukan hal yang asing lagi. Ratusan ribu jenis permainan (game) bisa dimainkan tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Salah satu game di komputer ataupun internet yang pernah sangat digemari kalangan remaja putri adalah permainan masak-memasak.
Jika ingin memainkannya, tinggal diunduh (download) dari internet ke laptop, langsung bisa dimainkan. Berawal dari game masak-memasak, Mariana Permata Gantina sukses menekuni bisnis. Dia bahkan bisa mendirikan restoran bernama Sushi Tenkamado yang kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Kisah sukses itu berawal dari saat masih duduk di bangku kuliah di Bandung.Istri dari Giovani Vava Andreas Pohan ini memang sangat menggemari game house.Salah satu game favoritnya adalah permainan membuat masakan Jepang bernama sushi. “Dari game house tersebut kita belajar bagaimana menyebut aneka sayuran dalam bahasa Jepang, sampai akhirnya hafal,” kata wanita berkulit kuning langsat itu kepada SINDO beberapa waktu lalu.
Game yang awalnya menjadi pengisi waktu luang di sela-sela tugas akhir mengerjakan skripsi, akhirnya berubah menjadi sebuah ide untuk menekuni bisnis masakan Jepang. Dari game tersebut, Mariana mulai mengerti bagaimana menangani sebuah restoran. Mulai dari menyediakan menu,pelayanan, kebersihan,bagaimana menyediakan bahan mentah, hingga mencari menu-menu baru.
“Game-nya seru sekali.Sampai akhirnya saya ngebut bikin skripsi dua bulan, setelah itu menggeluti bisnis masakan Jepang,”kata dia. Sambil menunggu wisuda di awal 2010, alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut mulai menyusun rencana untuk membuka bisnis makanan ala Jepang di Jakarta.
Apalagi, saat itu di Bandung, kata dia, sedang marak-maraknya masakan Jepang bernama sushi dengan harga yang relatif murah. Dari sana terpikir olehnya untuk mencoba mengusung bisnis masakan Jepang yang sedang tren di Bandung tersebut ke Jakarta. Sebelum benar-benar membuka bisnis makanan ala Jepang, wanita ramah ini melakukan survei dengan mengunjungi restoran Jepang di Jakarta.
Namun,tidak satu pun rasa dari masakan yang disajikan cocok dengan seleranya.Hingga akhirnya diputuskannya untuk membuka bisnis masakan Jepang bersama suaminya. Pasangan ini tidak begitu saja sukses memulai usaha.Bisnis masakan Jepang yang digeluti pertama kali dibuka dengan menggunakan sebuah mobil tenda.
Saat itu dia berjualan dengan status pedagang kaki lima di kawasan Tebet.Tidak disangka, ternyata masakan yang disajikan kepada pelanggan sangat diminati. Salah satu inovasi yang dihadirkan adalah semua bahan yang disajikan sudah matang. Padahal, di Jepang sushi adalah makanan yang disajikan dengan daging ikan mentah.
Inovasi tersebut,menurut Mariana, karena tidak semua orang Indonesia suka daging ikan mentah. “Ini salah satu terobosan baru kita,sushi yang kita sajikan adalah daging ikan matang,”tegasnya. Sejak itulah, bisnis masakan Jepang yang digelutinya sukses menjaring pelanggan setia. Sejak itu pula Mariana mulai membuat menu-menu inovatif.
Misalnya, mengombinasikan ramen dengan sensasi rasa pedas.Ada pula inovasi dengan cita rasa saus. Tidak disangka- sangka ternyata semakin banyak pelanggan yang datang. Sehingga, makanan yang dijual selalu habis menjelang warung tenda mobil tersebut tutup. Dalam berbisnis, menurutnya, harus berani rugi.
Paling tidak satu tahun pertama jangan berharap bisa mendapatkan keuntungan lebih. Bagi wanita penggemar cincin ini,tidak masalah meski di tahun pertama usahanya tidak mendapatkan banyak untung.Yang penting bagaimana mengejar pelanggan dan mendapatkan feed back agar konsumen mengenal masakan yang dijualnya.
“Pernah satu hari waktu awal buka, kita hanya mendapatkan Rp73.000,untuk beli salmon saja tidak cukup.Tapi,pernah juga omzet kita mencapai Rp1,6 juta per hari,”katanya.
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9458-terinsipirasi-game-mariana-permata-buka-resto-jepang.html
Himawan Hendro, Mantan Pekerja Kantoran yang Kini Sukses Lewat "Joglos Coffee"
Nampaknya semboyan itulah yang membuat Himawan Hendro Pratisto memasukkan kata Joglo dalam bisnis minumannya, yaitu "Joglos Coffee". Filosofi kata Joglo ingin diterapkannya, yakni ingin orang yang sudah datang mencoba minuman racikannya, bisa selalu kembali lagi, lagi, dan lagi.
Bisnis yang sudah dirintisnya sejak 2005 ini memang tidak langsung bisa berkembang seperti sekarang. Pertama kali membuka outlet, Joglos coffee yang khas bernuansa hijau ini hanya mempunyai lima macam racikan minuman. Namun, saat ini sudah terdapat 18 menu yang menjadi andalan.
Untuk range harga, tidak perlu khawatir. Minuman yang disajikan dalam Joglos Coffee memang dikhususkan untuk kawula muda dan mahasiswa dengan harga yang super miring. Sang pemilik pun berkomitmen ingin menyajikan produk dengan harga oke serta kualitas yang bagus.
"Konsep awalnya sampai sekarang memang ingin menyajikan minuman yang berasal dari kopi dengan harga murah tapi kualitas bagus," jelas Himawan seperti dikutip dari Okezone.
Awalnya dia memang sempat berpikir untuk melebarkan sayap untuk segmen kantoran. Namun, hal ini berarti dirinya harus membuat konsep maupun harga yang lebih premium. Jelas hal tersebut tidak sesuai dengan konsep awal yang mengutamakan harga murah dan kualitas oke.
Dengan omset rata-rata Rp200 ribu per hari, dan enam outlet yang dimilikinya saat ini di kawasan Gresik, Banjarmasin, Tangerang, Solo, dan Depok, dirinya pun semakin mantap dalam merintis usaha minuman bercita rasa kopi, susu, dan teh ini. Alasannya, bisnis tersebut lebih menjanjikan daripada bekerja di kantoran yang terlalu monoton.
Himawan bercerita, sempat beberapa kali mencoba berbagai bisnis setelah dirinya memutuskan untuk keluar dari rutinitas kantoran, malang melintang mencoba bisnis baru nampaknya tidak membuatnya berhenti mencoba dan terus mencoba.
"Dulu kerja kantoran. Sebelumnya pernah usaha tapi gagal. Kebetulan saya nyemplung ke bisnis ingin mengembangkan usaha, mengembangkan kreativitas," bebernya.
Semua racikan minuman yang dibuatnya memang hasil learning by doing alias belajar ala kadarnya. Baik itu dari hasil membaca di majalah, berbagai macam buku, serta hasil lihat tontonan di televisi.
Dengan usahanya yang lumayan keras tersebut, akhirnya terciptalah beberapa minuman yang khas. seperti pure cream milk, dan yang paling banyak digemari adalah Coffe LLo. "Pure cream milk rasanya seperti vanila, tidak ada kopinya. Itu paling laku saat pertama kali saya jualan," paparnya.
Sementara minuman lainnya yang tidak kalah menarik adalah cococoffee, coffelatte, cappucino, creammy coffe dan masih banyak lagi. Masalah harga, tidak perlu khawatir karena cukup dengan merogoh kocek sekira Rp5 ribu kita sudah bisa menikmati minuman serba kopi, susu, maupun teh ala Indonesia. Menurutnya, kopi tersebut merupakan pioneer dari maraknya bisnis serupa di kawasan Depok.
Setiap jenis usaha pasti mempunyai kendala. Dirinya mencontohkan, ketika musim hujan misalnya, pembeli akan sedikit berkurang akibat cuaca yang kurang pas untuk minuman dingin seperti yang disajikannya. Sementara itu, tempat atau lokasi berjualan juga menjadi salah satu kendala. Kurang luasnya lahan atau terkadang tidak jarang outlet yang dibuka harus berurusan dengan preman setempat.
Dari usaha yang sudah ditekuninya selama lima tahun tersebut, dirinya bisa mempekerjakan beberapa karyawan yang semuanya berasal dari tetangga maupun kerabat dekat.
Dirinya pun berbagi tip, untuk memulai sebuah usaha, hendaknya semua itu dimulai dari hobi. Apa yang kita suka, sebaiknya sesering mungkin mencari tahu dan menggali terus potensi tersebut. Karena menurutnya, semua hal itu harus dimulai sejak dini. seperti motto hidupnya yaitu "bisnis itu mulailah dari hobi, mulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dan dari sekarang."
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9588-himawan-hendro-sukses-dengan-kopi-qjogloq.html
Hadirkan Bubur Ayam yang Berbeda, Opyt Ciptakan Bubur Ayam Kriuk 'Bur Yam Yuk'
Bubur ayam yang dihidangkan seperti pada umumnya, mangkuk berisi bubur, taburan ayam suwir, cakwe, dan bumbu lainnya. Dan juga dihidangkan dengan kuah kuning. Namun seperti namanya, kriuk-kriuk pada bubur tersebut menjadi cita rasa bubur yang dibuat oleh Opyt.
"Kriuknya dari ubi sama teri. Ubinya dihaluskan. Jadi cita rasa original. Abis kriuk di mana-mana pake tepung," ucap Opyt yang ditemui di lokasi tempat makan.
Opyt yang awalnya menjual bubur dari gerobak ini pun terinspirasi dari cara jual bubur ayam di luar kota, yaitu Bandung.
Ia yang asli Tanjungpinang ini tadinya menganggap bubur itu dimakan ketika sakit saja. "Kan saya asli tanjung pinang, yang saya tahu di sini makan bubur kalau lagi sakit. Tapi kalau di Bandung kok yang jualan dari pagi sampai malam," ucap Opyt.
Opyt mengatakan makanan yang dihidangkan ini merupakan makanan asli karyanya sendiri. Dan berkonsep selera nusantara.
Selain menghidangkan bubur ayam kriuk, juga tersedia soto bening istimewa, sate ayam, lontong sayur, nasi uduk, dan lainnya.
Dan rumah makan Bur Yam Yuk! ini juga menyediakan es teler segar yang berkomposisi agar-agar dan buah-buahan seperti alpukat, kelapa, agar-agar, dan nangka. Yang dicampur susu dan sirup merah yang meninggalkan rasa nikmat.
Soto yang dihidangkan pun tak kalah lezat. Kuah bening tanpa santan yang disajikan pada menu bubur ini menyediakan pilihan soto biasa atau kuah soto koya. Koya ini merupakan bubuk gurih yang dapat mengentalkan kuahnya. "Ada soto bening, ada soto koya. Tinggal orang pilih maunya yang mana. Tapi sama-sama ga pake santan," ujar Opyt.
Bumbu kriuk ini tak hanya dihidangkan pada bubur. Opyt pun beride untuk dihidangkan di menu lain. Seperti lontong sayur, nasi uduk, mie goreng, nasi goreng. "Upaya untuk mencirikan aja. Malah ada ibu-ibu mau sotonya dikasih, padahal soto ga pake kriuk," sebut Opyt.
Pada umumnya untuk melezatkan makanan dibubuhkan penyedap rasa. Opyt memaparkan makanan gurih yang disajikan tanpa bahan penyedap. Bumbu-bumbu berasal dari bahan alami. "Kita enggak pake penyedap. Kaldunya dari kuah ayam langsung. Trus kita pakai gula dan garam penggantinya micin," ungkap Opyt.
Harganya pun cukup terjangkau. Untuk semangkok bubur seharga Rp8 ribu. Dan sate dengan 10 tusuk plus lontong yaitu Rp12 ribu. Sedangkan soto dan nasi seharga Rp11 ribu. Semangkuk es teler seharga Rp 8ribu.
rumah makan Wisata Kuliner Bubur Ayam Kriuk atau Bur Yam Yuk bisa anda kunjungi di komplek Anggrek Mas 1 (depan sekolah Djuwita). (*/Tribunnews)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9599-renyahnya-bubur-ayam-kriuk-ala-opyt.html
Hafiz, Diawal Merintis Usaha Mendapat Cibiran, Kini Omzet Dawet Cah Mbanjar-nya Capai Ratusan Juta
Berwirausahanya sepertinya sudah menjadi takdir bagi Hafiz. Ketika menjadi mahasiswa Teknik Industri Universitas Sumatera Utara (USU), tahun 2002, Hafiz sudah merintis jadi wirausahawan. Pelbagai macam usaha ia lakoni, total ada 10 jenis, mulai dari laundry, katering, jualan ayam bakar, mie, kue lupis, hingga parfum dan handphone. Tapi, semuanya gagal.
Hafiz pun menjajal berjualan dawet. Ia bercerita, ide berbisnis dawet muncul saat bertemu tukang dawet yang mangkal di daerah Sukarame, Medan. Saat itu, Hafiz sekedar iseng bertanya omzet penjualan. Karena tergiur oleh cerita si penjual, ia segera mendatangi juragan dawet agar bisa bergabung. Pembuat es dawet setuju untuk memasok bahan baku dan menyewakan gerobak kepada Hafiz.
Meski rugi di bulan pertama berdagang dawet, Hafiz tak menyerah. Ia berusaha meyakinkan dirinya kalau itu cobaan yang harus dilalui. Sebab, ia berikrar, bisnis dawet merupakan usaha terakhir. Tekadnya berbuah manis. Di bulan ketiga, usahanya laris manis meski ia harus mendorong sendiri gerobaknya dan sempat memeroleh cemoohan teman-temannya. Hafiz tak mau ambil pusing dengan semua cibiran itu.
Selang dua tahun menjalankan bisnis dawet, jumlah gerobak Hafiz pun terus bertambah hingga mencapai 19 unit pada 2008. Di tahun yang sama, Hafiz mendapat tawaran untuk membeli seluruh usaha dawet dari pemilik aslinya.
Tanpa pikir panjang, Hafiz mengambil tawaran tersebut dan merogoh kocek Rp50 juta hasil pinjaman mertua. Setelah mendapat seluruh alat produksi, gerobak, dan juga resep rahasia, ia mulai mengibarkan usahanya dengan bendera Cah Mbanjar. Bukan tanpa sebab Hafiz mengusung merek ini. Dawet memang minuman asli Banjarnegara. Apalagi, pasokan gula kelapa untuk pemanis dawetnya tetap didatangkan langsung dari daerah di Jawa Tengah itu.
Usahanya berkembang pesat dalam hitungan bulan. Bahkan usahanya diakui oleh sebuah bank swasta nasional. Dari situ, pria kelahiran Medan, 1978 ini berkenalan dengan para pengusaha muda lainnya, seperti pemilik Kebab Turki Baba Rafi dan Homy Group. "Untuk pengembangan kemitraan, saya belajar dari mereka," kenang Hafiz. Mulailah era baru bisnis penjualan dawet Hafiz. Ia mulai mewaralabakan bisnisnya dengan menggunakan bendera CV Djawara Fizta. Saat itu, ia pun menawari investor dana sebesar Rp6 juta untuk menjadi mitranya.
Untuk menjangkau jaringan dan pasar yang lebih luas, Hafiz rajin mengikuti pameran hingga luar negeri seperti, pameran di Singapura dan Hongkong. Setelah merasa mantap dengan jaringan kemitraan es dawet, Hafiz pun berniat memperluas usahanya. Saat ini, Hafiz membuka gerai Cah Mbanjar di lokasi pusat perbelanjaan.
Namanya Cah Mbanjar The Outlet. Di tempat inilah berbagai makanan seperti bakso dan siomay, serta makanan lain disajikan. Hafiz berniat membuka Cah Mbanjar The Outlet dengan pengembangan sendiri, bukan dengan sistem waralaba. Lewat master plan The Outlet yang sudah terbentuk, Hafiz berniat membuat perusahaan makanan dan minuman kelas dunia yang tersebar di banyak negara. (*/surabayapost)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9688-terobsesi-go-international-dengan-dawet-cah-mbanjar.html
Dibalik Larisnya Soto Kudus ala Ludi Priyantono
Soto ini disajikan dalam mangkuk kecil. Seperti soto Kudus umumnya, bahan soto terdiri atas potongan daging ayam kampung dan campuran tauge. Kuahnya bening dengan cita rasa rempah yang pas di lidah. Nah, inilah yang berbeda. Ludi Priyantono, 32 tahun, sang pemilik kedai, meracik sendiri bumbu-bumbu soto. “Rempah-rempahnya saya kombinasikan dengan bahan lain dan semua dilakukan dengan takaran yang sangat terukur,” ujarnya.
Semakin siang, warung itu semakin sesak dipenuhi pembeli. Semangkuk soto campur nasi cuma Rp 7.000. Selain soto dengan nasi campur atau dipisah, konsumen bisa menambah kerupuk udang, telur asin, sate ati ampela, sate kerang, maupun sate usus. Selain di Karang Tengah, masih ada lima gerai soto di tempat lain, salah satunya di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Usaha Ludi ini dimulai sejak 2005. “Sudah banyak yang ingin franchise, tapi saya masih harus cari lokasinya,” katanya.
Majunya usaha dagang soto ini, diakui Ludi, berkah dari makan gratis untuk ibu hamil, orang-orang tertentu, dan pada waktu tertentu. Makan gratis buat ibu hamil di Soto Kudus Kauman bukan strategi pemasaran agar orang banyak datang. “Itu bukan promosi. Makan gratis itu ada kisah antara saya dan ibu saya supaya bisa dikenang selamanya,” ujarnya.
Saat itu, Tuminah, ibu Ludi, pada 1979, sedang mengandung Ludi danngidam pepes. Sebagai buruh pengumpul garam dan bersuamikan pemanggul garam di Pati, Jawa Tengah, kondisi ekonomi Tuminah tak memungkinkan untuk membeli pepes. Dia meminta pepes yang diidamkan itu ke salah satu kerabatnya. Tapi, ia ditampik dan malah disambut dengan muka masam dan cibiran. Barulah pada sore harinya, kerabatnya itu memberi pepes tersebut. Tapi kepalang, saat hendak makan, Tuminah malah mual.
Dari kisah itu, Ludi lalu berikrar akan memberikan makan gratis kepada setiap ibu hamil di kedai soto miliknya, “Ibu hamil boleh makan apa pun di resto ini.” Meski gratis, pelayanan untuk ibu hamil tak ada yang berbeda dengan pengunjung yang membayar.
Makan gratis ala Soto Kudus Kauman juga berlaku untuk orang yang berbuka puasa sunah atau puasa Ramadan. Bahkan di cabang-cabang tertentu, pada setiap Jumat dari pukul 15.00 sampai 16.00 WIB, orang bisa makan gratis. “Buat memberi kesempatan kalangan menengah ke bawah untuk juga bisa menikmati Soto Kudus ini,” katanya. (*/Tempointeraktif)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9718-soto-kudus-kauman-gratis-untuk-ibu-hamil.html
Fathia Syarief, Rela Keluar Dari Perusahaan Tambang Untuk Menekuni Bisnis Roti 'Bagel Bagel'
Bagel adalah salah satu jenis roti berbentuk seperti cincin. Terbuat dari adonan tepung terigu dan ragi yang direbus di dalam air sebelum dipanggang. Menurut sejarahnya, penganan ini berasal Polandia. Roti ini sampai ke New York, Amerika Serikat, setelah para imigran membawa ke sana.
Pemilik Bagel Bagel Fathia Syarief dan tiga orang temannya model dan presenter Sari Nila, Lina dan Brenda memang terinspirasi bagel di New York. Fathia dan Brenda kebetulan pernah tinggal beberapa tahun di Amerika saat kuliah.
Menurut Fathia orang New York makan bagel layaknya orang Indonesia makan bubur ayam sebagai menu sarapan. Bagel jadi pilihan karena belum ada gerai makanan di Jakarta yang khusus menjual bagel. Dan ia yakin masyarakat di sini pasti doyan dengan bagel.
Setelah sepakat, mereka pun langsung bergerak menyiapkan bisnis baru mereka sejak Februari lalu. Tak tanggung-tanggung, Fathia yang sudah lima tahun bekerja di perusahaan minyak memilih meninggalkan pekerjaannya.
Salah satu persiapan yang paling utama tentu menyiapkan menunya. Mereka melakukan riset resep dan mengetes rasa bagelnya sampai pas. Mereka bahkan mengundang beberapa ekspatriat asal New York untuk mencicipinya agar rasanya pas seperti bagel di negeri asalnya.
Bagel dengan olesan krim keju dan bagel dengan isi ikan salmon merupakan dua menu bagel yang paling umum dan pasti ada di setiap gerai bagel di New York. Sedangkan bagel lainnya merupakan kreasi, seperti bagel Thai Spicy Chiken atau bagel tuna salad.
Fathia sempat terkejut dengan respon pengunjung, gerainya yang baru berusia sebulan sudah ramai. Ia sampai kewalahan hingga harus menambah kursi dan menyewa lahan parkir tambahan. Memang, gerainya yang memiliki ruang makan 5x5 meter itu terbilang sempit dan pengunjung kesulitan mencari parkir.
Bagel Bagel memang disiapkan tempat untuk orang hanya mampir sebentar. Membeli bagel dibungkus atau makan di tempat tanpa berlama-lama nongkrong. Layaknya para New Yorker yang mampir di gerai bagel di stasiun kereta bawah tanah, membeli bagel dibungkus untuk dimakan di kantor. (*/Tempointeraktif)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9763-bagel-roti-berbentuk-cincin-yang-laris-manis.html
Andrea dan Kiki Duo Pebisnis yang Ciptakan Differensiasi Melalui Kopi Rasa Buah di Caffe Frutta
Saban sore hingga beberapa saat sebelum malam mencapai puncak kekelaman, kafe yang terletak di komplek pertokoan (rumah toko) Taman Setia Budi Indah (Tasbi) II ini selalu ramai pengunjung. Sebagian besar datang dari segmentasi usia 17-40 tahun. Mereka adalah pelajar, mahasiswa, dan eksekutif muda. Kadangkala datang juga pelanggan yang membawa serta sanak keluarga mereka.
Lantas dimana letak keistimewaan Caffe Frutta? Pertama dari sisi menu. Di sini tersedia kopi rasa buah. Ada empat rasa pilihan, yakni Mangga, Strawberry, Leci, dan Anggur.
"Ini sesuai nama kafe kita. Caffe Frutta, yang kurang lebih berarti sama. Racikan seperti ini sebelumnya tidak ada di Medan. Kopi buah jadi differensiasi kita," kata Dea yang diamini Kiki, saat berbincang di Caffe Frutta, pekan lalu.
Ketelitian dalam melakukan mix menjadi kunci kesempurnaan citarasa menu ini. Sebab meleset sedikit saja, kopi buah akan terasa jadi aneh. Mix memang harus seimbang. Tidak boleh dominan kopinya, namun juga jangan hanya terasa buahnya. Tambahan krim dan es membuat keempat varian mix kopi buah ini makin yummy saat diseruput.
"Ini minuman kreasi baru dalam kopi. Pas untuk orang muda yang ingin ngopi. Pas di lidah orang-orang yang bukan penyeruput kopi sejati," ujar Kiki menambahkan.
Tersedia pula kopi shake. Juga Sisha, "merokok" gaya Timur Tengah. Layout ruangan, tata letak meja dan kursi dan pernik interior lain, menjadi poin tambahan yang membuat pengunjung betah berlama-lama di Caffe Frutta. Apalagi di sini disediakan fasilitas wifi gratis. Bisa nongkrong, ngobrol, sambil berselancar di dunia maya. Bagi yang hobi membaca, tersedia majalah dan buku-buku di perpustakaan kecil.
Tak hanya itu, kafe yang mulai buka pukul 12.00 ini full musik. Untuk sementara, musik masih dihadirkan lewat rekaman. Pilihan pop manis hingga jazz fusion jelas mengindikasikan ke arah mana Dea dan Kiki menyasar pelanggannya. (*/tribunnews)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9791-caffe-frutta-ciptakan-differensiasi-melalui-kopi-rasa-buah.html
Sushiko, Outlet Sushi Berkonsep Kaki Lima ala Endang dan Irawati
Selain karena hobi makan sushi bareng teman-teman di mal, Endang dan Irawati memulai bisnis ini karena ditawari konsep "jual sushi ala mobil boks" yang dimiliki seorang teman di Bandung. Mereka pun membeli konsep, lengkap dengan pelatihan karyawan dan rekomendasi pemasok bahan baku. Mobil boks dipilih karena dianggap praktis sebagai dapur sekaligus fleksibel untuk mobilitas.
Dua bulan pertama setelah dirintis, Sushiko belum berjalan sukses gara-gara hujan yang terus-terusan mengguyur Jakarta. Dari situ justru mereka semakin tertantang memodifikasi mobil agar jadi tempat jualan yang nyaman, tanpa mengesampingkan unsur kebersihan dan cita rasa sushi. “Jual sushi tidak bisa sembarangan, tidak semua orang bisa membuatnya. Karena sushi identik dengan makanan sehat, makanya harus higienis biar tetap laris,” papar Endang. Endang dibantu tiga orang karyawan yang sudah dilatih membuat sushi selama dua bulan. Semua karyawan juga tinggal di mess khusus agar memudahkan pekerjaan setiap hari.
Konsumen Sushiko didominasi anak muda. Ada juga ibu-ibu yang senang membawa anak-anaknya makan sushi, dengan alasan lebih sehat. Namun, konsumen terbesar Endang dan Ira adalah anak sekolah atau ABG. “Mereka sampai hafal dengan menu dan harga sushi karena sering makan beramai-ramai dengan temannya,” kata Endang. Yang paling laku tentu menu andalan, seperti Dragon Fly, Rainbow, Kintaro, dan Salmon Toast. Dengan harga hanya Rp 10 ribu sampai Rp 29 ribu per porsi, aneka sushi ini menawarkan rasa yang tak kalah lezat dibanding di restoran.
Agar lebih mudah menjangkau target pasarnya, mobil boks sengaja ditempatkan dekat area futsal, jajanan malam, dan kedai kopi yang selalu ramai pengunjung. Mobil Sushiko biasa mangkal dari pukul 16.00 - 24.00. Setelah enam bulan berjalan dan mulai menunjukkan hasil positif, akhirnya mereka menyewa tempat permanen seluas 4x6 meter dengan biaya Rp 2 juta/bulan. Tetapi, mobil boks yang menjadi ciri khas Sushiko tetap ditempatkan di depan gerai. Mobil ini merangkap dapur sekaligus tempat yang menampung segala perlengkapan seperti meja dan kursi.
Diakui Endang, kepopuleran Sushiko sangat terbantu teknologi. Selain informasi yang menyebar dari mulut ke mulut, pembeli Sushiko banyak pula yang menggunakan Twitter dan Foursquare, untuk menginformasikan bahwa mereka sedang makan di situ. Ke depan, lanjut Ira, mereka ingin menambah gerai lagi jika sudah menemukan lokasi yang cocok. Untuk sementara, mobil boks tetap jadi andalan utama untuk kemudahan mobilitas. Maksudnya, jika ada acara, bazar atau pameran, jualan bisa pindah-pindah. “Tapi khusus yang di Kalimalang, kami pilih punya gerai tetap. Lagipula tempatnya dekat dari rumah.”
Bagi yang ingin memulai usaha sejenis, Ira memberikan saran, mesti berani dan konsisten dalam menjalankan bisnis. Tak sekadar jualan tapi juga rajin memantau dan terjun langsung. Jangan menyerah dengan berbagai kendala dan terus berinovasi. Nantinya, mereka juga akan membuat open kitchen, supaya pelanggan yang penasaran bisa lihat langsung cara membuat sushi. (*/disarikan dari kompas.com)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9850-sushiko-outlet-sushi-berkonsep-kaki-lima.html
Satiman, Tamatan SMP yang Mampu Membuka Lapangan Pekerjaan Melalui Usaha Kue Pia
Pria kelahiran Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, 18 Oktober 1971 ini mempunyai misi dan visi yang mulia. Rasa peduli terhadap sesama yang begitu tinggi menghantarkan dirinya untuk berwirausaha. Berangkat dari kekhawatirannya pada angka pengangguran yang semakin membengkak di era tahun 2000-an, Satiman memutuskan untuk membuka usaha kue pia.
Usaha kue pia dipilihnya karena waktu itu pelaku bisnis yang terjun di bidang yang sama masih sedikit. Lagi pula, kue khas daerah Pemalang ini tahan lama, kira-kira bisa sampai satu bulan. Berbendera Pia Gemilang Jaya, Satiman semakin percaya diri dalam memproduksi kuenya yang terdiri dari berbagai macam rasa, mulai dari cokelat, keju, kumbu hijau dan hitam. Dibanderol seharga Rp3.000 per kotak berisi 10 potong, Satiman mengaku setiap hari mampu menjual sekitar 8.000 kotak pia.
Roda bisnis Satiman bukan tanpa halang rintangan sama sekali. Dirinya juga harus bersusah payah dalam merintis usahanya. Memeroleh modal sebesar Rp3 juta dari mantan atasan tempat bekerja sebelumnya, Satiman harus memberanikan diri meminjam uang dari teman dan saudara sebagai tambahan modal. Krisis global tahun 2008 lalu yang membuat harga bahan baku pembuatan pia seperti tepung terigu, gula dan minyak melambung tinggi sempat membuat Satiman was-was. Namun kepercayaan diri serta sikap optimisnya mampu menyelamatkan bisnis serta nasib para pekerjanya dari pengangguran.
Pendapatan Satiman mendekati Rp24 juta per hari atau kira-kira Rp720 juta sebulan. Pemasaran ke beberapa daerah di Indonesia seperti Semarang, Purwokerto, Magelang, Jombang, Bali, Samarinda, Cilacap dan Bogor membuat omzetnya bertambah sekitar Rp200 juta sehingga menjadi Rp950 juta per bulannya. Sukses mempekerjakan 300 orang, Satiman membuka rahasia di balik kesuksesan bisnisnya yakni selalu bersikap jujur, tekun serta ulet. Siap mengikuti jejak Satiman? (*/dari berbagai sumber)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9925-satiman-membuka-lapangan-pekerjaan-melalui-pia.html
Airlangga Sucipto, Pemain Sepakbola yang Juga Menerjuni Bisnis Lewat Keripik 'Goal'
Hal itu diungkapkan Airlangga yang kini disibukkan dengan melayani pesanan kripik yang dinamai Kripik Goal itu. Pemain yang akrab disapa Ronggo ini melakoni bisnis menjual keripik singkong pedas yang baru saja digelutinya.
Meski berpromosi selama sepekan melalui akun Blackberry pribadinya, dalam empat hari terakhir Ronggo sudah menerima pesanan lebih dari 100 bungkus. Menurutnya, berjualan keripik pedas berawal dari kegemarannya menyantap makanan pedas.
"Kebetulan saya gemar makan cemilan keripik pedas dan ada saudara yang memproduksinya. Lumayan, iseng-iseng produksi dengan menggunakan merk sendiri ternyata banyak yang tertarik dan pesan, setelah itu jadi langganan deh," tutur Airlangga di situs resmi klub, persib.co.id.
Terbilang bisnis seperti ini tidak perlu modal yang besar karena Ronggo sendiri memporduksi kirpik tersebut dalam jumlah yang cukup terbatas. Ronggo mengaku, mengisi waktu luang dengan mengembangkan bisnis yang menjadi pusat perhatiannya saat ini disamping menjaga fisik sebagai atlet. Sebagaimana diketahui, Ronggo juga kerap menjaga kondisi fisik dengan berenang atau fitness.
Sementara kripik yang dijualnya, terdiri dari tiga level yakni Kickoff (tidak pedas), Yellow Card (agak pedas) dan Red Card (pedas). Semula Ronggo menemukan kesulitan mengelola bisnis barunya itu sendirian. Tapi, Ronggo langsung memperkerjakan dua orang teman yang dipercayanya untuk mengelola bisnisnya.
Selain itu, saat ini Ronggo sedang berkonsultasi dengan beberapa rekan yang cukup berpengalaman di bidang bisnis makanan cemilan untuk mengembangakan lebih besar. Bukan tidak mungkin jika suatu saat bisnisnya tersebut akan dikembangkan lebih besar lagi.
Cara yang dilakukan Ronggo, salah satunya dengan membuat varian baru dalam produksi kripik tersebut. Hal itu terbuilang wajar, lantaran bisnis seperti ini di Kota Bandung memang cukup bersaing. Seperti diketahui, ada kripik Ma Icih yang yang namanya sudah populer di kalangan masyarakat Bandung.
"Sekarang saya sedang mencoba variasi baru seperti keripik kentang pedas dan berbahan dasar talas. Selama ini hampir semua berbahan dasar singkong, ya mudah-mudahan saja bisa cepat selesai dan bisa dipasarkan sesegera mungkin," jelasnya. (*/okezone)
sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/9949-bisnis-kripik-goal-ala-striker-persib-bandung.html