Sunday, March 11, 2012

Dari Modal Awal 500 Ribu, Kini Bisnis Dari Bahan Kain Perca-nya Raup Puluhan Juta

Seorang napi pria di Rutan Salemba menulis pada secarik kertas, “Kami bukan penjahat, tapi penjahit.” Tangan yang dipenuhi rajah itu kemudian meraih sebuah jarum dan benang. Selanjutnya, satu demi satu sulaman bunga terlahir dari setiap tusukannya. Bunga-bunga itu kemudian dijalin menjadi sebuah bros cantik yang elegan. Siapa sangka dari jari-jemari kasar itu bisa tercipta sebuah karya yang begitu mendetail.


Haneda Ananta (35) dan Endah Sutjihati (34) adalah dua sosok di balik pemandangan unik tadi. Di bawah bendera usaha Caremommies, keduanya tak cuma fokus menghitung besar modal dan laba. Tetapi, pengusaha yang menciptakan banyak produk dari limbah tekstil ini juga menularkan keahlian mereka kepada orang lain. Mulai dari ibu-ibu yang tinggal di sekitar tempat tinggal mereka, hingga para napi di Rutan Salemba dan Cipinang. Pantas jika mereka menyandang gelar Social Entrepreneur di ajang Lomba Wanita Wirausaha BNI-Femina 2010.

DARI NIAT MEMBANTU

Keinginan untuk menjadi wirausaha yang peduli pada lingkungan dan sesama berawal sejak mereka berdua membuat bisnis kecil-kecilan tahun 2007. Tujuan awalnya cukup sederhana, yaitu sekadar mencari tambahan uang kas sekolah. Kebetulan, keduanya tergabung dalam komite sekolah sebuah taman kanak-kanak, tempat anak mereka bersekolah.

“Idenya, membuat kaus nama untuk anak-anak dengan memanfaatkan kain perca. Saya punya teman yang bekerja di konfeksi, sehingga saya bisa mendapatkan kain perca itu secara gratis,” kenang Endah, sumringah. Sinergi mereka langsung klop. Sebagai lulusan Desain Grafis Trisakti, Haneda sangat kreatif soal desain, sementara Endah jago soal menjahit dan menyulam.

Kaus nama yang dibuat selusin itu ternyata laris manis. Insting wirausaha mulai menggelitik keduanya untuk menekuni proyek khusus ini sebagai bisnis serius. “Dengan modal awal Rp500.000, kami membeli bahan-bahan dan alat untuk menjahit dengan tangan, dan membayar tenaga lepasan,” jelas Haneda.

Kids & Cook adalah nama yang mereka pakai untuk bisnis pertama mereka ini. Tantangan awalnya adalah kesulitan mencari orang yang terampil menjahit dan menyulam. Namun, kebuntuan ini justru dijadikan celah untuk melahirkan tenaga-tenaga ahli baru. Sasaran Endah waktu itu adalah rekan sesama ibu yang menunggui anak mereka pulang sekolah. “Daripada bengong, saya tawari saja mereka untuk belajar menyulam dan menjahit.”

Ternyata, peminatnya lumayan banyak. Ruang tunggu sekolah itu pun berubah menjadi studio jahit dadakan,” cerita Endah, geli. Usahanya ini tak cuma berhasil menambah keterampilan, tapi juga memberi penghasilan tambahan kepada ibu-ibu rumah tangga itu. “Setiap kaus dengan sulaman atau jahitan nama karya mereka selanjutnya kami beli dengan harga pantas,” tambahnya.

SEMANGAT BERBAGI

Tahun 2008 terbitlah buku pertama mereka yang berjudul Kreasi Trendy Sulam Perca. Laris, dua tahun berikutnya mereka kembali melempar buku ke-2, Sulam Perca Unik dan Cantik.

Kedua buku tersebut justru makin mengundang penasaran. Banyak pembaca yang akhirnya datang atau meminta mereka membuka workshop. Karena kebanyakan calon klien itu berasal dari latar belakang keluarga berada,  akhirnya mereka membuka pelatihan komersial. “Biayanya Rp250.000 per orang. Harga ini sudah termasuk bahan, alat menjahit, dan lama pelatihan selama lebih dari 4 jam,” terang Endah.

Namun, buah keuntungan bisnis yang besar ini tidak membuat mereka silau harta. Sebaliknya, justru mendorong mereka berkontribusi lebih kepada lingkungan sekitar. Di antara padatnya jadwal kerja, setiap bulan mereka masih sempat menyisihkan waktu untuk memberikan pelatihan menjahit dan menyulam kepada ibu-ibu rumah tangga dan para napi di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Awal keterlibatan mereka mengajar para napi bermula dari permintaan kepala lapas yang mengenal keduanya lewat salah satu buku mereka. “Kami sempat kaget dan takut, karena kami ditawari mengajar tahanan pria,” ungkap Endah. Namun, di balik rasa takut dan penasaran, rasa senang menyelimuti keduanya. “Kami menerima tawaran tersebut. Juli 2010, pertama kalinya kami mengajar di Cipinang,” kata Haneda, senang.

Pengalaman paling berkesan mereka dapatkan saat mengajar di Lapas Salemba. “Saya tidak menyangka, di balik wajahnya yang garang, dan badan penuh tato, mereka luwes menjahit. Setelah diseleksi, kini kami punya penjahit tetap sebanyak 9 orang di dalam tahanan,” kata Haneda, tersenyum. Kini, saat pesanan menumpuk, mereka bisa mengandalkan para napi ini.

Apakah mereka tidak takut tersaingi oleh 'murid-murid' mereka? Serentak, keduanya menggeleng. “Jika salah seorang peserta workshop sukses, kami pun senang. Saya berharap apa yang telah kami ajarkan bisa terpakai,”  tambah Haneda. Sebab, bagi mereka, ilmu harus dibagi. Tentang persaingan, itu adalah hal yang umum dalam sebuah bisnis. Agar tidak terlibas, mereka harus terus berinovasi dan mencari keunikan-keunikan baru agar Caremommies tetap menonjol di pasaran.

Beberapa bulan berdiri, mereka mulai berani mengikuti berbagai pameran dan bersaing dengan produk lain. Ajang ini tak hanya membuka jejaring bisnis, tapi juga membanjiri mereka dengan ide dan masukan dari para konsumen. Produksi mereka pun jadi lebih bervariasi. “Kini produk kami mencapai 30 jenis dengan kisaran harga Rp10.000 - Rp2,5 juta. Agar menonjol dari produk kompetitor, kami selalu berusaha menggali ide desain baru yang orisinal,” ungkap Haneda.

Terbukti, produknya banyak diminati konsumen. Kain kanvas berwarna putih disulapnya menjadi cantik dengan berbagai tisikan sulam warna-warni atau tokoh kartun yang sedang digandrungi anak-anak. Untuk menjaring konsumen ibu-ibu, mereka menambah variasi produk baru, seperti jalinan kain perca yang dibentuk menjadi celemek, sarung bantal, bed cover, dan kain cempal (untuk mengangkat barang-barang panas). Dengan begitu, jangkauan konsumen mereka meluas, dari anak-anak hingga ibu-ibu. “Sekarang kami sedang berusaha menjaring konsumen remaja. Salah satunya lewat produk sampul buku dari kain sulaman yang unik dan girlie,” kata Haneda.

Bisnis yang meningkat pesat membuat mereka terpikir untuk mencari nama baru. Tahun 2008, Kids & Cooks resmi berganti nama menjadi Caremommies. “Untuk mengokohkan usaha kami, di tahun yang sama kami langsung mematenkan nama Caremommies,” tambah Haneda. Ide untuk memakai nama Caremommies ini dirasa cukup mewakili passion dan misi bisnis mereka. Kata care atau peduli memang menjadi penekanan dalam usaha. Kecintaan mereka terhadap anak-anak tertuang pada beragam pernak-pernik lucu yang mereka produksi.

Dalam proses usahanya, mereka juga selalu berusaha memperhatikan lingkungan, dengan memakai bahan baku potongan kain limbah pabrik tekstil yang mereka beli dari agen. Tak cuma itu, mereka juga tergerak untuk memberdayakan wanita. “Kami ingin wanita tidak hanya berdiam diri, menunggu dinafkahi oleh suami, melainkan bisa berwirausaha. Melalui kursus gratis menjahit dan menyulam, kami siap mewujudkan impian mereka ini,” ungkap Endah.

Meski belum lama di dunia bisnis ini, Endah dan Haneda tahu benar pentingnya branding. Tahu modalnya terbatas, sejak awal mereka memakai pendekatan online untuk mempromosikan produk, yaitu melalui situs caremommies.com dan akun facebook dengan nama sama. Ternyata, cara ini berhasil menuai sambutan dan feedback positif. Ditambah ulasan berbagai media, Caremommies pun makin berkibar. Berkat ketekunan mengikuti berbagai bazar berkualitas, sejak 2010 Caremommies berhasil menembus Alun-Alun Indonesia dan Galeri Smesco.

Sekarang, memasuki tahun keempat, usaha keduanya telah berhasil meraup omzet Rp20 juta - Rp25 juta per bulan. Dari yang tadinya hanya digarap keroyokan berdua dan membayar pekerja lepas, kini mereka telah memiliki 15 pekerja tetap yang mereka sebut sebagai partner. Saking membeludaknya pesanan, para pemesan harus rela mengantre. “Karena handmade, mereka harus sabar menunggu. Untuk pesanan hari ini, barang baru bisa dikirim dua minggu kemudian. Untungnya mereka bisa mengerti dan mau menunggu,” kata Haneda.

Sebenarnya, untuk mengejar pesanan, mereka bisa saja mengganti jahit tangan dengan jahit mesin. Tetapi, mereka tidak melakukannya. “Selain kehilangan ciri khas produk, visi kami untuk menciptakan lapangan pekerjaan juga tidak akan tercapai,” tekan Endah.

AFRA ARUMDATI
FOTO : ARA

sumber: http://wanitawirausaha.femina.co.id/WebForm/contentDetail.aspx?MC=001&SMC=006&AR=50

No comments: