Sugianto Tandio sukses meluncurkan Oxium, merek kantong plastik ramah lingkungan hasil inovasinya. Hanya butuh setahun merek ini menguasai 90% pasar kantong plastik di segmen modern market seperti Indomaret, Alfamart, Carrefour dan Hypermart. Inilah perjuangan sang inovator.
Meski plastik telah menghidupi keluarga besarnya sejak 1971, Sugianto Tandio (47 tahun) tidak menutup mata terhadap potensi bahaya produk tersebut. “Kekuatan dan keawetan plastik adalah bahayanya,” ujar Presiden Direktur PT Tirta Marta, perusahaan kemasan plastik yang pabriknya berlokasi di Serang, Cikupa, Tangerang itu.
Berangkat dari pemikiran itu, sejak tahun 2000 Sugianto meriset formula yang mampu memperpendek “usia hidup” plastik. Ambisinya tak tanggung-tanggung: dari normalnya 1.000 tahun, lulusan S-1 dan S-2 Teknik Elektro University of North Dakota, Amerika Serikat, ini punya target menguraikan plastik secara alami hanya dalam hitungan tahun.
Setelah 8 tahun meriset, kegigihan mantan perancang sistem laboratorium dan fasilitas produksi di 3M Company AS itu pun berbuah manis. Dua merek kantong plastik inovasinya, Ecoplas (terbuat dari tepung singkong) dan Oxium (ditambah zat aditif pengurai plastik), sukses digelontorkan ke pasar pada 2009.
Dalam waktu singkat, berbagai peritel modern market dan perusahaan lain yang memang tengah mencari plastik ramah lingkungan menyambutnya seperti musafir kehausan yang menemukan oase di tengah gurun. Dan, hanya butuh setahun sejak diluncurkan bagi Oxium untuk menjadi penguasa 90% pasar kantong plastik di segmen modern market. Kliennya mencakup raksasa ritel Indonesia seperti Indomaret, Alfamart, Carrefour dan Hypermart, serta perusahaan lain seperti toko roti dan kue Kartika Sari dan toko farmasi Century. Bahkan tak hanya di dalam negeri, berbagai peritel dan perusahaan di AS pun turut menjadi kliennya seperti Mall of America, supermarket Lake Winds dan Zara.
Sugianto, sang inovator, mengakui sukses besar itu tak lepas dari pengalamannya tinggal di AS selama 10 tahun. Di sana ia melihat, meski masyarakat dan pemerintah AS telah menggalakkan budaya menyortir sampah plastik untuk memudahkan penanganan limbahnya, dan produsen plastik juga telah menerapkan langkah 3R (reduce, reuse, recycle) sejak 50 tahun lalu, strategi itu terlihat kurang efektif. Tetap saja terjadi timbunan sampah plastik di mana-mana di AS.
Hal itu memang disebabkan sifat sampah plastik itu sendiri yang meski organik karena berasal dari minyak bumi, tetapi lantaran ditambahkan zat aditif, keawetannya menjadi luar biasa, bertahan hingga 1 milenium sebelum akhirnya perlahan terurai secara alami. Pengalaman itu lantas disimpan di benaknya meskipun ia kemudian bekerja di 3M yang tidak berhubungan dengan bisnis keluarganya.
Demikian pula ketika dirinya pulang ke Indonesia pada 1994 untuk memimpin perusahaan keluarganya. Menyesuaikan diri dengan tantangan modernisasi manajemen dan upgrading fasilitas produksi perusahaan, ia lebih memilih melakukan benah-benah di perusahaannya. Saat itu Tirta Marta yang berawak 50 karyawan dipimpin dengan model one man show. “Itu luar biasa, karena biasanya seseorang span of control-nya hanya 3-4 orang,” tutur Sugianto kepada SWA di pabriknya, pertengahan Januari lalu. Meski terlihat hebat, kondisi seperti itu menjadi kendala tersendiri dalam pengembangan perusahaan. Sebab, dengan pola tersebut, setiap kali perusahaan ingin berkembang selalu terhambat.
Saat masuk perusahaan keluarga, Sugianto diminta magang terlebih dulu dan mempelajari metode kerja sang pemimpin yang merupakan teman bapak mertuanya. Namun lantaran memiliki visi sendiri, Sugianto pun dengan halus menolaknya. “Bukan apa-apa, waktu saya akan habis untuk operasional dan tidak akan memiliki waktu memikirkan pengembangan perusahaan. Akhirnya, saya minta diberi otoritas untuk menjalankan pabrik seluas 2 hektare di Serang yang baru dibangun pada1996. Perlahan-lahan berbagai order dialihkan ke Serang,” papar ayah dua anak ini.
Dengan manajemen modern yang diperkenalkan Sugianto, proses kerja dan waktu produksi menjadi lebih efisien. Di Serang, ia memang secara bertahap menerapkan pola manajemen modern dengan menempatkan tenaga profesional di bidang pemasaran, purchasing, sumber daya manusia, dan produksi.
Hasilnya sangat nyata. Hingga akhir 1990-an, omset perusahaan melonjak ribuan persen dengan karyawan yang telah berlipat lima menjadi 250 orang. Tantangan pun berganti. Tidak lagi di aspek efisiensi tetapi inovasi demi mempertahankan pasar. Sebagai produsen plastik, inovasinya tentu saja di bidang yang berkaitan dengan plastik.
Sugianto sadar, ia tak akan bisa meriset dengan fokus jika kendali perusahaan sepenuhnya berada di tangannya. Maka, ia menyerahkan urusan operasional perusahaan ke para profesional yang telah disiapkannya. Dari 3M Sugianto mendapatkan bekal ilmu berharga dalam meriset, yakni tak sembarang riset dan temuan bisa dijadikan mesin uang. “Sekitar 90% nomor (temuan) paten di dunia tidak dimanfaatkan,” ungkapnya. Dari 3M pula ia belajar, sejak awal riset harus diperkirakan apakah temuannya bisa dibuat produk jadi, bisa dipasarkan dan diperkirakan juga besar pasarnya. Itulah yang menjadi panduannya. Dan, berkaca dari pengalamannya semasa kuliah di AS, ia mengidentifikasi kebutuhan menemukan plastik yang ramah lingkungan.
Dibentuklah kemudian tim kecil terdiri dari 6 orang yang dipimpinnya sendiri. “Staf peneliti ada yang bergelar sarjana dan ada pula Ph.D.,” ujarnya menyebut kualifikasi pendidikan anggota timnya. Semua penelitian dilakukan di pabrik di Serang, meski untuk pengujian selalu dilakukan di lembaga penelitian milik BPPT, kampus, dan lembaga pengujian lainnya mengingat keterbatasan peralatan di pabriknya.
Begitu fase awal telah mantap dan sasaran ditemukan, Sugianto pun mencari pendanaan karena mahalnya biaya riset. Belakangan, pendanaan didapat dari Aureos Capital, firma private equity yang berbasis di London, Inggris, dan dibiayai CDC Group dan Norfund. Kedua lembaga terakhir masing-masing merupakan lembaga keuangan bentukan Pemerintah Inggris dan Pemerintah Norwegia yang bertujuan membantu perusahaan di negara berkembang yang memiliki misi membantu kelestarian lingkungan.
Dengan dukungan dana jutaan dolar AS dari Aureos, Sugianto melakukan riset. Berkali-kali ia meyakinkan anggota keluarga bahwa misinya adalah jalan masa depan bagi Tirta Marta. “Terkadang ada pertanyaan dari anggota keluarga mengenai kegunaan riset ini, itu wajar. Adalah tugas kita menjelaskan kepentingan riset ini bagi masa depan perusahaan,” katanya.
Akhirnya, setelah 8 tahun berkutat di lab riset di pabriknya di Serang, dengan menggelontorkan puluhan miliar rupiah, inovasinya membuahkan hasil. Dua produk sukses ditetaskan, diberi merek dan siap dipasarkan, yakni Ecoplas dan Oxium. Ecoplas merupakan plastik yang terbuat dari singkong, sementara Oxium adalah zat aditif yang berfungsi mempercepat penguraian plastik dengan bantuan oksidasi, thermal dan fotodegradasi.
Kedua produk itu diuji di berbagai lembaga pengujian di Indonesia seperti Sucofindo dan terbukti mampu mempercepat proses penguraian plastik menjadi dua tahun saja. “Sebenarnya, bisa saja hancur dalam 6 bulan bahkan kurang, tapi kami tentukan waktu dua tahun untuk mengakomodasi perilaku konsumen yang suka mempergunakan kembali plastik bekas,” ungkap Sugianto.
Teknologi pembuatan plastik dari tanaman berkarbohidrat seperti singkong sendiri sudah ada sejak 30 tahun lalu dan kini banyak beredar di Internet. Proses kerja Ecoplas yakni dengan menggunakan starch (tepung) singkong untuk dibuat plastik. “Kami pilih singkong karena merupakan tanaman berkabohidrat termurah. Bandingkan dengan beras, kentang maupun jagung,” kata Sugianto.
Nah, teknologi yang masih langka adalah Oxium yang menggunakan teknologi oxodegradable. Oxium bekerja dengan mencampurkan zat aditif tersebut sebanyak 10% dari total bahan baku pembuatan plastik biasa. Di dunia hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai teknologi zat aditif pengurai plastik dalam waktu singkat, yakni EPI dari Kanada, D2W dari Inggris, Willoridge dari AS, dan Symphony.
Begitu produk dan merek rampung, dimulailah pemasaran melalui presentasi ke klien-klien potensial, para peritel modern market. “Karena mereka yang sadar lingkungan, dan begitu mereka menggunakan, pasti yang lain mengikuti,” ujar Sugianto. Betul juga. Begitu satu peritel memakai kantong plastik dengan label Oxium, yang lain mengikuti. Langsung saja produknya menyebar cepat. Hingga kini, nyaris tidak ada modern channel yang tidak memakai plastik Oxium atau Ecoplas. “Di Indonesia, Oxium lebih laku karena harganya lebih murah daripada Ecoplas,” tuturnya.
Mengingat besarnya permintaan dan keinginan melakukan efisiensi, Sugianto pun memasarkan zat aditif Oxium ke-16 pabrik plastik lainnya. “Kami juga tidak ingin mematikan teman-teman pemain lain. Pasarnya besar, pasti kita bisa bekerja sama,” ujarnya. Ia memperkirakan, total produksi kantong plastik Oxium dan Ecoplas yang diproduksi Tirta Marta dan ke-16 mitranya mencapai 3.000 ton/bulan. Adapun jumlah zat aditif Oxium yang diproduksi Tirta Marta mencapai 300 ton/bulan.
Meski ingin membesarkan pasar dengan cepat, Sugianto sangat selektif memilih mitra. Sebab, ia tidak ingin produknya “diakali” mitra yang akhirnya akan menghilangkan kepercayaan konsumen.
Adrian Sudirgo, GM Operasional dan Pemasaran perusahaan plastik PT Intiperdana Bumi Tirta, membenarkan ucapan Sugianto. Tirta Marta, dikatakan Adrian, menerapkan seleksi bagi calon mitranya. Ada beberapa aspek yang dilihat Sugianto dalam memilih mitra. Di antaranya, perusahaan mitra harus kredibel dengan rekam jejak yang jelas serta memiliki akses ke modern channel.
Selain itu, setelah menjadi mitra, diterapkan evaluasi berkala untuk mencegah pelanggaran prosedur kerja. “Setiap beberapa periode, mereka melakukan sampling produk untuk mengecek ketepatan kandungan Oxium,” kata Adrian seraya memaparkan, perusahaannya telah bekerja sama dengan Tirta Marta sejak kuartal III/2009. Adapun klien Intiperdana mencakup Indomaret, Alfamart, Hypermart dan berbagai modern channel lainnya.
Sugianto menjelaskan, salah satu alasan mengapa banyak perusahaan mitra tertarik bekerja sama karena mereka tidak perlu berinvestasi menggunakan mesin-mesin baru. Di luar itu, biaya produksi kantong plastik Oxium tidak terlalu mahal, hanya menambah biaya produksi 5%-10%. Adapun biaya tambahan penggunaan Ecoplas lebih mahal 15%-20% daripada plastik konvensional.
Pada gilirannya, rendahnya biaya investasi ini membuat biaya ekstra yang dibebankan ke konsumen akhir tidak besar, hanya 5%-10% lebih mahal ketimbang plastik konvensional. “Membuat produk akhir yang terjangkau itulah tantangan yang sangat besar dalam meriset,” ungkap Sugianto
Indomaret sebagai salah satu klien pertama Tirta Marta mengaku tidak terkendala dengan harga plastik Oxium yang hanya sedikit lebih mahal ketimbang kantong plastik biasa. Ketika ditanya kemungkinan penggunaan Oxium mengurangi laba Indomaret, Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama, Wiwiek Yusuf, menjawab, “Secara siginifikan rasanya tidak. Bahwa harganya lebih mahal10% dibanding kantong plastik biasa, itu benar,” ujarnya. Dalam sebulan, rata-rata gerai Indomaret memakai kantong plastik 50 kg. Setiap kilo berisi 357 lembar kantong plastik. Dengan jumlah gerai 5.004 pada Januari 2011, Indomaret membutuhkan 250,2 ton kantong plastik/bulan. “Kebutuhan ini akan terus meningkat seiring perkembangan gerai,” kata Wiwiek.
Indomaret memakai kantong plastik Oxium secara bertahap sejak Juli 2009 dan pada September 2009 sudah merata di seluruh gerai. “Tujuannya, menekan jumlah kantong plastik yang telah mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Program ini merupakan komitmen Indomaret dalam menjaga kelestarian alam dan mendukung program pemerintah dengan dikeluarkannya UU No.18/2008 tentang pengelolaan sampah,” Wiwiek menambahkan.
Sugianto tak berniat jadi jago kandang. Ia ingin hasil inovasi Indonesia dikenal sampai mancanegara. Ia pun sudah roadshow ke berbagai produsen dan peritel AS hingga akhirnya mendapatkan klien-klien seperti Nickelodeon, Mall of America, Zara dan Lake Winds.
Menanggapi mimpi besar Sugianto, Steve Sudjatmiko, pakar manajemen perubahan, menyarankan beberapa langkah bagi Sugianto untuk membesarkan produknya yang notabene adalah produk hijau. “Dia bisa melobi pemerintah agar mewajibkan penggunaan produknya, mendidik anak sekolah, mengedukasi pabrik, menghubungi yayasan-yayasan CSR (corporate social responsibility) untuk meminta dukungan, hingga melakukan seminar ramah lingkungan dengan Al Gore,” kata Direktur SDM PT Dima Indonesia, distributor bir Guinness di Indonesia, itu.
Steve juga menyetujui metode penjualan zat aditif saja tanpa memproduksi produk jadi. “Dengan demikian, Sugianto mendapatkan beberapa keuntungan, yakni mempercepat penetrasi pasar, memasarkan dengan biaya murah, menjual dalam jumlah besar dan memopulerkan brand produknya.”
Bagi Sugianto, langkahnya saat ini merupakan fase awal aplikasi Oxium dan Ecoplas. Selanjutnya, ia siap mengaplikasikan Oxium ke berbagai produk berbasis plastik lainnya. “Rencananya, mulai tahun 2011 ini setiap semester saya meluncurkan produk baru, semua ada waktunya,” ungkap pria kalem yang murah senyum ini.(*)
Riset: Evi (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment