Tak disangka, tahun 2001 merupakan awal kesuksesan berbisnis buat Sonya Chaterina (31). Dalam waktu dua jam, dagangan 100 boneka Teletubbies miliknya ludes terjual. Dan, dalam waktu supersingkat itu pula ia berhasil meraup keuntungan sebesar Rp 2 juta. Padahal boneka tersebut dibelinya di Mangga Dua, Jakarta, dan dijualnya di lapangan Gasibu, Bandung.
Tahu akan mudahnya berbisnis sampingan ini, Sonya yang saat itu masih kuliah tingkat akhir di Institut Teknologi Bandung jurusan Biologi, melakukan hal yang sama setiap akhir pekan. Selama empat bulan lamanya, ia memborong boneka dari Jakarta dan menjualnya di Kota Kembang.
Namun, karena kesibukan membuat skripsi, menikah, dan mengurus anak, bakat bisnisnya terpaksa harus disimpan untuk sementara waktu. Tahun 2005, angin segar mengenalkannya kepada seorang pemilik pabrik boneka. Pertemuan ini berhasil menginsipirasi dan membangkitkan bakat bisnisnya yang sempat mati suri. Dengan modal 100 boneka sisa yang tak terjual dari pabrik rekannya, Sonya berhasil mendapat keuntungan Rp 10.000-30.000 untuk setiap boneka yang berhasil dijualnya.
Setelah melihat-lihat, Sonya merasa yakin bahwa ia sebenarnya bisa membuat boneka yang lebih lucu. Dengan niat ini ia mulai mendesain boneka sendiri dan memajangnya di halaman blog pribadinya, bonekaku.blogspot.com. Idenya didapat dari surfing di internet, jalan-jalan di mal, menonton acara TV, serta hadiah boneka luar negeri dari teman. Karena memang desainnya lucu, menarik dan menggemaskan, jumlah permintaannya pun akhirnya meledak.
Ia yang awalnya hanya menjual ‘muntahan’ pabrik, akhirnya mencari material yang diperlukan untuk membuat pesanan, lalu menumpang pembuatan di pabrik temannya. “Modal saya Rp 20 juta untuk belanja bahan baku, aksesori boneka dan membayar ongkos kerja mereka. Harga bahan memang mahal, jika mau kualitasnya baik,” jelas Sonya yang kerap hunting bahan di Pasar Pagi Asemka, Glodok, Jakarta.
Kesuksesan bisnis Sonya diakui juga berkat strategi jemput bola yang dijalankan. “Saya rajin presentasi produk ke perusahaan, hotel, bank, universitas, biro iklan, yang menginginkan boneka maskot. Saya juga melayani permintaan pribadi untuk suvenir ulang tahun dan pernikahan,” tuturnya. Pernah terjadi sebuah perusahaan memesan hingga 15.000 buah. Saking kewalahan, Sonya menyebar order tersebut ke beberapa home industry boneka. “Saya tinggal kirim potongan bahan dan aksesori. Mereka yang membuat. Dengan cara itu target waktu 5 minggu bisa ditepati,” ungkapnya.
Karena setiap tahun kenaikan order mencapai 10 kali lipat, akhirnya daripada numpang produksi terus di tempat teman, Sonya membuka home industry sendiri. Modal yang ditanam sebesar 30 juta untuk membeli 5 mesin jahit, kontrak rumah, 1 alat potong bahan, membayar 3 karyawan serta membeli perlengkapan konveksi. Dengan punya produksi sendiri, ada beberapa keuntungan yang didapat, seperti quality control yang lebih bagus, serta manajemen waktu produksi yang lebih baik. “Sebelumnya saya harus antre agar pesanan saya bisa dikerjakan. Namanya juga numpang,” ulasnya.
Kini, per bulan ia bisa mempunyai omset Rp 30-100 juta, tergantung dari tinggi rendahnya permintaan. “Namanya bisnis, pasti ada pasang surutnya. Biasanya kalau pas ikut pameran di PRJ, atau perusahaan minta dibuatkan suvenir, atau pas hari Valentine, permintaan bisa melambung,” tuturnya bersemangat. Tahun ini ia punya 7 karyawan tetap.
Namun demikian, banjir order itu tidak lantas membuatnya menerima semua permintaan yang masuk. “Dulu, awal-awal usaha saya mengalami euforia. Demi mendapat keuntungan besar, inginnya semua order diambil. Namun sekarang, saya berani menolak order. Yang penting pelanggan puas,” imbuhnya.
sumber: http://wanitawirausaha.femina.co.id/WebForm/contentDetail.aspx?MC=001&SMC=006&AR=19
No comments:
Post a Comment