Lulusan arsitektur ini melepas karier arsitek dan desain interior untuk terjun ke proyek pemberdayaan ramah lingkungan. Kepeduliannya pada nasib kain tenun tradisional Sumba, mengantar Adinindyah (36) pada sebuah bisnis. Pilihan jatuh pada lurik, kain tradisional khas Yogyakarta, yang dulu hanya diminati para buruh gendong, petani, dan abdi dalem. Bersama keempat temannya, ia mendirikan House of Lawe, tempat bahan lurik disulapnya menjadi berbagai produk fashion, tas, stationary, perlengkapan interior, hingga parsel.
Kini, usaha yang ia dirikan tahun 2004 itu berkembang menjadi bisnis menggiurkan. Usaha yang bermula dari modal patungan Rp 5,3 juta berhasil membukukan omzet Rp 420 juta setahun. Nindyah juga mengusung semangat memelihara dan memopulerkan tenun tradisional dari berbagai daerah serta mendukung pemberdayaan wanita. Itulah yang membuat para juri Lomba Wanita Wirausaha BNI-femina 2009 menobatkannya sebagai Juara III.
Berawal dari Sumba
Kesuksesan bisnis Nindyah berawal dari keaktifannya sebagai kerabat WWF sewaktu masih bekerja di kantor konsultan arsitektur dan interior di Yogyakarta. Ia hijrah ke Bogor untuk bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang dibiayai Filipina. Pertengahan 2004, ia ditugaskan melakukan perjalanan ke Kepulauan Sumba, Nusa Tenggara Timur, untuk melakukan pemberdayaan pengembangan hasil hutan non-kayu.
Ia bertugas memberikan pelatihan mengenai pewarnaan alami kepada para perajin tenun ikat Sumba yang ada di beberapa desa di Waingapu, Sumba Timur. Di sinilah, Nindyah jatuh hati pada keindahan kain tenun ikat Sumba, yang sayangnya, peminatnya masih sangat terbatas, sehingga para perajin kesulitan memasarkan produk. Padahal, dengan kualitas kain yang sangat mengagumkan, tenun ikat Sumba seharusnya bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas. ”Bayangkan saja, untuk membuat selembar tenun ikat, dibutuhkan waktu berbulan-bulan karena proses pengerjaan benar-benar dilakukan dengan tangan dan alat tradisional, serta bahan pewarna alami tumbuhan.”
Tergerak untuk menyebarluaskan keindahan tenun itu, ia langsung membawa pulang belasan meter kain tenun ke Bogor. Dibantu keempat temannya: Mita, Ani, Rina dan Ita, ia pun mencoba mengubah kain-kain tersebut menjadi produk-produk baru yang atraktif, fungsional, dan modern. Ia segera mengirim semua kain-kain itu ke Yogyakarta ”Kebetulan, di Yogyakarta, kawan saya, Ani, pandai membuat kerajinan tangan, seperti agenda dan boks-boks cantik,” ujarnya.
Kurang dari sebulan, pesanannya berupa agenda dan boks-boks berbahan baku kain tenun ikat Sumba pun selesai dibuat. Barang-barang itu langsung ia kirim kembali ke Waingapu, Sumba Barat. ”Lewat cara itu, kami mencoba memberi arahan kepada mereka bahwa kain tenun ikat bisa dipasarkan dengan cara lain yang lebih menarik dan modern,” ujarnya.
Beberapa bulan kemudian, Nindyah terpaksa hijrah ke Yogyakarta mengikuti sang suami bertugas. Di sinilah Nindyah melirik kain lurik, yang banyak dipasarkan di Yogyakarta dan Solo. Ia lantas mencoba mengolah kain tenun itu menjadi produk-produk yang lebih menarik. Sayang, ternyata tidak lagi mudah mendapatkan kain lurik yang dulunya pernah begitu melegenda. Namun, ia tak patah semangat. Bersama Ani, ia berburu lurik ke berbagai pelosok desa di sekitar Yogya untuk mencari perajin-perajin tenun lurik yang masih bertahan. ”Salah satu perajin tenun yang berhasil kami temukan adalah di Nanggulan, Kulonprogo,” ujarnya. Dengan uang hasil patungan mereka berdua, mereka langsung memborong kain lurik yang ada.
Kain-kain lurik itu langsung ia ubah menjadi agenda dan boks-boks yang variatif, hasil inspirasi dari majalah atau internet. Ia juga membuat kreasi produk lain, mulai dari tas, sarung bantal, dan kantong HP. ”Setelah dapat inspirasi, saya corat-coret di kertas sampai dapat sketsa desain yang diinginkan,” ujar lulusan Teknik Arsitektur UGM ini. Sketsa desain itulah yang kemudian ia konsultasikan dan diskusikan dengan penjahit, untuk diwujudkan dalam bentuk sebuah produk. Untuk urusan menjahit, Nindyah merekrut tetangga rumahnya.
Stok produk pertamanya berupa selendang, stationery, tas, dan sarung bantal yang berjumlah 50 buah, langsung diborong salah seorang kawannya. Kebetulan, kala itu ia hendak pergi ke Kepulauan Fiji, untuk menghadiri seminar. Di sana, semua produknya ternyata sukses terjual. Hal ini makin menambah kepercayaan Nindyah untuk terus berproduksi. Meski dalam skala kecil, ia mulai banyak menerima pesanan. Biasanya, untuk suvenir pernikahan maupun perlengkapan seminar. Promosi usahanya baru ia lakukan dari mulut ke mulut.
Tahun 2007, setelah memiliki cukup banyak stok barang dengan beragam variasi model, Nindyah memberanikan diri ikut pameran Inacraft di Jakarta. ”Sebenarnya, sejak tahun 2005 produk Lawe sudah ada di Inacraft. Saya menitipkannya kepada seorang teman yang mengikuti pameran tersebut. Tetapi, hasilnya kurang menggembirakan. Dari ratusan barang yang saya titipkan, lakunya kurang dari 20 persen,” kenang Nindyah.
Ia tak menyerah, tetap rajin ikut pameran. Tak disangka, keikutsertaannya pada Inacraft tahun 2007 berhasil menuai sukses. Barang dagangannya nyaris habis. Ia juga banyak menerima pesanan baru. ”Ternyata hasilnya memang berbeda jika barang dagangan itu kita pegang sendiri,” ujarnya.
Kunci kesuksesan Lawe lainnya adalah keberanian Nindyah dalam berinovasi membuat motif-motif lurik dengan permainan warna yang lebih playful dan berani. Padahal, lurik umumnya identik dengan warna-warna gelap dan cenderung kusam. ”Warna-warna terang ternyata disukai anak-anak muda yang menjadi salah satu konsumen potensial Lawe. Warna cerah juga membuat lurik terlihat lebih modern. Makanya, setiap waktu saya juga rajin mengikuti tren warna yang sedang in.”
Kepiawaian Nindyah dalam membuat desain-desain produk yang cantik dan fungsional juga menjadi keunggulannya yang lain. Lihat saja bagaimana kain-kain lurik itu menjadi sebuah tas cantik, blus anggun, hingga bedcover modern. ”Dalam seminggu, saya menargetkan membuat sebuah desain produk baru untuk dilempar ke pasaran.”
Sejak keikutsertaannya di Inacraft 2007 itu pula, produk-produk Lawe (bahasa Jawa, artinya 'serat alam untuk bahan tenun') makin banyak dikenal orang. Nindyah lalu membuka showroom Lawe yang pertama di Amri Museum and Art Gallery, Yogyakarta. Ia juga mulai membangun website usaha (www.houseoflawe.com). Diakuinya, website berperan besar dalam memopulerkan produk-produknya ke seluruh Indonesia.
Kini pelanggannya sudah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, tak sedikit pembeli dari luar negeri yang datang ke kantornya untuk membeli dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual lagi. ”Salah satu pelanggan rutin saya adalah seorang wanita dari Australia. Tiga bulan sekali ia datang ke workshop untuk membeli produk-produk Lawe terbaru.”
Mencari Pesaing
Seiring pasar yang berkembang, Lawe pun membesar. Dari awalnya mempekerjakan seorang penjahit freelance di dekat rumahnya, kini di workshop-nya sudah ada tujuh pekerja yang siap membantu menjalankan roda bisnis. Itu belum termasuk puluhan perajin tenun dan penjahit yang tersebar di seluruh Yogyakarta yang rutin mengerjakan pesanannya.
Nindyah memang sengaja tidak mengumpulkan semua pekerjanya -yang hampir semuanya wanita- dalam sebuah workshop. Selain menghemat biaya, cara itu juga dipilihnya untuk memberdayakan wanita-wanita di daerahnya, agar bisa memiliki penghasilan namun tetap bisa membagi waktu untuk suami dan anak-anak di rumah. Secara berkala, perajin-perajin tersebut akan mengambil bahan baku ke workshop Lawe, untuk kemudian mereka bawa ke rumah untuk dikerjakan. Pada waktu yang sudah ditentukan, mereka membawa hasil jahitannya kembali ke workshop Lawe.
”Ada juga yang bahan bakunya saya antar ke rumah mereka, bagi para perajin yang lokasi rumahnya jauh dari workshop. Perajin terjauh kami rumahnya di Sedayu, Bantul, sekitar 45 menit dari workshop kami di Bugisan, Bantul,” ujar Nindyah. Tak hanya merekrut orang-orang yang sudah berpengalaman, Nindyah juga tak segan menerima orang-orang yang berniat untuk belajar. Awalnya, Nindyah memberikan jahitan-jahitan yang mudah, seperti sarung ponsel atau sarung bantal. Lama-kelamaan mereka ditantang untuk membuat produk-produk lain yang lebih rumit, seperti tas atau pakaian.
Untuk menjamin kesejahteraan para pekerja yang tergabung di workshop Lawe, Nindyah sengaja membangun usahanya dalam bentuk koperasi, di mana ia bertindak sebagai ketuanya. Nindyah tidak sepenuhnya menjadi pemilik tunggal House of Lawe karena semua pekerjanya juga memiliki kontribusi saham di dalamnya. Sehingga, keuntungan yang diperoleh pada akhirnya dibagi secara adil kepada semua pemilik saham. Sistem ini, menurut Nindyah, efektif untuk menumbuhkan rasa memiliki dari para pekerja sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan roda bisnis Lawe.
Program lain yang dijalankan Nindyah adalah sisterhood. Melalui program ini ia berharap keberadaan ragam kain tenun Indonesia yang jumlahnya sangat banyak bisa makin populer. Ia mengajak para wanita Indonesia yang memiliki kain tenun tradisional di daerahnya untuk bekerja sama mengolah kain-kain tersebut menjadi produk yang lebih fungsional dan bernilai jual.
Selain memberi pelatihan produksi, pihaknya juga tak pelit memberi arahan untuk pemasaran produk. ”Sejauh ini beberapa tenun daerah yang sudah kami garap adalah Sumba Barat, Lombok, Bali, dan Pontianak. Jumlah tersebut masih sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan jumlah tenun yang dimiliki Indonesia.” Karenanya, ia berharap dalam beberapa tahun ke depan akan makin banyak pihak yang bergabung dalam program tersebut. Tidak takutkah jadi banyak saingan? ”Justru itu yang saya inginkan. Biar Lawe tidak sendirian,” tuturnya.
sumber: http://wanitawirausaha.femina.co.id/WebForm/contentDetail.aspx?MC=001&SMC=006&AR=40
No comments:
Post a Comment