Wednesday, March 14, 2012

Mantan Supir Jadi Juragan Setelah Sukses Menekuni Bisnis Jamur Tiram

Usaha budidaya jamur yang dirintis Hari Siswoyoto sejak tahun 1995 itu tidak hanya mampu menghidupi keluarganya, tetapi juga memberdayakan sedikitnya 700 petani di daerah Sukabumi, Bogor, dan Cianjur, Jawa Barat.

Padahal, ide membudidayakan jamur itu muncul secara kebetulan saat ia masih menjadi karyawan sebuah perusahaan otomotif di Jakarta pada tahun 1984. Awalnya, Hari Siswoyoto tak terpikir untuk mempunyai usaha sendiri, apalagi membudidayakan jamur.

Dia merasa cukup nyaman menjadi karyawan dengan penghasilan tetap. Inspirasi menjadi pengusaha muncul justru dari seorang pedagang rokok dan minuman. Kalau pedagang rokok saja berani punya usaha sendiri, bahkan bisa mengembangkannya dari satu tempat menjadi 10 tempat berjualan, mengapa ia tak berani?

Hari lalu berusaha mencari bidang usaha yang kira-kira bisa dia tekuni. Pilihannya jatuh pada jamur karena dia kerap melihat orang di kampungnya, daerah Sleman, DI Yogyakarta, suka mengonsumsi jamur, terutama ketika musim hujan. ”Ketika itu jamur belum banyak di pasaran. Saya langsung yakin, jamur bisa menjadi peluang yang menjanjikan,” kata Hari.

Dimulai dari keyakinan itulah, di sela-sela waktu kerjanya, Hari rajin berburu informasi hingga dia bertemu dengan seorang kepala sekolah pertanian di Sukabumi. Menimba ilmu pertanian dari ”ahlinya”, dia lalu membuat semacam kebun percontohan jamur di kawasan Cisarua, Bogor.

Percobaan budidaya jamur mulai dari pembibitan hingga panen yang dilakukan Hari relatif berhasil. Namun, keberhasilan itu saja belum bisa dijadikan ukuran untuk memulai usaha. Pasalnya, Hari belum menemukan pasar yang bisa menyerap produk jamurnya secara rutin.

Jaringan pemasaran

”Saya sempat putus asa karena pasar masih asing dengan produk pertanian bernama jamur. Harganya ketika itu juga masih sangat murah sehingga saya rugi jika budidaya jamur ini diteruskan,” cerita Hari yang menggunakan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) jenis Oister oleim untuk memberdayakan masyarakat pedesaan di Sukabumi, Bogor, dan Cianjur.

Namun, di sisi lain, dia juga pantang berhenti dengan usaha yang sudah dirintis itu. Hari kemudian menyambangi pasar-pasar tradisional di Bogor dan Jakarta untuk membuat jaringan pemasaran jamur.

Ketika itu harga jamur relatif masih murah, sekitar Rp 2.000 per kilogram. Pasar pun mulai terbentuk, dari satu-dua pedagang, beberapa pedagang lainnya pun minta pasokan jamur darinya.

Di sisi lain, produksi jamur yang bisa dia pasok ke pasar-pasar tradisional di Bogor dan Jakarta juga semakin stabil karena banyak petani di Cisarua yang mengikuti jejak Hari. ”Para petani di Cisarua bahkan bisa ikut mengontrol harga karena permintaan pasar cukup banyak. Petani jadi punya daya tawar tinggi terhadap pedagang,” kata Hari tentang kondisi pada tahun 1997 itu.

Baru pada tahun 2000 Hari dan seorang rekannya mengembangkan budidaya jamur itu secara besar-besaran sehingga makin banyak petani yang bisa dilibatkan. Harga jamur pun sudah meningkat menjadi Rp 6.000 per kilogram.

Seperti layaknya sebuah usaha yang mengalami pasang-surut, budidaya jamur yang dikembangkan Hari juga sempat menyurut. Bedanya, usaha jamurnya menyurut karena dia dipindahtugaskan dari kantor di Jakarta ke kantor cabang di salah satu kota di Kalimantan. Namun, terlanjur cinta pada jamur, Hari lalu memutuskan mengundurkan diri dari kantor tahun 2002. Dia memilih untuk fokus pada usaha jamurnya.

Sampai tahun 2005 semakin banyak petani di daerah Cikidang, Kabupaten Sukabumi, dan Puncak, Cianjur, yang terlibat dalam budidaya jamur yang dikelola Hari. Dengan bertani jamur, para petani binaannya bisa mendapatkan penghasilan dari Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per hari.

Tumbuh cepat

Dari pengalamannya selama ini, Hari berkesimpulan, budidaya jamur bisa diterima petani dalam waktu cepat sebab relatif mudah. ”Jamur itu parasit yang tumbuh cepat dan tidak memerlukan lahan yang luas,” katanya.

Jamur tiram, misalnya, bisa dibudidayakan dengan media tanam polybag yang disusun di rak-rak. Untuk budidaya jamur tiram sebanyak 10.000 polybag diperlukan dana sekitar Rp 20 juta.

Rinciannya, untuk bibit Rp 17 juta dan pembuatan rumah budidaya Rp 3 juta dengan ukuran 6 meter x 12 meter. Dari budidaya itu akan diperoleh hasil sekitar 60 kilogram jamur setiap hari.

Belakangan harga jamur tiram sekitar Rp 6.500 per kg dari tangan petani. Di pasar modern harga jamur tiram mencapai Rp 22.500 per kg. Jamur tiram makin diburu konsumen karena memiliki kandungan protein tinggi.

Karena berkembangnya amat cepat, jamur tiram harus dipanen setiap hari, bahkan bisa dipanen pada pagi dan sore. Pasalnya, jamur yang sudah dibudidayakan akan mati dalam waktu tiga hari sejak tumbuh. ”Satu bibit jamur tiram itu akan terus panen hingga empat bulan sehingga modal usaha rata-rata sudah akan kembali atau impas pada dua bulan pertama budidaya,” katanya.

Setelah berhasil memberdayakan petani di pegunungan di wilayah Sukabumi, Cianjur, dan Bogor, belakangan Hari giat mengajak pemilik lahan sempit di Kota Sukabumi. Ia membuat percontohan di Jalan Bhayangkara, Kota Sukabumi.

”Dalam waktu empat bulan sudah 24 pembudidaya jamur yang ikut. Mereka umumnya memiliki lahan amat sempit. Bahkan, ada yang hanya seluas 2 meter x 3 meter, tetapi mereka rutin berproduksi dan menikmati keuntungan,” katanya.

Sebagian pembudidaya bahkan melebarkan usaha untuk memberi nilai tambah pada jamur karena hanya jamur berkualitas bagus yang bisa masuk ke pasar modern. Mereka mengolah jamur berkualitas rendah menjadi keripik jamur. Setelah dikeringkan, jamur digoreng. Harga jual keripik jamur ini bisa mencapai Rp 400.000 per kg.

Selain petani, budidaya jamur juga mulai dipraktikkan kesatuan militer dan kepolisian. Hari juga mendampingi usaha budidaya jamur di Sekolah Calon Perwira atau Secapa Polri Sukabumi. Menurut rencana, konsep budidaya jamur tersebut akan dikembangkan untuk membekali anggota kepolisian keahlian yang bisa memberikan penghasilan di luar kedinasan.

Selain Hari Siswoyoto ada pula Kaiman, 49 tahun, contoh sosok pengusaha kecil yang mengalami keberhasilan dalam menekuni usaha budidaya jamur tiram berlokasi di Desa Bulu Kandang, Kec. Prigen, Kab. Pasuruan, Jawa Timur

Bapak dua anak itu merintis usaha tersebut sejak 2005 dengan susah payah, dan kini secara rutin telah memasok jamur tiram ke pelanggan rata-rata 100 kg/ hari dengan harga jual Rp10.000/ kg serta 1.000 unit baglog/ media tanam dengan harga jual Rp2.250 per unit, sesudah memperoleh pembinaan dari PT HM Sampoerna Tbk mencakup bantuan peralatan, manajemen serta promosi.

Sebelum menjadi petani jamur tiram, Kaiman selama 14 tahun, sejak 1995 bekerja sebagai sopir angkutan barang rute Surabaya – Bali. Bosan menjalankan kendaraan angkutan barang antar provinsi, lelaki bertubuh kecil itu lantas menghentikan profesinya dan membeli kendaraan bermotor roda empat sistem kredit untuk dioperasikan sebagai angkutan kota di wilayah Kab. Pasuruan.

Akibat sepinya volume penumpang, maka Kaiman tidak memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga. Sehingga dia pun tidak melanjutkan usaha angkutan kota.

“Peluang kerja sangat sempit bagi saya sebab saya tidak punya ijazah, mengingat tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Dalam keadaan seperti ini, pada 2005 ada tawaran untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan di bidang budidaya jamur dari HM Sampoerna, maka saya mengikutinya,” ujar Kaiman.

Desa tempat tinggal Kaiman memang berada di sekitar pabrik sigaret kretek mesin (SKM) yang dioperasikan PT HM Sampoerna Tbk di Sukorejo, Kab. Pasuruan. Dan industri rokok tersebut memiliki program pemberdayaan masyarakat desa berupa pelatihan usaha sesuai potensi desa setempat, yang dilakukan melalui lembaga Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna.

Kaiman mengaku pada 2005 mengikuti pelatihan usaha di PPK Sampoerna selama 14 hari berupa bimbingan tentang pengadaan bibit sistem kultur jaringan, proses pembuatan media tanam jamur tiram dan metode pembudidayaannya. Bahkan ada pula pelatihan membuat makanan berbahan baku jamur.

Ada 20 peserta dari Desa Bulu Kandang yang turut dalam pelatihan budidaya jamur tiram, kemudian secara berbarengan memulai usaha tersebut. Tetapi dalam perkembangannya beberapa orang tidak berlanjut dan sebagian besar lainnya merintis pertanian jamur termasuk Kaiman.

Dengan bermodalkan 1.000 unit baglog, Kaiman memulai usaha budidaya jamur tiram dengan penuh keseriusan. Tempat budidaya yakni bangunan berdinding gedeg/ bambu telah dimiliki, maka wirausaha jamur dapat dilaksanakan.

Berdasarkan ilmu yang diperoleh dari pelatihan, media tanam terdiri dari serbuk kayu gergajian, dedak/katul, tepung jagung dan kalsium yang dibungkus plastik dengan bobot 1,1 kg per unit baglog.

Kumbung seluas 50 m2 (lebar 5 meter x panjang 10 meter) dapat dimanfaatkan untuk pembudidayaan 5.000 unit baglog. “Jamur tiram tergolong tanaman yang cepat tumbuh dan setiap unit baglog dapat menghasilkan panenan hingga 1 kg selama 5 bulan, lalu diganti media tanam baru. Tetapi saat panen perdana saya kesulitan mencari pasar,” kenang Kaiman.

Untuk itu, dia melakukan penjualan keliling guna menawarkan jamur tiram ke restoran dan swalayan, sementara di pasar tradisional umumnya belum terbiasa digunakan menjual komoditas tersebut sebab masyarakat luas belum terbiasa mengkonsumsi jamur tiram.

Dengan didasari ketekunan untuk meraih keberhasilan, Kaiman tidak lelah memasarkan jamur tiram ke calon pembeli potensial yakni para pengepul maupun restoran pengguna jamur untuk bahan masakan.

“Selain mencari terobosan pasar sendiri, saya juga dibantu PPK Sampoerna untuk mempromosikan jamur yang dipajang di etalase PPK Sampoerna sekaligus diikutkan pameran bersama pengusaha kecil lainnya yang dibina Sampoerna,” papar Kaiman.

Berkat ketekunan dalam memperluas pasar, Kaiman berhasil mendapatkan order dari para pengepul maupun restoran di berbagai kota (tidak terbatas di wilayah Kab. Pasuruan). Seiring semakin besarnya daya serap pasar, Kaiman pun dapat meningkatkan volume usahanya.

Kini dia memiliki beberapa kumbung yang digunakan membudidayakan puluhan ribu unit baglog. Selain itu, juga memenuhi permintaan baglog dari petani Dengan demikian, Kaiman mampu memunculkan petani-petani jamur di beberapa daerah.

Sesuai tuntutan pasar, Kaiman harus menyiapkan jamur dan baglog dalam jumlah yang cukup. Untuk menggerakkan kegiatan usahanya, dia kini didukung 12 tenaga kerja yang diupah secara harian.

“Saya kini rata-rata memasok baglog sebanyak 1.000 unit per hari dengan harga jual Rp2.250 per unit antara lain memenuhi permintaan dari Dinas Pertanian dan Perum Perhutani di beberapa kabupaten/kota, selain pesanan langsung dari petani/pembudidaya. Ini membuktikan konsumsi jamur semakin meningkat,” papar Kaiman.

Meningkatnya konsumsi jamur otomatis berdampak positif terhadap peningkatan omset Kaiman. Soalnya, harga jual jamur tiram sebesar Rp10.000/kg, sedangkan Kaiman mampu memasarkan 100 kg/per hari memenuhi pengepul dan restoran.

Untuk memperlancar kegiatan usaha budidaya jamur tiram dibutuhkan ketersediaan bahan baku utama yakni serbuk gergajian kayu. Masalahnya, serbuk kayu gergajian di Kab. Pasuruan kini mulai langka, sehingga harus dicari hingga kabupaten-kabupaten tetangga yakni di Kab. Malang dan Kab. Lumajang.

Harga beli serbuk kayu Rp8.000 per sak ukuran 40 kg, yang dapat diolah menjadi 25 unit baglog, sehingga berdasarkan kalkulasi cukup menguntungkan kendati ditambah jenis bahan lain untuk media tanam.

Sejalan dengan berkembangnya usaha budidaya jamur tiram dan produksi baglog, Kaiman kini benar-benar mampu menikmati hasilnya. Dia optimis usaha yang digelutinya sejak empat tahun terakhir akan mampu meningkat lagi di masa-masa mendatang.

Community Development Executive PT HM Sampoerna, Widowati, menjelaskan Kaiman merupakan bagian dari puluhan pengusaha kecil binaan perusahaan tersebut yang masih perlu pendampingan hingga benar-benar mampu mandiri.

“Kami sejak tahun lalu juga mengoperasikan UKM (Usaha Kecil Menengah) Center di Central Business District Taman Dayu, Kab. Pasuruan, yang memiliki fasilitas untuk men-display produk yang dihasilkan mitra binaan. UKM Center juga dijadikan ajang per-temuan sesama pengusaha kecil untuk saling tukar informasi dan berlatih tentang pemasaran,” papar Widowati. (fn/km/yea)

sumber: http://www.suaramedia.com/ekonomi-bisnis/usaha-kecil-dan-menengah/41257-gara-gara-bisnis-jamur-tiram-bekas-supir-jadi-juragan.html

No comments: