Hari-harinya kini disibukkan dengan mengurus wadah para pengusaha Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Absen dari dunia bisnis setelah sekian lama malang melintang, tidak membuat Sofjan Wanandi berhenti total dari dunia yang telah membesarkannya sebagai salah satu pengusaha di Indonesia.
Ditemui di ruang kerjanya di Kantor Apindo, Sofjan mengurai banyak hal tentang sepak terjangnya di dunia bisnis. Mengenakan setelan batik dan celana panjang warna biru, bapak tiga putera itu bercerita panjang lebar. Berikut petikan wawancaranya:
Kapan Anda mulai terjun ke dunia bisnis?
Saya terjun ke dunia bisnis by accident. Sepuluh tahun pertama sejak 1967-1977 saya lebih banyak terlibat dalam perpolitikan di Indonesia. Saya banting setir setelah peristiwa Malari. Peristiwa Malari membuat saya diganyang oleh teman-teman saya sendiri juga, karena sebagian dari teman-teman yang merupakan Tokoh 66 memiliki perbedaan pandangan. Ada yang berjuang di dalam dan ada yang masih berjuang di jalanan.
Saya memilih di dalam karena Soeharto menjadi presiden. Jadi saya berkewajiban membantu dari dalam. Cuma sebagian besar teman-teman saya maunya di jalanan. Oke, you di jalan. Tetapi ada konflik di Malari itu sehingga kita berbeda jalan, sehingga kita dihujat juga karena kerja sama pemerintah.
Tetapi akhirnya toh mereka mendukung pemerintah, malah lebih hebat dari saya. Ada yang jadi menteri dan segala macam. Tapi tidak apa-apa.
Setelah peristiwa itu, kami berpikir terutama saya dan kakak saya Yusuf Wanandi, enggak baik jika dua-duanya masuk politik, karena kakak saya itu masuk politik. Kala itu Yusuf pimpinan DPP Golkar sampai jadi Wakil Sekjen DPP Golkar.
Di situ saya mulai, pada saat di mana merasa sudah punya banyak hubungan dengan pemerintahan, saya juga sering ke Jepang dengan Sudjono Moerdani.
Dari situlah saya akhirnya menentukan. Oke, saya jadi anggota MPR saja, tidak masuk DPR lagi, sehingga waktu itu saya mendukung pemerintahan Soeharto. Saya ikut juga terlibat di dalam membuat GBHN dan beberapa kebijakan terkait lainnya.
Sesudah itu saya masuk dalam ekonomi berkerja sama dengan beberapa teman menjadi supplier dari Pertamina, PN Timah dan memegang agency yang lain.
Di situ saya mulai pinjam uang di Bank BNI 46 pada 1977-1978. Rumah mertua saya gadaikan, gedung CSIS juga digadaikan. Kalau tidak dari mana saya dapat uang. Akhirnya dikasih pinjam. Setelah berjalan, ada untung, saya kembalikan.
Waktu itu Jepang cari mitra dan beberapa perusahaan asing lainnya. Saat itu banyak perusahaan-perusahaan Jepang yang tidak kenal Indonesia cari mitra untuk joint venture di sini.
Apa unit bisnis pertama yang dibentuk?
Waktu itu kita bentuk pertama itu trading. Waktu itu saya masih pakai bendera Pakarti Yoga. Setelah itu saudara-saudara saya yang lain juga bikin bisnis sendiri-sendiri, tapi akhirnya digabung pada 1980-an dan diberi nama Gemala.
Gemala itu dimiliki oleh Wanandi bersaudara, yaitu saya, Rudi Wanandi, Yusuf Wanandi, Biantoro Wanandi, Edward Wanandi dan adik saya yang perempuan. Jadi semua saudara saya yang punya bisnis di sini, dan bergabung dalam satu Gemala.
Mengenai komposisi sahamnya disesuaikan dengan siapa yang membawa bisnisnya itu. Waktu itu saya yang komandannya. Setelah itu, Biantoro Wanandi yang sekarang ini pegang farmasi.
Bagaimana kendali di Gemala? Apakah sudah dikendalikan di anak-anak?
Di Gemala kami bagi. Anak-anak kan tambah banyak. Kakak-kakak saya juga punya banyak anak. Jadi kami bagi, sesuai porsi saham yang dimilikinya. Sekarang semua sudah independen. Tetapi ada juga kelompok tertentu yang masih dikelola sama-sama, tapi itu yang lama-lama.
Untuk yang baru, semua mulai sendiri dan berkembang dan banyak bertambah.
Dari tiga putera ini, siapa yang dipersiapkan menggantikan posisi Anda?
Sebenarnya tiga-tiga itu, satu pegang pabrik di Australia, dua di sini. Saya bagi tugas mereka. Yang paling tua bertanggungjawab semua pabrik automotive part, baterei, transmisi, sasis, kasting di sini.
Karena sekarang otomotif bagus, jadi semua untung banyak. Mudah-mudahan pasar otomotif akan bagus terus. Sebagian besar produk kami diekspor. Tetapi kami juga memiliki pabrik Aica Aibon, Asuransi Wahanatata, Nomura Securities kerja sama dengan Jepang. Selain itu masih Hotel Lumire dan di Palangkarya.
Anak yang kedua pegang proyek baru, keuangan. Kalau yang kecil dia pegang yang di Australia saja. Saya puaslah mereka semua sekolah dan bekerja baik. Semua perusahaan yang dikelola anak-anak di bawah bendera Santini Group.
Apakah Anda masih ikut ambil keputusan di perusahaan?
Masih, terutama dalam transaksi yang melibatkan modal lebih dari US$10 juta, pasti anak-anak bilang saya dulu. Di bawah itu diputuskan sendiri saja. Ada batasannya biar dia belajar juga. Nanti dia masuk investasi gede-gedean di luar, tahu-tahunya jebol, kan gawat juga. Saya bilang sama mereka kalau you untung terus, jangan minta advice sama saya.
Apakah Anda dan saudara-saudara yang lain masih berkumpul untuk bicara bisnis?
Kita berkumpul tapi bukan untuk bicara serius. Kalau anak-anak iya. Mereka biasa ngumpul dan terbuka kemungkinan untuk kerja sama. Kalau kami yang tua-tua ini hanya berkumpul untuk santai-santai saja. Bicara yang aneh-aneh, bicara urusan keluarga, urusan cucu, urusan sakit, urusan sudah tua. Kita gak bicara banyak soal bisnis. Tentu kita bicara bisnis sama anak-anak kita. Sampai rapat pemegang saham, saya tidak terlibat, cuma rapat pemegang saham holding saja. Di luar itu anak-anak semua yang ikut.
Berapa jumlah holding?
Kalau holding anak-anak saya itu namanya Santini, dan ada Baktiyoga. Itu yang paling besar. Yang lain kita anak usaha di bidang-bidang tertentu. Semua profit center sendiri kita gak bikin jadi satu.
Kapan dari Gemala menjadi Santini?
Gemala tetap ada, yang baru-baru pakai bendera Santini. Anak-anak kita pakai bendera Santini.
Anda ini bergerak dari politik ke bisnis, sementara banyak orang dari bisnis ke politik. Apa komentar Anda?
Dari dulu saya berpikir kita tidak bisa merangkap. Kalau mau politik yah politik, kalau bisnis yah berbisnis. Itu prinsip saya karena saya tahu betul kalau you mau politik, you gak bisa habiskan waktu untuk lain. Betul-betul harus konsentrasi untuk politik, tidak bisa lagi menyambi. Lagi pula conflict of interest juga tinggi sekali.
Makanya ketika saya terjun ke politik, saya ikut di MPR dan DPR. Setengah di DPR kemudian tahun-tahun berikutnya di MPR, selama 20 tahun.
Apa yang menjadi prinsip utama Anda dalam berbisnis?
Sebenarnya prinsip utamanya adalah kerja keras, jujur, komit pada bisnis, dan jangan bohongi orang. Sekali anda berbohong, orang tidak akan percaya lagi. Jadi gak ada main-main dan janji-janji palsu. Makanya dari sekian banyak joint venture, gak ada satu pun yang punya masalah sama dengan kami. Joint venture itu rata-rata umurnya di atas 30 tahun, berkembang bersama-sama, maju sama-sama, kadang-kadang kami mayoritas, kadang-kadang kami yang minoritas.
Tidak ada satu pun usaha yang kita kalau keluarkan uang , mesti teken dua cek, sehingga ada dua tandatangan. Jadi tidak bisa main-main sendiri. Itu prinsip.
Mesti ada trust dan you betul-betul kalau mau teken joint venture, harus bicara pahit di depan, setelah itu berkelahi karena yang satunya mau ambil untung lebih banyak. Apapun itu, saya bicara dengan partner di depan yang pahit-pahit, bikin suatu agreement, setelah itu agreement-nya kita taruh di lemari besi dan tidak lihat-lihat lagi. Kita kerja sama-sama untuk besarkan perusahaan itu, jadi sama-sama ambil untung.
Anda punya berbagai perusahaan di luar negeri. Sebetulnya bagaimana Anda me-manage itu?
Dulu kita sebenarnya begini karena kami ekspor ke sana, kebetulan ada opportunity di sana perusahan di sana lagi susah, kami bisa beli dengan harga yang murah.
Kami sebenarnya memakai di luar negeri itu bukan untuk production center. Kita pakai untuk jaringan marketing. Karena kelemahan kita itu di marketing. Jadi di luar negeri kami kita pakai untuk marketing. Awalnya itu.
Di Australia misalnya kita punya pabrik. Kita jual dari sini. Dia punya jaringan ada 250 di Australia, jadi kita bisa kuasai market Australia dengan kombinasi produksi di sana, produksi di sini, jadi di situ kita bisa lebih untung.
Kalau produksi di sana dengan tenga kerja yang mahal, social security yang mahal, susah. Makanya waktu itu kami tutup pabrik di London karena merasa gak bisa. Jadi kami menjual saja dari sini sekarang 100%. Terus kita ekspor ke sana. Biar pun rugi sedikit, tapi secara keseluruhan kami untung. Setelah krisis kami jual. Yang di London tidak lama perusahaannya.
Kami beli sebelum krisis, namun setelah itu kami pikir wah lebih murah ekspor dari sini, jadi kami jual lagi. Sampai sekarang kami bisa kuasai market karena kami ekspor dari sini. Pakai merek dari sana, tapi kami juga punya merek juga.
Kalau yang di Australia, merek kita Yuasa. Kita juga pakai beberapa merek lain. Ada yang murah, ada yang mahal. Itu sebenarnya untuk compete market, supaya segmen pasar tertangkap semua. Jadi kami juga beli pabrik di New Zealand, tapi ketika kami beli dan kami pikir lebih murah kami bikin di sini dan ekspor ke sana, ya kita tutup lagi. Yang New Zealand baru kami tutup 3-4 tahun yang lalu. Perusahaan itu tetap ada tapi hanya untuk networking saja. Jadi mesti ada kombinasi. Karena jualan baterei itu misalnya satu kontainer itu 2.000. ongkosnya ke sana, paling 2.000 dolar. Jadi lebih murah kita bikin di sini dan jual di sana. Di situ advantage-nya kita jual dalam satu networking.
Keputusan di luar negeri itu masih diambil Anda?
Masih. Sekarang ini yang modalnya lebih dari US$10 juta, pasti anak-anak bilang saya juga. Di bawah itu putuskan sendiri saja. Ada batasannya biar dia belajar juga. Nanti dia masuk investasi gede-gedean di luar, tahu-tahunya jebol, kan gawat juga.
Jadi, kapan persisnya Anda benar-benar meninggalkan dunia bisnis?
Sebenarnya pada tahun 2000. Sebenarnya begini. Saya meninggalkan bisnis itu karena saya menghadapi masalah. Jadi buronannya Habibie pada waktu itu karena politik. Selain itu sudah waktunya saya merasa saya harus tinggalkan bisnis apalagi umur saya sudah 60 tahunan pada waktu itu.
Kami juga punya understanding dalam perusahaan, terutama yang profesional, pensiun umur 60 tahun. Tentu bisa kita perpanjang. Saat itu saya umur 60-an juga. Pada saat itu saya ikuti profesional saja, you boleh tidak day to day lagi. Day to day cuma sampai umur 60 tahun. Itu saya kasih contoh, saya kembali jadi komisaris saja. Setelah itu saya kasih kuasa full ke anak-anak saya, gak setengah-setengah. Saya tidak mau ikut campur lagi yang soal-soal teknis kecuali mereka minta advis pada saya.
Seberapa sering mereka minta petunjuk kepada Bapak?
Jarang juga. Kalau gak ada susahnya, gak datang ke saya. Saya bilang kalau you untung terus, jangan minta advice sama saya. Kalau diganggu pemerintah, baru minta tolong saya.
Apakah Anda punya pengalaman yang paling berkesan sehingga benar-benar membuat Anda merasa harus terus mensyukurinya?
Sebenarnya dalam bisnis itu selalu up and down. Yang saya syukuri satu, pada saat karena politik saya dikerjain menjelang 1997-1998. Justru pada saat krisis, saya menggantikan loan hampir di semua perusahaan-perusahaan saya.
Dulu itu kan saya dituduh beli perusahaan di luar negeri dengan loan dalam negeri. Seolah-olah capital flight. Sehingga karena saya tidak mau dituduh capital flight, semua utang-utang saya di dalam negeri saya bayar.
Jadi banyak sekali yang kita bayar, jadi saya tidak terlalu banyak terganggu efek pada saat krisis waktu itu. Walaupun efeknya terasa karena saya terpaksa menjual tiga pabrik saya waktu itu untuk membayar krisis waktu itu sehingga akhirnya tidak ada persoalan, tidak utang lagi. Lima tahun kita perlukan untuk me-recover kembali semua kerugian akibat krisis moneter. Sekarang utang enggak ada lagi, kecuali utang modal kerja.
Ada rencana untuk go public?
Sebenarnya ada, tapi saya berpikir go public itu selalu untuk yang pertama kalau perlu uang untuk ekspansi. Kedua, kami tidak terlalu percaya kredibilitas go public di Indonesia pada saat itu karena banyak sekali perusahaan yang tidak bonafit yang masuk. Sebenarnya yang aktif kan hanya 1/3 perusahaan yang betul-betul jual beli. Yang lainnya tidak.
Sebenarnya bisnis kita paling sensitif karena kita tidak berani berbuat sesuatu karena saya selalu bisa diserang entah suka atau tidak. Banyak musuh mulai dari pemerintahan saja bisa musuh sama saya. Saya harus betul-betul jangan cari perkara. Makanya saya punya prinsip tidak mau satu pun saya masuk ke wilayah pemerintah. Kalau proyek pemerintah, dulu diajak untuk joint venture. Sekarang saya ucapkan terima kasih saja.
Sekarang kalau proyek dengan pemerintah saya pasti akan bergantung pada pemerintah dan kalau mereka tidak suka sama saya, mereka bisa menghujat saya. Sekarang tidak ada satu pun proyek dengan pemerintah. Saya tidak mau bergantung. Hubungan di market saja.
Saya mesti dua kali lebih hati-hati. Saya gak boleh banyak hutang, harus bayar utang tepat waktu. Kalau enggak, saya diserang terus.
Tetapi Anda dikenal terlalu vokal?
Kalau Anda lihat, saya selalu bicara vokal. Sebenarnya maksud saya baik. Kita harus kasih tahu apakah yang pemerintah buat itu betul atau tidak. Saya harus kasih lihat the other side. Jadi tidak bisa, hanya yes man.
Kalau ada yang harus diperbaiki, yah harus diperbaiki. Kalau mereka tidak suka dikritik, yah sudah. Dari dulu memang saya dimusuhi karena saya selalu kritik. Dulu saya diperiksa polisi, dituduh ini itu. Selama masa Habibie jadi buronan. Jadi apa yang belum pernah saya rasakan. Semua sudah. Makanya itu sebagai businessman saya harus hati-hati, harus bayar pajak, jangan bikin satu pun yang bisa buat kita jadi sorotan.
Saya selalu bilang sama anak-anak seperti itu. Bila perlu jangan berbisnis dengan pemerintah. Gak usah cari muka dengan pemerintah. Saya itu takut pada hukum karma. Saya pernah maki-maki Bung Karno waktu itu. Jadi ada satu prinsip kita bekerja sama tapi tidak usah cari makan dari proyek-proyek pemerintah. Mending berbisnis dengan teman-teman kita di luar.
Kalau dilihat, banyak orang yang akhirnya sakit hati sama Indonesia karena mungkin dulu dilecehkan dan lain sebagainya. Tetapi Anda yang juga mengalami hal serupa tetap dengan kerendahan hati mencintai negeri ini. Bagaimana bisa terjadi?
Saya itu punya komitmen pada saat kita berteriak-teriak Tritura. Sebelum saya di parlemen, saya ingin berbuat sesuatu untuk bangsa. Saya ingin memperlihatkan juga, saya ini masyarakat Indonesia. Bahwa saya keturunan China, itu bukan kehendak saya. Saya lahir dari sana, jadi yah mau apa.
Dulu pada saat saya jadi buronan, di Amerika saya malah ditawari jadi warga negara di sana, mau disponsori sama teman-teman saya. Mau ngapain you di Indonesia, kata mereka. Di sini saya dijadikan buronan. Tetapi sebenarnya gak ada buronan itu. Saya sudah tanya Interpol. Saya punya teman di mana-mana. Mereka bilang. Itu cuma takut-takuti saja. Saya buronan selama satu tahun, setelah itu dipanggil Gus Dur malah bantu dia.
Dulu sebelum krisis, semua bisnis mau kita jalani. Tapi setelah krisis, kita berpikir untuk mengkonsentrasikan bisnis kita terutama di bisnis-bisnis yang punya masa depan seperti manufaktur. Jadi masa depan Indonesia dengan pertumbuhan ini, kita bersaing dengan global.
Sebab menurut saya kembali lagi kalau kita bicara nasionalisme, saya banyak sekali sakit hati. Saya beberapa kali berdebat dengan teman-teman saya. Dulu saya itu mau mengarahkan teman-teman sebagian mau bergerak di bidang sosial, maka itu kita dirikan Prasetya Mulya. Kita mau buat lebih banyak untuk Indonesia, karena kita tahu kita ini selalu dianaktirikan.
Ada lelucuan di antara kita, kalau di jaman Soeharto kami orang keturunan ini bukan istri yang benar, kami itu cuma gundiknya saja. Kapan dia mau pakai, dia pakai. Kalau enggak, yah sudah. Jadi gak usah kita sakit hati, buktikan saja kalau kita mampu bangun bangsa ini, kasih kerjaan pada masyarakat bangsa ini.
Itu selalu yang saya coba. Saya tidak merasa sebagai keturunan, apakah mungkin karena keturunannya sudah lama. Ayah saya sendiri tidak bisa bahasa China. Kakek saya juga lahir di Indonesia. Kakek saya itu yang dari ibu saya tidak bisa bahasa China tapi bisa bahasa Belanda. Kalau dari ayah saya, kakek saya itu ke China hanya untuk belajar bahasa China. Tapi dia lahir di sini juga. Jadi saya sudah turunan. Saya masih ada nama china, Lim Bian Koen. Tetapi anak saya sudah tidak ada nama China.
Bagaimana menanamkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam diri anak-anak?
Saya kasih kebebasan tapi saya percaya mereka punya kecintaan kepada negaranya, Indonesia. Biarpun dia sekolah di Amerika di sekolah terbaik, tapi saya selalu tekankan bahwa kesempatan di Indonesia selalu lebih baik, selalu lebih besar.
Juga kesempatan untuk berbuat baik lebih banyak kepada bangsamu. Itu yang selalu saya tanamkan pada anak-anak saya. Kami dikasih yang besar dari negara ini jadi berbuatlan suatu yang lebih besar dari negara ini juga, sebelumnya kami ada apa-apa. Ayah saya juga tekankan seperti itu. Karena kami dituduh minoritas, makanya harus bisa buktikan bahwa you bisa lebih Indonesia dari orang Indonesia sekalipun.
Bukan sakit hati atau marah. Harus buktikan kepada pribumi bahwa kami bisa buat lebih baik lagi daripada pribumi. Supaya kita bisa lebih bersatu. Makanya saya tidak pernah marah walaupun di-cina-cina-in. Lah memang orang China mau diapain. Saya tidak pernah sakit hati karena itu. Banyak yang marah, teman-teman saya juga ada yang marah. Ada perasaan yang untuk mereka yang China totok. Yang lahir di sini, yang tidak tahu keturunan saya, yah untuk apa.
Saya juga tidak pernah mau tahu keturunan saya di sana. Kakek saya gak pernah kasitahu desa di sana atau keturunan kita. Yusuf dulu pernah coba-coba cari tapi tidak ketemu juga. Kakek saya juga kawin sama orang Nias.
Masih sering ke kantor? Apa masih ada ruangan yang disediakan untuk Anda?
Saya sering ke kantor. Ada ruangan. Saya punya ruangan paling gede di antara mereka. Ruangan saya paling bagus. Saya ke kantor seminggu dua-tiga kali. Saya mau pisahkan, kalau ada urusan Apindo saya di sini, kalau ada urusan kantor, yah di kantor saya. Sebenarnya saya banyak menjadi advicer di international group. Jadi saya banyak belajar juga. Saya anggap itu sebagai input untuk mengetahui dunia internasional sehingga kita ikut memonitor perkembangan dunia. Kita harus ikuti terus. Tapi sekarang saya lebih banyak berkonsentrasi di dalam negeri, karena Yusuf Wanandi lebih banyak di luar negeri. Jadi kita suka tukar pikiran, ketemu juga sering. Sama Yusuf kita paling sering telpon-telponan. Sekarang ini dia di Jepang.
Kelompok Prasetya masih ada?
Masih ada. Cuma sekarang prioritasnya lebih ke pendidikan. Itu semua kita bantu sama-sama. Kalau ada pertemuan sosial misalnya kasih bantuan atau bahas apa, kami masih ketemuan. Sekarang ada yang tinggal anak-anaknya. William Suryadjaya diwakili Edwin. Eka Putra Wijaya juga. Pak Sudwikatmono masih sering datang. Sedikit sekali yang tua-tua. Saya masih aktif ke sana.
Kalau melihat anak-anak muda sekarang, banyak yang berbisnis 3-4 tahun terus akhirnya terjun ke politik. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya pikir ini salah. Sekarang ini orang merasa politik itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dia sendiri. Kalau menurut saya, kalau au terjun ke politik seharusnya tinggalkan bisnisnya. Seperti Ical (Abdurizal Bakrie). Kalau dia mau terjun ke politik seharusnya dia tinggalkan Bakrie. Bahwa dia tentu ada hubungan boleh-boleh saja, tapi 100% sudah lebih banyak di politik.
Memang harus dipisahkan. Seperti Jusuf Kalla. Ketika dia terjun ke politik, betul-betul dia tinggalkan bisnisnya. Dia kasih ke anaknya yang jalankan semua. Betul-betul sama sekali dia terlepas dari kepentingan bisnisnya. Jadi sebenarnya yang paling baik berpolitik setelah kaya. You tidak usah ikut politik sebelum ada uang sendiri.
Pasti dia akan salahgunakan politik untuk kepentingan sendiri atau memperkaya diri sendiri. Itu yang terjadi sekarang. Yang muda-muda itu menurut saya terlalu instan mau cepat kaya tanpa kerja keras. Saya jadi begitu setelah 40 tahun lalu, bukan tiba-tiba jadi kaya. Tapi beda dengan sekarang. Harus pikir jangka panjang. Nama baik you, nama baik keturunan. Sekarang ini orang sudah tidak ada rasa malu lagi. Kita lihat orang masuk penjara saja sudah malu. Saya pribadi waktu buronan setahun sudah merasa malu ketemu teman, rasanya sakit hati betul, sudah berbuat baik untuk bangsa tapi akhirnya dikucilkan begitu saja. Sakitnya bukan main. Ketemu orang di Singapura, rasanya malu sekali sampai-sampai merasa kita orang lepra, betul-betul malu. Padahal belum tentu salah. Sekarang ini sudah keluar masuk penjara, tetap petenteng ke sana kemari gak ada malunya. Ini pengaruh dari hukum itu. Hukum kita bisa dibeli.
Apa kelemahan mendasar berbisnis di Indonesia?
Sebenarnya paling mendasar kita mau kerja keras atau tidak. Pendidikan kita ini setengah-setengah. Alam kita membuat kita terlalu dimanjakan. Ini juga karena pemimpin-pemimpin kita sendiri yang mau instan. Semua kekuasaan dipakai untuk membuat dia kaya.
Coba lihat semua pimpinan daerah. Ada gak yang membangun daerahnya setelah tidak jadi gubernur lagi? Semuanya pindah ke Jakarta. Saya gak tahu salahnya di mana. Teladan kepemimpinan itu yang penting karena kita feodal dan berani menegakkan peraturan. Coba lihat negara lain. Menteri-menteri kita juga bukan the right man in the right place.
Anda kan dekat dengan Bu Mari (Mendag Marie Pangestu)? Masih suka menegur Bu Mari kalau dia salah?
Masih. Dia terima karena dia tahu saya kasih kritik yang membangun. Kalau dia salah yah saya kasih tahu. Saya paling takut di sekitar kita banyak yang suka bikin senang pemimpinnya dan takut ngomong salah kalau memang ada salah. Jangan mempertahankan hal-hal yang salah. Semua yang salah malah dibenarkan.
Kalau saya melihat generasi muda di indonesia, jauh lebih pintar dan kesempatan jauh lebih banyak. Sekolah dan pendidikan lebih bagus. Saya masih melihat sekarang ini karena suasana dari kita, orang gak bisa kerja keras. Kita tidak seperti negara lain yang mau survive. Lihat China. Dia sekarang ini tumbuh sebagai negara yang kuat, jadi dia agak sombong. Dia gak apa-apa sombong. Bukan seperti kita yang tidak punya apa-apa malah sombong.
Sekarang ini kita tumbuh hanya karena menjual kekayaan, gap kaya miskin itu begitu besar. Ini tidak sehat. Makanya saya dorong bagaimana kita ciptakan nilai tambah, jual barang jadi bukan barang mentah. Jadi kekayaan alam itu kita manfaatkan betul-betul untuk kekuatan kita demi masa depan kita. Kita harus kerja keras. Kita sekarang bukan berkelahi di era globalisasi, tapi kita berkelahi di dalam negeri kita sendiri. Sementara orang luar negeir berlari dengan kencang. Akhirnya kita tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena kita berkelahi sendiri. Saling menghujat di antara kita, saling iri hati. Lupa kalau persaingan kita di tingkat global dalam menghadapi globalisasi. Maka itu setelah krisis oke kita tumbuh 4-5% tapi setelah itu negara lain berlari kencang kita jalan di tempat. Singapura sekarang 18% bisa tumbuh. Dulu dia anjlok hingga minus.
Obsesi di usia sekarang?
Doa saya setiap hari saya diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak untuk bangsa saya. Itu obsesi saya. Belum tercapai maksimal. Setiap hari saya selalu berdoa untuk itu. Biarpun saya menjadi korban dari orang lain, tapi saya selalu tergerak untuk itu.
Saya selalu tekankan anak saya untuk ekspansi di dalam negeri agar lebih banyak masyarakat yang memperoleh manfaat.
Pesan untuk pelaku usaha?
Pesan saya, you harus tekun. Kesempatan apapun juga harus dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya. Jangan kepentingan pribadi yang diutamakan. Kalau China bisa, India bisa kenapa kita tidak bisa. Kita jauh lebih kaya. Itu yang saya inginkan untuk teman-teman pengusaha saya. Jangan cuma mau cari kaya saja. You harus punya social responsibility juga buat bangsa ini.
sumber: http://www.bisnis.com/articles/sofyan-wanandi-mau-bisnis-tinggalkan-politik
No comments:
Post a Comment