Di mana ada usaha, di sana ada jalan. Begitulah prinsip hidup Bernart Ferry Ferdinand. Dia tidak pernah menyia-siakan kesempatan sehingga akhirnya sukses menjadi pengusaha garmen dengan pendapatan Rp40 juta per bulan.
Pria yang akrab disapa Ferry ini tidak pernah menyangka menjadi wirausahawan sukses seperti saat ini. Anak kedua dari empat bersaudara ini memulai usahanya dari nol dan membuktikan dengan bermodal niat dan kerja keras setiap orang bisa sukses. Ferry saat ini bekerja penuh (full time) di salah satu stasiun televisi nasional sebagai teknisi. Dia menjadikan usaha garmen sebagai bisnis sampingannya.
Meski begitu, dia mengakui usaha sampingannya tersebut lebih menjanjikan dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Usaha yang telah empat tahun dijalankannya tersebut berawal dari proyek kecil-kecilan. Menurut Ferry, di tempatnya bekerja, banyak karyawan yang memesan jaket ataupun pakaian secara massal untuk keperluan kantor. Tanpa menunggu lama, dia langsung memutuskan untuk menggarap proyek pemesanan kantornya.
“Dulu saya hanya sebagai distributor, penghubung antara pengusaha garmen dan pembeli. Namun,setelah kenal seluk-beluk usaha ini, tanpa pikir panjang langsung berminat buka usaha garmen,” kata kelahiran 21 Desember 1979 itu. Kebetulan, sejak bangku sekolah atas, Ferry hobi dan pandai membuat sketsa pakaian, khususnya jaket untuk pengendara motor. “Waktu itu masih iseng-iseng, belum terpikirkan untuk dijadikan bisnis,” ujar penyuka makanan pedas ini.
Ferry sempat kaget saat mengetahui modal yang dibutuhkan untuk membangun usahanya tidak sedikit. Otaknya pun berputar untuk mengakali rintangan pertama tersebut. Setelah berpikir matang, dia memutukan untuk meminjam modal dari bank sebesar Rp35 juta. Dari modal tersebut, Ferry melakukan efisiensi pengeluaran hanya untuk keperluan yang penting, seperti sewa tempat, mesin jahit dan bahan pakaian.
"Benar-benar modal nekat, Rp35 juta sudah saya perhitungkan pembagiannya untuk apa saja, agar tidak menghabiskan biaya yang tidak penting,” paparnya. Jalan Sukajadi No 46 Bandung dia pilih sebagai tempat usaha garmen pertamanya. Menurut Ferry, di daerah tersebut banyak sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang garmen. Selain faktor tersebut, bahan pakaian relatif lebih murah, jika diperoleh di ibu kota Jawa Barat itu.
Tidak hanya sebagai pusat pembuatan usaha garmen, Ferry juga menjadikan tempat tersebut menjadi butik untuk memperjualkan barang dagangannya, seperti jaket, kemeja seragam, hingga kaus. Dengan tekad, kerja keras dan linkke beberapa perusahaan,lulusan Teknik Elektro Universitas Kristen Krida Wacana, Bogor, ini berhasil mencapai titik impas (break event point/BEP) dalam tempo dua tahun.
Setelah modal awal kembali, Ferry memutuskan untuk membuka toko garmen cabang terbaru. Setelah sempat melakukan survei ke beberapa tempat di wilayah Jabodetabek, Ferry akhirnya memilih Jalan Margonda Raya No 436 Depok menjadi lokasi cabang pertama usaha garmennya. “Margonda dikelilingi banyak kampus dan perkantoran, tempat yang tepat untuk membuka usaha dengan segmen target keduanya,” beber pria yang hobi automotif tersebut.
Saat ini Ferry membawahi 12 orang karyawan, delapan di Bandung sedangkan sisanya di Depok. Bandung dijadikan tempat pembuatan usaha garmennya, sedangkan cabang Depok hanya sebagai toko untuk memasarkan barang dagangannya. Pria yang masih betah melajang ini mengaku tidak pernah kesepian order. “Tapi waktu tahun ajaran baru sekolah biasanya pendapatan menurun, tidak signifikan.
Pesanan tetap banyak, baik itu dari mahasiswa maupun karyawan kantoran,” tandasnya. Dari usaha yang dijalankannya, Ferry mengaku dapat memperoleh keuntungan kotor hingga Rp35 juta per minggunya. Menurut dia ,mayoritas konsumen atau sebanyak 60 persen memesan jaket secara massal. Pembeli di toko yang dinamakan Zero Nine tersebut sebagian besar adalah karyawan kantoran, tapi Ferry juga mengatakan, banyak mahasiswa yang memesan untuk jaket almamater.
Harga jaket yang ditawarkan berkisar Rp150 ribu-170 ribu per potong. Jika konsumen memesan lebih dari dua lusin, Ferry menawarkan harga diskon yang relatif lebih terjangkau. “Harga jaketnya bisa turun jadi Rp120 ribu-140 ribu. Semakin banyak semakin murah harga yang ditawarkan,”ujarnya. Untuk kemeja,Ferry memberikan pilihan harga mulai Rp60 ribu-85 ribu per potong.
Harga bergantung bahan yang dipesan. Semakin bagus bahannya, semakin mahal pula harga kemeja tersebut. Dia juga membebaskan konsumen untuk memilih desain jaket yang mereka inginkan.Ferry mengakui tidak ada penambahan harga untuk pemesanan model tersebut. “Selama tidak terlalu banyak aksesori yang digunakan,” tambahnya.
Saat ini,Ferry berencana untuk menambah satu butik dari usaha garmennya tersebut. Untuk butik yang ketiga ini, dia berencana membuka cabang di wilayah Jakarta Timur dan Bekasi. Dia beralasan,banyak konsumen yang tinggal dan berdomisili di kedua wilayah itu. “Kalau harus ke Depok kan jauh, sebab itu saya berencana akan menambah di Jakarta Timur atau Bekasi,” bebernya.
Ferry menyadari, usaha garmen sudah begitu menjamur. Apalagi di Bandung. Karena itu, untuk membedakan butik dan usaha garmennya dengan yang lain, setiap konsumen yang ingin memesan pakaian di Nine Zero boleh diukur sesuai dengan ukuran dan model yang diinginkan.
Hal ini menurutnya membedakan Nine Zero dengan tempat lainnya. “Kalau dibutik lain, hanya ada ukuran S,M dan L. Sedangkan kami mengukur panjang dan lebar dari pakaian setiap konsumen, hal ini memberi kesan lebih personal, karena setiap individu mempunyai ukuran badan yang berbeda-beda,” ujar Ferry. Dia mengakui dengan pengerjaan berdasarkan ukuran masing-masing konsumen, penyelesaian pakaian berjalan relatif lebih lama.
Namun, ini menjadi tantangan bagi Ferry untuk menyelesaikan pesanan tepat waktu,sesuai dengan perjanjiannya dengan konsumen. “Untuk pemesanan minimal dua lusin, biasanya kami dapat menyelesaikan dalam kurun waktu dua minggu. Pemesanan lebih dari itu juga kami usahakan diselesaikan maksimal dua minggu,” tandasnya. Meskipun pengerjaan relatif lebih lama, Ferry juga selalu menjaga kualitas produknya dan berupaya memuaskan konsumen.
“Kepuasan konsumen adalah harga yang tidak ternilai, begitu juga saat konsumen komplain, rasanya seperti terpecut untuk lebih baik lagi,” tutup Ferry. Dalam berbisnis, setiap orang pasti mengalami pasang surut.Begitu pula dengan pria yang besar di kota Bogor tersebut. Sejak didirikan pada akhir 2006, usaha garmen Zero Nine belum pernah mengalami kerugian berarti.
Meskipun begitu,pengalaman dengan berbagai jenis karakter sifat konsumen pernah dihadapi Ferry. Pengalaman yang tidak terlupakan saat melayani konsumen dari komunitas pengendara sepeda motor atau yang jamak disebut bikers. Ferry bercerita, dia pernah didatangi beberapa orang yang ingin memesan jaket di butiknya. Dari pakaiannya, terlihat bahwa mereka adalah komunitas pecinta sepeda motor.
Setelah panjang lebar, konsumen tersebut memesan barang yang diinginkan.“Mereka minta pesanan cepat diselesaikan.Tapi, begitu selesai dikerjakan, mereka malah mengudur jatuh tempo waktu pembayaran dengan alasan uang belum terkumpul semua. Sebenarnya sih tidak masalah, tapi saya terpaksa harus menutupi biaya operasional untuk pengerjaan jaket tersebut,” paparnya. (heru febrianto)(adn)(Koran SI/Koran SI/rhs) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment