Bermula dari usaha mesin jahit, kini bisnis keluarga Riangsaputra dikenal sebagai produsen mainan puzzle kayu yang diekspor ke Asia, Eropa dan Amerika. Inilah pergulatan bisnis yang dilakukan dua generasi itu.
Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ungkapan itu diyakini keluarga Hono Sentosa Riangsaputra yang kini telah membuktikan kebenarannya. Awalnya, Hono dikenal sebagai pembuat mesin jahit dan mejanya, yang terpuruk akibat ditipu mitra bisnis dan kios terbakar. Sekarang dia adalah pengusaha mainan anak jenis wooden jigsaw puzzle untuk pasar domestik dan ekspor. Produknya berhasil menembus pasar Malaysia, Jepang, Jerman, Inggris, Hungaria, Austria dan Amerika Serikat.
Hebatnya, bisnis puzzle kayu merek Wintoys yang dirintis Hono 22 tahun silam tersebut kian maju setelah ditangani generasi kedua, Winata Riangsaputra, hingga sekarang. Pabriknya ada dua di Surabaya (daerah Kedung Cowek dan Kalilom), sedangkan tokonya ada empat di kota yang sama (Plaza Tunjungan dan Plasa Surabaya).
Kesuksesan yang dicapai pria berumur 65 tahun itu tidak serba kebetulan. Dia membesut usahanya dengan susah payah. Puluhan tahun lalu Hono mengawali usaha dengan pembuatan mesin jahit dan dilanjutkan produksi meja mesin jahit juga. Nah, di tengah ketekunannya berusaha itu, diam-diam ada seorang pengusaha asal Taiwan, sebut saja Mr. X, yang memperhatikan sepak terjang usaha Hono yang banyak menggunakan bahan baku plywood itu.
Akhirnya, Mr. X mengajak Hono bekerja sama. Gayung pun bersambut, sehingga mereka mendirikan PT Gunung Mas (GM) tahun 1988. Proyek perdana GM adalah pembuatan 40 ribu unit bat pingpong. Untuk melengkapi bat itu, GM pun mengimpor bola pingpong dari Taiwan. Selanjutnya bat dan bola pingpong diekspor ke AS.
Setelah bat pingpong, GM merambah bisnis mainan anak jenis wooden jigsaw puzzle. Mengapa? Pertimbangannya, Winata menuturkan, kala itu mainan puzzle kayu sangat disukai orang tua di luar negeri dan Pemerintah Indonesia kala itu sedang giat-giatnya mendukung pengusaha nasional yang berorientasi ekspor, sebaliknya usaha mesin jahit sedang lesu darah. Lalu, Hono merogoh kocek Rp 80 juta untuk mendukung bisnis puzzle kayu. Celakanya, pada tahun ke-3 mitra bisnis dari Taiwan itu berbuat curang, sehingga Hono dililit kesulitan keuangan. Untunglah, waktu itu Bank BRI bersedia mengucurkan kredit usahanya.
Setelah mendapat bantuan modal dari Bank BRI, Hono mulai mengembangkan usaha pembuatan mesin jahit lagi. Namun apes, sebelum usaha pembuatan mesin jahit berjalan, kios Hono di Pasar Turi, Surabaya, terbakar.
Waktu pun berlalu dan Hono kembali sibuk mengelola GM. Tak dinyana dia kembali kedatangan tamu asing dari Taiwan. “Ternyata tamu itu adalah rekan kerja Mr. X yang dulu curang sama Pak Hono. Tamu baru ini juga diakalin oleh Mr X,” kata Winata menjelaskan sejarah awal berdirinya Wintoys. Akhirnya, Hono dan mitra baru dari Taiwan ini sepakat memulai bisnis yang berlanjut sampai saat ini.
Dengan mitra barunya, perjalanan bisnis GM lebih mulus. Untuk mendapatkan pembeli, GM rajin mengikuti pameran mainan anak di Hong Kong dan sejumlah negara Eropa. Partisipasi GM dalam ekshibisi di luar negeri tersebut karena diajak oleh Departemen Perindustrian atau ada sponsor yang bersedia mendanai.
Aktifnya GM untuk memasarkan produk ke mancanegara berbuah manis. Secara bertahap jumlah negara yang melirik produk GM terus bertambah. Mulai dari negara-negara di Asia dan Eropa, hingga AS terpincut dengan puzzle kayu buatannya. Namun, untuk menggarap pasar eskpor ini, GM ibarat tukang jahit karena tidak menggunakan merek Wintoys. “Untuk pasar ekspor Malaysia saja kami memakai merek Wintoys. Sementara order dari negera-negara lain disesuaikan dengan pesanan buyer,” imbuh Winata yang lahir tahun 1981 ini.
Ketika bisnis GM berkembang, Winata tidak tega membiarkan ayahnya berjuang sendiri. Dia tertantang untuk bergabung ke bisnis orang tuanya pada 2004, padahal kala itu dia sudah menjadi asisten dosen di almamaternya, Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Tahun 2005 Winata menggagas berdirinya PT Win Investama (WI). Tujuannya, serius menggarap pasar mainan puzzle kayu di dalam negeri. Dengan modal Rp 150 juta, dia berbagi saham dan peran dengan dua kakak iparnya (Gunawan Kaman dan Welly Willianto) untuk mengembangkan WI. “Ternyata memasarkan produk puzzle kayu di dalam negeri susah. Begitu kami masuk ke pintu baby shop, langsung ditolak,” ujar Komisaris WI itu dengan pilu. Penolakan toko mainan maupun perlengkapan bayi itu dipicu sikap masyarakat yang branded minded dan import minded, sehingga kurang mencintai produk dalam negeri.
Untunglah, Winata dan kakaknya tidak putus asa. Mereka justru tertantang untuk menaklukkan pasar domestik. Kemudian, mereka bergerilya mendekati sejumlah kelompok bermain, rajin mengikuti pameran yang terkait mainan dan anak-anak di dalam negeri, serta membuat situs online www.win-toys.com”Kami pernah gagal memasarkan produk Wintoys di kantor-kantor lantaran kami tidak pernah melakukan survei seberapa banyak karyawan di sebuah perusahaan yang memiliki buah hati,” kata ayah Dominika Jopiel (dua tahun) ini. Untuk mendapatkan kepercayaan para kepala sekolah, Winata meyakinkan mereka tentang jaminan kualitas produk. Dia mengklaim, cat puzzle kayu Wintoys sulit mengelupas, sehingga tidak berbahaya bagi anak-anak.
Selain itu, WI kreatif menelurkan desain baru. Setidaknya tiap bulan diluncurkan 3-4 model baru puzzle kayu Wintoys. Guna mendapatkan ide-ide segar dalam kreativitas pembuatan produk, Winata dan kakak-kakaknya rajin mengikuti pameran terkait mainan di dalam dan luar negeri serta mengamati mainan yang dimiliki anak mereka. Dia kerap memperhatikan anaknya ketika membuka kardus mainan sampai menggunakannya untuk alat bermain.
Produk Wintoys cukup inovatif. Lihat saja, selain puzzle, juga ada balok kayu, permainan wahana seperti papan sepak bola, sliding car, dan puzzle construction dengan bentuk dan warna menarik. Produk inovatifnya ini membuat beberapa pusat perbelanjaan besar di Indonesia tertarik menjualnya. Winata mengaku tidak menjual langsung ke mereka. Ada reseller yang melakukannya.
Meski telah bermitra dengan reseller, menurut Sumardy, seharusnya Winata tidak bisa mengandalkan begitu saja kerja mereka. “Reseller itu sering hanya bersifat sebagai penjual dan tidak bertanggung jawab terhadap pemasaran produk yang dijual. Sedangkan sebagai pemasar, Wintoys tidak bisa hanya menaruh barang di dalam toko, tapi juga harus memperhatikan sejauh mana pembeli mengakses barang Wintoys,” kata pengamat entrepreneurship dari Octovate itu menyarankan.
Belakangan, bisnis WI mulai menunjukkan hasil. Apalagi, ketika tiga tahun terakhir pemerintah sedang gencar menerapkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Di dalam PAUD mainan Wintoys dapat dikategorikan sebagai alat peraga edukasi, sehingga lebih mudah dipromosikan ke sekolah dan orang tua.
Tak mau ketinggalan dengan GM yang lebih dulu maju, WI pun mendirikan pabrik sendiri. Selama ini GM memiliki pabrik di Kedung Cowek, Surabaya, seluas 1.000 m2 dengan kapasitas produksi ekspor 15 ribu unit puzzle kayu per bulan. Sementara itu, pabrik WI di Kalilom, Surabaya, seluas 800 m2 dan berkapasitas 500 unit puzzle kayu tiap bulan untuk memenuhi pasar dalam negeri. Untuk bahan baku kedua pabrik tersebut, Wintoys mengandalkan pemasok dari Surabaya dan sekitarnya.
Harga produk Wintoys bervariasi. Untuk pasar ekspor non-Eropa, satu unit puzzle kayu Wintoys dibanderol US$ 12 dan pasar Eropa sekitar belasan Euro. Adapun harga produk serupa untuk pasar domestik dipatok Rp 30-40 ribu per unit.
Dengan kisaran harga dan gambaran volume produksi tersebut, kalau dipukul rata, omset Wintoys adalah Rp 150 juta/tahun untuk pasar dalam negeri yang dipasarkan WI dan sekitar Rp 1,6 miliar/tahun untuk pasar ekspor melalui bendera GM.
Diakui Winata, omset Wintoys sempat naik turun. Penurunan penjualan disebabkan oleh serbuan produk Cina di pasar dunia ataupun Indonesia. Menurutnya, konsumen produk puzzle kayu adalah pembeli yang melek akan merek mainan anak dan rentan soal harga. Alhasil, kompetisi harga menjadi area biru berebut pasar. “Saya dengar dari kawan-kawan soal kebijakan tax refund untuk perusahan eksportir di Cina yang membuat harga mereka begitu murah. Apalagi, hal itu didukung oleh etos kerja karyawan cukup bagus, infrastruktur serta penyedian bahan baku yang memadai, sehingga biaya produksi cukup efisien,” ujarnya merasa prihatin. Ketiadaan pengurangan, bahkan pengembalian pajak oleh negara di Indonesia, membuat Wintoys tidak bisa bersaing harga dengan produk Cina. Apalagi, keterbatasan bahan baku membuat pemain industri mainan kayu dapat dihitung dengan jari. Akibatnya, sedikit pula orang yang menjadi pemasok industri mainan kayu.
Dampak gempuran produk-produk Cina yang dirasakan Wintoys adalah memangkas omset hingga 50%. Ujung-ujungnya, jumlah karyawan WI dan GM pun terpaksa dirampingkan. Sebagai gambaran, pada 1990-95 total pegawai GM sebanyak 300 orang diciutkan menjadi 60 orang pada 2002. Sementara jumlah karyawan WI bertahan 15 orang hingga sekarang.
Satu-satunya jalan agar dapat bersaing dengan produk Cina, Wintoys konsisten meningkatkan mutu. “Kami mempunyai target market tersendiri, yaitu orang tua yang peduli kepada balitanya. Jadi, untuk bersaing dengan produk Cina di domestik, kami masih unggul,” kata Winata optimistis.
Apalagi, Winata bercerita, ketika produk Cina ditimpa isu panas soal kandungan melamin yang berbahaya, tren penjualan produk Wintoys naik dan berangsur pulih. “Banyak buyer dari Jepang yang biasanya membeli dari Cina akhirnya pindah ke produk Wintoys,” ungkapnya senang sembari mengklaim produk puzzle Wintoys lebih halus dan bebas racun bagi anak-anak sehingga disukai pembeli dari Negeri Sakura.
Dengan produk berkulitas, Wintoys lebih percaya diri melenggang di pasar. Hal ini dibenarkan sejumlah agen penjualannya. Contohnya, Andrew Kris Susanto (29 tahun), yang sebelumnya adalah penjual mainan anak merek lain, tetapi kemudian beralih ke Wintoys. ”Saya akui Wintoys lebih halus dan berkualitas produknya. Walaupun harganya lebih mahal dari produk lokal,” ucap pemilik situs mainan www.puzzleku.com itu. Dalam sebulan, lulusan Teknologi Informatika Universitas Bina Nusantara, Jakarta, ini mampu menjual 30-60 unit produk Wintoys.
Ke depan, selain meningkatkan pasar ekspor, Wintoys juga akan kembali agresif menggarap pasar domestik. “Tahun ini kami akan buka satu gerai Wintoys di Royal Plaza, Surabaya,” ujar suami Maria Rosaline itu menambahkan.
Agar bisnis Wintoys di Indonesia lebih maju, Sumardy menyarankan supaya WI lebih inovatif dalam mencari jalur pemasaran yang baru. Bisa saja dengan melakukan co-branding bersama merek lain yang lintasindustri dan terkenal. Nanti, lanjut Sumardy, lama-kelamaan merek Wintoys juga akan terangkat. Contohnya, pameran bersama produk susu, fashion anak dan rumah sakit, ataupun terlibat dalam acara-acara yang lekat citranya dengan kehadiran ibu dan anak.
Reportase: Rias Andriati (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment