“Kenapa, ya, tidak ada novel remaja karya penulis Indonesia?” batin ibu dua anak ini, saat melihat toko buku yang dipenuhi novel remaja terjemahan. Padahal, Via yakin Indonesia memiliki banyak penulis bagus yang mampu menghasilkan karya yang tak kalah bermutu.
Pada saat yang sama, Rachmania, adik Aziz, kesulitan memasarkan novel pertamanya, Eiffel I’m in Love. “Waktu itu Nia masih menerbitkan sendiri bukunya, cuma berbentuk fotokopi pula,” ujar Via. Belakangan ia mengerti, penerbit besar belum memercayai penulis muda Indonesia. Ia menduga, masih banyak Nia lain di luar sana, yang mampu menghasilkan novel bermutu, tapi kesulitan menembus penerbit besar.
Melihat prospek bisnis yang menjanjikan, ia dan suaminya sepakat merintis usaha penerbitan buku. Karena pernah bekerja di penerbitan buku, Aziz sudah memiliki modal pengetahuan seluk-beluk bisnis tentang dunia itu. Karya adik ipar jadi embrio Terrant Books. Gaya penuturan Rachmania yang witty dan ceritanya yang sangat remaja, membuat Via pede menggelontorkan dana Rp15 juta untuk mencetak 3.000 eksemplar dan promosi.
Kenekatannya tak sia-sia. Dalam hitungan 3 minggu, Eiffel I’m in Love cetak ulang berkali-kali dan sekarang telah laku sebanyak 50.000 copy. Popularitas itu meningkat setelah novel ini diangkat ke layar lebar. “Setelah itu, banyak penulis remaja yang mengirimkan naskahnya ke Terrant,” ujarnya, senang.
Kini, bisnis penerbitan novel milik Via telah beromzet Rp25 juta per bulan. Angka didapat dari hasil penjualan buku yang sudah dikurangi biaya produksi, distribusi, promosi, dan royalti penulis sebesar 10%-15%. Meski kini bisnis penerbitan sedang turun dan buku memiliki pesaing tangguh, seperti e-book dan media online, Terrant tetap bertahan. “Berdasarkan hasil riset saya, remaja tetap memilih buku konvensional dibandingkan e-book, karena lebih mudah dibawa dan dibaca di mana saja,” jelasnya.
Namun, Via tak bisa memungkiri, masih ada buku-bukunya yang retur. “Setelah 3 bulan, sisa buku yang tak laku diretur. Biasanya sekitar 100 - 200. Kami menyiasatinya dengan membuat promo paket, misalnya 3 buku dijual Rp50.000,” ia menjelaskan strateginya. Cara itu mampu menutup ongkos produksi, yang cetakan pertamanya sekitar 1.500-3.000 copy per judul.
Sukses Eiffel I’m in Love memacu semangat pasangan suami-istri ini. Mereka terus mencari karya menarik yang bisa mengekor sukses Nia. “Sejak itu memang banyak naskah masuk. Sayangnya, mereka terlalu terinspirasi Eiffel I’m in Love. Karakter remaja dalam mayoritas naskah persis sama dengan Tita dan Adit (tokoh dalam Eiffel I’m in Love),” ungkapnya, kecewa.
Akhirnya ia melakukan aksi jemput bola dengan mengajak penulis-penulis ternama menulis novel untuk Terrant Books. Salah satunya, Monty Tiwa dengan Dunia Mereka. Strategi dan pemilihan penulis ini cukup tepat. Dunia Mereka mendapat apresiasi pembaca, hingga dibuat filmnya juga.
Tak hanya novel terbitannya yang diangkat ke layar lebar, Via juga mencoba menurunkan film ke atas kertas. Setelah menonton film 30 Hari Mencari Cinta karya Upi, Via ingin sekali membaca versi bukunya. Ia lalu meminta Upi menulis untuknya. “Tapi, saya tidak mau ceritanya sama seperti di film. Saya ingin tahu awal persahabatan Keke, Gwen, dan Olin, serta kelanjutan kisah mereka,” tegasnya, agar versi novelnya memiliki daya tarik dan nilai jual tersendiri.
Selain bekerja sama dengan penulis ternama, Via juga rajin mencari penulis baru di dunia maya. Menurut pengalamannya, banyak penulis berbakat siap diasah yang bersembunyi di sana. “Kan banyak remaja yang punya blog. Ternyata, selain curhat, mereka suka menulis cerita di blog,” kisahnya. Bahkan, Via sering terinspirasi oleh curhat blogger remaja di blog-nya. “Saya jadi tahu dunia remaja, problemnya, dan tren di kalangan mereka,” katanya.
Dengan cara itu juga Via berkenalan dengan Cassandra Niki, mahasiswi asal Yogyakarta yang rajin nge-blog dengan nama Casseybunn. “Cassandra sudah terkenal di antara blogger remaja. Waktu itu dia menulis cerita serial di blog-nya. Saat saya ajak dia untuk menulis buku, dia antusias sekali. Awalnya, dia tidak pede, tapi saya terus menyemangati karena saya tahu dia mampu,” ujarnya. Berkat bimbingan dan arahan dari Via, tahun 2010 lalu terbitlah buku perdana Cassandra, Letters, Stories and Dreams.
Meski menggunakan strategi jemput bola, Terrant Books terbuka menerima naskah novel. Ada tim naskah yang khusus menyeleksi naskah kiriman penulis. Setelah melewati seleksi mereka, barulah Via menyeleksi lagi. Salah satu triknya menyeleksi adalah hanya membaca beberapa halaman pertama. “Kalau setelah 5 halaman saya masih tertarik membaca, berarti naskah tersebut bagus,” ujarnya.
Via senang, buku terbitan perdananya menjadi trendsetter genre novel teenlit. “Setelah Eiffel I’m in Love, penerbit lain mulai berani menerbitkan novel remaja asli Indonesia,” kisahnya. Melihat tingkat persaingan yang mulai tinggi, Via mulai putar otak menciptakan diferensiasi.
Setelah menyelami lebih jauh tren di kalangan remaja, ia melihat popularitas manga (komik Jepang). Bahkan, manga mulai membangkitkan minat menggambar komik di kalangan remaja. Ide menerbitkan komik pun muncul. “Sepertinya menarik, ya, kalau ada komik karya komikus Indonesia dengan cerita dan karakter tokoh yang sangat Indonesia,” ujarnya, berkhayal.
Ia lalu menggandeng komikus Indonesia, seperti Beng Rahadian, Bayu Indie, dan Oyas-Iput-Ipot. Tahun 2005, Terrant Comic menerbitkan 3 komik, yaitu Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahadian), Split (Bayu Indie), dan 1001 Jagoan: Factory Outlet Boys (Oyas-Iput-Ipot). Tapi, intuisi inovasi Via kali ini meleset. Animo pasar terhadap komik bergaya Indonesia masih sangat rendah. “Setelah 4 bulan ada di toko buku, komik-komik itu tidak laku dan hampir semuanya kembali,” tutur Via, yang merugi sekitar Rp30 juta.
Kegagalan itu menjadi pelajaran berharga baginya. Memang, novel terbitannya tak selalu menjadi bestseller. Tapi, baru kali itu bukunya kembali sebanyak itu. “Kesalahan saya adalah tidak melakukan analisis dan tes pasar dengan lebih teliti. Indonesia memiliki banyak komikus berbakat, namun kita belum punya pembaca yang mau menerima komik Indonesia. Penggemar komik kita masih manga-minded,” kata Via.
“Dalam bisnis penerbitan buku, selain karya yang bagus, distribusi dan promosi memegang peranan penting,” cetus Via. Yang sempat membuatnya cemas adalah perlakuan ‘anak tiri’ terhadap buku karya penulis dan penerbit baru. “Wah, buku saya pasti ditaruh di rak yang tak strategis. Kalau begitu caranya, bagaimana pengunjung toko buku bisa ngeh dengan Eiffel I’m in Love,” Via menceritakan kekhawatirannya saat itu.
Alumnus D-3 Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini memanfaatkan strategi promosi dan media relations yang diperolehnya semasa kuliah. “Pokoknya, saya keukeuh ingin membuat acara launching buku Rachmania. Manajemen toko buku sempat menertawakan saya. Kata mereka, ‘Launching penulis besar seperti Dewi Lestari aja sepi, Mbak,’” kata Via, menirukan.
Untunglah, Via tetap melakukan launching dan mengundang banyak media massa. Sejak itu, nama Terrant dikenal publik sebagai penerbit khusus novel remaja. “Hubungan kami dengan media massa juga baik, karena Terrant rajin mengadakan kerja sama dengan mereka,” ujarnya, senang. Via menyadari, media massa punya peran besar dalam menyebarkan informasi dan memengaruhi pembaca. Publikasi media menjadi cara promosi jitu. Karena itu, Terrant Books selalu memprioritaskan peluncuran novel terbitannya. “Penulis tak perlu pusing, Terrant yang mengadakan dan membiayai,” katanya.
Terrant terus merancang program promosi bekerja sama dengan media, seperti lomba penulisan cerpen, serta acara diskusi film dan buku. “Terrant ingin membangkitkan semangat menulis anak muda, karena penulis sudah menjadi profesi yang menjanjikan,” jelasnya.
Itu sebabnya, Terrant Books punya program pelatihan penulisan bagi siswa SMP, SMA, dan mahasiswa. “Pelatihannya gratis. Terrant bekerja sama dengan banyak sekolah dan pelatihan itu diadakan di sekolah mereka,” ujar Via, yang juga menjual buku-buku terbitannya di koperasi sekolah. Program itu juga merupakan strategi Terrant Books dalam membina hubungan dengan pembacanya (Terrant menyebut pembacanya besties).
Hubungan baik dengan penulis juga menjadi prioritas. Karena itu, Via tidak menentukan pakem baku dalam gaya penulisan dan penggunaan bahasa. “Karena target pembacanya remaja, gaya bahasanya juga harus seperti bahasa sehari-hari remaja. Penulis kami juga bebas menulis sesuai gaya masing-masing,” ungkap Via, yang juga siap jadi teman curhat penulisnya kapan saja.
Menjadi sahabat dan mentor yang baik, kira-kira begitulah peran yang Via jalani. Bahkan, ketika ada produser film yang berminat membuat film berdasarkan novel terbitannya, Via siap mendampingi penulisnya. “Mayoritas penulis Terrant masih muda dan belum paham urusan kontrak. Tim legal Terrant siap jadi konsultan hukum mereka,” katanya, tersenyum.
Seperti nama Terrant yang dalam bahasa Prancis berarti underground movement, Terrant ingin memiliki hubungan bebas birokrasi dengan penulis dan pembacanya. “Gaya Terrant adalah indie publisher yang tidak banyak aturan. Tapi, untuk urusan kualitas isi novel, kami sangat serius,” tegasnya.
Karena itu, Via hanya menerbitkan 1 novel setiap bulan. “Kami ingin bisa memberikan yang terbaik bagi penulis kami,” ujarnya, bangga. Mimpi Via berikutnya? “Tahun 2012, saya ingin membuat toko buku sendiri agar Terrant dan penulis bisa lebih dekat dengan besties,” tuturnya, penuh harap.
(EKA JANUWATI
FOTO: M. HASRIEL)
sumber: http://wanitawirausaha.femina.co.id/WebForm/contentDetail.aspx?MC=001&SMC=006&AR=58
No comments:
Post a Comment