oleh : Henni T. Soelaeman
Dari sebuah stasiun radio bercitarasa Betawi, Bens Radio telah berkembang menjadi 13 radio lokal yang merentang dari Banten, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, sampai Kepulauan Riau. Strategi mengangkat nilai-nilai etnik dan budaya lokal menjadikan Bens Radio meraih pendengar terbanyak.
Biem Triani Benjamin berbeda jauh dari gambaran sosok orang Betawi umumnya yang kerap distereotipkan sebagai doyan nongkrong, cuma menjual tanah warisan, dan sekolah ala kadarnya. Pria berusia 45 tahun ini justru tampil sebaliknya. Pendidikannya sampai perguruan tinggi, yang ditempuhnya di negeri Barack Obama. Dia juga bukan pengangguran yang bermalas-malasan. Dia malah sukses membangun imperium bisnis yang diwariskan orang tuanya, seniman Betawi yang sangat ternama: Benjamin Sjuaeb (almarhum). Dan bahkan di tangannya, bisnis yang didirikan sang ayah kini telah beranak pinak, merambah berbagai daerah dengan omset miliaran rupiah. Di bawah kendali Etnikom, kini ada 13 radio dalam jaringannya, yang membentang dari Banten, Jawa Tengah (Cirebon), Lampung, Sumatera Selatan, hingga Kepulauan Riau.
Semua itu berawal dari Bens Radio, yang dibesut Biem bersama sang ayah tahun 1989. Stasiun radio ini mengudara dengan mengangkat nilai-nilai budaya Betawi. Seluruh siaran menggunakan bahasa dan dialek Betawi. “Abang-none, encang-encing, enyak-babe, kagak terase ye bentar lagi Jakarta ultah nyang ke-482 taon…,†demikian celoteh penyiarnya. Tak sekadar penuturan penyiar dengan citarasa Betawi, program acara pun menampilkan budaya Betawi, seperti Gambang Kromong atau lagu-lagu Betawi lawas yang pernah dinyanyikan Benjamin bersama Ida Royani.
Dengan mengusung lokalitas, dalam tempo singkat, Bens Radio mampu bertengger sebagai stasiun radio yang meraup pendengar terbanyak. Menurut hasil survei AC Nielsen pada 2001 dan 2002, Bens Radio menjadi radio dengan pendengar terbanyak se-Jabotabek. Mengudara di kanal 106,2 FM, stasiun radio yang bermarkas di Jalan Jagakarsa 39, Jakarta Selatan, ini didengar lebih dari 4 juta orang, sementara radio-radio lain paling banter cuma dapat mengumpulkan 1 juta pendengar.
Lahir di Jakarta pada 13 Maret 1964, Biem, seperti juga anak Betawi lainnya, dibesarkan dalam budaya Betawi yang sangat kental. Anak ketiga dari lima bersaudara ini, selain menimba ilmu di sekolah, juga belajar pengetahuan agama dan mengaji dari ustadz yang dipanggil ke rumah oleh orang tuanya pada sore hari. Meski demikian, Benjamin tetap memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk berkreasi, termasuk kepada Biem. Menurut Biem, ayahnya memberikan kebebasan dengan catatan tidak melupakan masalah akhirat. “Mau jadi apa terserah, satu hal yang penting adalah shalat,†katanya mengenang.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar di SDN Tebet tahun 1977, Biem melanjutkan sekolah ke SMP 13 Jakarta. Lalu, dia masuk SMA Pangudi Luhur Kebayoran dan lulus pada 1983. Setahun setelah lulus SMA, barulah Biem terbang ke Amerika Serikat untuk belajar Ilmu Manajemen Komputer di Metropolitan State College, Denver, Colorado. Setelah lulus, dia balik ke Indonesia. Dia sempat bekerja di sebuah perusahaan kopi ternama di Indonesia selama enam bulan, sebelum memutuskan terjun di bisnis broadcasting.
Berbeda dari saudara-saudaranya, keterampilan panggung Biem tidak terlalu menonjol. “Saya jarang diajak maen sama Babe. Mungkin juga karena saya tidak terlalu tertarik,†ungkap pria kalem ini. Dia mengaku lebih tertarik mengelola pertunjukan seni daripada harus tampil di atas panggung. Ketertarikan menjadi orang di belakang layar membuatnya menyanggupi tantangan sang ayah untuk mendirikan stasiun radio. Biem mengenang, untuk mengurus perizinannya perlu waktu hampir empat tahun. Barulah pada 5 Maret 1989 — bertepatan dengan tanggal lahir Benjamin — Bens Radio didirikan di Ciputat, Jak-Sel. Nama Bens merupakan singkatan Benjamin S.
Biem mengaku diuntungkan dengan latar pendidikannya sehingga cukup paham bagaimana mengelola bisnis. “Kebetulan saya punya ilmu manajemen. Jadi, saya pegang manajemen dan almahum pegang kreatifnya,†ujarnya. Hal itu dibenarkan Iman Musaman, Manajer Operasional Bens Radio serta Manajer Program dan Promosi Etnikom. Menurutnya, dari awal, manajemen Bens Radio memang telah dipegang Biem. Sebab, saat itu Benjamin yang menjadi ikon Bens Radio adalah seorang artis yang sangat populer dan sibuknya bukan alang-kepalang, sehingga urusan menata dan mengelola radio secara profesional sejak awal sudah di tangan Biem.
Jika berkunjung ke kantor Bens Radio dan Etnikom di kawasan Jagakarsa, kesan rapi dan berkarakter kuat terlihat mencolok. Sebait pantun khas Betawi tertulis di prasasti peresmian yang menempel di dinding dekat pintu depan kantor. Lalu, koleksi foto almarhum maskot seniman Betawi Benjamin S. yang dipelesetkan menjadi Sider Ben, Ben Lee naga Betawi, juga terpampang menghiasi dinding kantor. Halaman kantor yang cukup luas memberikan pemandangan taman kecil yang terawat rapi. Di salah satu bagian tamannya, ada sebuah sado tanpa kuda. “Saya juga ingin kantor ini menjadi green office,†ungkap Biem. “Walaupun sebenarnya kantor ini tidak luas, halamannya kami hias dengan taman-taman. Halaman belakang juga ada untuk dijadikan taman. Pokoknya, cinta lingkungan, dah,†tambah ayah Chika, Gilang, dan Adelia ini.
Setia dan konsisten mempertahankan nilai Betawi dalam berbagai format acara Bens Radio membuat radio ini disukai banyak orang. Seiring dengan perkembangan zaman, Biem juga menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan selera pendengar Bens Radio yang ikut berubah. Porsi lagu dangdut yang semula dominan sudah berkurang, bergeser ke lagu-lagu pop. “Apalagi, produksi lagu-lagu dangdut sekarang juga menurun,†ujarnya. Namun, muatan lokal yang menjadi ciri dan keunikan Bens Radio tetap dipertahankan. Dalam hal manajemen, sebelumnya direktur Bens Radio disebut dengan “jagoanâ€. “Jadi, almarhum Babe disebut Jagoan,†kata Biem mengenang. Kini, istilah jagoan digantikan dengan direktur.
Bagi Biem, di tengah persaingan stasiun radio, keunikan menjadi salah satu kunci sukses untuk bisa bertahan. Meski diakuinya, “Menjaga lokalitas itu susah.†Karena itu, walau bercitarasa lokal, sajian acaranya bermuatan global. Artinya, pesan yang ingin disampaikan harus bisa dikonsumsi seluruh kalangan yang menjadi target bidik Bens Radio. Strategi ini membuat Bens Radio bisa bertahan sampai bilangan dekade.
Sukses Bens Radio menggelitik Biem untuk mengepakkan sayap. Di matanya, jaringan juga menjadi kiat untuk memperbesar bisnis radio. Perlahan dia mulai berekspansi mendirikan radio di daerah-daerah dengan tetap mengusung budaya setempat. Sampai 1992, jaringannya mencapai 9 radio dan Biem tak ingin berhenti. Namun, niatnya untuk makin ekspansif ditentang sang ayah. “Udah, ga usah banyak-banyak. Radio yang ada aja. Ntar pusing lho,†Biem menirukan nasihat Benjamin kepadanya terkait niatnya tersebut. “Tapi saya waktu itu masih berjiwa muda. Terus aja. Alhamdulillah, sekarang semua radio established. Hampir semua punya gedung sendiri,†paparnya. Dia mengungkapkan, Radio Bens merupakan radio terbesar dari semua radionya. “Maklum, Radio Bens itu ada di Jakarta,†katanya. Radio Bens bisa menjaring dana Rp 700-800 juta dari iklan setiap bulan. Jika digabungkan, ke-13 radio lain juga mengantongi iklan pada angka itu setiap bulan.
Tahun 2000, Etnikom secara resmi didirikan. Etnikom diambil dari kata etnik dan komunitas atau bisa juga komunikasi. Ketika itu, sudah ada 11 radio yang dimiliki Bens Radio. Etnikom mengoordinasi semua radio miliknya. Biem berharap radio-radio etnik ini bisa menjadi wadah eksplorasi ekspresi etnik daerah masing-masing yang sangat beragam di seluruh Indonesia. “Radio-radio itu memang kami posisikan untuk mengangkat budaya daerah masing-masing,†kata Biem. Di holding ini, semua kebijakan umum untuk pengembangan radio-radio dalam jaringannya di daerah dikoordinasikan. Setiap tahun, juga ada pertemuan rutin semua pemimpin radio. Selain untuk berkoordinasi, pertemuan ini juga menjadi sarana mempererat silaturahmi semua stasiun radio di bawah naungan Etnikom.
Biem berpendapat, radio etnik tetap akan berkembang meski di era globalisasi. Malah, menurutnya, globalisasi justru memperkuat keinginan untuk menemukan identitas diri setiap orang di dunia, termasuk tentang etnis. “Semakin global dunia, orang-orangnya semakin ingin mencari identitas dirinya masing-masing. Perasaan itu tidak akan pernah hilang,†ujarnya. Barangkali, faktor inilah yang menyebabkan radio-radio Etnikom terbilang eksis. Biem menyebutkan, semua radionya di daerah-daerah berhasil meraih posisi pertama atau kedua sebagai radio dengan pendengar terbanyak. Radio-radio Etnikom selalu menampilkan format etnik dalam penyampaiannya seperti penyapaan pendengar yang menggunakan bahasa daerah dan konten-konten program berbahasa daerah.
Biem melihat, globalisasi tidak bisa ditolak. Masyarakat harus membuka diri terhadap globalisasi agar dapat bersaing dan terus berkembang. “Globalisasi harus diadopsi. Walau radio Betawi, kami tetap memanfaatkan berbagai jasa layanan Internet. Kami juga bekerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan bahasa Inggris untuk pengembangan bahasa,†paparnya. Globaliasasi membawa perubahan zaman. Karena itu, pihaknya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut tanpa harus melepaskan identitas diri. Biem tetap melihat masa lalu, kini, dan masa yang akan datang. “Pendengar berubah, kompetitor berubah. Ada pergeseran nilai. Mau tidak mau, kami juga harus berubah untuk mengantisipasi berbagai perubahan tersebut,†kata suami Ismarlita ini.
Dalam pandangan Iman, Biem sangat visioner. “Biem adalah orang yang menggagas Bens Radio mulai dari konsep dasar hingga namanya,†ungkapnya. Iman kemudian mencontohkan, Biem mengonsep radio etnik pada 1993. Padahal pada saat itu, radio etnik sama sekali tidak populer. Kenyataannya sekarang, semua radio etnik yang tergabung di Etnikom pimpinan Biem menjadi salah satu radio utama di tiap daerahnya. Menurutnya, sejak itu pula Biem menggagas perluasan radio jaringan Bens. Biem juga membalikkan pandangan orang-orang yang beranggapan radio harus besar dulu baru membuat jaringan. “Pak Biem berpikir beda, supaya besar, radionya harus berjaringan,†papar Iman.
Dia menambahkan, Biem juga mengingatkan bahwa radio etnik bukan berarti radionya akan berkutat di masa lalu. Karena etnik itu meliputi masa lalu, sekarang, dan masa mendatang. Di bawah komando Biem, tambahnya, Bens Radio selalu menemukan inovasi baru dan tetap berkembang sehingga tidak tertinggal menghadapi radio-radio lain yang juga terus berkembang. Iman kemudian mencontohkan lagi, Biem mengharuskan penyiarnya menguasai minimal tiga bahasa: bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Inggris sebagai konsekuensi globalisasi dan yang terdepan di dunia media, serta bahasa daerah sebagai identitas. “Jangan sampai kita juga jadi radio yang kayak radio museum yang pendengarnya cuma orang tua,†katanya menegaskan.
Dalam waktu dekat, sebuah radio baru milik Etnikom akan didirikan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Biem pun mengungkapkan impiannya memiliki stasiun radio etnik di setiap provinsi di Indonesia. “Kalau bisa, radio ini jaringannya tidak hanya nasional, tapi global,†ujarnya. Menurutnya, mimpi ini masih sangat potensial mengingat globalisasi tetap membawa orang-orang untuk mencari identitas dirinya. Negara-negara lain tentu punya daerah-daerah yang juga memiliki khasanah budaya masing-masing yang sangat beragam. “Tapi sejauh ini, modal kami masih terbatas,†ungkap Biem seraya berharap ada investor yang mau menanam modal.
Biem mengakui, radionya ada yang didirikan langsung, ada pula yang diambil alih dari pemilik lama. Akan tetapi, sebagian besar didirikan langsung dari bawah. “Hanya beberapa yang di-takeover,†ujarnya. Biasanya sebuah radio baru akan dikelola sementara oleh seorang utusan dari Jakarta. Kemudian, mereka mempersiapkan orang-orang daerah setempat untuk mengelolanya. Ketika semua sudah siap, barulah mereka memberikan semuanya kepada orang-orang daerah tersebut. Hanya kebijakan umum yang dikoordinasikan ke daerah dari Etnikom. “Orang daerah tersebut tentu lebih tahu kebutuhan di daerahnya,†ujar Biem. Selain itu, otonomi akan menambah rasa memiliki masyarakat daerah masing-masing.
Biem mengaku tidak menerapkan aturan khusus di lingkungan kerja kantornya. Budaya kerja itu, menurutnya, tidak dibuat-buat, tetapi akan terbangun dengan sendirinya. Dia hanya menerapkan disiplin kerja serta layanan yang baik kepada klien, yaitu pendengar dan pemasang iklan. Apalagi, tahun-tahun terakhir ini, ketika Bens Radio mulai tergeser pemain baru. Menurut survei ACNielsen, delapan tahun terakhir Bens Radio merupakan radio dengan pendengar terbanyak di Jakarta. Namun, belakangan posisi ini diambil alih radio baru, Gen FM. “Mungkin karena kami sudah cukup lama mengisi ruang dengar pendengar. Lalu, mereka ingin mencoba sesuatu yang baru,†Biem menduga-duga. Meski demikian, Biem yakin bisa kembali merebut posisi teratas dalam waktu dekat. “Kami punya banyak potensi yang bagus. Dengan sedikit polesan, kami yakin bisa ke atas lagi,†ujarnya optimistis.
Untuk itu, pihaknya mulai melakukan beberapa terobosan baru seperti menyiapkan beberapa program off air. Juga, menempuh promosi bellow the line dengan menggelar berbagai event. Karena itu, pihaknya mulai aktif mengembangkan bagian event organizer-nya. “Kini kami sedang mengerjakan beberapa event dengan Telkomsel. Mudah-mudahan ini akan menunjang omset radio kami.â€
Manajer Stasiun Radio Heartline FM Budi Aditya yakin Biem mampu mewujudkan targetnya. “Pak Biem itu sosok yang ulet dan pekerja keras,†kata Budi. Selain itu, Biem juga orang yang sabar dan tenang. Dalam penampilan dan pembawaan sehari-hari, di matanya, Biem merupakan sosok yang low profile. Budi, yang sempat sama-sama aktif di Pimpinan Daerah Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Banten, mengaku sangat salut pada dedikasi Biem kepada organisasi. Biem selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat pengurus. “Padahal, Pak Biem itu sibuk sekali,†katanya. Biem juga memberi kepercayaan sepenuhnya kepada pengurus untuk melakukan yang terbaik bagi semua anggota PRSSNI Banten.
Reportase: Ahmad Yasir Saputra
Riset: Dumaria Manurung(sumber swa online)
No comments:
Post a Comment