“Kalau ke supermarket, Mama titip belikan bumbu Kobe ya! Jangan yang lain, soalnya itu dari Jepang dan Mama sudah cocok rasanya, enak!” seorang ibu meminta kepada putri remajanya yang hendak berbelanja ke supermarket.
Kalau saja karyawan produsen Kobe mendengar pernyataan ibu itu, tentu saja dia akan tersenyum geli atau memberitahukan bahwa itu bukanlah merek bumbu dari Jepang sebagaimana disebutkan si ibu.
Kobe asli Indonesia. Merek itu dibuat oleh orang Indonesia dan produksinya pun di Indonesia, di Kawasan Industri Manis, Tangerang. Bahwa produk ini telah sukses diekspor ke 55 negara di Eropa (Norwegia, Prancis, Jerman, Belanda, dan lain-lain), Asia dan Australia, semua itu tak mengurangi identitasnya sebagai merek asli Indonesia yang sukses.
Kobe adalah kisah sukses menarik dan memberi sejumlah pelajaran. Mulai dari pelajaran merintis usaha hingga bagaimana menyelamatkan bisnis dalam keadaan darurat karena tiba-tiba pendirinya wafat, dipanggil Sang Pencipta.
“Usaha bumbu Kobe dirintis mama saya, almarhum Hestia Utomo. Beliau yang mendirikan Kobe & Lina Food,” tutur Dipa Agung Utomo, Direktur Kobe & Lina Food, putra kedua Hestia.
Sang pendiri Kobe adalah seorang pekerja keras. Di tengah kesibukannya bekerja di PT Unilever Indonesia, bersama suami, dia mengolah resep keluarga menjadi bahan dasar memasak: tepung bumbu. Usaha ini dirintis sejak 1979, dimulai dari garasi mobil keluarga. Saat usaha itu berdiri, anak pertama Hestia (Desideria Utomo) baru lahir.
Hestia punya visi ingin membuat orang di sekelilingnya lebih mudah dalam memasak. Konsumen tidak perlu repot-repot membuat bumbu sendiri. Ketika akan menggoreng pisang misalnya, tak perlu repot meracik sendiri dari tepung terigu, telur, mentega dan gula. Karena itu, dia mengenalkan produk tepung bumbu instan. Kala itu Kobe boleh dikatakan merupakan pelopor bumbu instan. Belum ada pemain lokal yang menekuninya, bahkan pemain asing pun belum mengeluarkan produk serupa. Bumbu yang dihasilkan antara lain, bumbu goreng cumi dan goreng ayam. Resep itu kemudian dikemas dan dijual, plus tepung olahannya, agar mudah dimasak.
Produksinya dimulai dari garasi rumah, kemasan pun ala kadarnya. Bisnis itu disambi Hestia dengan menjadi profesional di Unilever – setelah setahun usaha sendiri berjalan, dia memutuskan keluar dari Unilever. “Waktu itu kami meracik bumbu masih pakai tangan dan sendok,” ujar Sri, karyawan Kobe yang bergabung sejak awal berdiri. Wanita ini masih teringat saat dirinya membantu bosnya mencoba-coba bumbu baru di garasi mobil.
Salah satu kelebihan Hestia, selain mendalami studi psikologi konsumen (lulusan Universitas Leuven Belgia), sejak awal sudah menganggap penting arti merek. Nama Kobe dipilih karena dirasa mudah diingat konsumen, begitu pula dengan logo merek yang dominan merah. Merek ini juga jadi pilihan karena selama ini merek-merek bumbu masak terkenal di dunia umumnya berasal dari Negeri Sakura.
Sejatinya di awal berbisnis, Hestia sempat punya dua merek: Kobe dan Lina. Kobe untuk produk ke arah bumbu Karage, bumbu Jepang, sementara Lina lebih untuk bumbu fried chicken. Namun setelah beberapa tahun berjalan, dia memutuskan menggunakan satu merek saja, Kobe. “Kepanjangannya bisa ‘Kata Orang Banyak Enak’ ha.. ha.. ha,” kata Desideria Utomo, yang kini direktur perusahaan.
Hestia benar-benar membangun usaha ini dari bawah. Dalam menggarap usahanya, dia dibantu suaminya yang kontraktor, Sarwo Utomo. Sarwo biasa membantu memanggul karton-karton produk Kobe ke pasar.
Rupanya produk bumbu ini diterima lidah konsumen. Pelan-pelan bisnis pun berkembang. Setelah usaha berjalan lima tahun, Hestia dan suami kemudian bisa membeli sebidang tanah seluas 3 ribu m2 di dekat rumah tinggal mereka di Pondok Labu, Jakarta. Tanah ini dimanfaatkan untuk perluasan tempat produksi. Maklum, permintaan produk terus meningkat. Walaupun memang sewaktu di Pondok Labu perlengkapan pabrik masih sangat sederhana. Sistem pabrikasi masih ala kadarnya, belum punya mesin-mesin yang digerakkan secara efisien. Toh semua itu tak mengurangi laju pertumbuhan bisnis Kobe. Waktu itu produk yang dihasilkan baru empat macam: tepung bumbu (dua macam), produk puding dan bumbu soto.
Awal tahun 1993, untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh, suami istri ini memindahkan pabrik ke Kawasan Industri Manis Tangerang, menempati lahan seluas 1 hektare. Pabrik ini didukung fasilitas mesin modern. Karyawannya pun makin bertambah menjadi ratusan orang. Begitu pindah strategi diversifikasi dan peluncuran produk baru makin banyak dilakukan. “Mulai dimunculkan tepung bumbu baru seperti tepung pisang goreng, tepung bakwan dan tepung fried chicken-nya lebih bervariasi,” tutur Dipa.
Malang tak dapat dielak. Manusia yang tidak bisa mengelak kehendak Sang Khalik. Ketika perusahaan sedang intens bertumbuh, Hestia dan suaminya sakit dalam waktu bersamaan. Tahun 2001, kedua pendiri itu pun wafat. “Awalnya Papa meninggal, selang dua minggu disusul Mama,” Dipa menuturkan kisah sedih yang dialami keluarganya 9 tahun silam. Kala itu Desi masih berusia 19 tahun sedangkan adiknya masih 17 tahun. Keduanya masih kuliah di Australia. Desi di Melbourne University, dan Dipa di RMIT. “Kami sempat cuti kuliah setahun untuk merawat orang tua,” kata Desi.
Tak pelak lagi, musibah itu menyentak seluruh keluarga besar Kobe, terutama Desi dan Dipa sebagai anak pendiri. Apalagi keduanya belum siap untuk mengelola warisan bisnis orang tua mengingat usianya masih sangat muda. Hanya saja, sejak kedua orang tuanya sakit, Desi dan Dipa mulai sadar bahwa cepat atau lambat mereka suatu saat harus siap menerima tanggung jawab mengelola perusahaan. Maka, setelah kedua orang tuanya dipanggil Sang Khalik, mereka yang masih hijau pengalaman itu harus meneruskan laju roda usaha keluarga.
Suatu hal yang melecut semangat dua saudara untuk meneruskan Kobe adalah keberadaan tim yang ditinggalkan orang tuanya. Desi melihat tim karyawan yang ditinggal orang tuanya berdedikasi tinggi pada perusahaan. Mereka juga sangat kekeluargaan karena sejak awal ibunya memang sangat dekat dengan karyawan. Dalam kondisi berduka, Desi dan Dipa merasa tim warisan orang tuanya itu menginspirasinya untuk maju dan berdedikasi. “Mereka bukan saja berempati pada rasa kehilangan kami yang besar, tapi juga mengingatkan, ini lho ada perusahaan yang harus diteruskan,” katanya. Masa yang berat di perusahaannya, diakui Desi, bisa dilalui berkat dukungan tim dalam perusahaan.
Dipa mengenang, ketika itu dirinya sempat harus menggunakan surat kuasa yang diserahkan ke orang lain untuk menandatangani surat-surat perusahaan karena usianya baru 17 tahun. Setelah berusia 18 tahun baru bisa menandatangani surat resmi perusahaan – walau sesungguhnya mereka sudah dilibatkan dalam praktik bisnis. “Kami sebenarnya sudah tidak asing dengan tim di perusahaan. Sejak kecil kami sudah diajak ke pabrik. Ya ikut terlibat kecil-kecilan dalam mengelola bisnis, kami ikut demo masak di Hero, pameran di PRJ dan sebagainya,” kata Dipa yang kini berusia 26 tahun.
Setelah sempat cuti setahun dari kuliah untuk merawat orang tua, Desi dan Dipa kemudian kembali ke kampus menyelesaikan kuliah mereka di Australia yang tertunda. Desi akhirnya berhasil menyelesaikan studi di bidang hukum, sedangkan Dipa menyelesaikan studi di food engineering. Setamat kuliah, keduanya balik ke Indonesia dan sepakat melanjutkan bisnis orang tua. Desi sendiri sebenarnya memiliki passion dalam urusan hak asasi manusia. Saat masih kuliah Desi sempat bekerja di LSM di Myanmar. “Jiwa saya sebenarnya ingin di pergerakan hak asasi manusia. Tapi saya pikir, dengan mengembangkan dan mengelola karyawan Kobe dengan baik itu sumbangsihnya sama,” Desi menjelaskan prinsip hidupnya.
Ketika pulang ke Indonesia, kedua bersaudara ini tak langsung berani mengeluarkan produk baru. Mereka berdua lebih banyak belajar dulu walau posisinya sudah direktur. “Banyak teman kami iri, masih muda sudah jadi direktur. Mereka tidak tahu bahwa kami bertanggung jawab bukan saja pada orang-orang yang bekerja di sini, tapi juga keluarga mereka,” Dipa menuturkan. Kedua pendiri ini sadar, tanggung jawab yang harus dipegang cukup berat karena skala bisnis sudah cukup besar.
Mereka akhirnya berbagi tugas. Desi mengelola keuangan, TI, dan urusan perusahaan secara umum. Dipa lebih banyak mengurusi pengembangan bisnis dan produk. “Saya bertanggung jawab pada produksi, enjiniring, riset dan pengembangan. Kebetulan latar belakang saya memang sesuai,” ujar Dipa.
Disadari Desi, tantangan generasi kedua adalah mengembangkan dan modernisasi agar Kobe berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Modernisasi di sini meliputi pengelolaan manajemen, infrastruktur dan fasilitas produksi. Aspek-aspek ini pula yang menjadi perhatian mereka. “Dari segala aspek, kami sudah banyak berubah. Sejak kami masuk, perubahan dilakukan mulai dari distribusi, sistem pengelolaan pabrik, riset dan pengembangan, sistem administrasi,” Dipa memaparkan.
Desi ikut memberikan contoh, dulu Kobe bergantung pada satu distributor nasional. Menurutnya, model menunjuk satu distributor seperti itu memang lebih mudah dan praktis karena cukup mengontrol satu pengelola distribusi. Account receivable pun hanya dari satu distributor. “Namun kelemahan satu orang tidak bisa ditutupi yang lain, sehingga tidak rata distribusinya,” tuturnya. Maka sejak 2005, mereka mengubah strategi dengan beralih ke pola multidistributor.
Kini hampir tiap provinsi telah punya dua-tiga distributor. Kalau sebelumnya hanya ada satu distributor, sekarang Kobe memiliki lebih dari 30 distributor. Bila ditambah dengan subdistributor bahkan menjadi 70-an. Memang saat ini jadi jauh lebih kompleks karena harus mengelola banyak distributor, apalagi juga harus menambah karyawan penjualan dan pemasaran, tetapi cara ini lebih efektif untuk memperluas pasar.
Contoh lain, dulu riset dan pengembangan dipegang kepala produksi masing-masing unit, tetapi sekarang dipegang satu departemen khusus. Pihaknya yakin inovasi merupakan kunci sukses sehingga harus diperhatikan khusus agar terus berkembang. Dengan cara itu, menurut Desi, pihaknya selalu yang pertama mengeluarkan inovasi baru tepung bumbu. Ambil contoh tepung fried chicken yang benar-benar renyah dengan cara mencelupkan ke cairan bumbu, lalu digulingkan ke tepung kering. Menurutnya, Kobe adalah yang pertama meluncurkannya. Baru setelah itu kompetitor mengekor.
Seiring bergulirnya waktu, Kobe pun makin intens mengembangkan produk-produk untuk segmen korporat (B2B). Klien korporatnya antara lain Pizza Hut, McDonald’s, Texas Fried Chicken, Japfa Comfeed, dan sebagainya. Mereka umumnya membutuhkan produk bumbu yang berubah cepat, sesuai dengan tuntutan konsumen. “Dahulu kami hanya memikirkan produk kami sendiri, setahun dua atau tiga item baru itu sudah banyak. Namun karena melayani pelanggan korporat, kami bisa mengeluarkan empat-lima produk baru dalam seminggu,” papar Dipa. Untuk pasar B2B ini pihaknya membangun departemen khusus yaitu Departemen Food Services. Dalam waktu tiga tahun sejak didirikan, departemen itu sudah menyumbang 25% omset perusahaan. Itu menunjukkan Kobe bukan hanya kuat di ritel.
Roy Heru, Presdir PT Japfa Santory Indonesia, mengakui perusahaannya menggunakan Kobe untuk perisa produk nugat. “Kami sudah gunakan sejak lima atau 6 tahun lalu,” ujarnya. Dia melihat Kobe sebagai pemain lokal memiliki kualitas produk yang bagus. Hanya saja, dia berharap harga produk Kobe bisa bersaing dengan produk impor. “Terus terang produk dari luar negeri lebih murah. Namun untuk kualitas memang Kobe bagus,” ia menegaskan.
Pasar ekspor juga terus digenjot generasi kedua Kobe. Khusus untuk pasar ekspor, perusahaan ini mengeluarkan merek Bali Kitchen, tepatnya segmen bumbu dan saus. Bali Kitchen diproduksi sesuai dengan permintaan pembeli luar negeri yang memang tiap negara memiliki kekhasan permintaan. Bahkan Kobe memiliki merek Gong untuk produk-produk mi yang diekspor. “Produk kami mulai dari teh, kerupuk, saus, sambal, mi dan bumbu-bumbu. Kami menghidangkan satu rentang lengkap bertemakan Indonesia untuk pasar internasional,” Dipa menjelaskan positioning perusahaannya.
Di tangan generasi kedua, bisnis ini memang kian berkibar. Kini Kobe juga memiliki bisnis kemasan di bawah departemen co-manufacturing (contract manufacturing). Contohnya, saat ini melayani kemasan produk Quaker Oatmeal. Jadi seluruh produk Quaker Oatmeal – anak usaha Pepsi Co – yang ada di Indonesia dikemas di perusahaan ini. “Jadi gandum dari Australia, lalu kami kemas di sini, mereka yang memasarkan. Kami yang menyediakan jasa manufakturing,” Desi menerangkan. Usaha ini sudah dikembangkan sejak 2007.
Tak berlebihan bila dijelaskan dedikasi generasi kedua Kobe telah membuahkan hasil. Dengan terus berinovasi dan memodernisasi sistem, Kobe rata-rata tumbuh hampir 35% per tahun. Item dan varian produk bertambah dua kali lipat. Saat ini 50 lebih varian produknya. Kobe yang asli Indonesia ini bisa menyeruak sejajar dengan merek Jepang seperti Miwon dan Ajinomoto. Dipa menuturkan, dari total produksi, sekitar 20% untuk ekspor, pasar B2B sekitar 25%, sisanya untuk pasar ritel. Pasar ritel memang masih menjadi kontributor terbesar karena memang merupakan visi pendirian perusahaan sedari awal.
Tjie Lie Ming, Manajer Pemasaran Kobe yang bergabung di perusahaan ini sejak 1997, melihat di tangan generasi kedua perusahaan semakin maju, kreatif dan agresif. “Kami terus berkreasi dengan menghasilkan produk-produk baru untuk keluarga Indonesia,” imbuhnya. Di samping itu dia melihat manajemen terus-menerus melakukan perbaikan di internal perusahaan sehingga sistem baru dapat mempermudah kerja tim dan pada akhirnya mencapai efisiensi yang diharapkan.
Perusahaan ini dijalankan secara profesional dengan tetap menjunjung nilai-nilai kekeluargaan di antara karyawan dan pemilik. Contohnya Sri yang sudah lama ikut di Kobe, saat ini masih menjadi “pengasuh” bagi anak-anak Hestia. Masih sangat dekat dan menjaga. “Semangat ini yang membuat karyawan Kobe memiliki dedikasi tinggi terhadap perusahaan,” tutur Lie Ming. Dia menjelaskan tak sedikit karyawan yang masih bertahan dari awal perusahaan berdiri hingga sekarang. “Gaya kepemimpinan mereka adalah mendengarkan masukan dari berbagai pihak walaupun pada akhirnya kebijakan diambil oleh pimpinan,” dia menambahkan. Salah satu contoh menarik lainnya, ternyata perusahaan ini dijalankan dengan tidak memiliki direktur utama karena direksi yang ada sekarang berada pada posisi seimbang. Kobe memiliki tiga direksi – yaitu Desi, Dipa dan Mirawati – profesional yang membantu Hestia sejak dahulu.
Handito Juwono, pengamat kewirausahaan dari Arbey Strategic Consulting, salut dengan kiprah Kobe. “Saya kagum dengan anak muda ini, bisa menjadi contoh yang baik,” katanya. Dalam analisisnya, yang menjadi kekuatan perusahaan ini adalah citra Kobe sangat kuat, bukan karena iklan atau promosi di media massa, tetapi karena para penggunanya. “Bumbu Kobe cukup dikenal. Kekuatannya bukan karena komunikasi atau promosi media massa yang dilakukan tapi para penggunanya, worth of mouth komunikasinya jalan. Itulah yang membuat mereka kuat dan loyalitas tinggi,” Handito berpendapat.
Handito juga melihat Desi-Dipa cerdik karena menggunakan merek Bali Kitchen sebagai nama produk ekspor. Cara komunikasi yang tepat karena di luar negeri orang sudah mengenal Bali. Meski demikian, dia menyarankan dua bersaudara ini terus berinovasi produk dan mulai mengembangkan merek kedua dan ketiga untuk produk-produk seperti ini.
Desi dan Dipa sendiri melihat keberhasilan sekarang ini berkat dukungan tim karyawan di perusahaannya yang kuat. Maka, dalam mengelola bisnis pihaknya berusaha tak luput memikirkan karyawan terbawah seperti satpam, sopir, pekerja pabrik dan kuli di belakang. “Kepuasan kami bukan sekadar untuk uang. Tapi bagaimana karyawan kami lebih baik hidupnya,” kata Dipa yang sekarang mempekerjakan 450 karyawan. Ya, sebuah prinsip yang tentu saja layak diteladani agar bisnis terus berkembang dan didukung semua orang di perusahaan.
Reportase: Herning Banirestu (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment