Sunday, March 11, 2012

Mantan Karyawan yang Sukses Berbisnis Fashion Berbahan Katun

Wanita bergelar sarjana ekonomi dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo ini  memulai karir sebagai student banker di sebuah bank swasta. Lalu pindah menjadi staf divisi management information system di perusahaan ritel, lalu store manager dan product development officer di perusahaan batik ternama, kemudian keluar dan menjadi makelar tanah serta rumah.

Berkarir selama 14 tahun di beragam profesi itu membuat Monica Subiakto (40) tak canggung untuk berbisnis sendiri. Makanya begitu berwirausaha, ia meraih sukses dalam waktu singkat. Kreativitas dan keunikan produknya juga membuat ia menjadi Pemenang II Lomba Wanita Wirausaha BNI-femina 2009.

Permintaan Si Sulung
“Saya lulus sarjana 3,5 tahun saja. Soalnya, sudah nggak betah kuliah,” Monica tertawa. Maklum, sejak SMA, ibu dua anak ini sudah senang berjualan dan tertarik pada fashion. Baju, kaus, bahkan batik, ia beli, lalu dijual kembali ke teman-temannya. Sayang, orangtua tak mendukung minatnya. Mereka ingin Monica menjadi apoteker, mendampingi kakaknya yang dokter. Tetapi, melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), Monica akhirnya diterima di Fakultas Ekonomi tanpa tes.

Lulus dari Jurusan Manajemen, Monica memilih profesi yang dekat dengan minatnya, fashion. Ia bekerja 5 tahun di Matahari Department Store, disambung 7 tahun di Batik Danar Hadi. Setelah itu, Monica merasa pengalamannya sebagai karyawan sudah cukup. “Saya banting setir jadi pengusaha. Saya join kakak membangun restoran. Bisnis ini cukup sukses, tetapi entah mengapa, lama-kelamaan saya kehilangan minat,” Monica  berterus-terang.

Dengan bakat marketing-nya, Monica mencoba menjadi broker rumah dan tanah. Diakui, komisi yang ia peroleh cukup besar, tetapi suaminya, Subiakto, keberatan. Maklum, jam kerjanya tak teratur. Ia kerap harus memenuhi janji bertemu dengan calon pembeli di malam hari. “Klien saya kebanyakan memang bapak-bapak,” ujarnya.

Di saat sibuk menjadi broker itulah, tiba-tiba putri sulungnya, Amanda (14), meminta Monica untuk membuatkan bisnis untuknya. Amanda, meski baru duduk di bangku SMP saat itu, sudah bertekad jika dewasa nanti tak ingin kerja ‘ikut orang’. “Mungkin ia tidak nyaman melihat bapak-ibunya kerja pergi pagi,  pulang malam,” jelas Monica.

Monica tertantang untuk memenuhi permintaan lugu anaknya itu. Bukan hanya karena rasa sayang, tetapi juga karena sejak kelas 3 SD, Amanda memang sudah hobi berjualan pernak-pernik. Stiker, aksesori rambut, dan peralatan sekolah dibeli Amanda secara grosir, lalu dijual ke teman-temannya. “Tetapi, ia lebih lihai dari saya. Kalau sudah tidak ada yang mau membeli, ia bisa, lho, merayu teman-temannya untuk tetap membeli dengan alasan untuk dihadiahkan ke adik atau teman satu kelas yang ditaksir.”

Inspirasi Laura Ashley
Dalam memulai usaha baru itu, Monica tak mau jor-joran mengeluarkan uang. Monica khawatir, Amanda nantinya malah bosan dengan bisnis tersebut, dan akhirnya ditinggalkan. Monica sengaja meminjam uang dari kakak dan asisten rumah tangganya. Jumlah totalnya Rp 3 juta. “Pinjam uang dari Si Mbak adalah tantangan buat saya. Saya ingin membuktikan, saya bisa berhasil. Janji saya, uang kembali dalam seminggu,” tekadnya.

Untuk mengembangkan uang tersebut, Monica memakai cara lama: ia membeli barang-barang fashion dari rekannya yang baru kembali dari Bangkok, lalu dijual lagi ke teman-teman di lingkungan tempat tinggal. Tak disangka, Rp 3 juta itu ‘berubah’ menjadi Rp 6 juta dalam sekejap. Monica menepati janjinya mengembalikan uang itu.

Setelah meraih Rp 3 juta, Monica berpikir, meski pemula, bisnis ini harus dijalankan dengan serius. Ia butuh tambahan modal. Modal sebesar Rp 9,5 juta akhirnya didapat dari sebuah bank asing. “Selama 3 tahun, pinjaman itu harus dicicil sebesar Rp 425.000 per bulan. Tanggung jawab untuk membayar cicilan, saya serahkan kepada Amanda. Artinya, baik saya maupun ia, tak boleh main-main dalam bisnis ini.”

Pilihan bisnis akhirnya jatuh pada busana wanita dari bahan katun. Ia memanfaatkan kain katun produk lokal yang melimpah, dipadu katun impor dari Jepang, Korea, dan India. Mengapa katun? Menurut Monica, kain ini cocok dipakai di Indonesia yang berhawa tropis. Harganya cukup terjangkau untuk kalangan menengah ke atas, yakni Rp 175.000-700.000.

Kalau umumnya orang hanya memakai baju dengan satu jenis motif, baik itu bunga, polkadot, atau garis, Monica bereksperimen dengan memadu-padankan berbagai motif tersebut. Termasuk, tabrak warna dalam satu helai pakaian. “Saya teringat baju Amanda sewaktu masih balita. Mereknya Oilily, produk Belanda. Bajunya manis dengan motif bunga ‘tabrak lari’. Bahkan, 4 motif dengan warna-warna berani dipadu jadi satu. Tapi, kok, tetap lucu.”

Warna-warna jreng ini kemudian diubah oleh Monica menjadi lebih kalem. Inspirasinya datang dari Laura Ashley, pendiri sekaligus merek fashion dan interior ternama asal Inggris yang mengawali bisnisnya dari kain perca. Menurut Monica, warna-warna lembut seperti dusty pink, mint green, mustard yellow belum terlalu banyak dipakai di Indonesia. “Setahu saya, desainer Indonesia yang senang memakai warna itu hanya Biyan dan Ronald V. Gaghana.”

Tantangan baru pun menghadang. Warna-warna yang diinginkan ada, tetapi jumlahnya tak banyak. Untunglah, motif ‘tabrak lari’ yang diusung Monica memang tak membutuhkan terlalu banyak kain. Dari modal Rp 12 juta, Monica berhasil membuat lebih dari 50 pasang pakaian, yang dikerjakan oleh penjahit terampil. Merek Romantic Cotton pun lahir pada  Juli 2008.

Lama bergelut di dunia fashion, Monica tahu benar pentingnya branding. Dengan modal terbatas, ia mencetak katalog dan paperbag bertuliskan Romantic Cotton. Koleksinya itu pertama kali digelar di bazar yang diadakan di sekolah Amanda.

“Macam-macam komentar mereka. Ada yang bilang, ‘Ini kan baju tidur,’ ada yang bilang, ‘Kok, mahal? Kainnya kan murah?’. Tapi banyak juga yang suka,” cerita Monica. Toh, jualannya laris. Bazar kedua yang ia ikuti berlangsung di lingkungan tempat tinggalnya sendiri. Koleksinya habis terjual. Pesanan pun mengalir lewat promosi dari mulut ke mulut.

Kesuksesan dari hasil jualan kecil-kecilan ini membuat Monica dan Amanda makin pede. Seluruh uang hasil penjualan digunakan untuk membuat koleksi baru. Rumah yang tadinya rapi di kawasan Kemang Pratama pun berantakan karena kain-kain itu disebar Monica di ruang tamunya untuk menemukan padu padan yang pas.

Kali ini Monica bertekad menembus event yang lebih besar, yaitu pameran Inacraft di Jakarta Convention Center (JCC), April 2009. Tak disangka, pengunjung memadati stan mungilnya. “Stannya sampai hampir roboh,” kata Monica, yang waktu itu dibantu Amanda dan 2 orang asisten. Tak hanya mendatangkan omzet Rp 150 juta, di acara itu koleksinya juga meraih penghargaan sebagai produk pilihan editor femina.

Backpack Salah Warna
Namun, jalan menuju sukses tak selalu mulus. Monica pernah menimbun puluhan backpack akibat penjahit salah memberi warna pada ritsleting dan talinya. “Bajunya warna kalem, tapi dikasih ritsleting warna hitam. Akhirnya saya kirim semua ke panti asuhan,” jelas Monica, yang rutin memberikan pakaian koleksinya ke panti asuhan.

Monica mengakui, kerja samanya dengan penjahit didasarkan pada kepercayaan. Maklum, penjahitnya tersebar di Jakarta, Solo, Yogyakarta, hingga Bali. Untuk membuat sehelai pakaian, ia hanya mengirimkan gambar desain dan ukuran. “Yang bisa saya awasi langsung adalah penjahit di Jakarta.”

Masalah datang lagi ketika suatu hari Monica menerima tumpukan perca di rumahnya. Perca itu kiriman penjahitnya dari luar kota. Jumlahnya banyak, tapi dengan ukuran yang kecil, sekitar 10x20 cm, bahkan 3x2 cm. “Mau dibuang, sayang, kainnya cantik. Akhirnya saya keliling lagi cari orang yang bisa bikin aksesori, seperti kalung, cincin, bando, jepit, bros, dompet, tas, hingga taplak meja dari kain perca.” Ternyata, peminatnya banyak sekali. Pembeli yang batal membeli baju karena tak ada ukuran, beralih membeli aksesori.

Setelah meraih sukses dalam waktu singkat, apa lagi yang ia cita-citakan? Sepulang dari ibadah haji beberapa bulan lalu, Monica terpikir untuk membuat koleksi busana dan perlengkapan muslim. “Tetapi, perlahan-lahan saja, saya tak mau gegabah. Seperti cara saya mengembangkan Romantic Cotton. Dari bikin 4 potong per desain, meningkat jadi satu lusin, kemudian dua lusin, dan seterusnya.” Tahun ini pula ia berniat membangun butik, agar koleksinya lebih dikenal dan menjangkau masyarakat luas. (HER)

sumber: http://wanitawirausaha.femina.co.id/WebForm/contentDetail.aspx?MC=001&SMC=006&AR=37

 

No comments: