Turbin air buatan Eddy Permadi (lewat Cintek) tak hanya diminati di Tanah Air, tetapi juga pasar luar negeri, termasuk negara maju seperti Swiss. Sukses ini pun ditularkan ke bisnis minuman sachet
tradisional seperti bandrek. Bagaimana lika-liku perjuangan lulusan politeknik ini?
Sejumlah tamu dari Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), lembaga sosial asal Jerman, tampak sedang mengunjungi laboratorium mikrohidro seluas 5 ribu m2 di Jl. Cihanjuang, Cimahi, Jawa Barat, ketika di suatu siang SWA tiba. Di antara mereka ada Gehart Fisher, Engineer Mikrohidro GTZ dan Mark Haiton, Manajer Proyek GTZ. Eddy Permadi, pendiri CV Cihanjuang Inti Teknik (Cintek) sendiri yang menerima mereka. Sesekali, pria berusia 52 tahun ini berbicara dalam bahasa Jerman yang fasih.
Belakangan, nama Eddy memang banyak dibicarakan. Tak hanya pelanggan ke lab dan workshop-nya, tetapi juga kalangan pelajar, mahasiswa, perwakilan lembaga sosial, pemerintah daerah, hingga menteri. Prestasi alumni Politeknik Mekanik Swiss-ITB (1980) ini dalam membesarkan Cintek memang luar biasa.
Perusahaan yang didirikan pada 1999 ini, hingga tahun 2007 telah berhasil memasok turbin untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) ke lebih dari 200 lokasi di Tanah Air. Mulai dari Tanah Rencong hingga Bumi Cendrawasih. Sebagian dari PLTMH itu bahkan dibangun sendiri oleh Cintek, mulai dari konstruksi sipil, perlengkapan elektromekanik, transmisi dan distribusi listriknya ke masyarakat sekitar, hingga instalasi ke rumah-rumah.
Melihat sosoknya, sepintas tak ada yang istimewa dari pria kelahiran Sumedang 2 Oktober 1958 ini. Penampilannya memang bersahaja. Bahkan workshop-nya pun terasa kecil karena banyaknya mesin dan barang lain yang memenuhi. Beberapa letak mesin dan barang tampak tak beraturan. Namun siapa sangka Eddy dengan perusahaannya Cintek, telah menggaet banyak apresiasi. Pada 2004, Cintek meraih penghargaan ASEAN Hydro Award. Kalpataru diraih tahun 2005. Dan, Anugerah Riset Industri untuk Hasil Karya Teknologi Terterapkan dalam bidang Teknologi Energi dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi diperoleh pada 2007.
Kini desain produk turbin listrik PLTMH produksi Cintek sudah dipatenkan di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM dengan nama Hanjuang.
Yang menarik, keberhasilannya di bisnis produksi turbin air mendorongnya untuk menekuni bisnis baru yaitu minuman khas Jawa Barat, bandrek dan semacamnya. Adapun merek yang diusung sama yaitu Hanjuang. Kini bisnis minuman bandreknya menunjukkan kinerja yang luar biasa. Eddy menyebutkan, ia telah memasarkan 150 batch per hari atau 30 ribu bungkus bandrek per hari (1 batch = 200 sachet).
Seperti halnya bisnis turbin, di bisnis bandrek Eddy pun telah meraih beberapa penghargaan. Antara lain, Juara III kategori Kreasi Produk Minuman Tradisional Khas Daerah tingkat Provinsi dari Wali Kota Cimahi pada 2006. Juga, Juara I kategori Kelompok Usaha Kecil dan Menengah Produsen Makanan Sehat dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada 2007.
Perjalanan kewirausahaan Eddy dimulai dari usaha pupuknya yang gagal. Penyebabnya, peraturan pemerintah yang mengategorikan produknya sebagai pupuk industri sehingga ia harus menjual dengan harga industri alias mahal. Alhasil, pupuk jenis multihara lengkap yang diproduksi di bawah bendera Sammaniat itu sulit dipasarkan. “Padahal, dengan pupuk kami, bisa menghasilkan panen 8 ton lebih, bahkan di Sumedang bisa 12 ton. Sedangkan umumnya hanya 6 ton/ha,” tuturnya. Kegagalannya di usaha yang dirintis bersama 7 orang temannya pada 1995 itu, mendorongnya untuk coba-coba merintis usaha di bidang lain. Bisnis turbin pun dipilihnya.
Tentu pilihan itu ada latar belakangnya. Sebagai lulusan Jurusan Mesin PMS ITB (sekarang Politeknik Manufaktur Bandung atau Polman Bandung – Red.), permesinan bukanlah barang asing buatnya. Apalagi sepanjang tahun 1984-1986, ia mendapat kesempatan belajar ilmu metalurgi (pengecoran logam) di Swiss. Lalu pada 1988-1989, ia melanjutkan pendidikan yang sama di Jerman, dan meraih Master of Foundry Industrie dari Und Handelskamer Mittlerer Neckar Stuttgard-Deutchland. Kesempatan belajar ini ia peroleh dari kampusnya (PMS-ITB) karena sebagai tenaga pengajar di sana ia mendapat tugas membuka jurusan baru, yaitu ilmu pengecoran logam.
Di Jerman, sulung dari lima bersaudara buah pasangan Endy Nurgana (mantan dosen matematika IKIP Bandung) dan (almarhumah) Ratnawati ini melihat pentingnya energi dalam membangun ekonomi masyarakat. Bahkan ia mendapati fakta bahwa keberhasilan ekonomi yang diraih negara-negara Eropa itu karena sebelumnya ada revolusi energi. Ia melihat negara itu sangat melek dan menghargai energi. Sebagai negara yang memiliki empat musim, mereka berusaha seoptimal mungkin memanfaatkan air, angin dan matahari untuk menghasilkan energi. Alhasil, kebutuhan energi tetap terpenuhi meskipun ada perubahan musim yang ekstrem.
Dari pengamatan tersebut, ia teringat Indonesia yang memiliki sumber air yang berlimpah. “Dari keyakinan itulah, saya mencoba dan merintis membuat energi. Karenanya, untuk menggerakkan roda ekonomi kita harus mulai dari energi,” ujarnya bersemangat.
Proyek pertamanya (1999) adalah repairing (perbaikan) turbin asal Jerman untuk perkebunan teh di Bandung berkapasitas 200 ribu watt (200 kw). Proyek pertama ini bernilai Rp 25 juta. Saat itu ia mampu mengembalikan kapasitas mesin yang berusia 15 tahun ke tingkat kapasitas semula, alias 200 kw lagi. “Setelah itu respons (pasar) mulai baik. Dari situlah percaya diri saya tumbuh,” Eddy berujar. Untuk mengerjakan proyek pertama, ia harus investasi dulu senilai Rp 20 juta yang digunakan untuk membeli mesin bubut, las, fres dan milling. “Dulu belinya saya cicil tiap bulan. Semua mesin ini dibeli secara bertahap,” katanya terus terang.
Beberapa bulan kemudian, ia mendapat order pemasangan turbin di satu wilayah di Sulawesi. “Saya lupa nama daerahnya,” ujarnya polos. Proyek yang merupakan bagian dari bantuan Jepang itu bernilai Rp 60 juta. Berikutnya, ia mendapat order pemasangan PLTMH dari Pemda Jawa Barat berkapasitas 12 ribu watt. Proyek ini termasuk yang ia banggakan. Pasalnya, turbin jenis Propeler (open flume) itu dipasang di sungai yang cuma memiliki ketinggian 4 meter, tetapi mampu menerangi 120 kepala keluarga di Leuwikiara, Cipatujah, Tasikmalaya. “Teknologi yang ada, kebanyakan tinggi airnya harus 10-20 meter. Sedangkan untuk ketinggian itu (4 meter) teknologinya hampir tidak ada,” ujarnya bangga.
Selanjutnya, setiap tahun ia mendapat 4-5 proyek turbin. Kala itu karyawannya mencapai 20-30 orang. Adapun lokasi workshop-nya di Cihanjuang awalnya hanya seluas 800 m2, kini mencapai 1.200 m2.
Diakui Eddy, tidak mudah memperkenalkan bisnis turbin yang digelutinya ke masyarakat kala itu. Itulah sebabnya, ia merasa perlu mengedukasi pasar. Maka, tahun 2000 ia membuat lab percontohan uji coba energi mikrohidro di Cihanjuang. Awalnya lab alam yang berlokasi di kawasan persawahan ini luasnya 200 m2. Kini luasnya mencapai 5 ribu m2. Di lab inilah pelanggan dan masyarakat bisa melihat dan belajar bagaimana proses air menjadi listrik. Tujuannya, tidak semata-mata untuk kepentingan komersial melainkan juga pendidikan. “Saya mendapat tanah ini dari Lurah Cimahi Utara,” ujar mantan dosen PMS ITB ini.
Sekarang, ada dua jenis turbin yang diproduksi Cintek yaitu turbin Crossflow (aliran silang) dan Propeler (open flume). Crossflow merupakan jenis turbin yang pertama kali dibuat Eddy (sebelum tahun 2000). Jika dihitung dari awal hingga saat ini, ia telah merilis sekitar 90 turbin Crossflow di seluruh Tanah Air. Yang kedua, turbin Propeler. “Kami yang memopulerkan jenis ini. Dan turbin ini merupakan terobosan karena meskipun ketinggian air rendah (low height), tetap potensial dijadikan energi,” paparnya bangga. Untuk jenis kedua ini, ia telah memproduksi sekitar 100 turbin. Turbin yang dibuat setelah tahun 2000 ini dipesan Swiss dua unit tahun 2006 senilai Rp 1 miliar, dan telah dipasang di sebuah bendungan di Swiss.
Bisa dikatakan keberhasilan Eddy di bisnis turbin karena ia mampu membuat turbin yang tak hanya gampang dipasang, tetapi juga relatif tak sulit dioperasikan dan dirawat oleh masyarakat setempat. Ia juga mampu membuat turbin yang kecil ataupun besar, yang menghasilkan daya listik sekitar 100 watt hingga 200 ribu watt (200 kw). Turbin itu pun dapat dipasang di daerah dengan ketinggian air yang rendah (2 meter), hingga untuk air terjun.
Keseriusan Eddy mengelola turbin mikrohidro menarik perhatian GTZ untuk mentransfer teknologi mikrohidro. Gayung pun bersambut. Dan, sejak tahun 2002 hingga kini ia menjadi binaan GTZ.
Empat tahun terakhir perkembangan Cintek luar biasa. “Dalam setahun permintaan mencapai 40 turbin atau 160 turbin dalam empat tahun ini,” ujarnya. Sebagian besar merupakan program listrik masuk desa melalui instalasi mikrohidro, yang dibiayai APBD dan APBN. Rentang kapasitasnya 3-200 kw. “Saya juga membuat turbin kecil, yang hanya memproduksi 100-600 watt, sebab banyak permintaan,” tuturnya.
Eddy mengaku berbisnis di bidang mikrohidro memberi pengalaman dan kebahagiaan tersendiri. Diceritakannya, ia kerap mendatangi sebuah desa yang tak mengenal listrik selama bertahun-tahun. Lalu, saat listrik terpasang, reaksi penduduk desa sangat luar biasa. Mereka menangis dan bangga sekali. “Di situlah kebahagiaan saya,” katanya.
Keberhasilannya di jalur PLTMH mendorong kehadiran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengunjungi lab alam dan workshop-nya di Cihanjuang pada 24 Februari 2007. Setahun kemudian pada awal 2008, Menteri Percepatan Daerah Tertinggal Lukman Edy pun datang ke sana. Dampak kehadiran para pejabat ini amat signifikan bagi popularitas perusahaan yang kini memiliki 45 karyawan ini. Jika sebelumnya, turbin Cintek cuma tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sedikit di Kalimantan, setelah kehadiran menteri tersebut, turbin Cintek menyebar ke seluruh Indonesia.
Selain itu, nilai transaksi proyeknya pun makin tinggi. Jika sebelumnya turbin termahal yang dipesan senilai Rp 200 juta (berkapasitas 125 ribu watt), setelahnya Eddy bisa mendapat order turbin yang lebih mahal. Contohnya, turbin senilai Rp 400 juta berkapasitas 200 kw untuk sebuah daerah di Nusa Tenggara Barat. Lalu, turbin senilai Rp 300 juta untuk sebuah kawasan pegunungan di Papua.
Tak hanya kalangan lokal yang mengorder Cintek, sejumlah negara asing pun memesan turbin buatannya. Antara lain Ethiopia, Nigeria, Malaysia dan Timor Leste. Nilai proyek masing-masing berkisar Rp 200-250 juta dengan kapasitas 20-30 kw. Menurutnya, sebenarnya Cintek sudah mampu membuat turbin berukuran lebih besar. Buktinya, Cintek pernah memproduksi turbin yang mampu membangkitkan listrik sebesar dua kali 260 kw untuk Tajikistan.
Eddy mengungkapkan, saat ini sekitar 90% pendapatan Cintek terkait dengan turbin air berasal dari pemerintah terutama dari Dinas Pertambangan dan Energi. Sisanya sekitar 10% berasal dari perusahaan swasta seperti perkebunan, pabrik, dan swadaya masyarakat.
Sukses di bisnis turbin tak membuat Eddy cepat terlena. Enam tahun yang lalu (2005) ia merintis bisnis minuman kemasan instan bandrek. “Awalnya banyak orang menyangsikan kemampuan saya soal ekonomi rakyat karena pendidikan saya. Dari situ saya buat alat pengolahan pascapanen seperti pengering, pemotong hingga gerinda,” ia menuturkan.
Merasa sayang peralatan produksinya tak difungsikan, ia pun mengembangkan ide menjual kopi yang sudah ditambah gula dalam kemasan. Namun belakangan ide ini ia urungkan karena tak sesuai dengan konsep bisnisnya, yaitu kalau ingin mulai berwirausaha jangan mulai dari wilayah yang sudah banyak digarap orang lain. Dan, tiba-tiba ia terbersit untuk membuat bandrek pakai kopi. Ia meyakini kombinasi minuman itu tak ada di pasaran.
”Investasi peralatannya hampir zero rupiah,” kata Eddy. Pasalnya, ia tinggal menggunakan peralatan yang telah dibuatnya. Kalau mengenai citarasa atau ramuan, istrinya yang berperan. “Setiap hari kami harus minum karena tidak boleh ada perubahan rasa,” katanya.
Pada awalnya Eddy hanya menggunakan tenaga kerja empat orang. Itu pun dari orang dalam sendiri. Selanjutnya, mereka belajar tentang perizinan, kemasan dan distribusi produk ke warung. Dalam setahun pertama, respons pasar terhadap bandrek yang bermerek Hanjuang itu sangat jelek. “Hancur lebur. karena lakunya sedikit dan sisanya dimakan tikus. Dalam sebulan rugi rata-rata 50 kg.”
Memasuki tahun kedua ia melakukan evaluasi. “Kami mencoba mengubah jalur dari produk warungan menjadi eksklusif dengan cara masuk ke toko oleh-oleh dan factory outlet,” ujarnya. Lalu, gambar pada kemasan pun diubah, dengan menggambarkan anak muda yang dinamis. Warna pun dibuat bervariasi dan lebih terang. Hasilnya bagus, ada peningkatan permintaan (repeat order). Dari sini ada info yang menarik, ternyata tidak sedikit bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengeluh tidak kuat minum kopi. Lalu akhirnya Eddy membuat jenis produk baru yaitu bandrek tanpa kopi dengan kemasan baru. “Ternyata responsnya juga bagus,” ujarnya.
Alhasil, jika pada tahun pertama penjualan perusahaan hanya sekitar 1 batch (200 sachet) per hari, pada tahun kedua penjualan mencapai 25 batch per hari. Karyawan pun bertambah dari empat orang pada tahun pertama menjadi 10 orang. Setelah melihat permintaan yang meningkat, di tahun kedua Eddy merilis item baru seperti Bajigur Hanjuang. Di tahun ketiga, perusahaan mulai membuat sekoteng dan minuman energi atau bandrek khusus dewasa yaitu Bandrek Spesial. Dalam produk ini ada kandungan ginseng dan buah pinang. Lalu muncul selanjutnya Teh Bandrek, Coklat Bandrek, Beras Cikur (minuman beras kencur), Kopi Bandrek, dan Kopi Bajigur. Total semuanya kini mencapai 9 item produk.
Sekarang, pertumbuhan bandrek bermerek Hanjuang sangat pesat. Diungkapkan Eddy, tiap hari perusahaan yang memiliki 35 karyawan ini rata-rata menjual 150 batch (9 item). 60% di antaranya merupakan kontribusi dari item Bandrek Hanjuang dan Bajigur Hanjuang, baru sisanya 40% tersebar dari 7 item lainnya. Adapun daerah yang menjadi pembeli terbesar adalah Jawa Barat yang mencapai sekitar 75% dari total omset perusahaan.
Dalam mengembangkan Bandrek Hanjuang, pihaknya bekerja sama dengan 500 perajin gula aren di kawasan Gunung Halimun, Sukabumi, dengan total produksi satu ton per hari. “Kami tidak mau mempergunakan gula di pasaran. Tujuannya untuk mendapatkan kualitas gula yang terbaik,” ujar ayah dari dua putra dan satu putri ini. Sementara untuk jahe, perusahaan bekerja sama dengan pemasok dari Lampung sebanyak 100 ton per tahun. Di sisi lain, ia juga menggunakan tenaga alih daya (outsourcing) untuk mengemas.
Ke depan, suami Milly Emalia (49 tahun) ini merencanakan tempat produksi produk bandrek dan workshop turbin air dipisah. “Sekarang sedang dalam persiapan,” ujarnya. Selain itu, “Dalam 3-4 tahun ke depan kami menargetkan bisa membuat turbin dengan kapasitas 1-2 Mw, sekarang baru 0,25 Mw.”
Adapun untuk bandrek, ia merencanakan dengan lokasi baru perusahaan mampu memproduksi 1.000 batch per hari dan melibatkan 2-3 ribu orang. “Insya Allah sudah di depan mata,” katanya mantap. Ia memprediksi ke depan pendapatan dari bandrek akan meningkat pesat melebihi penghasilan dari bisnis turbin. Saat ini, kontribusi pendapatan Cintek masih didominasi turbin (60%) dan sisanya (40%) dari produk minuman sachet instan kemasannya.
Menurut Agus Maryono, Direktur Program Magister Sistem Teknik Universitas Gadjah Mada, keberhasilan Eddy merupakan gabungan dari skill yang bagus dengan jiwa kewirausahaan yang terbentuk sejak kecil. Diungkapkan Agus, Eddy tampaknya banyak belajar dan terkesan dengan perjuangan ibunya yang mengembangkan usaha jahit-menjahit. “Sesuatu yang dimulai dari skill dulu baru jiwa entrepreneur memiliki peluang berkembang lebih baik dan bisa bertahan,” katanya memberi ulasan. Ia melihat tak masalah apakah bisnis yang dilakukan adalah mesin atau bandrek. Ia melihat Eddy adalah tipikal wirausaha yang prorakyat sehingga ia berusaha memanfaatkan SDM yang ada di lingkungannya. “Tak kalah penting, Eddy juga punya watak mendidik dan senang meneliti,” kata Agus memberi apresiasi. (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment