Kendati telah hadir di belantara bisnis Tanah Air ham pir 57 tahun, banyak yang belum mengenal Arion Paramita, holding company yang membawahi 18 perusahaan di bidang jasa transportasi, lembaga keuangan, perkebunan, properti, dan pariwisata.
Tim Bisnis berkesempatan mewawancarai Murphy Hutagalung, pemilik Arion Paramita Hoding Company, agar berbagi kisah sukses dalam memimpin kerajaan bisnis keluarga tersebut. Berikut petikannya:
Bagaimana awal berdirinya Arion?
Alamarhum ayah saya [Mangaradja Hutagalung] datang dari Sumatra Utara ke Jakarta pada 1957. Lantas beliau membangun usaha toko sandang pangan. Toko itu berjalan sukses. Sampai pada 1962 saat pelaksanaan Asian Games di Jakarta, ayah saya dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk mempersiapkan angkutan umum.
Selanjutnya pada 1969, zaman DKI Jakarta dipimpin Ali Sadikin, ayah saya dipercaya mengelola transportasi umum pertama di Jakarta. Bisnis ini berjalan sampai 1979, seiring dengan kebijakan pemerintah yang mengambil alih delapan perusahaan swasta dengan alasan untuk kepentingan nasional, seluruh bus dan karyawan diambil, tetapi tidak dengan asetnya.
Saat itu ayah saya menerima pembayaran dari pemerintah untuk 175 armada bus sebesar Rp2 miliar.
Setelah kejadian tersebut, ayah saya mulai down untuk membangun bisnis transportasi lagi.
Setelah kejadian itu?
Sekitar 1980 ayah saya membuka usaha di bidang manufaktur. Di sinilah anak mulai dilibatkan. Kami dikader langsung oleh ayah hingga 1987. Saya mulai karier dari bawah.
Waktu itu saya berpikir ini perusahaan ayah saya berarti saya juga pemilik. Saya dengan enak saja datang ke kantor pk. 09.00 Wib, meski karyawan lain masuk pk. 08.00 Wib. Sekali dua kali dimaafkan. Setelah itu, saya dipecat oleh ayah saya dan diumumkan di depan karyawan, semua fasilitas ditarik.
Dari situ saya berpikir, rupanya begitu cara ayah mendidik saya. Mulai itu, saya dan kakak saya berpikir untuk melanjutkan bisnis transportasi ayah saya. Kami berdua mengurus perizinan bus pariwisata. Setelah memperoleh izin, kami memberanikan diri mengajukan pinjaman kepada ayah. Waktu itu nilainya Rp900 juta untuk modal membeli sembilan unit bus.
Kami tetap harus mencicil utang dan bunga pinjaman dalam waktu 7 tahun. Kami mulai dari sembilan bus itu, kita peroleh kontrak dan kepercayaan dari perusahaan asing untuk mengangkut karyawan. Semakin lama berkembang menjadi 15 bus dan bertambah lagi menjadi 35 bus dalam kurun waktu 19821985.
Mengapa Arion bisa berkembang ke berbagai lini bisnis?
Pada 1987 ayah saya meninggal. Beliau meninggalkan semacam wasiat, “Apabila Tuhan memanggil saya, semua usaha yang saya tinggalkan tidak boleh dibagi-bagi. Tapi harus dijaga dan dikembangkan, siapa yang melanggar terkutuk seumur hidupnya.“
Ngeri kan? Akhirnya saya dan keluarga sepakat melanjutkan bisnis ini. Meski dalam adat semestinya yang memimpin adalah kakak saya, tapi keluarga sepakat menyerahkan kepada saya. Waktu itu saya berpikir, bisnis transportasi ke depan tak seelok zaman ayah saya dulu. Saya katakan kepada kakak saya, kamu jaga kandang dan saya akan menyerang melalui diversifikasi usaha.
Saya mulai merintis bisnis kecil-kecilan, seperti travel, money changer, gedung pertemuan dengan modal nol dan modal kepercayaan. Sampai saat ini, Arion memiliki 18 perusahaan, kami masuk transportasi, lembaga keuangan, pariwisata, properti, perkebunan, dan industri. Setelah semua berjalan, ternyata bisnis-bisnis lain ini lebih indah dari transportasi.
Mengapa bisa dikatakan lebih indah dibandingkan dengan transportasi?
Dari pengalaman saya dalam dunia bisnis, ternyata transportasi merupakan bisnis paling pelik dan rumit, karena kita berhadapan dengan berbagai masalah. Industri transportasi ini ditangani pemerintah. Kami sebagai pelaku usaha hanya disetir.
Harus kami akui, kami tetap pertahankan transportasi, tetapi sejauh sistemnya tidak berubah saya melihat bisnis ini tidak akan berkembang. Bisnis transportasi ini banyak majikannya. Bagaimana kita mau maju kalau sistemnya berjalan seperti ini terus.
Itu sebabnya, secara bertahap kami masuk ke pariwisata pada 1988, setahun kemudian kita punya lembaga keuangan, disusul properti pada 1990, dan industri 1993. Pada 1997 saya agak mengerem diri, karena terjadi krisis. Padahal, tahun itu saya siap bangun hotel. Pinjaman dari bank sudah saya dapat, tetapi akhirnya saya kembalikan.
Dari semuanya, mana yang memberi kontribusi terbesar pada Arion?
Tentu volume properti dan hotel yang paling tinggi. Sejauh ini posisi okupansi hotel kita di atas 80%, demikian pula dengan properti. Semua tak bisa lepas dari lokasi. Saya pertama kali masuk bisnis hotel pada 1998. Pertama kali saya buka resor di Puncak seluas 4 hektare.
Setelah itu, kami masuk Bandung lewat Arion Swissbelhotel Bandung, dan baru-baru ini Arion Swissbelhotel Kemang Jakarta. Tahun ini saya coba buka Arion Kelapa Gading, tahun depan moga-moga bisa buka satu lagi di Sudirman Jakarta.
Pernah merasakan kegagalan?
Dalam bisnis pasang surut, kegagalan itu pasti ada. Tapi dari pengalaman itu kita bisa belajar. Pada 1993, saat saya membangun Mal Arion Rawamangun pemerintah memutuskan memenggal ketinggian mal yang saya bangun dengan alasan kawasan itu merupakan tempat lalu lintas udara.
Satu sisi saya sudah mengikat kontrak, satu sisi lagi pemerintah tidak mengeluarkan izin. Gubernur menyalahkan, karena saya dianggap melanggar. Menurut saya tidak melanggar karena sudah ada keputusan dari Kepala Dinas Tata Kota. Ini menyakitkan sekali, waktu itu saya rugi hampir Rp2 miliar.
Sandungan lainnya?
Seharusnya 1996 saya punya bisnis kereta api. Ceritanya, saya dipanggil pemerintah untuk menjalankan kereta api eksekutif jurusan Jakarta-Solo lewat Bandung. Saya sudah siapkan investasinya, saya juga sudah deal dengan Pemerintah Australia untuk pembelian tiga lokomotif dan 34 gerbong.
Saat itu harga satu gerbong dari Australia kalau di kurs Rp450 juta per gerbong. Tetapi saya tidak akan bocorkan, siapa yang memotong saya dan mengharuskan saya membeli gerbong dari Inka [Industri Kereta Api] yang saat itu harga satu gerbong Rp1,5 miliar. Itu masih dengan catatan, delivery order tidak dijamin.
Padahal kalau saya ambil dari Australia sudah siap dan saya pastikan tahun berikutnya beroperasi.
Meski izin sudah saya terima, akhirnya saya kembalikan ke pemerintah. Itu sebabnya, saya sangat hati-hati sekali dalam mengelola bisnis ini. Bisnis keluarga itu tak akan lepas dari sorotan orang.
Kalau sudah dipegang generasi kedua, mereka bakal lihat dan menunggu kejatuhannya. Itu yang tidak saya inginkan. Banyak perusahaan ingin cepat besar karena fasilitas dan lainnya, saya tidak inginkan itu. Arion tetap harus berkembang, meski perlahan.
Bagaimana Anda memimpin karyawan?
Saya memimpin tak kurang dari 4.000 orang karyawan, baik yang tetap maupun kontrak. Itu belum termasuk yang di perkebunan. Mereka seperti bagian keluarga yang juga harus memiliki perusahaan ini. Saya ajarkan mereka untuk tidak mudah menyerah, jika mengalami kegagalan. Kalau gagal, kita bisa kembangkan yang lainnya. Anggap saja gagal itu karena momentumnya yang tidak tepat.
Ke depan apa yang ingin dicapai bersama Arion?
Saya sudah bermimpi bisnis Arion harus berjalan terus, tidak mungkin saya dan saudara saya akan memimpin terus-menerus. Sekitar 2-3 tahun lagi, kami mempersiapkan Arion untuk go public.
Perusahaan ini harus mulai dikelola oleh orang profesional. orang profesional. Anak-anak tidak boleh turut campur. Ada istilah generasi pertama membangun, generasi kedua meneruskan, ketiga menghabiskan. Nah, saya tidak ingin itu terjadi di sini.
Tidak menyiapkan putra mahkota?
Tidak. Anak harus berbisnis di luar Arion. Kami sekeluarga sepakat. Kenapa tidak kita libatkan, kalau anak saya sekian, saudara saya anaknya sekian. Jumlahnya banyak, bicaranya masing-masing sudah kebutuhan sendiri. Itu prinsip, anak-anak bekerja di luar Arion, meski mereka tetap sebagai pemegang saham terbesar perusahaan ini.
Masih punya mimpi yang ingin diwujudkan?
Sebagai pengusaha tentu tidak akan ada habisnya. Saya melihat pertumbuhan pariwisata Indonesia ke depan akan bergerak. Saya akan buka hotel di berbagai tempat, termasuk luar Jakarta. Dulu saya juga pernah berencana membuat Arion Disneyland pada 1996.
(Stefanus Arief S., Natalina Kasih S., Setyardi Widodo, Suwantin Oemar & Inria Zulfikar )
sumber: http://www.bisnis.com/articles/murphy-hutagalung-anak-anak-tak-boleh-ikut-campur
No comments:
Post a Comment