R Ade Kesatriadi, 39, sudah mencoba berbagai usaha, mulai dari usaha pemanfaatan limbah elektronik hingga garmen. Namun,semuanya tidak bisa bertahan lama hingga akhirnya dia banting setir. Dia mencoba bisnis yang sebelumnya tidak disukainya, menjadi perajin opak kawung.
Saat itu, tahun 2003, Ade sebenarnya sempat ragu karena dia berpikir menjadi perajin opak tidak akan bisa membuatnya cepat kaya karena keuntungan yang dihasilkan sedikit. Namun, karena kondisi terdesak, tanpa modal skill selain hanya uang Rp100 ribu, Ade memaksakan diri memulai usahanya.
Istrinya, Yati Suryati, 38, mendukung penuh Ade, bahkan memutuskan mengakhiri pekerjaan sebagai tenaga akunting di sebuah perusahaan. Dari rumah bilik ukuran 2 x 3 meter yang berlantaikan tanah, Ade memulai usahanya dengan memproduksi opak sebanyak empat bungkus yang dijual seharga Rp5 ribu per bungkusnya. Awalnya,selain ke saudara dan tetangga, Ade menjajakan produknya ke pedagang Tionghoa di Jalan Tuparev Karawang.Waktu itu dia tidak berharap banyak,tapi hanya ingin mengetahui respons pasar.
Jika responsnya terhadap opak produksinya positif, berarti usaha barunya bisa terus dilanjutkan. “Jika mereka mengatakan opak saya enak,berarti opak buatan saya bisa diterima pasar,” kata lelaki kelahiran Karawang, Desember 1971 ini. Meski responsnya positif dan permintaan mulai banyak, apa yang diharapkan tidak berjalan mulus. Pada tahun pertama, dia bahkan hampir saja meninggalkan usahanya karena keterbatasan modal, tenaga kerja, dan peralatan. Namun, dia mengurungkan niatnya.
Tahun 2004 Ade memutuskan memberanikan diri untuk meminjam modal ke Bank Jabar karena saat itu ada program Jabar Peduli. Dia mengajukan pinjaman Rp5 juta, tapi hanya disetujui Rp2 juta selama satu tahun. Dengan modal itu, Ade merekrut satu tenaga kerja sehingga dia bisa meningkatkan produksi dari empat bungkus menjadi puluhan bungkus opak per dua harinya.
Dengan usaha yang mulai menanjak, pinjaman yang seharusnya dilunasi selama satu tahun sudah dikembalikan semua pada bulan ke-10. Untuk memperluas pemasaran produknya, Ade sering mengikuti berbagai kegiatan di luar daerah. Dalam waktu tidak lama produknya semakin dikenal dan permintaan pun semakin banyak. Namun dia tidak serta-merta langsung memenuhi permintaan tersebut. Ade tetap berorientasi pada kualitas sehingga dia tidak mau beralih menggunakan alat modern hanya demi meningkatkan hasil produksi. Dia tetap menggunakan cara tradisional, termasuk untuk penjemuran dan pembakaran, agar kualitas produknya tetap baik.
Ade juga bersikukuh tidak tergoda dengan tawaran pemodalbesar yang ingin mengubah label maupun memberikan lisensi untuk produksi di luar Karawang dan sebagai kompensasi diberi modal dengan jumlah ratusan juta rupiah. Dia berkeyakinan, dengan cara tersebut dirinya tidak akan bisa mengembangkan usaha berdasar keinginannya karena pasti akan didikte pemilik modal. “Saya yakin makanan tradisional ke depannya menjadi barang yang antik. Kini bagaimana caranya kita bisa memenuhi selera pasar dengan inovasi,” tandasnya.
Kegigihannya mengembangkan usahanya pun mendapat perhatian. Tahun 2008, Indag Agro Jawa Barat mengundang perajin opak se-Jawa Barat terkait rencana kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjamu para duta besar di Istana Bogor untuk minum teh.
Untuk itu, diperlukan hidangan makanan tradisional dan opak dipilih untuk menemani minum teh para tamu negara tersebut. “Alhamdulillah saat itu, produksi opak kami menurut Indag Agro Jawa Barat sebagai opak terbaik dan termahal di Jawa Barat,” ungkapnya. Dalam menjual produknya, setiap kotak opak kawung yang berisi 26 lembar dijual seharga Rp12 ribu. Di tahun 2008-2009 harga opak produksi Ade per kilogramnya dijual antara Rp75-80 ribu, sedangkan opak lainnya dijual dengan harga Rp40 ribu per kilogramnya. “Kita tidak takut bersaing karena harga, karena konsumen sendiri nantinya yang memilih mana produk yang lebih baik,” kilahnya.
Atas usahanya yang tidak kenal lelah dan produknya sudah dikenal masyarakat luas,tahun 2009 Pemkab Karawang mulai melirik usaha Ade dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp90 juta untuk penguatan modal dan peralatan produksi.
“Dengan bantuan tersebut, kita bisa meningkatkan produksi opak menjadi 100 bungkus dengan isi 26 lembar per harinya dengan omzet Rp30 juta per bulan,” terang Ade. Kini usaha Ade sudah stabil dengan pasar yang jelas. Dia sudah banyak mendapat pesanan sehingga tidak perlu lagi keliling memasarkan opaknya.Bahkan,sejumlah negara seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia menginginkan produknya. (adn)(Raden Bagja Mulyana/Koran SI/rhs) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment