Usianya telah mencapai 76 tahun, tapi garis-garis kekuatan pada tubuhnya masih tampak. Djiwo Diharjo pun masih setia dengan profesinya sebagai perajin keris. Djiwo bertahan demi nilai-nilai yang dipertahankan dan juga bisnis.
Keris bagi sebagian masyarakat Indonesia dikenal sebagai senjata yang biasa digunakan para bangsawan keraton. Pada awalnya keris memang dibuat sebagai senjata tikam.
Meski demikian, seiring bergulirnya waktu, fungsinya berubah menjadi benda seni, pengungkapan falsafah maupun perwujudan simbol dan harapan. Keris juga dianggap pusaka, khususnya untuk masyarakat Jawa.
Sebagai salah satu karya nenek moyang bangsa Indonesia dalam khasanah budaya tradisional, pembuatan karya seni ini menggunakan teknik tempa yang sangat rumit.Kerumitan ini terletak pada seni tempa pamor yang indah, yang dahulu sangat tidak terjangkau oleh pemikiran awam.
Ada anggapan dari sebagian masyarakat bahwa pamor pada sebilah keris memiliki kekuatan magis, makhluk gaib dan supranatural lain. Karena itu dapat dipahami kenapa dari dulu hingga sekarang keris menjadi benda yang dikeramatkan oleh sebagian orang sehingga memerlukan perawatan seperti harus dimandikan, diberi sesajen, dan sebagainya.
Pembuatan keris yang sedemikian sulit tersebut tentu membutuhkan seseorang yang memang memiliki keahlian khusus, mau berkorban, dan setia dengan profesinya.
Dari sedikit perajin keris atau yang lebih dikenal dengan sebutan empu di Tanah Air, salah satu yang tersisa adalah Djiwo Diharjo. Dia adalah empu keris yang berasal dari Banyu Sumurup, desa yang berada di wilayah Imogiri, Bantul, atau sekira 500 meter arah tenggara makam raja-raja Mataram, Yogyakarta.
Empu Djiwo sudah memulai profesinya sejak muda, sekira tahun 1951. Empu Djiwo menyebut dirinya adalah keturunan ke-19 dari trah keluarganya yang juga merupakan perajin keris sejak zaman Majapahit. Pendahulunya, Empu Supomo adalah sosok di balik perkembangan Banyu Sumurup sebagai sentra kerajinan keris di Yogyakarta.
Konon, ketika itu di Kerajaan Majapahit terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan Soreng Loyo. Ontran-ontran ini membuat kalang kabut rakyat dan banyak yang melarikan diri ke luar Majapahit untuk menyelamatkan diri. Empu Supomo, salah satu empu yang mumpuni membuat keris di Kerajaan Majapahit, bersama dengan keluarganya mencoba menyelamatkan diri.
Dia kemudian lari ke daerah Imogiri. Tepatnya di Desa Banyu Sumurup itu. Di tempat yang baru inilah Empu Supomo merasa tenteram dengan lingkungannya. Di Desa Banyu Sumurup ini pula Empu Supomo lantas meneruskan keahliannya untuk tetap membuat keris pusaka yang diyakini sangat bertuah yang kemudian keahliannya itu ditularkan secara turun-menurun.
Dari Empu Supomo, keahlian membuat keris ini diturunkan kepada Mbah Tomorejo, menurun lagi ke Iro Menggolo-Dipomenggolo-Haryo Menggolo-Kiai Cokro Harjo-Sosro Menggolo dan generasi yang sekarang ini Djiwo Dihardjo. Dia pun sekarang tengah berusaha mewariskan keahliannya kepada anak lelakinya yang nomor tiga bernama Sudarmaji.
Menurut Djiwo yang ditemui di sela-sela pameran Inacraft 2010 beberapa waktu lalu, Sudarmaji adalah anak yang paling bisa meneruskan usaha pembuatan keris. Itu bisa dilihat dari beberapa ujian yang berhasil ditempuh, mulai dari puasa mutih, tapa brata, tapa bisu, dan sebagainya. ”Dari beberapa ujian yang harus dilalui, Darmaji sepertinya pantas mewarisi usaha ini,” ungkapnya.
Sebagaimana tak gampang mencari penerus usaha yang digelutinya, begitu juga dengan proses pembuatan keris itu sendiri, terutama untuk keris dengan maksud dan tujuan tertentu. Tak sembarangan membuat sebuah keris yang bertuah.
Menurut penuturan Djiwo, proses pembuatannya harus mengetahui tanggal lahir si pemesan dan akan digunakan untuk apa? Setelah diadakan perhitungan dengan cara penanggalan Jawa, baru bisa ditentukan kapan (hari dan jam) keris itu bisa dibuat. Selama sepasar (lima hari) keris hanya dibuat dalam waktu dua jam sesuai dengan perhitungan.
“Sewaktu membuat keris pun kita harus puasa. Selain tidak makan, juga tidak boleh bicara saat membuatnya. Kalau sampai itu dilanggar, keampuhan keris itu akan punah. Hasilnya seperti keris untuk suvenir,” ungkap Djiwo.
Selain itu, pembuatan keris tersebut juga cukup meletihkan. Karena perajin mesti menempa bahan baku berupa besi seberat delapan kg menjadi hanya seberat sekira delapan ons saja.
”Kita mengambil sari dari bahan baku tersebut,” tutur kakek yang juga pernah mengabdi sebagai abdi dalem Kesultanan Yogyakarta di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX.
Harga keris ditentukan oleh beberapa hal. Pertama dari bahan seperti berlapis emas, gagang keris apakah dari gading atau apa, dilihat dari kesaktian keris (semakin sakti keris proses pembuatannya semakin lama karena perlu menyelenggarakan acara ritual atau sesajen).
Untuk satu keris yang benar-benar berisi, proses pembuatannya bisa mencapai satu tahun. Biasanya rata-rata hanya enam bulan. Yang agaknya menjadi kendala yang cukup berarti dalam membuat keris pusaka, menurut Djiwo, saat ini pamor (batu meteor) bahan pembuat keris sudah langka dan bahkan dibilang punah.
Akibatnya, untuk membuat keris alusan adalah dengan sistem kanibal. Keris lama dicopoti dan diambil untuk dibuat keris yang baru. Kesetiaan Djiwo pada profesi yang digelutinya ternyata banyak mendatangkan berkah.
Meski dalam khasanah budaya Jawa mengejar harta bukanlah yang utama, toh usaha yang digelutinya telah mampu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi keluarga. Dengan omzet ratusan juta rupiah per bulan, Djiwo mengaku cukup bersyukur dengan kondisi sekarang.
Produknya juga telah dipasarkan melalui toko-toko barang-barang antik di Indonesia seperti pada kios barang antik di sepanjang Jalan Surabaya, Jakarta. Produk keris Banyu Sumurup juga dipasarkan melalui kios keris seperti di Blok M, Ancol, Bali, Bandung, dan kota-kota lain.
Selain dipasarkan di dalam negeri, keris buatan Djiwo juga merambah mancanegara. Dengan harga termurah Rp250 ribu dan paling mahal hingga Rp7,5 juta, para pembeli diberi kebebasan untuk menentukan keris mana yang akan dipakainya.
Produk termurah, kata Djiwo, biasanya dikenakan untuk keris-keris suvenir yang tidak memiliki ritual kekhususan dalam proses pembuatannya. Selama menekuni usahanya, Djiwo mengaku dibantu banyak pihak.
Selain bantuan dari Pemprov DIY yang mau memfasilitasi pameran keliling ke Jakarta, Bandung, Bali, dan Semarang, peran dari Bank Rakyat Indonesia juga tak bisa diabaikan.
Bank BRI adalah pihak yang senantiasa setia memberikan bantuan modal kala Djiwo membutuhkan. Terakhir, Djiwo mengaku meminjam Rp300 juta untuk modal usaha. Djiwo sudah menjadi nasabah Bank BRI selama 38 tahun. (sugeng wahyudi)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment