Wednesday, April 6, 2011

Rudi dan Dina, Suka Pernak-Pernik, Kini Sukses Jadi Juragan Keramik Hasilkan Puluhan Juta

Hobi membawa rezeki. Dari sekadar menyukai pernik-pernik, pasangan Dina Pramartanti, 37, dan Rudi Sunar Kristiaji, 45, sukses menjadi juragan keramik.

Dina bercerita, dia dan suaminya sama sekali tidak menyangka bakal menjadi pengusaha keramik. Dina yang sebelumnya bekerja sebagai karyawati di sebuah hotel di Yogyakarta hanyalah penyuka barang-barang antik, khususnya pernik-pernik yang terbuat dari keramik.

Koleksi warga Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta itu banyak menghiasi setiap sudut rumahnya.Koleksi itu dia dapatkan dari hasil pembelian atau pemberian teman.

Dari sekadar hobi, akhirnya muncul niat untuk memproduksi pernik-pernik sendiri. Sekira tahun 2002, Dina sudah mulai membuat kerajinan keramik pertamanya. Awalnya hanya produksi kecil-kecilan,lebih tepatnya hanya untuk dikoleksi. Semakin lama semakin banyak pula karya yang diciptakannya.

Pada akhirnya Dina memilih mendalami profesinya menjadi juragan keramik daripada menjadi karyawati hotel. Dina pun keluar dari hotel tempatnya bekerja.

Sekira 2004, usaha yang digeluti Dina bersama suaminya, Rudi Sunar Kristiaji, semakin sukses. Pada tahun itu, dia sudah memiliki 15 karyawan. Seiring kemajuan teknologi, proses produksinya pun mulai tersentuh alat-alat mesin. Dengan mesin, biaya produksi lebih efisien dan lebih massal. “Sekarang tenaga ada 10 orang, keberadaan mesin sangat membantu,” katanya.

Dina mengaku, untuk membesarkan usahanya dibutuhkan modal Rp150 juta. Dia bersyukur, pemerintah dalam hal ini Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Sleman turut membantu dalam hal permodalan.

Selain permodalan, peran Disperindagkop adalah dalam hal akses mengikuti pameran. “Namun untuk modal dalam jumlah besar, kami mengandalkan pinjaman perbankan. Peran BRI sangat besar dalam usaha yang kami geluti,” jelasnya.

Dia mengaku pernah meminjam modal dari BRI Rp200 juta selama 36 bulan atau tiga tahun dengan suku bunga rendah. “Dulu, awalnya pinjam modal dari BRI hanya skala kecil-kecilan, tapi sekarang sudah mendapat kepercayaan dari BRI untuk meminjam dalam jumlah besar.Kami pernah meminjam dana dari BRI sebesar Rp200 juta. BRI sangat membantu kami,” paparnya. Selain itu, Dina mengungkapkan bila peran BRI juga besar dalam hal akses mengikuti pameran.

“Kemudahan atau fasilitas yang diberikan pihak bank seperti pameran merupakan hal yang dibutuhkan UMKM. Seluruh UMKM di wilayah DIY butuh fasilitas pameran tersebut,” katanya.

Dia mengaku, kendala yang dihadapi untuk memasarkan produknya adalah kesempatan pameran. Menurut dia, di Yogyakarta rata-rata harga sewa stan pameran dalam sehari, dengan ukuran stan 2,5 meter x 2,5 meter, sekira Rp800 ribu.

Stannya kecil sehingga pihaknya tidak bisa menampilkan semua produk andalan. “Sedangkan di Jakarta untuk biaya stan pameran untuk lima hari mencapai Rp15 juta. Biayanya mahal, tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh,” kata Dina.

Ibunda Muhammad Aulia, 12, itu menjelaskan, untuk produksi, usahanya lebih konsentrasi pada ritel, bukan ekspor meski peluang ekspor terbuka lebar. Di berbagai mal beberapa kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Semarang, Denpasar sudah terpajang karyanya.

“Selain dijual di mal-mal, kita punya pelanggan tetap, yakni Martha Tilaar. Pernik-pernik Martha Tilaar semuanya dipesan dari sini,” tuturnya bangga.

Dalam sebulan, rata-rata menghasilkan 3.500 sampai 4.000 buah keramik; kalau terjual semua diperoleh penghasilan sekira Rp20 juta sampai Rp30 juta. Padahal, modalnya dalam per bulan maksimal hanya Rp17 juta. “Rata-rata keuntungan yang diperoleh sekira Rp10 juta per bulan,” imbuhnya.

Modal terbesar untuk pembuatan keramik kendaga adalah bahan baku berupa tanah harus didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat. Tanah yang digunakan untuk produksinya harus tanah yang kuat saat dibakar di atas suhu 1.200 derajat Celsius.

Keramik produksinya memiliki perbedaan dengan kerajinan keramik yang dijual di daerah lain yang rata-rata mengambil tanah dari Godean, Sleman atau Kasongan, Bantul.

“Bahan baku tanah dari Godean dan Kasongan kalau dibakar di atas suhu tersebut (1.200 derajat Celsius) selalu pecah, sedangkan tanah dari Sukabumi cukup kuat dibakar dengan suhu tersebut. Produksi kami termasuk stones ware (tingkat bakar tinggi),” jelasnya.

Mengenai jumlah desain, Dina mengaku saat ini memiliki ratusan desain pernik-pernik kendaga. Desain itu dibuat oleh suaminya, Rudi Sunar Kristiaji. "Jumlah desainnya sangat banyak, tapi yang rata-rata paling laku di pasaran ada seratusan,” kata Rudi.

Rudi mengaku bangga dengan desain yang dibuatnya.Namun, di sisi yang lain, Rudi mengaku dilematis ketika harus mengikuti pameran. “Ikut pameran membuat produk kami dikenal masyarakat luas, yang kemudian produk kami laris. Namun, di sisi lain, saat pameran banyak produk kami yang di kemudian hari dijiplak desainnya,” tuturnya.

Rudi mengaku sampai saat ini semua produknya belum dipatenkan. Biaya pengurusan HaKI menjadi salah satu kendala yang dihadapi usahanya.

“Sebenarnya kami ingin desain produk dipatenkan, tapi sayang biayanya tidak murah. Inilah kendala kami. Akhirnya ya sudahlah, yang penting inovasi desain harus terus dilakukan agar tidak selalu dijiplak kompetitor lain,” ungkapnya.

Pria yang ingin melepaskan profesinya sebagai dosen ini menambahkan, untuk kompetitor sebenarnya belum banyak, khususnya produk sejenis usahanya. Di DIY hanya ada sekitar enam kompetitor, tapi sudah memiliki pangsa sendiri-sendiri. “Termasuk produk kami yang memang fokusnya pada produk spa. Jadi sebenarnya kompetitor bukan menjadi kendala utama,” ujarnya.

Rudi optimistis ke depannya produk keramik kendaga tetap cerah. Pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China (ACFTA) sampai saat ini belum memengaruhi usahanya, berbeda dengan kerajinan garmen, tekstil, dan lainnya.

“Meski produk China bisa lebih massal, kami yakin produk kami mampu bersaing. Produk kerajinan yang dijual adalah sentuhan seninya dan kami yakin konsumen sudah paham hal itu,” terangnya.

Rudi mengaku sampai saat ini memiliki banyak gerai untuk menjual hasil karyanya. Di Yogyakarta, kata dia, hampir semua mal ada gerai miliknya. Adapun di Jakarta, pihaknya memiliki sekira lima gerai. (ridwan anshori)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)

No comments: