Yeti Tarwin sukses berbisnis busana muslim berkat desain yang menarik dan eksklusif. Dia sempat kehilangan pekerjaan lantaran perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Tapi, itu justru menjadi pembuka jalan baginya menggeluti bisnis busana muslim. Itulah garis hidup Yeti Tarwin.
Jalan hidup orang memang tak ada yang tahu. Itu pula yang dialami Yeti. Dia merasa perjalanan hidupnya, dari seorang karyawan kemudian kehilangan pekerjaan dan menjadi pengusaha busana muslim, sudah diatur Tuhan.
”Sewaktu bekerja, saya tak pernah membayangkan menjadi pengusaha. Eh, tiba-tiba perusahaan bangkrut. Tuhan akhirnya menunjukkan jalan untuk menekuni bisnis busana muslim,” kata Yeti.
Sekira 20 tahun silam, Yeti memang hanya seorang karyawan di sebuah pabrik tekstil di wilayah Bandung. Yeti bekerja di pabrik tekstil lantaran dorongan orang tua. Kebetulan orang tua Yeti juga bekerja di bidang konveksi.
Pekerjaan di pabrik tekstil dilakoni Yeti dengan penuh ketekunan. Selain demi memenuhi permintaan orang tua,dia juga ingin mandiri. Bagi Yeti, bekerja di pabrik adalah pilihan terbaik. Apalagi dia juga lulusan Akademi Tekstil Berdikari, Bandung, Jawa Barat. ”Dari remaja, cita-cita saya memang bekerja di tekstil,” katanya.
Waktu demi waktu dijalani ibu dua anak ini sebagai karyawan pabrik tekstil. Yeti pun semakin mencintai pekerjaannya. Terlebih, bekerja di perusahaan tekstil membuatnya dapat menyalurkan hobi di bidang desain. ”Saya memang hobi desain. Kebetulan posisi saya di pabrik adalah di bagian desain,” ungkapnya.
Namun, kehidupan Yeti yang tenang dan mengalir apa adanya terusik ketika badai krisis menghantam Tanah Air pada 1998. Akibat krisis, perusahaan yang menjadi tempatnya menggantungkan hidup kolaps. Yeti bercerita, krisis menyebabkan perusahaan mengambil kebijakan pengurangan karyawan. Sebagian besar rekannya ikut terkena imbas. ”Gelombang pemutusan kerja waktu itu memang tak bisa dihindari,” kenangnya.
Yeti memang masih sedikit beruntung karena perusahaan masih mempertahankannya lantaran keahlian yang dimilikinya. Sayang kesempatan Yeti hanya bertahan dua tahun. Tepat pada tahun 2000, perusahaan tempatnya bekerja benarbenar tak mampu lagi beroperasi. ”Saya pun memilih mengundurkan diri,” tutur Yeti.
Kehilangan pekerjaan sempat membuat Yeti gamang menatap masa depan. Ditambah situasi ekonomi waktu itu memang tidak kondusif. ”Dalam kegamangan saya berusaha berpikir jernih,” urainya.
Jalan pun terbuka. Berbekal tabungan dan pengalaman kerjanya, dia memulai bisnis busana muslim. Yeti melihat, saat itu bisnis busana muslim belum berkembang. Dia semakin optimistis lantaran memiliki keahlian mendesain. ”Desain menjadi keunggulan saya. Saya percaya diri produk saya diterima karena desainnya cantik,” ungkapnya.
Optimisme Yeti ternyata bukan isapan jempol.Tak perlu waktu lama berpromosi produk busana muslim miliknya, terutama mukena dan sajadah, telah mampu menembus pasar.
Dengan menggunakan merek dagang Camelia–nama pemberian kakaknya, produk-produk mukena dan sajadah Yeti dengan cepat menyebar ke mana-mana. Pemasarannya tidak hanya terkosentrasi di Bandung, melainkan merambah kota-kota lain seperti Jakarta, Aceh, Surabaya, Semarang dan beberapa kota lain di luar Pulau Jawa. Dari penyebaran produk dan penjualan, Yeti mengaku, tiap bulannya mampu meraih omzet Rp50 juta-Rp60 juta.
Satu hal yang membuat produk Camelia mudah diterima pasar dan disukai konsumen adalah keunggulannya pada desain. Produk Camelia didesain sedemikian rupa sehingga terkesan eksklusif. Contohnya produk sajadah. Sajadah Camelia tersedia dalam beragam desain cantik dengan memanfaatkan motif bordir dan warnanya pun beraneka. Dari desain dan warna itulah sajadah terlihat sisi eksklusifnya.
Begitu juga dengan mukena. Menggunakan bahan terbaik, dihiasi bordir pada beberapa bagiannya, menjadikan mukena-mukena produk Camelia terlihat cantik saat dikenakan. Tidak hanya cantik, nilai estetika sangat tampak pada produk mukena buatan Yeti. Harga yang ditawarkan pun menyesuaikan kualitas produk.Yeti mengungkapkan, untuk mukena dan sajadah, dia memasang banderol antara Rp100 ribu-Rp500 ribu.
Biasanya harga tersebut naik menjelang hari-hari besar Islam, saat masyarakat banyak membutuhkan busana muslim. ”Saat ini kami tengah mempersiapkan barang untuk mengantisipasi permintaan saat Lebaran,” katanya.
Selain memanfaatkan jaringan, penyebaran produk-produk Camelia juga tak lepas dari serangkaian kegiatan pameran yang diikuti. Kegiatan pameran, menurut Yeti, cukup membantu usahanya.
Saat pameran, masyarakat yang berkunjung dapat berinteraksi langsung dengan pemilik usaha. Dari interaksi itu, tak jarang akan berlanjut ke transaksi jual-beli. ”Even pameran Inacraft 2010 yang baru-baru lalu saya ikuti juga turut membantu promosi usaha saya,” ungkapnya.
Produk busana muslim milik Yeti dapat berpartisipasi pada ajang Inacraft 2010 atas fasilitas Bank Rakyat Indonesia. Selain memfasilitasi kegiatan pameran, Bank BRI telah mengucurkan kredit lebih dari Rp100 juta untuk pengembangan usaha. ”Terima kasih untuk Bank BRI yang turut membantu usaha saya,” tutur Yeti.
Perjalanan nasib membawa Yeti ke posisi sekarang. Atas kesuksesan yang dia raih, perempuan ramah ini mengaku bersyukur. Dia merasa, perjuangannya menekuni dunia tekstil sejak 1978 dengan memulai karier sebagai karyawan di perusahaan konveksi hingga sekarang, ketika telah mampu mendirikan usaha di bidang konveksi, tidaklah sia-sia.
Yeti pun merasa hidupnya makin lengkap karena mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Delapan karyawan yang membantunya menjadi bukti bahwa pilihannya menekuni bisnis tidaklah keliru. ”Alhamdulillah, saya juga bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain,” ujarnya.
Ke depan Yeti berharap, usahanya terus berkembang. Yeti ingin Camelia yang memiliki workshop di Perumahan Fajar Raya, Cimahi, Bandung, Jawa Barat, mampu menghasilkan produk-produk lebih baik lagi. Yeti juga berharap Bank BRI mendukung terus usahanya agar produknya bisa menembus pasar ekspor. (sugeng wahyudi)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)
No comments:
Post a Comment