Wednesday, April 6, 2011

Sukardi, Siasati Kondisi Pasar dengan Ciptakan Produk Antik dari Bahan Kuningan

Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dituntut pandai membaca peluang. Begitu pula Sukardi, perajin patung cor kuningan asal Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sukses mengembangkan usaha berkat jeli melihat celah pasar.

Menjadi perajin patung kuningan seakan telah menjadi jalan hidup Sukardi, 37. Dibesarkan di lingkungan perajin patung di Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, jiwa perajin Sukardi terasah sejak kecil.

Terlahir dari pasangan Supardi dan Ngatemi yang juga perajin patung cor kuningan, Sukardi mulai menggeluti usaha ini sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).

Berbekal keterampilan yang diajarkan ayahnya, Sukardi kecil mulai mencoba menjadi perajin. Meski masih berseragam biru putih, pria kelahiran tahun 1973 itu sudah mulai mencari penghasilan dari patung-patung yang dibuatnya. ”Sejak SMP, biaya sekolah sudah saya tanggung sendiri,” kata Sukardi.

Dengan hanya bekerja seorang diri, Sukardi memang tak bisa menghasilkan produk dalam skala besar. Namun hanya dengan lima patung yang dihasilkan, dia sudah mampu memenuhi kebutuhan biaya sekolahnya saat itu, termasuk uang jajannya. Ringkasnya Sukardi tidak merepotkan orang tua. ”Sekira tahun 1986, dalam sebulan saya bisa mengantongi omzet Rp1,5 juta,” kenangnya.

Usaha Sukardi terus berkembang. Dia pun memutuskan untuk terus menggeluti usaha ini. Tanpa merepotkan orang tua dia bisa mengembangkan usaha dan berhasil membiayai pendidikannya hingga lulus dari bangku sekolah menengah atas (SMA). ”Hingga saya SMA usaha ini saya jalankan sendiri. Memproduksi dan memasarkannya pun sendirian,” ungkap bapak dua anak ini.

Dalam perjalanannya usaha Sukardi, yang diberi nama Mojo Art, memang menyimpan cerita suka duka. Lantaran pasar yang tak menentu, usaha kerap dalam kondisi kembang kempis.

Meski demikian, Sukardi tetap gigih dengan berinovasi membuat produk-produk baru. ”Saya sudah kenyang dengan kondisi jatuh dan bangun,” paparnya.

Tahun 1998 menjadi masa emas usahanya. Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat usahanya melejit. Saat itu bahan baku berupa kuningan, tembaga dan perak masih terbilang terjangkau.

Di sisi lain, produk-produknya yang khas dengan motif Majapahit dihargai dua kali lipat oleh pembeli luar negeri. ”Krisis moneter menjadi berkah. Tak hanya saya, semua perajin cor kuningan di Bejijong juga merasakannya,” ungkap Sukardi.

Di tahun keemasan itu Sukardi justru tak lengah. Dia pun memacu produksinya hingga merekrut empat karyawan yang dipekerjakan di rumahnya sendiri. Tepat tahun 2000, Sukardi sudah melipatgandakan jumlah produksinya. Selain dipasarkan di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta, dia juga mulai bisa menimbun produk-produknya.

Pada masa keemasan itu pula, meski usaha masih terbilang kecil, Sukardi sudah bisa mengantongi keuntungan rata-rata Rp25 juta sebulan. Dengan keuntungan sebesar itu, Sukardi semakin leluasa mengembangkan usaha, seperti memperlebar pemasaran dan memperbanyak jenis produk yang dibuat.

”Tak terhitung lagi berapa jenis produk yang saya buat. Jumlahnya ratusan,” tegas pria lulusan SMA Taman Madya, Mojoagung, Jombang ini. Sukardi memang tak lama mengalami masa keemasan.

Sekitar tahun 2002 usahanya kembali lesu. Bukan lantaran sepinya order, melainkan akibat anjloknya harga di kalangan konsumen. ”Usaha hampir mati, tapi tetap saya tekuni,” katanya.

Kondisi pasar yang lesu dan mulai tak sehat itu memaksanya memutar otak. Dia pun mulai banting setir untuk memasuki pasar yang berbeda. ”Bukan lagi produk biasa. Saya menciptakan produk yang antik dan unik. Masih seputar patung, tapi lebih memiliki nilai sejarah dan ekonomi,” paparnya.

Keahlian Sukardi membuat patung cor kuningan, berbeda dengan perajin patung lain. Dia mampu meramu bahan hingga membuat patung-patungnya mirip dengan yang asli (peninggalan Kerajaan Majapahit).

Tentu saja dengan pembuatan yang jauh lebih rumit itu, nilai ekonomisnya juga lebih tinggi dibanding produk biasa. Harga sebuah patung antik bisa mencapai Rp30 juta. Memang, produk seperti ini tak banyak memiliki pasar. Justru pasar seperti inilah yang bisa menyelamatkan usahanya untuk tetap bisa memproduksi patung-patung massal.

”Membuatnya sangat rumit. Proses pengecorannya sama. Hanya saja bahan baku dan proses akhir (finishing) yang berbeda,”katanya sembari menyebut bahwa produk antik itu salah satunya perlu penguburan dalam tanah untuk jangka waktu tahunan.

Layaknya UMKM, Sukardi juga sempat kesulitan modal. Namun tahun lalu, usahanya kembali bersinar setelah mendapatkan kucuran dana dari Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI).

Dengan suntikan dana itu, kini dia membidik dua pasar yang berbeda, yakni produk massal dan produk unik. ”Keduanya jalan. Produk massal terus kami buat, produk antik juga kami tekuni,” paparnya.

Untuk produksi patung cor kuningan massal bermotif majapahitan, dewa, dan berbagai jenis hewan, dia menggandeng salah satu adik iparnya, Suwandi. Tanpa melepaskan proses produksi Sukardi lebih intens merambah pasar baru untuk produk-produk itu.

Salah satunya dengan mengikuti pameran-pameran. ”Setiap pameran kami ikuti. Ini untuk merambah pasar baru,” katanya.

Di tempat usahanya yang terletak di bagian belakang rumah Suwandi, dia telah mempekerjakan 12 karyawan. Pekerja laki-laki lebih banyak bergelut di pembuatan cetakan patung yang terbuat dari lilin.

Juga untuk melakukan pengecoran yang masih menggunakan cara manual. Pekerja perempuannya lebih banyak menangani proses menuju pengecoran dan finishing. Saat ini usaha Sukardi terbilang cukup stabil. ”Sudah cukup aman. Terpenting usaha ini terus berjalan dan bisa bermanfaat untuk para pekerja,” tuturnya.

Produk massal yang dia buat bersama Suwandi kini telah memiliki ratusan bentuk dan jenis patung cor. Baik yang terbuat dari kuningan, logam ataupun perunggu. Dengan berbagai bentuk, jenis dan ukuran itu, harga produknya berada di kisaran terendah Rp20 ribu hingga Rp3 juta per buah. ”Motifnya lebih banyak majapahitan dan dewa-dewa. Juga motif binatang,” ungkapnya.

Ada saatnya pada bulan-bulan tertentu terjadi peningkatan order dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. “Bulan Agustus biasanya bulan panen karena pesanan meningkat,” katanya.

Ada sisi lain kenapa Sukardi masih saja bertahan untuk tetap menjadi perajin. Bukan semata alasan ekonomis. Lebih dari itu, dia merasa jika pekerjaan ini merupakan pekerjaan leluhur yang perlu dilestarikan.

Menjadi perajin patung memiliki tantangan tersendiri, terutama saat membuat sejumlah patung petinggi Kerajaan Majapahit. Menurutnya, tuntutan agar bentuk patungnya persis dengan patung asli menjadi tantangan terberat.

”Prinsip saya, jangan sampai membuat patung yang wajah dan bentuknya, terutama tokoh Majapahit, tak sama dengan aslinya. Itu yang sulit,” paparnya.

Dia mendedikasikan pekerjaannya untuk leluhurnya. Tak mengherankan jika dia berani menolak pesanan patung dengan motif selain yang dipertahankannya, yakni majapahitan.

”Itu yang kami pegang. Jangan sampai lupa sejarah dan leluhur.Bahkan untuk pengecoran pun prosesnya sama dengan saat zaman Majapahit dulu,” katanya. (tritus julan)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)

No comments: